Hari ini baru selesai membaca buku berjudul Saya, Ayah dan Tragedi 1965 tulisan Nani Nurrachman Sutojo.
Buku ini bertemakan rekonsiliasi batin dari seorang anak korban pahlawan revolusi yang meninggal karena kekejian peristiwa G30S/PKI dengan dirinya sendiri dan rekonsiliasi beliau dengan pihak ex tahanan PKI yang juga merasa menjadi korban G30S/PKI yang mereka sebut sebagai Peristiwa 1965 atau Tragedi 1965.
Secara umum buku ini berhasil mendeskripsikan hubungan personal antara Ibu Nani dengan ayahnya almarhum Jenderal Sutoyo dan bagaimana ajaran almarhum ayahnya membantu Ibu Nani melewati trauma dan tragedi yang menyedihkan tersebut.
Selanjutnya Ibu Nani juga bercerita proses rekonsiliasi korban G30S/PKI dari sisi jenderal angkatan darat dan ‘korban’ PKI yang dimulai dari undangan untuk berdiskusi di luar negeri yang diprakarsai oleh anggota PKI, yaitu Hersri Setiawan dan Carmel Budiardjo. Karena memperoleh pengalaman positif, Ibu Nani mencoba membawa semangat rekonsilasi tersebut di Indonesia.
Hal ini sungguh memperlihatkan betapa mulia dan tegarnya hati beliau dan anak-anak pahlawan revolusi yang lain karena menunjukan keinginan berdamai dengan pihak-pihak yang pernah berkonspirasi melawan ayah mereka.
Bila ditelaah dengan seksama, buku Ibu Nani juga memperlihatkan tragedi terselubung yang mungkin atau tidak disadari oleh korban PKI di tahun 1965, dan generasi setelahnya karena termakan propaganda disinformasi PKI karena kurang mempelajari fakta-fakta seputar G30S/PKI.
Indikasi pertama adalah pernyataan Ibu Nani menanggapi pertemuannya dengan Sugiarto Supardjo, anak Brigjen Supardjo yang disebut sebagai Jenderal Merah karena keterlibatannya dalam G30S/PKI. Menurut Ibu Nani julukan tersebut sangat disayangkan karena tidak ada bukti bahwa Supardjo terlibat G30S/PKI, padahal bukti paling meyakinkan akan keterlibatan PKI dan Supardjo adalah kritik otokritik mengenai penyebab kegagalan G30S/PKI yang ditulis oleh Supardjo sendiri yang ditujukan kepada Omar Dhani.
Buku Ibu Nani juga menunjukan pola pikir dari anggota PKI bahwa menurut mereka PKI tidak bersalah dan hanya dikorbankan oleh orde baru. Atas dasar inilah mereka menuntut pemerintah meminta maaf sebagai syarat rekonsiliasi karena merasa menjadi korban rekayasa orde baru.
Tampaknya Ibu Nani cenderung tidak ingin membantah posisi atau keyakinan mereka tersebut atas dasar setelah orde baru tumbang mulai muncul berbagai macam versi G30S/PKI yang berbeda dari ‘versi propaganda resmi pemerintah’. Versi2 yang berbeda tersebut harus diakui telah membuat khalayak menjadi bingung, dan propaganda disinformasi memang bertujuan membuat bingung target, dan mereka tidak memerlukan orang untuk percaya versinya, melainkan cukup orang menjadi meragukan kebenaran, di saat timbul keraguan, di situ kesempatan untuk melakukan perusakan.
Padahal apabila Ibu Nani dan yang lain sungguh-sungguh mempelajari fakta seputar G30S/PKI, maka tidak ada keraguan bahwa versi pemerintah yang paling benar.
Versi yang berbeda dari buku putih pemerintah umumnya beraliran Cornell Paper yang menyatakan PKI tidak terlibat dan beraliran John Rossa bahwa PKI terlibat, TAPI hal itu disebabkan pancingan yang dilakukan angkatan darat supaya PKI keluar kandang untuk dibantai habis.
Dua versi di atas sebenarnya sangat meragukan sebab Cornell Paper hanya bersumber dari 30 koran oleh peneliti universitas cornell yang pro PKI dan anti angkatan darat, sedangkan buku john rossa dibuat oleh seorang peneliti yang tinggal bersama seseorang yang terkait PKI dan sumber penelitiannya adalah orang-orang pro PKI bahkan tahanan PKI seperti Hesri Setiawan. Dengan demikian Pretext to Mass Murder sebenarnya tidak lebih dari buku propaganda PKI untuk mendiskriditkan angkatan darat.
Selain itu, saya kira Ibu Nani belum menyadari bahwa Carmel Budiardjo adalah seorang warga negara inggris yang menjadi anggota komunis ceko yang kemungkinan besar terlibat dalam perancangan dan penyebaran dokumen gilchrist yang mengerikan itu. Faktor penguat keterlibatan carmel budiardjo adalah bahwa dokumen gilchrist dibuat oleh mata2 ceko atas perintah uni soviet yang dilakukan oleh jenderal agayant dan mayor louda, sementara gerakan pemuda yang mana carmel brickman menjadi anggota sebelum menikah dengan komite sentral PKI, Suwondo Budiardjo, adalah underbouw dari intelijen cekoslovakia.
Rekonsiliasi harus didukung dan harus terjadi, namun untuk bisa melakukan hal itu semua pihak harus mengakui kesalahannya. Anggota PKI mengakui bahwa PKI memang terlibat dan perbuatan kejam PKI selama land reform berandil pada penderitaan mereka. Setelah itu negara dapat mengakui bahwa dalam usaha meredam PKI mungkin ada tindakan-tindakan yang terlalu berlebihan dan eksesif yang dilakukan aparaturnya.
Apakah mungkin terjadi rekonsiliasi bila ada satu pihak yang jelas-jelas bersalah masih terus melakukan propaganda untuk menolak pertanggungjawaban seperti yang dilakukan Ilham Aidit, tapi sementara daripada itu mereka terus menuntut pihak lain meminta maaf dan menanggung semua kesalahan.
Rekonsiliasi wajib dilakukan, tapi atas dasar itikad baik bukan untuk mencuci dosa dan membersihkan diri. Selanjutnya terima saja komunisme dan sosialis memang ditolak oleh Indonesia dan mereka tidak perlu jadi pahlawan kesiangan mencoba ‘mengintrodusir’ PKI, dan komunisme.
Jadi menurut saya apa yang dilakukan Ibu Nani dengan menerima mentah-mentah tawaran rekonsilasi ala mafia dari anggota PKI mungkin tidak tepat dan terlalu gegabah.
by: http://media.kompasiana.com/buku/2013/08/07/saya-ayah-dan-tragedi-1965-dari-nani-nurrachman-sutojo-582796.html
Buku ini bertemakan rekonsiliasi batin dari seorang anak korban pahlawan revolusi yang meninggal karena kekejian peristiwa G30S/PKI dengan dirinya sendiri dan rekonsiliasi beliau dengan pihak ex tahanan PKI yang juga merasa menjadi korban G30S/PKI yang mereka sebut sebagai Peristiwa 1965 atau Tragedi 1965.
Secara umum buku ini berhasil mendeskripsikan hubungan personal antara Ibu Nani dengan ayahnya almarhum Jenderal Sutoyo dan bagaimana ajaran almarhum ayahnya membantu Ibu Nani melewati trauma dan tragedi yang menyedihkan tersebut.
Selanjutnya Ibu Nani juga bercerita proses rekonsiliasi korban G30S/PKI dari sisi jenderal angkatan darat dan ‘korban’ PKI yang dimulai dari undangan untuk berdiskusi di luar negeri yang diprakarsai oleh anggota PKI, yaitu Hersri Setiawan dan Carmel Budiardjo. Karena memperoleh pengalaman positif, Ibu Nani mencoba membawa semangat rekonsilasi tersebut di Indonesia.
Hal ini sungguh memperlihatkan betapa mulia dan tegarnya hati beliau dan anak-anak pahlawan revolusi yang lain karena menunjukan keinginan berdamai dengan pihak-pihak yang pernah berkonspirasi melawan ayah mereka.
Bila ditelaah dengan seksama, buku Ibu Nani juga memperlihatkan tragedi terselubung yang mungkin atau tidak disadari oleh korban PKI di tahun 1965, dan generasi setelahnya karena termakan propaganda disinformasi PKI karena kurang mempelajari fakta-fakta seputar G30S/PKI.
Indikasi pertama adalah pernyataan Ibu Nani menanggapi pertemuannya dengan Sugiarto Supardjo, anak Brigjen Supardjo yang disebut sebagai Jenderal Merah karena keterlibatannya dalam G30S/PKI. Menurut Ibu Nani julukan tersebut sangat disayangkan karena tidak ada bukti bahwa Supardjo terlibat G30S/PKI, padahal bukti paling meyakinkan akan keterlibatan PKI dan Supardjo adalah kritik otokritik mengenai penyebab kegagalan G30S/PKI yang ditulis oleh Supardjo sendiri yang ditujukan kepada Omar Dhani.
Buku Ibu Nani juga menunjukan pola pikir dari anggota PKI bahwa menurut mereka PKI tidak bersalah dan hanya dikorbankan oleh orde baru. Atas dasar inilah mereka menuntut pemerintah meminta maaf sebagai syarat rekonsiliasi karena merasa menjadi korban rekayasa orde baru.
Tampaknya Ibu Nani cenderung tidak ingin membantah posisi atau keyakinan mereka tersebut atas dasar setelah orde baru tumbang mulai muncul berbagai macam versi G30S/PKI yang berbeda dari ‘versi propaganda resmi pemerintah’. Versi2 yang berbeda tersebut harus diakui telah membuat khalayak menjadi bingung, dan propaganda disinformasi memang bertujuan membuat bingung target, dan mereka tidak memerlukan orang untuk percaya versinya, melainkan cukup orang menjadi meragukan kebenaran, di saat timbul keraguan, di situ kesempatan untuk melakukan perusakan.
Padahal apabila Ibu Nani dan yang lain sungguh-sungguh mempelajari fakta seputar G30S/PKI, maka tidak ada keraguan bahwa versi pemerintah yang paling benar.
Versi yang berbeda dari buku putih pemerintah umumnya beraliran Cornell Paper yang menyatakan PKI tidak terlibat dan beraliran John Rossa bahwa PKI terlibat, TAPI hal itu disebabkan pancingan yang dilakukan angkatan darat supaya PKI keluar kandang untuk dibantai habis.
Dua versi di atas sebenarnya sangat meragukan sebab Cornell Paper hanya bersumber dari 30 koran oleh peneliti universitas cornell yang pro PKI dan anti angkatan darat, sedangkan buku john rossa dibuat oleh seorang peneliti yang tinggal bersama seseorang yang terkait PKI dan sumber penelitiannya adalah orang-orang pro PKI bahkan tahanan PKI seperti Hesri Setiawan. Dengan demikian Pretext to Mass Murder sebenarnya tidak lebih dari buku propaganda PKI untuk mendiskriditkan angkatan darat.
Selain itu, saya kira Ibu Nani belum menyadari bahwa Carmel Budiardjo adalah seorang warga negara inggris yang menjadi anggota komunis ceko yang kemungkinan besar terlibat dalam perancangan dan penyebaran dokumen gilchrist yang mengerikan itu. Faktor penguat keterlibatan carmel budiardjo adalah bahwa dokumen gilchrist dibuat oleh mata2 ceko atas perintah uni soviet yang dilakukan oleh jenderal agayant dan mayor louda, sementara gerakan pemuda yang mana carmel brickman menjadi anggota sebelum menikah dengan komite sentral PKI, Suwondo Budiardjo, adalah underbouw dari intelijen cekoslovakia.
Rekonsiliasi harus didukung dan harus terjadi, namun untuk bisa melakukan hal itu semua pihak harus mengakui kesalahannya. Anggota PKI mengakui bahwa PKI memang terlibat dan perbuatan kejam PKI selama land reform berandil pada penderitaan mereka. Setelah itu negara dapat mengakui bahwa dalam usaha meredam PKI mungkin ada tindakan-tindakan yang terlalu berlebihan dan eksesif yang dilakukan aparaturnya.
Apakah mungkin terjadi rekonsiliasi bila ada satu pihak yang jelas-jelas bersalah masih terus melakukan propaganda untuk menolak pertanggungjawaban seperti yang dilakukan Ilham Aidit, tapi sementara daripada itu mereka terus menuntut pihak lain meminta maaf dan menanggung semua kesalahan.
Rekonsiliasi wajib dilakukan, tapi atas dasar itikad baik bukan untuk mencuci dosa dan membersihkan diri. Selanjutnya terima saja komunisme dan sosialis memang ditolak oleh Indonesia dan mereka tidak perlu jadi pahlawan kesiangan mencoba ‘mengintrodusir’ PKI, dan komunisme.
Jadi menurut saya apa yang dilakukan Ibu Nani dengan menerima mentah-mentah tawaran rekonsilasi ala mafia dari anggota PKI mungkin tidak tepat dan terlalu gegabah.
by: http://media.kompasiana.com/buku/2013/08/07/saya-ayah-dan-tragedi-1965-dari-nani-nurrachman-sutojo-582796.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com