Sar, telah kutulis namamu pada sebagian
pena di ujung perjalanan kita nanti. Membilang dan membincang lebih
banyak waktu pada setiap rindu yang menunggumu di batas-batas harapan
dan kita yang menjelma bagai sebuah jurang besar. Aku masih menunggu
karya abadimu itu. Membacanya di sela-sela malam ketika isi kepalaku
begitu luntur karena sebagian sabda dan cintamu pada lelaki paripurna
yang lahir di sebuah gurun tandus bernama Makkah. Aku mulai menemukanmu
pada sederet kisah itu. Melukis batas-batas keberanianmu ketika pada
akhirnya kita dicandu rindu untuk kembali berjumpa dengan sosok
abadinya.
Sar, aku tidak sedang bercanda atau pun
mengerjaimu. Aku masih ingin membaca sejumlah risalah cintamu yang
begitu agung pada lelaki dari padang pasir yang kau sapa HIMADA itu. Aku
masih ingin menulis sejumlah rinduku pada setiap kabar yang begitu
indah kau gambarkan pada sejumlah riwayat tentang hidup, cinta dan
segala kebaikan lelaki gurun pasir itu. Aku makin dicandu cinta padanya
lewat sejumlah cerita-cerita sederhanamu yang kau tulis dengan begitu
rapi di sepanjang perjalananmu kini.
Sar, bila aku ingin menggenapkannya pada
ujung semesta. Aku ingin segera kembali, membaca beragam kisah dan
riwayatmu pada buku-buku tua yang lebih dulu mengabadikan dirimu. Aku
tahu, engkau adalah lelaki yang mengejakan huijan di setiap perjalanan
ini. Menjadi semacam teduh manakala lupa dan kita telah berpulang pada
masing-masing tandanya. Aku ingin menjelmakan waktu menjadi lebih nyata,
lalu kita kembali membaca semua riwayat tentang perjalanan hidup,
sedih, bahagia dan segala benar yang dititipkan pada pundak rapuhnya.
Sar, sampai detik ini aku masih membaca
kagum itu. Melihat Himada dan Kashva kau abadikan begitu nyata di ujung
buku-bukumu. Meski kutahu, seribu lembar lebih telah kau habiskan untuk
mengukir kisah paling nyata dari dua pengembara itu. Aku masih membaca
risalah abadi itu. Membuka setiap detak dan jejak ketika pada akhirnya
takdir kita adalah saling bertemu. Meski entah kapan, namun disinilah
kisah akan bermula dari awal.
Sar, aku ingin mengabadikan namamu.
Membacakan lebih banyak dongeng tentang Himada yang kau tulis di ujung
bukumu. Meriwayatkannya dan mengajarkan setiap kebaikan yang hadir dari
rasa seorang lelaki gurun pasir yang menurut catatan sejarah lahir di
malam paling indah dua belas Rabiul Awwal. Aku masih menemukan kebaikan
itu, kebaikan yang sampai saat ini aku rasakan begitu dalam, sederhana
dan takkan pernah tertolak.
Sar, telah kuabadikan semua risalah cinta
itu. Meski aku terlambat membacanya, aku masih merasakan semua detak
bahagia itu. Kebaikan itu begitu nyata, meski tak terlihat dan terhalang
tembok zaman, ruang dan waktu yang berjarak 14 abad lamanya. Namun, aku
masih melihatnya, merasakan segala denyar cintanya, serta ikut
merasakan sedih, bahagia, gemetar serta sejumlah rasa yang pernah dirasa
olehnya semenjak risalah bernama Islam ia terima di gua Hira lewat
lantunan Iqra dari Jibril sang malaikat.
Sar, aku menemukan cinta itu. Membacanya
pada setiap goresan penamu yang kelak diterjemahkan orang sebagai bagian
dari sepanjang perjalananmu. Aku mencoba mengenalnya. Membaca
berbaris-baris kalimat yang kau tuliskan indah di ujung perjalanan kita
nantinya. Ada yang harus kuingat di sepanjang perjalanan kita nanti.
Membaca lebih banyak janji yang disabdakannya pada kitab-kitab abadi
yang telah terbukti kebenarannya jauh setelah ia pergi meninggalkan kita
semua.
Sar, disini aku masih merasakan getar
kebaikan itu. Aku masih merasakan hadirnya lelaki itu. Lelaki yang
kelahirannya mampu membuat api-api yang disembah orang Majusi padam.
Gereja-gereja di tanah Yaman rubuh seketika, atau tentang
berhala-berhala yang dipuja dan disembah pembesar Arab porak-poranda
ketika tangis itu hadir di sebuah rumah mungil bernama Aminah. Aku masih
menemukan cinta itu suci, tak terbantahkan, tak terkatakan dan tak
tertolak. Aku masih merindunya, ingin mencoba menjadi seperti yang
disabdakan pada setiap janjinya. Dan aku ingin menjadi seperti yang
diucapkan kala malaikat pencabut segala kenikmatan dunia dan
menggantinya dengan kematian hadir di sepanjang perjalanan. Aku ingin
ikut bersamanya. Menjadi ummati, ummati, ummati yang dipanggilnya ketika pada akhirnya tugasnya sebagai seorang nabi usai.
Sar, aku ingin kita bershalawat bersama
kepadanya. Membaca dan menjadi ummat yang dirindunya. Dan aku ingin kita
dengan karya kita menjadi semacam maslahat dan manfaat untuk ummat yang
telah hadir di sepanjang perjalanannya.
Rindu kami padamu, Ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu, Ya Rasul
Serasa dikau disini
Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suarga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja
-Puisi Taufiq Ismail yang dimusikalisasi oleh Bimbo dengan judul Rindu Kami Padamu-
http://huruftakselesai.wordpress.com/2013/04/19/izinkan-aku-merindukanmu-sekali-ini-saja/
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com