Islam itu adil bukan persamaan...
Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
Disunting:Husna Ummu Jauharah at-Taqqiyah
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى
بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ
حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka).” (An-Nisa`: 34)
Penjelasan Mufradat Ayat
قَوَّامُونَ
Qawwamun adalah jamak dari qawwam, yang semakna dengan kata qayyim. Artinya adalah pemimpin, pembesar, sebagai hakim dan pendidik, yang bertanggung jawab atas pengaturan sesuatu. Namun kata qawwam memiliki arti yang lebih dari qayyim. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Baghawi)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam menjelaskan ayat ini mengatakan: “Qawwam artinya pemimpin, di mana wajib atas seorang istri taat kepadanya sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan baginya untuk taat kepada suami, serta menaatinya dengan berbuat baik kepada keluarganya dan menjaga hartanya.” (Tafsir Ath-Thabari)
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”, meliputi seluruh jenis nafkah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
wajibkan atas kaum laki-laki untuk kaum perempuan di dalam Al-Kitab dan
As-Sunnah. Baik berupa mahar pernikahan, berbagai macam nafkah dalam
keluarga, dan beban-beban lainnya.
قَانِتَاتٌ
Maknanya adalah wanita-wanita yang taat kepada suaminya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan yang lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir)
حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ
“Memelihara diri ketika suaminya tidak ada”, yaitu para wanita yang senantiasa memelihara suaminya, dengan cara memelihara kehormatan dirinya dan menjaga harta suaminya.
بِمَا حَفِظَ اللهُ
Yang terpelihara adalah yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Penjelasan Ayat
Al-Allamah As-Sa’di rahimahullah berkata:
“(Allah) Subhanahu wa Ta’ala
mengabarkan bahwa kaum lelaki itu pemimpin atas kaum wanita, yaitu
menjadi penegak atas mereka dalam memerintahkan mereka untuk
melaksanakan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar memelihara
kewajiban-kewajiban dan mencegah mereka dari berbagai kerusakan. Maka
kaum lelaki wajib memerintahkan hal tersebut kepada kaum wanita dan
menjadi penegak atas mereka. Juga dalam hal memberi nafkah, pakaian, dan
tempat tinggal kepada mereka.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyebutkan sebab yang mengharuskan kaum lelaki mengurusi para wanita.
Dia berfirman “dengan apa yang telah Allah utamakan sebagian mereka atas
sebagian yang lain dan dengan apa yang mereka beri nafkah dari
harta-harta mereka”, yaitu dengan sebab keutamaan kaum lelaki atas kaum
wanita serta diberikannya kelebihan atas mereka.
Diutamakannya
kaum lelaki di atas kaum wanita dari berbagai sisi: dari sisi memegang
kepemimpinan dalam negara hanya dikhususkan bagi kaum lelaki; kenabian,
kerasulan; dikhususkannya mereka dalam sekian banyak dari perkara ibadah
seperti berjihad, melaksanakan (shalat) hari raya, dan Jum’at. Juga
dari sisi yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan kepada
mereka berupa akal, ketenangan, kesabaran, kekuatan yang mana para
wanita tidak memiliki yang seperti itu. Demikian pula mereka dikhususkan
dalam memberi nafkah kepada istri-istri mereka. Bahkan kebanyakan
pemberian nafkah tersebut khusus menjadi tanggung jawab kaum laki-laki.
Inilah yang membedakan mereka dari kaum wanita. Dan mungkin ini rahasia
dari firman-Nya “dengan apa yang mereka memberi nafkah …” dan obyeknya tidak disebutkan, untuk menunjukkan keumuman nafkah.
Dari
semua ini, diketahuilah bahwa seorang laki-laki berkedudukan seperti
pemimpin, tuan di hadapan istrinya. Dan istri di hadapan suami bagaikan
tawanan dan pelayannya. Maka tugas seorang lelaki adalah menegakkan
tanggung jawab pemeliharaan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya. Sedangkan tugas wanita adalah taat kepada Rabb-nya kemudian taat kepada suaminya.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wanita-wanita yang shalihah dan yang tunduk”, yaitu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“memelihara diri di saat suaminya tidak ada”, yaitu senantiasa taat
kepada suaminya walaupun suami tidak ada di sisinya, memelihara suaminya
dengan menjaga diri dan hartanya. Hal itu merupakan bentuk pemeliharaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap mereka. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah
yang memberi taufiq kepada mereka (untuk melakukannya), bukan dari jiwa
mereka sendiri. Sebab jiwa tersebut selalu memerintahkan kepada
keburukan. Namun siapa yang bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kecukupan padanya dengan apa yang dia butuhkan dari perkara agama dan dunianya.” (Tafsir Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Islam adalah Agama yang Mengajak kepada Keadilan, bukan Persamaan dalam Segala Hal
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum lelaki memiliki perbezaan dengan kaum wanita. Juga, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelebihan kepada lelaki dalam hal kepemimpinan yang tidak dimiliki oleh kaum wanita. Di dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al-Baqarah: 228)
Oleh
karena itu, Islam memerintahkan untuk memberikan hak kepada
masing-masing yang memiliki hak. Inilah yang disebut keadilan. Adil
bukanlah persamaan hak dalam segala hal. Namun adil adalah menempatkan
setiap manusia pada tempat yang selayaknya dan semestinya, serta
menempatkan segala sesuatu pada posisinya yang telah diatur dalam
syariat-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada keadilan dan bukan kepada persamaan antara sesama manusia dalam segala hal. Firman-Nya:
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An-Nisa`: 58)
Dan firman-Nya:
إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.” (An-Nahl: 90)
وَلاَ
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ
أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
“Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Al-Ma`idah: 8)
Dan
ayat-ayat yang berkenaan tentang masalah ini sangat banyak sekali.
Sedangkan persamaan antara sesama manusia bukanlah ajaran Islam. Bahkan
Islam senantiasa menyebutkan perbezaan antara satu dengan yang lainnya
sesuai standard syariah dan kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala membezakan antara yang muslim dan yang kafir, yang taat dan yang berbuat kemaksiatan, dalam firman-Nya:
لا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 20)
Dan firman-Nya:
أَمْ
نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ
فِي اْلأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
“Patutkah
Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?
Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan
orang-orang yang berbuat maksiat?” (Shad: 28)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga membezakan antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu, dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو اْلأَلْبَابُ
“Katakanlah:
‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.” (Az-Zumar: 9)
Dan
masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang adanya perbezaan
kedudukan manusia dan tidak menyamakan antara mereka. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengingkari Dzulkhuwaishirah yang menginginkan agar pembagian harta
rampasan perang dilakukan secara merata serta menganggap bahwa hal
tersebut termasuk keadilan.
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,, beliau berkata: “Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang membahagi harta berupa emas, maka datanglah Abdullah bin
Dzulkhuwaishirah At-Tamimi lalu berkata: ‘Berbuat adil-lah engkau, wahai
Rasulullah.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: ‘Celaka engkau, siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak
berbuat adil?’ Umar lalu berkata: ‘Izinkan saya untuk memenggal
lehernya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Biarkan
dia, karena sesungguhnya dia memiliki pengikut, yang salah seorang
kalian menganggap rendah shalatnya dibandingkan shalat mereka, puasanya
dibandingkan puasa mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana
keluarnya anak panah dari sasarannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6534)
Dalam riwayat Muslim rahimahullah disebutkan bahawa tatkala ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu datang dari negeri Yaman membawa emas yang masih bercampur tanah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaginya untuk empat orang: ‘Uyainah bin Hisn, Al-Aqra’ bin Habis,
Zaid Al-Khail, yang keempat ‘Alqamah bin Ulatsah atau ‘Amir bin
Ath-Thufail. Lalu datanglah Dzulkhuwaishirah tersebut…. (HR. Muslim
no.1064)
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membahagi rata harta yang beliau dapatkan tersebut. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan kepada orang yang beliau pandang lebih mendatangkan
kemaslahatan untuk diri orang tersebut. Di dalam hadits yang lain beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Sa’d,
sesungguhnya aku memberikan (harta) kepada seseorang, padahal yang lain
lebih aku cintai daripada orang yang kuberi tersebut, karena aku
khawatir orang tersebut dilemparkan Allah ke dalam neraka.” (HR.Al-Bukhari no. 27, Muslim no. 150)
Demikian pula halnya antara kaum laki-laki dan perempuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan manusia untuk berbuat adil kepada mereka dengan
memberikan hak kepada yang berhak menerimanya, sesuai ketentuan yang
telah ditetapkan dalam syariat. Sebab, menyamakan antara lelaki dan
wanita dalam segala sesuatu adalah suatu hal yang bertentangan dengan
fitrah dan syariat. Bagaimana tidak, dari sisi penciptaan saja mereka
sudah berbeza. Di antaranya:
Wanita memiliki fizik dan jenis kelamin yang berbeza dengan kaum lelaki
Wanita lebih lemah dibanding kaum lelaki
Wanita melahirkan, tidak demikian halnya kaum lelaki
Wanita mengalami masa haid, kaum lelaki tidak
Dan masih banyak lagi perbezaan di antara keduanya.
Maka dari itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang Maha mengetahui kemaslahatan hamba-Nya, menempatkan mereka pada
posisinya masing-masing. Di antara perbezaan antara keduanya dari sisi
syariat adalah:
Wanita diperintahkan berhijab dengan menutupi seluruh tubuhnya, tidak demikian halnya kaum lelaki.
Wanita dianjurkan tinggal di rumahnya dan tidak keluar dengan ber-tabarruj (bersolek), tidak demikian halnya kaum lelaki.
Lelaki menjadi pemimpin rumah tangga dan melindungi para wanita yang lemah.
Lelaki mendapatkan warisan dua kali lipat dibanding wanita.
Dan perbezaan lainnya yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang lebih mengetahui kemaslahatan para hamba-Nya tersebut.
Lelaki adalah Pemimpin dalam Bernegara dan Berumah tangga
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang mulia ini menjelaskan bahawa seorang lelaki adalah pemimpin bagi
kaum wanita, dan seorang wanita adalah berada di bawah perlindungan dan
pemeliharaan lelaki. Oleh karena itu, seorang wanita tidak boleh diberi
tanggung jawab sebagai pemimpin yang membawahi kaum lelaki, karena hal
tersebut bertentangan dengan keadaan penciptaan wanita itu sendiri yang
penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Hal ini dapat mengantarkan kepada
kerusakan dan kehancuran.
Di dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullah dari hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa penduduk Persia mengangkat seorang anak wanita Kisra1 (gelar raja Persia) sebagai pemimpin yang memimpin mereka, maka beliau bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi, bab Kitabun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaishar, 7/4425 bersama Al-Fath)
Al-Hafizh rahimahullah
setelah menyebutkan hadits ini berkata: “Al-Khaththabi berkata: Hadits
ini menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh memegang kepemimpinan
dan qadha` (menjadi hakim).” (Fathul Bari, 7/735)
Dan
tidak ada perselisihan di kalangan para ulama tentang tidak
diperbolehkannya kaum wanita menjadi pemimpin negara. (lihat penukilan
kesepakatan tersebut dalam Adhwa`ul Bayan, Asy-Syinqithi rahimahullah, 1/75; Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya menukil dari Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul ‘Arabi rahimahullah, 13/183, Ahkamul Qur`an, Ibnul ‘Arabi, 3/482)
Demikian
pula dalam hal berumah tangga. Seorang suami adalah pemimpin dan
penanggung jawab atas rumah tangganya. Di dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ
رَاعٍ فَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاس
رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلىَ أَهْلِ بَيْتِهِ
وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالْـمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ
عَلىَ مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap
kalian adalah pemelihara, maka dia bertanggung jawab atas apa yang dia
pelihara. Seorang penguasa adalah pemelihara atas rakyatnya dan dia
bertanggung jawab atas mereka. Seorang lelaki adalah pemelihara atas
keluarganya dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang wanita adalah
pemelihara atas rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan dia
bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemelihara atas
harta tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah, setiap
kalian adalah pemelihara dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa
yang dipeliharanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Akan
tetapi, tatkala kaum lelaki memiliki kelebihan dari satu sisi, bukan
berarti kedudukan wanita di dalam Islam tersebut menjadi rendah. Sebab,
yang menjadi standar kemuliaan seseorang di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketakwaan. Apabila seorang wanita senantiasa taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
taat kepada suami, memelihara kehormatan diri, menjaga harta suami di
saat ia ditinggal, maka dia akan mendapatkan jaminan surga yang tidak
didapatkan oleh kebanyakan kaum lelaki yang tidak memiliki ketakwaan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
صَلَّتِ الْـمَرْأَةُ خَـمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَنَتْ
فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَـهَا: ادْخُلِي الْـجَنَّةَ
مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika
seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan
Ramadhan, memelihara kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka
dikatakan kepadanya: ‘Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana
saja yang engkau kehendaki’.” (HR. Ibnu Hibban dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’ no. 660)
1 Wanita ini bernama Buuraan bintu Syairawaih bin Kisra, disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari menukil dari Ibnu Qutaibah. (Fathul Bari, 7/735)
Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=614
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com