Bahwa
dalam sejarah perkembangannya menurut Nicholson, tasawuf adalah sebagai
bentuk ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawy,
sehingga para aktivisnya melakukan ‘Uzlah dan semata hanya demi Allah
saja hidupnya. Bahkan lebih radikal lagi Tasawuf muncul akibat dari
sinkretisme Kristen, Hindu, Buddha dan Neo-Platonisme serta Hellenisme.
Penelitian
filosofis ini, tentu sangat menjebak, karena fakta-fakta spiritual pada
dasarnya memiliki keutuhan otentik sejak zaman Rasulullah Muhammad Saw,
baik secara tekstual maupun historis.
Dalam
kajian soal Sanad Thariqat, bisa terlihat bagaimana validitas Tasawuf
secara praktis, hingga sampai pada alurnya Tasawuf Rasulullah Saw. Fakta
itulah yang nantinya bisa membuka cakrawala historis, dan kelak juga
berpengaruh munculnya berbagai ordo Thariqat yang kemudian terbagi
menjadi Thariqat Mu’tabarah dan Ghairu Mu’tabarah.
Pandangan
paling monumental tentang Tasawuf justru muncul dari Abul Qasim
Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4 hijriyah.
Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama
Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa definisi Tasawuf atau Sufi
muncul melalui akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan
filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara transparan
Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat sejumlah
wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan Tasawuf tidak bisa
dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya
kembali pada akar Sufi.
Dalam
penyusunan buku Ar-Risalatul Qusyairiyah misalnya, ia menegaskan bahwa
apa yang ditulis dalam risalah tersebut untuk menunjukkan kepada mereka
yang salah paham terhadap Tasawuf, semata karena kebodohannya terhadap
hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk
amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah
friman Allah Swt.:
“Dan
jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglkah orang
yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang
mengotorinya.,” (Q.s. Asy-Syams: 7-8)
”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir nama Tuhannya lalu dia shalat.” (Q.s. Al-A’laa: 14-15)
“Dan
ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang alpa.” (Q.s. Al-A’raaf: 205)
“Dan bertaqwalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Baqarah : 282)
Sabda Nabi Saw:
“Ihsan
adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya,
maka apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.r. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
Tasawuf
pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru
Tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam.
Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:
Muhammad al-Jurairy:
“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”
Al-Junaid al-Baghdadi:
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama denganNya.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah Swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’, dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Kaum
Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga
seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan,
mengairi segala sesuatu.”
“Jika engkau melihat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
“Jika engkau melihat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”
Abu Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda
Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah
mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah
dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi
setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersembunyi.”
Amr bin Utsman Al-Makky:
“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”
Mohammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”
Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”
Ruwaim bin Ahmad:
“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendakiNya.”
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra, dan memilih.”
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra, dan memilih.”
Ma’ruf Al-Karkhi:
“Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.
Hamdun al-Qashshsar:
“Bersahabatlah
dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk
memaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka
perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahkan mereka bukan
menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.”
Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.”
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.”
Sahl bin Abdullah:
“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
Ahmad an-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada.”
Muhammad bin Ali Kattany:
“Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:
“Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engkau diusir.”
“Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan dengannya.”
“Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan dengannya.”
Abu Bakr asy-Syibli:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah Swt. tanpa hasrat.”
“Sufi
terpisah dari manusia, dan bersambung dengan Allah Swt. sebagaimana
difirmankan Allah Swt, kepada Musa, “Dan Aku telah memilihmu untuk
DiriKu.” (Thoha: 41) dan memisahkannya dari yang lain. Kemudian Allah Swt. berfirman kepadanya, “Engkau tak akan bisa melihatKu.”
“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”
“Tasawuf adalah kilat yang menyala, dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”
“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”
Al-Jurairy:
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”
Al-Muzayyin:
“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”
“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”
Askar an-Nakhsyaby:
“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.”
Dzun Nuun Al-Mishry:
“Kaum Sufi adalah mereka yang
mengutamakan Allah Swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh
Allah di atas segala makhluk yang ada.”
Muhammad al-Wasithy:
“Mula-mula
para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan
sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
“Aku
bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu? ”
Lalu ia menjawab, “Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit.”
Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”
Ahmad ibnul Jalla’:
“Kita
tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa
mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki
sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah Swt. tanpa terikat pada
suatu tempat tetapi Allah Swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua
tempat. Karenanya disebut Sufi.”
Abu Ya’qub al-Madzabily:
“Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
Abul Hasan as-Sirwany:
“Sufi itu yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang meyertainya.”
Abu Ali Ad-Daqqaq:
“Yang
terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, “Inilah jalan yang
tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah Swt,
untuk menyapu kotoran binatang.”
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”
Abu Sahl ash-Sha’luki:
“Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”
Dari
seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan
bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali
tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar
kata tersebut gagal membuktikannya.
Alhasil,
dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan
antara hamba dengan Allah Swt, dan hubungan antara hamba dengan
sesamanya. Dengan kata lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba
kepada Allah dan RasulNya, pengakuan diri akan haknya sebagai hamba dan
haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.
Terminologi Tasawuf
Di
dalam dunia Tasawuf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat
populer, dan menjadi terminologi tersendiri dalam disiplin pengetahuan.
Dari istilah-istilah tersebut sebenarnya merupakan sarana untuk
memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk memahami lebih dalam.
Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan
Hadist Nabi. Karena dibutuhkan sejumlah ensiklopedia Tasawuf untuk
memahami sejumlah terminologinya, sebagaimana di bawah ini, yaitu:
Ma’rifatullah,
Al-Waqt, Maqam, Haal, Qabdh dan Basth, Haibah dan Uns, Tawajud – Wajd –
Wujud, Jam’ dan Farq, Fana’ dan Baqa’, Ghaibah dan Hudhur, Shahw dan
Sukr, Dzauq dan Syurb, Mahw dan Itsbat, Sitr dan Tajalli, Muhadharah,
Mukasyafah dan Musyahadah, Lawaih, Lawami’ dan Thawali’, Buwadah dan
Hujum, Talwin dan Tamkin, Qurb dan Bu’d, Syari’at dan Hakikat, Nafas,
Al-Khawathir, Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, Warid, Syahid,
Nafsu, Ruh, Sirr, dan yang lainnya.
Kemudian istilah-istilah yang masuk kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasawuf, antara lain:
Taubat,
Mujahadah, Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara’, Zuhud, Diam, Khauf, Raja’,
Huzn, Lapar dan Meninggalkan Syahwat, Khusyu’ dan Tawadhu’, Jihadun
Nafs, Dengki, Pergunjingan, Qana’ah, Tawakkal, Syukur, Yakin, Sabar,
Muraqabah, Ridha, Ubudiyah, Istiqamah, Ikhlas, Kejujuran, Malu,
Kebebasan, Dzikir, Futuwwah, Firasat, Akhlaq, Kedermawaan, Ghirah,
Kewalian, Doa, Kefakiran, Tasawuf, Adab, Persahabatan, Tauhid, Keluar
dari Dunia, Cinta, Rindu, Mursyid, Sama’, Murid, Murad, Karomah, Mimpi,
Thariqat, Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan seterusnya.
Seluruh
istilah tersebut biasanya menjadi tema-tema dalam kitab-kitab Tasawuf,
karena perilaku para Sufi tidak lepas dari substansi dibalik
istilah-sitilah itu semua, dan nantinya di balik istilah tersebut selain
bermuatan substansi, juga mengandung “rambu-rambu” jalan ruhani itu
sendiri.
(KHM Luqman Hakim)
Sumber : Sufinews.com
artikel by: http://sufimuda.net/2013/05/17/menguak-kembali-definisi-tasawuf/
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com