Agama
adalah sarana bagi manusia untuk mencapai sebuah tujuan yaitu
makrifatullah atau mengenal Allah. Ketika Makrifat kepada Allah dicapai
maka manusia akan lebih sempurna melakukan pengabdian kepada Allah lewat
ibadah dan amal-amal kebaikan yang diperintahkan Allah di dalam agama.
Dengan agama manusia akan lebih memahami hakikat hidup dan ketika
makrifat dicapai maka tindakan-tindakannya secara otomatis akan selaras
dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Tuhan dalam agama. Sayangnya
orang terlalu fokus kepada Agama sebagai sarana atau wadah dan melupakan
tujuan dari agama itu sendiri yaitu Tuhan.
Untuk
mencapai tujuan beragama yaitu mencapai kehadirat-Nya, maka didalam
agama ada tingkatan yang harus ditempuh oleh manusia. Dimulai dengan
tahap pertama yaitu pengenalan terhadap hukum-hukum dan aturan-aturan
yang tertulis dalam kitab suci. Apa yang tertulis di dalam kitab suci
menjadi pedoman dasar bagi manusia untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh Allah swt. Disana terdapat hukum-hukum yang harus
dipatuhi beserta penjelasan akibat bagi yang melanggar hukum tersebut
dan penghargaan atau pahala bagi yang melaksanakan hukum-hukum itu. Pada
tahap ini agama menjadi begitu kaku dan tidak hidup sama sekali, tahap
pertama ini dikenal dengan Syariat.
Syariat
tersebut akan menjadi benda mati, hukum tertulis di atas kertas, akan
tetap kaku tanpa ada kehidupan didalamnya kalau tidak ada metodologi
pelaksanaan teknisnya. Syariat memerintahkan manusia untuk untuk ibadah,
tatacara ibadah tapi disana tidak dijelaskan bagaimana cara
menghidupkan ibadah itu. Syariat dalam hal ini Rasulullah mengatakan
bahwa kebanyakan orang berpuasa hanya mendapat lapar dan dahaga, tidak
akan menemukan hakikat dari puasa. Orang mengerti apa yang diucapkan
nabi tentang puasa yang hanya mendapat lapar dan dahaga akan tetapi
sekali lagi syariat tidak bisa menyelesaikan problem ini, tidak ada
solusi bagaimana agar puasa tidak sekedar mendapat haus dan lapar saja.
Untuk pelaksanaan teknis dari ibadah diperlukan sebuah metodologi yang
tepat yaitu thareqatullah.
Di
dalam Thareqatullah sebagai jenjang kedua dalam agama akan didapat
rahasia pelaksanaan secara teknis segala yang berhubungan dengan ibadah.
Di tarekat juga akan diajarkan bagaimana cara kita berhubungan dengan
Allah secara benar baik dalam ibadah maupun dalam keseharian. Di dalam
tarekat kita mengenal seorang Master Ahli yang akan menjelaskan secara
detail bagaimana cara melaksanakan apa yang diperintahkan Allah di dalam
kitab suci. Di Tarekat juga seorang akan diajarkan bagaimana cara
membersihkan hati, taubat dengan benar sebagai langkah awal menuju
kehadirat Allah SWT.
Ketika
metodologi itu dilaksanakan dengan baik dan benar barulah membuahkan
hasil yaitu menyelami dunia hakikat dan mencapai tahap makrifat yaitu
mengenal Tuhan Pemilik Bumi dan Langit. Jadi makrifat itu bukan cara
tapi hasil dari melaksanakan aturan-aturan agama dengan menggunakan
metodologi yang tepat.
Dalam
menempuh jalan kepada Allah tidak ada cara instan, semua harus melewati
proses, baik proses aturan maupun waktu. Untuk urusan sederhanapun
seperti memasak nasi walaupun rukun dan syarat telah dipenuhi harus
dengan sabar menunggu sampai beras yang dimasak menjadi nasi. Untuk
sempurna menjadi nasi diperlukan waktu 30 menit, apa yang terjadi kalau
kita paksa dalam waktu 5 menit? Maka beras tidak akan sempurna menjadi
nasi, beras akan tetap menjadi beras.
Manusia
memiliki sifat tidak sabar, ingin memperoleh hasil yang cepat sehingga
ketika ada tawaran bersifat instan langsung diterima tanpa berfikir
lebih dalam. Kalau ada orang yang memberikan tawaran bisa mencapai
makrifat kepada anda dalam waktu cepat maka wajib anda curigai. Kenapa?
Karena makrifat itu urusan Allah, manusia hanya bisa melaksanakan rukun
syaratnya sedangkan hasil sepenuhnya hak Allah, tidak ada manusia yang
bisa memberikan jaminan. Seorang Guru Mursyid yang berkualitas yang
Kamil Mukamil dan mampu mengantarkan rohani murid kepada tahap makrifat
biasanya tidak terlalu bernafsu untuk menerima murid apalagi memberikan
iming-iming gaib berupa makrifat dan lain-lain.
bagian 2:
Makrifat
itu bukan benda yang bisa diberikan dengan begitu mudah apalagi bisa
dijanjikan dengan sekehendak hati. Makrifat akan tercapai ketika hamba
terbuka hijabnya sehingga mampu memandang kebesaran Allah SWT. Hijab
pada diri manusia tidak lain adalah hawa nafsunya sendiri termasuk hawa
nafsu untuk mencapai tahap Makrifat. Lalu bagaimana mungkin seorang
hamba bisa mengendalikan hawa nafsunya tanpa melalui mujahadah,
perjuangan dengan sungguh-sungguh.
Kaum
sufi menyebut mujahadah sebagai perang tanpa henti atau perang terus
menerus karena selama manusia hidup dia akan terus berjuang melawan
dirinya, melawan hawa nafsu sampai dia mampu menundukkannya.
Hijab
berikutnya yang menyebabkan manusia tidak mampu mencapai makrifat
adalah hijab ilmu. Pengetahuan-pengetahuan agama yang begitu menumpuk
tanpa sadar menjadi hijab dengan Allah Karena dia tidak mempunyai
keinginan lagi untuk mencari dan merasa sudah begitu banyak ilmu.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tanpa
makrifat kepada Allah maka tidak ada yang bertambah dalam ilmunya itu
kecuali bertambah jauh dari Allah”.
Pengetahuan
akan makrifat sendiri tanpa disadari merupakan hijab kepada Allah
karena makrifat tidak bisa dibahas sama sekali. Makrifat adalah rasa dan
hanya bisa diketahui oleh orang yang telah merasakan. Orang yang belum
merasakan Makrifat kemudian membahas makrifat ibarat orang buta
bercerita tentang gajah, sesuatu yang tidak pernah dilihat langsung.
Karena
Makrifat bukan merupakan ilmu maka syarat untuk mencapai makrifat
bukanlah kecerdasan. Kecerdasan fikiran tidak membantu seseorang untuk
mencapai tahap makrifat bahkan dalam beberapa hal kecerdasan seringkali
menjadi penghambat. Allah berfirman kepada Musa, “Tinggalkan dirimu dan datanglah kepada-Ku” meng-isyaratkan bahwa jika engkau ingin menemui Allah maka tinggalkan segala atribut yang kau miliki termasuk kecerdasanmu.
Seirama dengan firman Allah kepada Musa, seorang guru sufi mengatakan kepada muridnya yang baru belajar, “Tinggalkan akal fikiran mu dipagar sana baru engkau akan memahami hakikat ilmu ini (Tasawuf)”. Kemudian Beliau melanjutkan, “Amalkan
zikir yang aku ajarkan selama 40 hari, nanti baru engkau riset, teliti
dan telaah terhadap apa yang telah engkau amalkan,”.
Rasulullah SAW berkata, “Matikan dirimu sebelum engkau mati”.
Syariat memaknai mati sebagai nafas berhenti, tidak ada lagi tanda
kehidupan sama sekali. Tasawuf memaknai mati yang dimaksud oleh Nabi
adalah mematikan akal sesaaat agar ruhani bisa bebas terbang menuju alam
Rabbani. Ketika akal masih diandalkan maka kita tetap berada pada
dimensi alam dunia, tidak akan pernah bisa terbang menuju alam Rabbani.
Harus
diingat bahwa Allah sangat melarang manusia untuk memikirkan Dzat
Tuhan, artinya kemampuan akal tidak bisa diandalkan sama sekali apabila
manusia ingin berjumpa dengan Tuhannya. Tulisan ini bisa dianggap salah
oleh orang-orang yang tidak memahami sepenuhnya tentang tasawuf,
seolah-olah pengamal tasawuf itu orang yang telah mati akalnya. Pengamal
Tasawuf mati akalnya ketika dia berhadapan dengan Dzat Allah dan ketika
dia berhadapan dengan selain Allah, dengan alam semesta, dengan
lingkungan maka akal nya menjadi sangat cerdas karena akalnya telah ikut
disinari dengan cahaya Allah.
bagian 3:
Makrifat
bukan merupakan ilmu tapi sebuah anugerah, sebuah pencapaian hasil dari
mujahadah hamba sehingga Allah berkenan memperlihatkan keindahan
wajah-Nya kepada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh karena itu makrifat
tidak bisa diperoleh dengan hasil diskusi apalagi perdebatan. Makrifat
tidak akan pernah bisa diperoleh dengan membaca buku dan meneliti
kitab-kitab tasawuf bahkan semakin banyak akan semakin sulit untuk
mencapainya.
Makrifat
hanya bisa diperoleh dengan bimbingan Guru yang telah mencapai tahap
itu. Seorang Guru yang telah berulang kali menempuh perjalanan kesana
sehingga kemudian dia bisa menjadi pemandu para murid-muridnya sehingga
bisa selamat sampai ke tujuan. Seorang Guru yang telah berulang kali
menempuh perjalanan itu tentu saja akan paham dimana letaknya lembah dan
bukit, sangat paham dimana jalan licin dan berbahaya sehingga seluruh
khalifah yang dibawa nya akan selamat sampai ke tujuan.
Tanpa
bimbingan seorang yang ahli dan sudah pernah kesana maka bisa
dipastikan perjalanan yang ditempuh akan tersesat dan tidak mencapai
tujuan. Ada sebuah syair terkenal di kalangan Sufi, “Kaum Sufi adalah orang yang sudah sampai kehadirat-Nya kemudian dia kembali untuk menyampaikan berita gembira”.
Pengetahuan Agama pada tataran hapalan bisa menghambat seseorang mencapai makrifat pernah disampaikan oleh Imam Al-Ghazali “Kitab
ibarat tongkat untuk membantu berjalan, ketika sudah bisa berjalan maka
tongkat itu tidak diperlukan lagi bahkan bisa menghambat perjalanannya”.
Kemudian Al-Ghazali menyindir orang-orang yang terlalu kuat memegang
kitab seperti memegang tongkat sehingga seumur hidup, dia tidak pernah
bisa berjalan sama sekali, lumpuh seumur hidup.
Kajian-kajian
tentang makrifat pun tidak ubahnya seperti seorang yang memegang
tongkat, semakin dikaji ilmu makrifat semakin jauh dirinya dari makrifat
itu sendiri. Ilmu Tarekat sendiri sebagai sarana atau langkah dalam
menggapai tarekat bukan berisi kajian-kajian tapi amalan-amalan. Inti
dari Tarekat adalah mengamalkan dzkir secara terus menerus kemudian
melanjutkan dengan Suluk/I’tikaf, dari sana nanti Allah langsung
memberikan pemahaman kepada hati hamba-Nya, melimpahkan cahaya-Nya
sehingga mata bathin bisa menembus alam tanpa batas, berjumpa dengan
Allah SWT.
Sebagai
ilustrasi untuk mudah dipahami, Tarekat ibarat seekor kambing yang
masih kecil, dzikir adalah makanannya sedangkan pertumbuhan mencapai
tahap dewasa (kambing menjadi besar) adalah makrifat. Yang dilakukan
oleh seorang penggembala adalah memberikan makanan secara teratur kepada
kambingnya sehingga seiring berjalannya waktu kambingnya otomatis akan
menjadi besar. Penggembala tidak boleh memikirkan kapan kambing besar,
bagaimana bentuk kambing setelah besar, berapa ukurannya karena kalau
itu yang difikirkan maka dia akan lupa memberikan makan untuk kambingnya
sehingga kambig tersebut tidak tumbuh dengan normal bahkan mati.
Sama
halnya dengan belajar tarekat, yang menjadi fokus seorang murid bukan
kepada makrifat tapi kepada amalan-amalan dzikir yang merupakan makanan
bagi rohaninya untuk tumbuh besar sehingga mampu berjalan ke tempat
tujuan. Seorang Guru sufi memberikan nasehat kepada muridnya, “Jangan kau fikirkan kapan kambing mu besar, beri saja dia makan dengan teratur maka otomatis akan menjadi besar”.
Bagi
murid yang belum memahami dan merasakan makrifat, masih terasa gelap,
teruskan saja dzikr. Ketika rohani murid tersambung dengan rohani Guru
maka secara otomatis rohaninya akan sampai kehadirat Allah walaupun dia
belum menyadarinya. Orang yang baru mulai berguru ibarat bayi, dia sudah
sampai ke kota yang dituju tapi dia belum bisa melihat, belum bisa
mendengar dan merasakan keindahan kota. Seiringin berjalannya waktu,
pasti dia akan bisa memandang kota yang begitu indah, kota yang
sebenarnya sudah dilewati berulang kali semasa dia masih bayi yaitu
ketika dia digendong dengan mesra dan penuh kasih oleh Gurunya.
Sahabat sekalian, teruskan saja dzikir, seluruh Guru Sufi memberikan nasehat yang sama, “Perbanyak Dzikrullah, Perbanyak mengingat Allah”.
Jangan pedulikan dengan makrifat apalagi sekedar kaji karena itu akan
melalaikan anda dari tugas pokok anda yaitu melaksanakan amanah Guru,
memperbanyak dzikir, memberikan makanan kepada rohani agar dia tumbuh.
Teruslah dzikir dan satu hal yang harus diingat, semua itu membutuhkan
waktu seperti bunga yang akan mekar dan seperti kambing yang akan tumbuh
menuju dewasa.
Ketika
ada orang menggoda anda dengan pertanyaan-pertanyaan gaib maka
ucapkanlah, “Saya tidak sempat menjawab pertanyaan itu karena saya
sedang menyibukkan diri dengan mengingat Allah”. Dan ketika ada orang
bertanya apakah anda sudah mencapai tahap makrifat maka jawablah dengan
santai, “Sabar, Tunggu Waktunya Tiba!”.
( selesai )
sumber: http://sufimuda.net/
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com