Senin, 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa terlihat telah menduduki Gedung DPR/ MPR. Mereka menuntut Presiden Soeharto untuk mundur. Aksi pendudukan yang menjadi puncak rangkaian perubahan era, dari era Orde Baru (Orba) menuju era Reformasi tersebut, tergambar secara utuh dalam Liputan 6 yang ditayangkan SCTV. Termasuk ketika terjadi kerusuhan pada 13 dan 14 Mei, yang membuat tiga ribuan bangunan hancur, 1.400 kendaraan bermotor hangus, dan sekitar 400 orang tewas terpanggang.
SCTV adalah televisi swasta yang pertama kali
menyiarkan kerusuhan Mei 1998. Stasiun televisi ini memang cukup
“vokal” menyuarakan gonjang-ganjing politik pada Mei 1998. Hal tersebut
membuat gerah pemerintah, terutama Tentara Nasional Indonesia (TNI).
SCTV memang sering bikin kuping pemerintah panas. Tak hanya
liputan-liputannya yang kritis, program Perspektif yang
dibawakan Wimar Witoelar kerap mengkritik pemerintah Orba. Sejumlah
narasumber yang kritis terhadap pemerintah dihadirkan di program ini.
Oleh karena dianggap membahayakan stabilitas nasional, dua tahun sebelum
kerusuhan Mei terjadi, tepatnya pada 16 September 1996, program Perspektif dihentikan penayangannya.
Tak seperti RCTI, ANTV, maupun TPI yang
ramai-ramai membela partai Golkar, di bawah kepemimpinan Sumitha Tobing,
SCTV sangat berani memuat berita yang berbeda. Tanpa pesan-pesan
“sponsor”, sebagaimana mayoritas stasiun televisi saat ini. Wanita yang
saat itu menjabat sebagai Penanggung Jawab atau Pemimpin Redaksi
(Pemred) Liputan 6 tak ingin diintervensi oleh pemilik modal. Tak heran, Liputan 6 dianggap sangat independen, berani menyiarkan liputan dari lawan-lawan politik Orba, seperti Megawati Soekarnoputri.
Mengenai tayangan yang menampilkan sosok
Megawati, ada kisah menarik. Rupanya pemerintah gerah dengan pemberitaan
tentang Megawati. Puncak kegerahan pemerintah, pada 25 Juni 1996, SCTV
dan sejumlah pemimpin media massa lain dipanggil oleh Panglima ABRI
Jenderal TNI Faisal Tanjung. Panglima “menghimbau” (baca: memerintahkan)
agar media massa tidak menyebut Megawati sebagai Ketua PDI dan berhenti
mewawancarai para pendukung Mega. Dalam beberapa kesempatan sebelumnya,
pihak militer juga telah “menghimbau” agar pers tidak menulis nama
Megawati dengan embel-embel Soekarnoputri di belakang namanya, melaikan
Megawati Kiemas.
Setelah “pecah kongsi” dengan Seputar Indonesia (RCTI), redaksi SCTV berhasil menunjukan kehebatan membuat berita, yang berani dan independen. Program Liputan 6 pun berhasil jadi primadona, mengalahkan Seputar Indonesia. Setelah sukses dengan Liputan 6 Petang yang pertama kali mengudara pada 20 Mei 1996, Sumitha melahirkan Liputan 6 Pagi dan Liputan 6 Siang. Jurnalis senior bergelar doktor jebolan Ohio University ini otak di balik kesuksesan Liputan 6 yang berani dan independen.
Empat hari menjelang lengsernya Soeharto,
Sumitha mengundang mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono
Kusumaatmadja. Dalam sebuah wawancara dengan salah seorang anchor SCTV
Ira Koesno, Sarwono menggunakan sebuah perumpamaan untuk menggambarkan
betapa parah kondisi sosial-politik di Indonesia saat itu. Ibarat orang
yang sedang sakit gigi, maka kalo ingin sembuh, gigi yang sakit harus
dicabut. “Gigi sakit“ yang dimaksud tak lain adalah Soeharto. Provokasi
halus yang diutarakan Sarwono tersebut dikenal sebagai “insiden cabut
gigi”. Gara-gara insiden ini, Sumitha pun dicopot dari jabatannya
sebagai Pemred Liputan 6.
Dalam kerusuhan Mei 1998, SCTV sangat berani
menayangkan fakta yang terjadi di lapangan. Boleh dikatakan, SCTV
menjadi bagian sejarah stasiun televisi swasta nasional satu-satunya
yang mempelopori “semangat” reformasi. Sementara “kakaknya” RCTI tidak
segarang SCTV. Maklumlah, RCTI punya anak ketiga Soeharto: Bambang
Trihatmodjo. Saat Pemilu 1997 yang menjadikan Soeharto kembali jadi
Presiden RI, RCTI pro-Golkar. Begitu pula ANTV yang juga sangat Golkar.
Maklumlah, saat itu Direktur Utama-nya Agung Laksono yang dikenal
sebagai tokoh Golkar.
Meski Sumitha telah melepaskan jabatannya sebagai Pemred Liputan 6, penggantinya Riza Primadi juga tak kalah berani. Ketika mengelola Liputan 6,
Riza beberapa kali mendapat teguran dari pemilik modal berkaitan dengan
berita-berita tentang Soeharto. Bahkan, Riza dan kawan-kawan di Liputan
6 seringkali dimarah-marahi oleh pemegang saham (baca: pemilik modal).
Di buku Televisi di Kantong Segelintir Pemilik
karya Narliswandi Piliang (April 2002, hal 18) dikisahkan, Riza dua
kali dipanggil Halimah Trihatmojo ke kantor Bimantara. Halimah saat itu
tak lain adalah istri Bambang yang bertindak sebagai salah satu pemilik
modal. Menantu Soeharto ini mendesak Riza agar berita-berita di Liputan 6 tidak terlalu memojokkan Soeharto.
Kala itu komposisi pemilik modal SCTV masih
dipegang Sudwikatmono dan Henry Pribadi. Selain itu dipegang oleh
Halimah (25%), Aziz Mochdar (20%), Peter Gontha (2,5%), dan Haji Noor
Slamet Asmoprawiro (10%). Hasil investigasi majalah Prospektus edisi 16
Juni 2003, antara 1987 hingga 2002, paling tidak komposisi kepemilikan
saham SCTV sudah 14 kali berganti. Di awal-awal SCTV berdiri sahamnya
dipegang oleh Frans Awuy (85,71%), Johny Laurens Kindangen (11,43%), dan
Sunny Voeman (2,86%). Pada 1989, barulah Henry Pribadi hampir menguasai
seluruh saham SCTV, yakni 80%, sisanya dipegang Sudwikatmono (20%).
Selagi redaksi SCTV terus diintervensi oleh pemilik modal, redaksi RCTI lebih suka main aman. Ini nampak dalam isi berita Seputar Indonesia
yang tak segarang SCTV. Ketika terjadi kerusuhan 27 Mei 1998, SCTV
memberitakan fakta dan mengkritisi pemerintah, sedang RCTI justru
pro-pemerintah. Lewat beritanya, RCTI menyatakan, kerusuhan terjadi,
karena konflik internal dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kebijakan isi berita RCTI sama dengan TVRI.
Terus terang, saat ini saya pribadi kangen
dengan orang-orang seperti Sumitha Tobing maupun Riza Primadi. Mereka
adalah Jurnalis hebat yang tak terpengaruh dengan kebijakan pemilik
modal. Mereka tak takut kehilangan jabatan, selama pemberitaan yang
ditayangan merupakan fakta, bukan hasil intervensi pemilik modal atau
manajemen stasiun televisi tersebut.
Kini, sejak hadir stasiun televisi berita, yakni Metro TV dan tvOne, Liputan 6 SCTV tak lagi terdengar. Saya pun tak pernah mendengar kegarangan berita-berita di Liputan 6. SCTV dulu memang jauh berbeda dengan sekarang. Komposisi pemegang modal pun sudah beda. Sejak 1998, bahkan secara de jure,
sejak 14 Agustus 1997, Sudwikatmono dan Henry Pribadi tak memiliki
saham lagi di SCTV. Mereka telah menjual ke PT. Mitrasari Persada.
Termasuk pengusaha Peter F. Gontha, Halimah Trihatmojo, dan Aziz Mochtar
yang telah menjual saham SCTV ke PT. Datacom Asia pada 31Agustus 1998.
Memang, PT. Datacom juga ada saham ketiga pengusaha tersebut. Termasuk
PT. Mitrasari Persada yang ada saham Sudwikatmono dan Henry Pribadi.
Menjelang Pemilu 2014 nanti, stasiun televisi
pasti akan terlihat dengan jelas pro terhadap siapa. Industri televisi,
khususnya pemberitaan dihadapkan pada arena yang keras. Mengutip dari
buku Rezim Media (GPU, 2013) karya Iswandi Syahputra, ada dua
tekanan yang bakal dihadapi. Pertama, kuatnya tekanan dari pemilik modal
yang mengejar keuntungan, juga punya agenda politik. Kedua, tekanan
yang menurut Paul Johnson adalah penyimpangan-penyimpang dalam tayangan
televisi, yakni (1) distorsi informasi, (2) dramatisasi fakta palsu, (3)
mengganggu privasi, (4) pembunuhan karakter, (5) eksploitasi seks, (6)
meracuni pikiran anak, dan (7) penyalahgunaan kekuasaan. Nah, ketika
ketujuh penyimpangan ini terjadi, dimanakah posisi SCTV yang dahulu
garang dan punya tagline: aktual, tajam, dan terpercaya?
Salam Independen
Info Tambahan:
Sekarang
semua media pemberitaan memcari aman, dan untuk menaikkan rating sessuai
pesana pemilik modal banyak cara yang ditempuh mereka dengan
menampilkan berita aspal, berita NATO, berita2 yg sellau menyudutkan
umat islam keanren dengan cara ini rating akan naik dan disenangi
pemilik modal asing yg mempunyai agenda terselubung, atau membuat berita
seperti kasus metro membawa organisasi anak muda rohindisebut sebagi
oranginasi perekrut teroris walaupun kemudian di ralat lagi, tapi itu
semua menunjukkan media sekarang cenderung menutupi masalah yg
sebenernya dan tanpa melakukan riset yg benar tapi melakukan pengumpulan
berita yg instan demi rating dan pesanan pemilik modal, kita lihat
kasusk LAPINDO mana mau ATV atau TVone memberitakan masalah ini malah
LAPINDO mereka ganti jadi kasus sidorajo sesuai dimana lokasi itu
terjadi padahal kasusnya dari perusahananLAPINDO Brantas yg kempuayaan
keluarga bakri pemilik modal di NATV dan TVone, ini menujukkan tidka
adanya idenpensi media dalam menyikapi permaslahan di masyrakat tapi
demi intervensi pemilik modal dalam pencitraan, kiat litah sekarang RCTI
dan group MNC seibuk mengusung pemberitan tentang HANURA karena pemilik
odalnya adlah pembina HNARA, juga Mentro TV sibuk memberitakan NASDEM
atau TV One dan ANTV seibuk memberitakan GOLKAR, dan TVRI bersikap
netral walaupun dalam pemberitanan melakukan pencitraan pemerintah yg
berkuasa…inilah gambaran mendia kita sekarang juga media tulis seperti
majalah dan koran sami mawon, lihat SINDO, salah satu contohnya ….salam
Gambar-gambar diatas diambil dari google gambar oleh blog bagindaery.
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com