by: http://politik.kompasiana.com/2013/08/16/kejahatan-politik-di-indonesia-sebuah-tinjauan-dari-tingkat-partisipasi-pemilih-584679.html
Parliament Threshold (PT) atau ambang batas parlemen merupakan ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Ketentuan ini diberlakukan pertama kali pada Pemilu tahun 2009.
Pemilu 2014 ambang batas parlemen yang diberlakukan direncanakan adalah menggunakan pedoman yang tetulis dalam UU No. 8 Tahun 2012 yaitu bahwa ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3.5% untuk semua anggota DPR dan DPRD. Mahkamah Konstitusi kemudian mengubah menetapkan ambang batas tersebut menjadi 3.5% berlaku hanya untuk DPR dan untuk DPRD ditiadakan, setelah digugat oleh 14 partai saat itu.
Ambang batas 3.5% ini ditengarai menjadikan Presiden tidak optimal dan tidak bisa bergerak leluasa menjalankan roda pemerintahan, karena masih tergantung dengan parlemen. Hal ini bisa terjadi apabila Presiden mengeluarkan kebijakan pemerintahannya tetapi tidak didukung oleh parlemen. Atau bahkan apabila suatu kebijakan Presiden ingin diloloskan, akan ada biaya untuk meloloskannya. Presiden tidak leluasa menjalan kebijakannya, dan bahkan peluang korupsi menjadi besar dengan adanya system ini.
Selasa, 9 Juli 2013, Metrotvnew.com dalam Editorial yang berjudul Presidential Threshold mencatat hal tersebut di atas.
Presiden adalah lembaga tertinggi dalam pemerintahan. Untuk memperkuat lembaga kepresidenan dalam menjalankan Pemerintahannya ditetapkan Presidential Threshold sebesar 20%, kita akan menunggu Badan Legislatif (BALEG) Dewan Perwakilan Rakyat jadi-tidaknya merevisi UU. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Partai-partai yang mendukung Presidential Threshold 20% adalah PKS, PKB, PAN, Golkar, Partai Demokrat dan PDIP, sedangkan Partai-partai yang berkinginan menyamakan Presidential Threshold dan Parliament Threshold yaitu 3.5% adalah Gerindra, PPP dan Hanura.
Semua partai saling bermanuver untuk meloloskan keinginannya karena masing-masing partai berkepentingan meloloskan jagonya untuk menjadi penguasa di Negara berpenduduk hampir 300 juta ini.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sementara mencatat rakyat sebagai pemilih resmi untuk Pemilu 2014 berjumlah 185 juta orang. Pemilih sejumlah itu akhir-akhir ini disuguhi tontonan yang diperlihatkan oleh semua partai politik yang berlomba menarik simpati rakyat pemilih agar memilih kader partai yang disodorkan oleh partai politik untuk baik menjadi anggota parlemen atau capres-cawapres.
Suguhan tontonan oleh partai politik sungguh terlihat secara vulgar bahwa capres-cawapres serta anggota parlemen berambisi besar untuk berkuasa. Bisa terlihat dengan dari aktivitas pencitraan melaui media massa cetak, baliho di jalan-jalan, media visual dan online, janji-janji yang diungkap dan diberikan, jargon yang dibuat dan dilontarkan. Mereka menggunakan segala apa yang mereka punyai untuk menarik simpati kita rakyat sebagai pemilih.
Jum’at, 16 Agustus 2013, Metrotvnews.com dalam newsprogram yang berjudul “Mempersiapkan Indonesia” menyebut bahwa saat ini sebagian bangsa Indonesia terjangkiti oleh virus-virus pragmatis seperti ingin cepat kaya dengan jalan pintas, ingin berkuasa dengan cara apapun, dan ingin menggemukkan pundi-pundi pribadi dengan jalan kini teramat mudah ditemui….”
Virus itu telah menjangkiti partai politik yang ada. Tidak peduli partai yang berbasis agama pun tertular virus ini. Di era reformasi selama 15 tahun rakyat Indonesia merasakan berbagai pengalaman dipimpin oleh pemimpin partai yang berbeda yang menjadi presiden di periode tertentu (dipimpin oleh Gus Dur dari PKB, Bu Mega dari PDIP, dan dua periode oleh SBY dari Partai Demokrat). Hal-hal yang sama dirasakan oleh rakyat Indonesia adalah perasaan TIDAK SEJAHTERA yang menjadi-jadi, perasaan yang dibutuhkan hanya selama pilpres dan pileg, perasaan dibodohi (membayar pajak) tetapi dikorupsi, memilih tapi tidak merasa terwakili oleh legistaor dan senator. Fakta dan realita dirasakan, ditemukan, dan dialami secara langsung oleh rakyat Indonesia adalah korupsi semakin akut dan dilakukan secara besar-besaran oleh partai-partai yang ada terutama oleh partai penguasa demi mempertahankan kekuasaannya. Rakyat Indonesia merasa menjadi obyek yang ditipu, dibodohi dan diperalat, dan kesengsaraan selalu berpihak kepada rakyat jika kebijakan Pemerintah diambil (kenaikan bbm, kenaikan listrik, dan kenaikan tingkat korupsi, dll).
Kita bebas bersikap dan bertindak melihat keadaan pemerintahan dan situasi politik seperti yang digambarkan diatas. Tetapi yang jelas bahwa di antara kita yang tidak melakukan pilihan atau golongan putih (golput) dari pemilu ke pemilu selalu menunjukkan grafik yang menaik atau kebalikan dari tingkat partisipasi pemilih yang menurun.
Data statistik partisipasi pemilih dari 1955 – 2009 yang diolah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan dari 9 kali pemilu legislative yang pernah dilakukan di Indonesia Pemilu tahun 1971 –pemilu pertama kali di era orde baru—mencapai tingkat partisipasi yang paling tinggi yaitu 96.62 persen, sedangkan yang terendah adalah pemilu legislatif tahun 2009 di era reformasi yaitu 60.78
persen. Selengkapnya data tersebut adalah sebagai berikut:
Tahun 1955, jumlah pemilih terdaftar 43,104,464 tingkat partisipasi 91.41 persen
Tahun 1971, jumlah pemilih terdaftar 58,558,776, tingkat partisipasi 96.62 persen
Tahun 1977, jumlah pemilih terdaftar 69,871,092, tingkat partisipasi 96.52 persen
Tahun 1982, jumlah pemilih terdaftar 82,132,195, tingkat partisipasi 96.47 persen
Tahun 1987, jumlah pemilih terdaftar 93,737,633, tingkat partisipasi 96.43 persen
Tahun 1992, jumlah pemilih terdaftar 107,565,413, tingkat partisipasi 95.06 persen
Tahun 1997, jumlah pemilih terdaftar 125,640,987, tingkat partisipasi 93.55 persen
Tahun 2004, jumlah pemilih terdaftar 148,000,368, tingkat partsipasi 84.07 persen
Tahun 2009, jumlah pemilih terdaftar 171,265,442, tingkat partisipasi 60.78 persen (http://golput.com)
Tahun 2014, jumlah pemilih terdaftar diperkirakan 185 juta, bulan Maret 2013 CSIS (Center for Strategic and International Studies) memperkirakan angka undecided voters dan golongan putih untuk tahun 2014 sekitar 40.5 persen. Angka ramalan terendah yang cukup fantastis.
Jangan menyalahkan dan prihatin terhadap rakyat yang tidak berpartisipasi, karena data tersebut di atas menunjukkan bahwa rakyat Indonesia telah cukup pandai untuk mengetahui tentang sepak terjang partai politik bila menjadi penguasa (pejabat pemerintahan dan anggota parlemen/politikus): korupsi akan semakin merajalela, rakyat semakin menderita. Pula, bisa diartikan bahwa ternyata di era reformasi kondisi politik tidak lebih baik dari era-era sebelumnya atau rakyat di era reformasi semakin menderita. Perasaan rakyat yang menderita akibat tingkah polah korup pejabat pemerintah dan politikus menyebabkan rakyat muak, pesimis, dan apatis sehingga mereka enggan untuk memilih. Legitimatkah pemerintah yang akan datang, jika ternyata tingkat partsipasi rakyat sedemikian rendah?
Rakyat sangat prihatin dengan tingkah polah pejabat dan anggota parlemen saat ini yang cenderung korupsi, menyengsarakan rakyat, membohongi rakyat dan menjadikan rakyat hanya sebagai obyek penderitaan.
Memilih capres-cawapres, anggota parlemen serta pejabat lain yang bersih dari korupsi, dekat dan pro-rakyat, sederhana, integritas tinggi, tegas, professional serta bertanggung jawab adalah langkah awal pembenahan pemerintahan yang berpenyakit akut korupsi.
————————————–
*) Penulis adalah Jokowi Lover, tinggal di negeri jiran
**) Penulis cinta Jokowi-Ahok, tetapi lebih cinta Indonesia
***) Penulis membaca banyak artikel untuk dijadikan bahan rujukan tulisan ini
Parliament Threshold (PT) atau ambang batas parlemen merupakan ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Ketentuan ini diberlakukan pertama kali pada Pemilu tahun 2009.
Pemilu 2014 ambang batas parlemen yang diberlakukan direncanakan adalah menggunakan pedoman yang tetulis dalam UU No. 8 Tahun 2012 yaitu bahwa ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3.5% untuk semua anggota DPR dan DPRD. Mahkamah Konstitusi kemudian mengubah menetapkan ambang batas tersebut menjadi 3.5% berlaku hanya untuk DPR dan untuk DPRD ditiadakan, setelah digugat oleh 14 partai saat itu.
Ambang batas 3.5% ini ditengarai menjadikan Presiden tidak optimal dan tidak bisa bergerak leluasa menjalankan roda pemerintahan, karena masih tergantung dengan parlemen. Hal ini bisa terjadi apabila Presiden mengeluarkan kebijakan pemerintahannya tetapi tidak didukung oleh parlemen. Atau bahkan apabila suatu kebijakan Presiden ingin diloloskan, akan ada biaya untuk meloloskannya. Presiden tidak leluasa menjalan kebijakannya, dan bahkan peluang korupsi menjadi besar dengan adanya system ini.
Selasa, 9 Juli 2013, Metrotvnew.com dalam Editorial yang berjudul Presidential Threshold mencatat hal tersebut di atas.
Presiden adalah lembaga tertinggi dalam pemerintahan. Untuk memperkuat lembaga kepresidenan dalam menjalankan Pemerintahannya ditetapkan Presidential Threshold sebesar 20%, kita akan menunggu Badan Legislatif (BALEG) Dewan Perwakilan Rakyat jadi-tidaknya merevisi UU. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Partai-partai yang mendukung Presidential Threshold 20% adalah PKS, PKB, PAN, Golkar, Partai Demokrat dan PDIP, sedangkan Partai-partai yang berkinginan menyamakan Presidential Threshold dan Parliament Threshold yaitu 3.5% adalah Gerindra, PPP dan Hanura.
Semua partai saling bermanuver untuk meloloskan keinginannya karena masing-masing partai berkepentingan meloloskan jagonya untuk menjadi penguasa di Negara berpenduduk hampir 300 juta ini.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sementara mencatat rakyat sebagai pemilih resmi untuk Pemilu 2014 berjumlah 185 juta orang. Pemilih sejumlah itu akhir-akhir ini disuguhi tontonan yang diperlihatkan oleh semua partai politik yang berlomba menarik simpati rakyat pemilih agar memilih kader partai yang disodorkan oleh partai politik untuk baik menjadi anggota parlemen atau capres-cawapres.
Suguhan tontonan oleh partai politik sungguh terlihat secara vulgar bahwa capres-cawapres serta anggota parlemen berambisi besar untuk berkuasa. Bisa terlihat dengan dari aktivitas pencitraan melaui media massa cetak, baliho di jalan-jalan, media visual dan online, janji-janji yang diungkap dan diberikan, jargon yang dibuat dan dilontarkan. Mereka menggunakan segala apa yang mereka punyai untuk menarik simpati kita rakyat sebagai pemilih.
Jum’at, 16 Agustus 2013, Metrotvnews.com dalam newsprogram yang berjudul “Mempersiapkan Indonesia” menyebut bahwa saat ini sebagian bangsa Indonesia terjangkiti oleh virus-virus pragmatis seperti ingin cepat kaya dengan jalan pintas, ingin berkuasa dengan cara apapun, dan ingin menggemukkan pundi-pundi pribadi dengan jalan kini teramat mudah ditemui….”
Virus itu telah menjangkiti partai politik yang ada. Tidak peduli partai yang berbasis agama pun tertular virus ini. Di era reformasi selama 15 tahun rakyat Indonesia merasakan berbagai pengalaman dipimpin oleh pemimpin partai yang berbeda yang menjadi presiden di periode tertentu (dipimpin oleh Gus Dur dari PKB, Bu Mega dari PDIP, dan dua periode oleh SBY dari Partai Demokrat). Hal-hal yang sama dirasakan oleh rakyat Indonesia adalah perasaan TIDAK SEJAHTERA yang menjadi-jadi, perasaan yang dibutuhkan hanya selama pilpres dan pileg, perasaan dibodohi (membayar pajak) tetapi dikorupsi, memilih tapi tidak merasa terwakili oleh legistaor dan senator. Fakta dan realita dirasakan, ditemukan, dan dialami secara langsung oleh rakyat Indonesia adalah korupsi semakin akut dan dilakukan secara besar-besaran oleh partai-partai yang ada terutama oleh partai penguasa demi mempertahankan kekuasaannya. Rakyat Indonesia merasa menjadi obyek yang ditipu, dibodohi dan diperalat, dan kesengsaraan selalu berpihak kepada rakyat jika kebijakan Pemerintah diambil (kenaikan bbm, kenaikan listrik, dan kenaikan tingkat korupsi, dll).
Kita bebas bersikap dan bertindak melihat keadaan pemerintahan dan situasi politik seperti yang digambarkan diatas. Tetapi yang jelas bahwa di antara kita yang tidak melakukan pilihan atau golongan putih (golput) dari pemilu ke pemilu selalu menunjukkan grafik yang menaik atau kebalikan dari tingkat partisipasi pemilih yang menurun.
Data statistik partisipasi pemilih dari 1955 – 2009 yang diolah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan dari 9 kali pemilu legislative yang pernah dilakukan di Indonesia Pemilu tahun 1971 –pemilu pertama kali di era orde baru—mencapai tingkat partisipasi yang paling tinggi yaitu 96.62 persen, sedangkan yang terendah adalah pemilu legislatif tahun 2009 di era reformasi yaitu 60.78
persen. Selengkapnya data tersebut adalah sebagai berikut:
Tahun 1955, jumlah pemilih terdaftar 43,104,464 tingkat partisipasi 91.41 persen
Tahun 1971, jumlah pemilih terdaftar 58,558,776, tingkat partisipasi 96.62 persen
Tahun 1977, jumlah pemilih terdaftar 69,871,092, tingkat partisipasi 96.52 persen
Tahun 1982, jumlah pemilih terdaftar 82,132,195, tingkat partisipasi 96.47 persen
Tahun 1987, jumlah pemilih terdaftar 93,737,633, tingkat partisipasi 96.43 persen
Tahun 1992, jumlah pemilih terdaftar 107,565,413, tingkat partisipasi 95.06 persen
Tahun 1997, jumlah pemilih terdaftar 125,640,987, tingkat partisipasi 93.55 persen
Tahun 2004, jumlah pemilih terdaftar 148,000,368, tingkat partsipasi 84.07 persen
Tahun 2009, jumlah pemilih terdaftar 171,265,442, tingkat partisipasi 60.78 persen (http://golput.com)
Tahun 2014, jumlah pemilih terdaftar diperkirakan 185 juta, bulan Maret 2013 CSIS (Center for Strategic and International Studies) memperkirakan angka undecided voters dan golongan putih untuk tahun 2014 sekitar 40.5 persen. Angka ramalan terendah yang cukup fantastis.
Jangan menyalahkan dan prihatin terhadap rakyat yang tidak berpartisipasi, karena data tersebut di atas menunjukkan bahwa rakyat Indonesia telah cukup pandai untuk mengetahui tentang sepak terjang partai politik bila menjadi penguasa (pejabat pemerintahan dan anggota parlemen/politikus): korupsi akan semakin merajalela, rakyat semakin menderita. Pula, bisa diartikan bahwa ternyata di era reformasi kondisi politik tidak lebih baik dari era-era sebelumnya atau rakyat di era reformasi semakin menderita. Perasaan rakyat yang menderita akibat tingkah polah korup pejabat pemerintah dan politikus menyebabkan rakyat muak, pesimis, dan apatis sehingga mereka enggan untuk memilih. Legitimatkah pemerintah yang akan datang, jika ternyata tingkat partsipasi rakyat sedemikian rendah?
Rakyat sangat prihatin dengan tingkah polah pejabat dan anggota parlemen saat ini yang cenderung korupsi, menyengsarakan rakyat, membohongi rakyat dan menjadikan rakyat hanya sebagai obyek penderitaan.
Memilih capres-cawapres, anggota parlemen serta pejabat lain yang bersih dari korupsi, dekat dan pro-rakyat, sederhana, integritas tinggi, tegas, professional serta bertanggung jawab adalah langkah awal pembenahan pemerintahan yang berpenyakit akut korupsi.
————————————–
*) Penulis adalah Jokowi Lover, tinggal di negeri jiran
**) Penulis cinta Jokowi-Ahok, tetapi lebih cinta Indonesia
***) Penulis membaca banyak artikel untuk dijadikan bahan rujukan tulisan ini
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com