by: http://alrasikh.uii.ac.id/2013/05/25/jangan-berprasangka-buruk/
“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.” (QS al-Hujurât [49]: 12)
“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.” (QS al-Hujurât [49]: 12)
Suatu ketika Fulan ingin
melaksanakan shalat Jum’at. Saat ia memasuki masjid, para jamaah telah
mengisi separoh dari ruangan tersebut. Mereka duduk bersimpuh sembari
menunggu khutbah Jum’at. Selesai berwudhu, sesegera saja Fulan mengisi
shaf yang kosong dan ikut larut dalam kesyahduan suasana sebelum shalat
jumat.
Beberapa saat kemudian,
salah satu dari jamaah yang bertindak sebagai muadzin maju dan berdiri
di samping mimbar. Sebelum mengumandangkan adzan, ia menyuruh para
jamaah untuk maju dan mengisi shaf-shaf yang kosong. Karena shaf yang
ada di depan Fulan telah terisi, maka ia tetap duduk di tempat. Sekitar
terpaut tiga jamaah di sebelah kirinya, ia melihat ada shaf yang kosong.
Tempat tersebut terus saja kosong hingga adzan selesai dikumandangkan.
Fulan memandangi orang yang ada di belakang shaf itu. Orang itu tak
bergeming dari tempatnya. Ia tetap saja diam dan tak mempedulikan shaf
tersebut.
Orang-orang yang ada di
sampingnya mulai risih dengan sikapnya itu. Kengganannya maju mengisi
shaf itu terlihat sangat nyata dan jelas. Padahal orang yang ada di
sebelahnya telah menyuruh ia untuk maju. Seakan angin lalu, ia tak
menghiraukannya. Fulan yang sedari tadi melihatnya juga menjadi risih
dengan kelakuan orang tersebut. Ia kurang suka dengan sikap sombong yang
ditunjukkan oleh orang itu. Fulan yakin bahwa orang-orang yang ada di
sampingnya itu pun juga tak suka dengan sikapnya. Oleh karena itulah,
mereka sengaja tidak mengisi shaf tersebut, berharap sang objek paham
dan mau maju ke depan. Sayangnya, sampai khutbah kedua selesai, shaf
tersebut masih saja kosong. Orang itu tetap saja tak bergeming dari
tempatnya
Tatkala semua orang berdiri
untuk melaksanakan shalat Jum’at, orang itu masih saja duduk dan hanya
lihat sana sini. Shaf di depannya masih saja dibiarkan kosong.
Sepertinya orang-orang ingin membuatnya jera dengan sikap sombongnya
tersebut. Mereka tetap dengan sengaja tidak mengisi shaf itu. Akhirnya
orang itu berdiri dan berjalan ke depan. Semua orang terkejut dengan apa
yang dilihatnya, tidak terkecuali si Fulan. Ia berjalan ke depan dengan
tertatih-tatih. Ternyata orang tersebut lumpuh. Fulan beserta
orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi merasa tak enak hati dengan
sikap curiga yang tadi mereka miliki. Mungkin inilah alasan kenapa orang
tersebut tak segera mengisi shaf tersebut. Ia adalah orang lumpuh.
Ternyata apa yang dipikirkan oleh Fulan dan orang-orang di sekitarnya,
tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Prasangka Buruk, Pemutus Ukhuwah Islamiyah
Cerita di atas merupakan
salah satu dari sekian banyak cerita tentang prasangka buruk. Masih
banyak cerita lain yang beredar di masyarakat. Lalu bagaimanakah Islam
menanggapi hal tersebut?
Prasangka buruk dalam Islam disebut su’ul zhan (سوء الظنّ). Lawannya adalah husnul zhan
(حسن الظنّ) yaitu prasangka baik atau berbaik sangka. Prasangka buruk
merupakan pendapat anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum
mengetahui, menyaksikan, atau menyelidiki sendiri. Hal ini sebenarnya
dapat merusak ukhuwah dan tali silaturrahim, karena dapat
menimbulkan fitnah dan itu dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu,
hal ini sangat ditentang dalam Islam. Bahkan Allah mengumpamakan dosa
fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan. Sesuai dengan firman-Nya
pada surat al-Baqarah [2]: 191 dan al-Baqarah [2]: 217.
Sesungguhnya sifat su’ul zhan dapat memutus ukhuwah Islamiyah
dan tali silaturahmi. Padahal sebagai seorang muslim, sudah
seharusnyalah saling menghormati dan menghargai, baik sesama muslim
maupun kepada manusia secara umum. Kita juga diwajibkan untuk saling
tolong-menolong. Bagaimana mungkin hal itu bisa terwujud, sedangkan di
dalam hati masih ada prasangka buruk. Yang tumbuh justru sebaliknya
yaitu rasa permusuhan dan saling membenci tanpa ada dasar dan alasan
sama sekali.
Bahkan Umar bin Khaththab t
melarang prasangka buruk, meskipun itu hanya terhadap sebuah ucapan yang
keluar dari mulut saudara. Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam al-Zuhd,
dan diriwayatkan juga oleh selainnya, bahwa ‘Umar pernah memberikan
nasihat: “Janganlah sekali-kali engkau menyangka dengan prasangka yang
buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari (mulut) saudaramu,
padahal kalimat tersebut masih bisa engkau bawakan pada (makna) yang
baik.”
Pada dasarnya, konsekuensi dari sebuah
ukhuwah adalah kejujuran, kebaikan dan ketaatan. Sedangkan prasangka
buruk terhadap orang lain berseberangan dengan konsekuensi dari ukhuwwah
tersebut. Ujung-ujungnya yang terjadi nantinya adalah terputusnya
ukhuwah yang telah terbangun sedemikian rupa.
Prasangka Buruk adalah Perkataaan Paling Dusta
Rasûlullâh r bersabda: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْث yang artinya “Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR Muslim). Akdzabul Hadits dapat
pula diartikan sebagai ‘ucapan yang paling dusta’, ‘paling dustanya
perkataan’, ‘berita yang paling dusta’, ‘kedustaan besar’, dan lainnya.
Meskipun dengan redaksi yang berbeda, semua terjemahan tersebut
mengandung esensi dan maksud yang sama, yaitu prasangka itu merupakan
sebuah ucapan atau perkataan yang paling dusta.
Imam al-Nawawi berkata untuk menjelaskan ucapan al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan
yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah
lewat dalam hadits bahwa Allah I memaafkan umat ini dari apa yang
terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja.”
(Al-Minhaj, 16/335)
Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh, bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni atau tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim,
8/28). Pernyataan di atas menjelaskan bahwa dosa dari prasangka buruk
muncul ketika seseorang telah memiliki zhan, kemudian terus bersemayam
di hati hingga akhirnya ia mengucapkannya. Apalagi jika itu tidak
beralasan dan tidak didukung oleh bukti-bukti yang jelas.
Meskipun begitu, penulis tetap mengajak
kepada seluruh pembaca dan kepada penulis sendiri untuk tidak
membangkitkan prasangka itu walaupun hanya di dalam hati. Jangan biarkan
prasangka itu bercongkol dalam hati walaupun hanya sedikit.
Sesungguhnya prasangka itu berawal dari hati, dan kemudian berlanjut
pada ucapan yang tidak-tidak, seperti ngata-ngatain, menggunjing, membicarakan seseorang, gosip, menyebarkan isu, menjelek-jelekkan orang, dan lain sebagainya.
Seperti cerita di awal tulisan ini.
seandainya Fulan tidak tahu kelumpuhan yang dimiliki orang tersebut,
mungkin saja selepas pulang dari shalat Jum’at, ia akan mencari teman
dan kemudian menceritakan kisahnya tersebut. Ia akan menjelek-jelekkan
orang tersebut dan mengatakan bahwa perbuatan orang itu salah. Padahal
ada alasan tertentu yang menyebabkan orang itu melakukannya. Sufyan
rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam atau menyimpannya dan tidak membicarakannya maka ia tidak berdosa.”
Epilog
Setidaknya ada beberapa cara untuk menghilangkan munculnya prasangka buruk. Pertama,
mendahulukan prasangka baik daripada prasangka buruk. Ini dapat
diartikan dengan selalu berpikir positif kepada orang lain. Segala
sesuatu yang kita dengar dan lihat dapat menimbulkan prasangka baik atau
buruk. Tergantung dari cara kita menanggapinya. Oleh karena itu, selalu
dahulukan prasangka baik adalah pilihan utama. Dengan berprasangka
baik, maka kita tidak akan terkotori oleh bisikan-bisikan setan yang
terus membumbui pemikiran kita dengan prasangka buruk.
Kedua, mencari
alasan-alasan positif bagi orang lain saat mereka melakukan kekeliruan.
Semua manusia pasti melakukan kesalahan. Namun tidak mesti kesalahan itu
kita tanggapi dengan cara yang buruk. Bisa jadi kesalahan tersebut
dilakukan karena ketidaksengajaan. Tinggalkan sikap mencari-cari
kesalahan orang lain.
Ketiga, jauhi sikap
suka menggali-gali rahasia dan membicarakan aib orang lain. Sikap ini
sangat berdekatan dengan prasangka buruk. Dari sikap inilah muncul
prasangka buruk yang pada akhirnya menimbulkan fitnah.
Semoga kita semua selalu
dilindungi oleh Allah I dari sifat-sifat tidak terpuji. Semoga kita
dapat menjaga diri kita dari godaan syaitan yang terkutuk. Wallâhu ‘alam bi al-shawwâb.[]
Muhammad Qamaruddin
Jur. Ekonomi Syari’ah ‘10 &
Sekretaris Umum KODISIA
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com