by: http://sosbud.kompasiana.com/2013/07/27/kenangan-ramadhan-masa-kecil-farida-580088.html
Ramadhan kali ini saya berusia 21 Tahun, ketika
salat tarawih dan melihat anak-anak kecil yang begitu ‘atraktif’ di
masjid. Saya pun seolah diingatkan tentang masa kecil saya. Saya hanya
tersenyum ketika para ibu mengeluh anak kecil yang dikatakan ‘bandel’,
“Ah, namanya juga anak kecil”, batin saya.
Ya, saya pikir semua orang pernah merasakan menjadi
anak kecil. Hal-hal yang ‘seperti itu’ bahkan jika tidak didapatkan
akan ‘merasa tidak bahagia’ ketika besar nantinya, hahaha.
Saya melihat anak-anak sekarang, jauh lebih
‘mendinglah’ dibandingkan dengan jaman saya dahulu, karena dahulu lebih
gaduh, lebih banyak anak kecil, dan karena tentunya lebih banyak anak
kecil yang solat tarawih di masjid.
Solat terus “Full Ramadhan”, diakhir yang terlihat tinggal mbah-mbah tua.
Yang saya ingat saya sewaktu kecil biasanya mengikuti solat isya + tarawih dimasjid sebulan
penuh selama Ramadhan, tak ketinggalan subuhnya juga. Dari tahun ke
tahun, sepanjang ingatan memori saya, biasanya minggu pertama selalu
“full jamaah”, bahkan sampai kepelataran masjid. Namun tahu sendiri jika
sudah dipertengahan apalagi akhir, bisa ditebak, masjid menjadi sepi,
dan tinggal mbah-mbah tua yang menjadi peserta setia. Melihat fenomena
tersebut terkadang saya menerka-nerka sendiri jawabannya, pikir saya
mungkin masjid sepi di Ramadhan pertengahan dan akhir karena para jamaah
setelah berbuka kemudian langsung berburu baju lebaran.
Imam- Khatib bak artis dadakan.
Sewaktu SD pasti kita punya guru
agama. Nah, disaat Ramadhan, murid-murid diwajibkan memiliki ‘Buku
Ramadhan’ oleh guru agama di sekolah. Buku tersebut wajib diisi selama
bulan Ramadhan, dan katanya akan dapat nilai agama bagus kalau bukunya
penuh.
Buku tersebut kurang lebih berisi
pelajaran atau ilmu tentang berpuasa, doa-doa, dan yang paling wajib
untuk selalu dibuka adalah presensi tarawih dan solat subuh (saya lupa,
solat lainnya mungkin ada tapi tidak disuruh minta tanda-tangan
Imam-Khatib, namun bisa orangtua)
Sewaktu Khatib Tarawih
menyampaikan Kultum kami para murid harus mendengar karena ada kolom
‘TEMA’ yang harus diisi. Terkadang kami bingung apa sebenenarnya yang
menjadi ‘inti’atau tema kultumnya, karena masih umum sekali. Kami juga
sering ambil aman, yaitu bertanya tema langsung kepada khatib, setelah
tarawih selesai tentunya.
Setelah tarawih selesai, biasanya
kami akan langsung menyerbu imam-khatib untuk meminta tanda tangan,
sebuah bukti bahwa kami benar-benar menjalankannya. Suasana akan sangat
gaduh, karena semuanya ingin duluan, saling pinjam bolpen, bahkan karena
ada kolom ‘NAMA’ kadang kami akan berkenalan langsung dengan mereka,
kadang kami protes jika saat ditanya tema, dan tema tersebut sudah
pernah kami tulis entah mungkin saat disampaikan khatib lainnya.
Dan satu hal lagi yang saya ingat
ada juga teman yg bohong, yang tarawih, tanda tangan, dll, adalah hasil
karangan semata. INSYAALLAH saya anak yang jujur.
Langgar kecil, pinggirannya hanya dari bambu-bambu.
Masjid kecintaaan kami dulu
sebutannya ‘Langgar’ ini hanya semacam sebutan seperti ‘surau’ karena
sederhana. Dulu ‘langgar’ hanya kecil, dan saat Ramadhan tiba sampai
kehalaman ‘langgar, bahkan pinggiran-pinggirannya hanya dari
bambu-bambu. Kalau bambunya roboh bisa jatuh ke selokan.
Dulu juga penerangannya terbatas,
jadi kalau kami anak-anak bercanda, agak lebih leluasa. Kalau hujan,
semuanya lari, kami harus masuk masjid, dan berhimpit-himpitan.
Melorotin mukena bawah.
Selanjutnya adalah cerita khas
anak-anak. Masih sangat ingat dulu waktu kecil saat mukai tarawih,
memakai bawahan mukenanya selalu dilonggarin, jadi jika salat dan
berdiri rakaat kedua, tiba-tiba hanya pakai ‘atasan’ mukena saja. Mukena
yang bawah sudah melorot, bahkan seperti tak dipakai. Entah itu trend
bercanda siapa yang memulainya. Atau kami membuat suara-suara kentut
menggunakan tangan dan mulut, terkadang juga bersin-bersin. Kalau teman
lainnya tertawa atas ulah diri kita, jadi langsung senang karena merasa
‘berhasil’. Ya, namaya juga anak-anak. Dan biasanya kami akan saling
berbisik-bisik dan merasa takut kalau sudah dimarahi ibu-ibu dan
mbah-mbah.
Yang ini samasekali bukan untuk dicoba, karena saat itu masih kecil dan belum tahu apa-apa, saya pun sadar baru setelah dewasa, dan tak habis pikir ketika kecil bersama dengan teman-teman melakukan hal begitu. Jadi ketika kami kecil, biasanya saat salat tarawih langsung ‘kebelet pipis’, nah dengan pedenya kami anak anak perempuan langsung ketempat wudhu. Padahal ditempat wudhu hanya ada satu, dan biasanya digunakan untuk jamaah laki-laki. Karena memang dahulu tak ada wc di masjid sepertinya. Jadi ketika jamaah yang lain mendengar kultum atau sedang solat, maka terkadang kami anak-anak kecil, pipis.
Jalan jalan subuh, lempar-lemparan petasan
Selesai salat subuh kami biasanya pulang menaruh mukena, lalu kemudian berjalan-jalan. Setelah besar sekarang, kalau dipikir-pikir dulu jalannya jauh juga, kalau sekarang disuruh jalan seperti waktu kecil pasti tidak mau, dan juga malu. Dulu jalan-jalan dari kampung-ke kampung, lewat jalan raya, dll, dan akan bertemu ‘rombongan anak lain’ yang juga sedang jalan-jalan, karena sepertinya dulu memang jamannya jalan-jalan subuh. Kami juga membawa uang ataupun petasan yang sudah disiapkan dari rumah, biasanya petasan banting, jadi ketika bertemu rombongan lain, biasanya saling melempar petasan banting, dan hal yang paling menyebalkan adalah saat petasannya tidak mau nyala.
Puasa setengah hari karena belanja baju lebaran.
Dulu kalau jalan-jalan subuh tidak capek, saya agak lupa kapan mulai puasa sehari penuh. Tapi ketika sudah mendekati lebaran biasanya ibu mengajak berbelanja baju lebaran, sendal, dan lainnya. Nah yang lucu ketika kecil adalah setelah berbelanja baju biasanya langsung batal puasanya atau puasa setengah hari disebut puasa ‘bedug’ buka di jam 12. Karena terlalu capek berkeliling mencari baju lebaran
Takbiran, di masjid anak laki laki dan anak perempuan.
Dan kalau sudah malam sebelum salat IDUL FITRI pasti takbiran, takbirannya di “langgar” (masjid kesayangan kami), biasanya sudah banyak ‘logistik’ di sana, sudah disediakan oleh orang-orang dewasa, takbiran dan makan berbagai camilan.
Yang membekas juga sewaktu kecil sering pulang
‘subuhan’ bersama ayah, dan sekarang ketika dewasa berangkat dan pulang
tarawih bersama ibu.
Itu sepenggal cerita Ramadhan saya sewaktu kecil, mungkin akan ada cerita-cerita selanjutnya. Terimakasih ALLOH SWT.
Saya Farida, saya bahagia :)
23 :57
16 Ramadhan 1434 H
(Farida Isfandiari, 26 Juli 2013)
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com