KUMPULAN ORANG SAKTI JAMAN DULU
Pitung adalah salah satu pendekar orang asli
Indonesia berasal dari daerah betawi yang berasal dari kampung Rawabelong
Jakarta Barat. Pitung dididik oleh kedua orang tuanya berharap menjadi orang
saleh taat agama. Ayahnya Bang Piun dan Ibunya Mpok Pinah menitipkan si Pitung
untuk belajar mengaji dan mempelajari bahasa Arab kepada Haji Naipin. Setelah
dewasa si Pitung melakukan gerakan bersama teman-temannya karena ia tidak tega
melihat rakyat-rakyat yang miskin. Untuk itu ia bergerilya untuk merampas dan
merampok harta-harta masyarakat yang hasil rampasannya ini dibagikan kepada
rakyat miskin yang memerlukannya. Selain itu Pitung suka membela kebenaran
dimana kalau bertemu dengan para perampas demi kepentingannya sendiri maka sama
si Pitung akan dilawan dan dari semua lawannya Pitung selalu unggul.
Gerakan Pitung semakin meluar dan akhirnya kompeni
Belanda yang saat itu memegang kekuasan di negeri Indonesia melakukan tindakan
terhadap si Pitung. Pemimpin polisi Belanda mengerahkan pasukannya untuk
menangkap si Pitung, namun berkali-kali serangan tersebut tidak menghasilkan
apa-apa. Pitung selalu lolos dan tidak mudah untuk ditangkap oleh pasukan
Belanda. Ditambah-tambah si Pitung mempunyai ilmu kebal terhadap senjata tajam
dan sejata api. Kompeni Belanda pun tidak kehilangan akal, pemimpin pasukan
Belanda mencari guru si Pitung yaitu Haji Naipin. Disandera dan ditodongkan
sejata ke arah Haji Naipin agar memberikan cara melemahkan kesaktian si Pitung,
akhirnya Haji Naipin menyerah dan memberitahu kelemahan-kelemahan si Pitung.
Pada suatu saat, Belanda mengetahui keberadaan si
Pitung dan langsung menyergap dan menyerang secara tiba-tiba. Pitung mengadakan
perlawan, dan akhirnya si Pitung tewas karena kompeni Belanda sudah mengetahui
kelemahan si Pitung dari gurunya Haji Naipin.
Joko
Tingkir dari Lamongan
Joko Tingkir mempelajari ilmu sakti dari Ki Buyut
Banyubiru. Ia mempelajari ilmu sakti tersebut karena ingin menebus pengampunan
karena ia telah membunuh Dadungawuk sodara dari Sultan Demak. Ki Buyut
Banyubiru memberikan pelajaran-pelajaran ilmu saktinya di Gunung Lawu. Salah
satunya adalah dengan merendam diri dalam sungai yang dingin, dengan tujuan
dapat mengendalikan hawa nafsu.
Setelah beberapa bulan lamanya Joko Tingkir
menimba ilmu, Ki Buyut Banyubiru sudah memperbolehkan agar Joko Tingkir untuk
menemui Sultan Demak untuk meminta pengampunan atas yang pernah dilakukannya
yaitu membunuh Dadungawuk. Didalam perjalanannya menuju tempat Sultan Demak,
Joko Tingkir banyak menghadapi binatang-binatang buas yang menghadangnya, salah
satunya adalah menaklukan raja buaya dan gerombolannya.
Sesampai di desa Sultan Demak, kebetulan di desa
tersebut sedang terjadinya banteng buas yang mengamuk dan memporak pondakan
seisi desa, pada saat itu juga Joko Tingkir bertemu dengan Sultan Demak untuk
meminta pengampunan dengan persyaratan harus dapat melawan banteng buas
tersebut, Sultan Demak menyetujuinya. Akhirnya Joko Tingkir berhasil melawan
banteng buas itu dengan sebuah pukulan ke kepala banteng, mental dan pecah
akhirnya banteng tersebut tersungkur mati
Prajurit didesa itu terkagum dengan aksinya Joko
Tingkir yang telah menghadapi banteng buas dengan tegar dan mengalahkannya.
Sultan Demak mengampuni perbuatan Joko Tingkir tempo hari dan memaafkannya.
Kemudian Joko Tingkir diangkat sebagai pempimpin laskar tamtama, dan akhirnya
menjadi menantu dari Sultan Demak.
Jaka
Tarup
Disuatu desa pedalaman di Indonesia, hidup seorang
janda dan seorang anak yang bernama Jaka di dusun Tarub. Semasa kecilnya ia
suka bermain dengan kebiasaanya yaitu menyumpit burung. Sampai dewasa pun
sumpit nya selalu dibawa-bawa kemanapun. Pada suatu hati Jaka Tarub sedang
berjalan ditengah hutan dan melihat burung-burung dan Jaka Tarub menyumpitnya
tapi tidak mengena. Burung-butung itu berterbangan dan dikejar oleh Jaka Tarub.
Padahal hutan yang dilaluinya ini adalah hutan yang angker sekali. Dikesibukan
mengejar burung, Jaka Tarub mendengar suara beberapa wanita yang sedang mandi
di sebuah air terjun kecil. Jaka Tarub mengintai dan mengintip dari balik semak-semak
belukar. Dan melihat ada sebuah selendang didekatnya dan diambilnya oleh Jaka
Tarub.
Ternyata wanita-wanita yang sedang bermandikan itu
adalah kumpulan bidadari yang turun dari kahyangan. Salah satu bidadari
menyadai kalau Jaka Tarub mengintip mereka yang sedang mandi, akhirnya semua
bidadari disitu panik dan terbang kembali ke kahyangan. Kecuali satu bidadari
kebingungan mencari selendangnya yang di ambil oleh Jaka Tarub. Lalu si
bidadari dan Jaka Tarub saling menyapa. Bidadari ikut dengan Jaka Tarub ke
desanya, lalu mereka berdua hidup bersama sampai mempunyai 1 anak. Selama
hidupnya Jaka Tarub walau kerjanya hanya tidur-tidur saja tapi hasil pangannya
melimpah karena keajaiban dari bidadari. Lumbung pada penuh, masakan cepat
tersaji banyak.
Pada suatu saat Jaka Tarub tak sengaja melanggar
janji yang diberikan oleh bidadarinya yaitu tidak boleh membuka hidangan
sebelum matang betul. Akhirnya keajaiban sang bidadari hilang. Dan mereka
kembali harus bekerjakeras setiap harinya. Suatu hari si bidadari menemukan
selendangnya yang disimpang oleh Jaka Tarub, akhirnya perpisahan pun terjadi,
bidadari kembali pergi kekayangan meninggalkan Jaka Tarub beserta anaknya.
Arya penangsang
Pada saat kerjaan Pajang mencapai kejayaan di
wilayah pesisir dan wilayah timur dengan masa pemerintahan Sultan Adiwijaya,
semua rakyat dan para penguasa tunduk dan nurut kepadanya, hanya ada satu orang
yang tidak mau tunduk yaitu Adipati Jipang yang bernama Arya Panangsang. Sultan
Adiwijaya bersikeras untuk menundukan Arya Panangsang, lalu mengumpulkan para
penasehat raja-raja berunding untuk menundukan Arya Panangsang. Hasil rundingan
diputuskan untuk diumumkan di masyarakat umum "Barang siapa yang dapat
mengalahkan Arya Panangsang dari Jipang akan diberikan hadiah dan harta
kekayaan". Namun strategi ini gagal dilakukan.
Strategi selanutnya adalah, dengan mengirim pesan
kepada Arya Panangsang melalui tukang kebunnya yang diiris kupingnya. Arya
Pangsang marah dan memutuskan untuk melawan Sulta Adiwijaya. Karena tidak
sabaran maka Arya Panangsang pergi duluan, setibanya di sungai Bengawan
ternyata sudah banyak pasukan Sultan Adiwijaya yang sudah lama menantinya.
Dengan gigih Arya Panangsang dengan menggunakan tombak saktinya dapat
merobohkan banyak pasukan. Akan tetapi disela perperangan Arya Panangsang
mendapatkan luka dibagian perutnya yang sobek sehingga ususnya sampai keluar,
oleh Arya Panangsang ususnya di lilitkan di kerisnya dan melanjutkan peperangan
tersebut. Betapa gigih dan pemberaninya Arya Panangsang.
Karena peperangan tersebut tidak seimbang karena
banyaknya pasukan sedangkan Arya Panangsang hanya seorang diri, luncurlah
sebuah tombak menancap di dadanya Arya Panangsang, dan sewaktu Arya Panangsang
ingin membalas dengan kerisnya, ia lupa bahwa ususnya ia lilitkan dikeris,
akhirnya keris dicabut dan ususnya Arya Panangsang terputus-putus yang mengakibatkan
Arya Panangsang tewas.
Sangkuriang
Sangkuriang lahir dari kehidupan para siluman yang
berkehidupan bersama dengan manusia, pada waktu itu masa kejayaan Kerajaan
Parahyangan dengan seorang raja Prabu Sungging Prabangkara. Sangkuriang tumbuh
di hutan belantara yang dibesarkan oleh Sang Petapa yang sudah tua, ia banyak
belajar ilmu-ilmu kesaktian dan sering melakukan pertapaan. Beranjak dewasa
Sangkuriang menjadi pemuda yang gagah perkasa, sakti mandraguna dan tampan.
Diawali dari sebuah kisah, ia sedang berkelana dan
pada sebuah hutan ia menolong seorang wanita yang sedang terancam jiwanya oleh
seekor badak besar yang ganas siap menerjang, dengan gerak cepat Sangkuriang
menolong wanita itu dari marabahaya menggunakan kesaktiannya. Tanpa disadari
Sangkuriang terpesona terhadap wanita ini dan ternyata wanita tersebut adalah
ibu kandungnya. Sangkuriang ingin meminang wanita itu, akan tetapi wanita tersebut
berkeberatan karana Sangkuriang adalah anak kandungnya, supaya tidak terlaksana
maka wanita tersebut memberi persyaratan untuk bisa meminangnya yaitu dengan
membuat sebuah danau dan perahu besar dalam satu malam saja, akhirnya
Sangkuriang menyanggupinya dan gagal.
Perahu yang setengah jadi itu ditendangnya oleh
Sangkuriang dan lama kelamaan berubah menjadi gunung merapi yang sekarang
disebut gunung Tangkuban Perahu. Sangkuriang memohon permintaan ampun kepada
sang Dewata atas semua perbuatannya ini.
Joko
tole
Seorang raja beranama Sri Baginda Brawijaya,
memerintahkan kepada Empu Keleng untuk dibuatkannya pintu gerbang besi yang
besar dan megah. Dan sudah satu tahunan Empu Keleng beserta temannya yang lain
sudah mengerjakannya akan tetapi belum rampung juga pintu gerbang besinya.
Tenaga semakin berkurang dan Empu Keleng jatuh sakit dan tidak bisa melanjutkan
perkerjaanya menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Sri Baginda Brawijaya.
Lalu Empu Keleng mengirim berita kepada anak angkatnya yang bernama Jaka Tole.
Ia segera menyusul Empu Keleng di Majapahit.
Didalam perjalanan melewati beberapa desa, Jaka
Tole bertemu dengan seseorang berjubah hitam mengenakan ikat kepala. Lalu
terjadi dialog antara Jaka Tole dengannya. Jaka Tole menceritakan tujuan ke
Majapahit untuk menyelesaikan pekerjaan menyelesaikan pintu gerbang besi yang
besar dan megah itu dalam sehari, kalau tidak terkena hukuman. Orang berjubah
itu memberikan setengkai bunga dan disuruhnya Jaka Tole memakannya, nanti
sesampai di Majapahit, bakarlah tubuhmu Jaka Tole nanti dari pusarmu akan
keluar patrian untuk menyambung besi-besi pintu gerbang. Kemudian Jaka Tole
melanjutkan perjalannya ke Majapahit dan akhirnya sampai dan menemuni sang raja
sri baginda Brawijaya. Lalu Jaka Tole berkesanggupan untuk membantu ayah
angkatnya Empu Keleng dan menyelesaikan tugasnya membaut pintu besar besi yang
besar dalam satu malam dan jika tidak selesai akan menerim hukuman.
Lalu Jaka Tole mengumpulan para pekerjanya, dan
memberitahukan bahwasannya Jaka Tole mempunya patrian besi yang sangat hebat,
yaitu dengan cara dibakarnya tubuh Jaka Tole dibagian pusarnya keluar cairan
patrian yang bisa digunakan untuk menyelesaikan perampungan pintu besi. Dan
dalam satu malam itu pekerja terselesaikan, pintu besar besi jadi. Raja
Brawijaya sangat senang menyaksikan pintu gerbang itu. Kemudian Raja Brawijaya
memberikan hadiah yang berupa perhiasan perak dan emas.
Kebo
iwa org sakti yg di takuti oleh Gajah Mada
Dikisahkan di Bali adalah raja bernama Sri Gajah
Waktera (Dalem Bedaulu), bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang dikatakan
sebagai seorang pemberani serta sangat sakti. Disebabkan karena merasa diri
sakti, maka keluarlah sifat angkara murkanya, tidak sekali-kali merasa takut
kepada siapapun, walau kepada para dewa sekalipun.
Sri Gajah Waktera mempunyai sejumlah pendamping
yang semuanya memiliki kesaktian, kebal serta juga bijaksana yakni : Mahapatih
Ki Pasung Gerigis, bertempat tinggal di Tengkulak, Patih Kebo Iwa bertempat di
Blahbatuh, keturunan Kyai Karang Buncing, Demung I Udug Basur, Tumenggung Ki
Kala Gemet, Menteri Girikmana – Ularan berdiam di Denbukit, Ki Tunjung Tutur di
Tianyar, Ki Tunjung Biru berdiam di Tenganan, Ki Buan di Batur, Ki Tambiak
berdiam di Jimbaran, Ki Kopang di Seraya, Ki Kalung Singkal bertempat tinggal
di Taro. Sri Gajah Waktera menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah
kekuasaan Majapahit, sehingga menimbulkan ketegangan antara Kerajaan Bali dan
Kerajaan Majapahit.
Dalam rapat yang diadakan oleh Ratu Tribhuwana
Wijayatunggadewi dengan para Mentri Kerajaan, Patih Gajah Mada menyampaikan
sindiran secara halus melalui seorang pendeta istana (Pendeta Purohita) yang
bernama Danghyang Asmaranata
Rapat akhirnya memutuskan bahwa sebelum Gajah Mada
melakukan penyerangan ke Bali maka Kebo Iwa sebagai orang yang kuat dan sakti
di Bali harus disingkirkan terlebih dahulu. Jalan yang ditempuh dengan tipu
muslihat yaitu raja putri Tribhuwana Tunggadewi mengutus Gajah Mada ke Bali dengan
membawa surat yang isinya seakan-akan raja putri menginginkan persahabatan
dengan raja Bedahulu.
Keesokan harinya berangkatlah patih Gajah Mada ke
Bali dan singkat cerita sampai di Sukawati, Gianyar. Di Sukawati Patih Gajah
Mada dijemput oleh Kipasung Grigis yang sudah mengetahui perihal kedatangan
patih Gajah Mada tersebut ke Bali. selanjutnya Kipasung Grigis mengantar Gajah
Mada menghadap raja karena diutus oleh ratu Tribhuwana untuk menyampaikan pesan
kepada Raja Sri gajah Waktera.
tempat ketemu Kipasung Grigis:
Dihadapan Raja Sri Gajah Waktera patih Gajah Mada
menyampaikan maksud kedatangannya dan menyerahkan surat dari Ratu Majapahit
Tribhuwana Tunggadewi yang menyatakan memohon agar pulau Jawa tidak diserang da
juga untuk mempererat hubungan maka Kebo Iwa diundang ke Majapahit untuk
dinikahkan dengan salah satu putri kerajaan.
Raja Sri Gajah Waktera yang gembira segera
memerintahkan Kebo iwa memenuhi undangan tersebut. singkat cerita Kebo Iwa dan
gajah mada telah sampai di Majapahit. di sana kebo iwa diminta memperlihatkan
kesaktiannya sekaligus menolong rakyat yang dilanda kekeringan. saat itu pula
kebo iwa menggali tanah untuk menemukan sumber air dengan tangan kosong. saat
cukup dalam gajah mada memerintahkan Prajuritnya menimbun lubang itu dengan
batu sampai rata kembali dengan tanah Pura Gunung Kawi, Bali
kesaktian Kebo Uwa mengukir batu dengan kukunya
Merasa telah membunuh kebo iwa yang sakti, Gajah
mada menyayangkan kalau orang hebat seperti kebo iwa harus mati dengan cara
seperti itu, tapi itu demi cita-cita menyatukan nusantara. Tiba-tiba Batu-batu
yang ditimbunkan melesat kembali keangkasa dibarengi dengan teriakan prajurit
Majapahit yang terhempas batu. Dari dalam sumur, keluarlah Patih Kebo Iwa, yang
ternyata masih terlalu kuat untuk dikalahkan.
Patih Gajah Mada terkejut, menyaksikan Patih Kebo
Iwa yang masih perkasa, dan beranjak keluar dari lubang sumur. Kesaktian Patih
Kebo Iwa, sungguh menyulitkan usaha Patih Gajah Mada untuk menundukkannya.
Pertempuran antara keduanya masih berlangsung hebat, namun amarah dan dendam
Patih Kebo Iwa mulai menyurut…Dan rupanya Patih Kebo Iwa tengah bertempur
seraya berpikir … Dan apa yang tengah dipikirkan olehnya, membuat dia harus
membuat keputusan yang sulit… Kebo Iwa : (dalam hati) Kerajaan Bali pada
akhirnya akan dapat ditaklukkan oleh usaha yang kuat dari orang ini,
keinginannya untuk mempersatukan nusantara agar menjadi kuat kiranya dapat aku
mengerti kini. Namun apabila, aku menyetujui niatnya dan ragaku masih hidup,
apa yang akan aku katakan nantinya pada Baginda Raja sebagai sangkalan atas sebuah
prasangka pengkhianatan ?
Mengetahui keinginan yang kuat dari gajah Mada untuk
menyatukan nusantara, Kebo Iwa akhirnya memberitahukan gajah mada kelemahan
dirinya agar ia bisa dikalahkan. Gajah Mada yang kewalahan merasa keheranan
mendengar itu dan langsung melakukan apa yang dikatakan oleh Kebo iwa. Setelah
menyerang kelemahan Kebo Iwa yang akhirnya membuat Kebo iwa sekarat, ia berkata
pada Gajah mada semoga ia dapat menuaikan Sumpah Palapanya. Mendengar
pernyataan itu, Gajah mada bersedih karena pahlawan sakti seperti Kebo Iwa
harus mati seperti itu.
Gajah
Mada
sejarah awal kehidupan Gajah Mada tidaklah begitu
jelas. Namun, Encarta Encylopedia berani memperkirakan Gajah Mada lahir tahun
1290 M. Jadi, ia lahir dan besar tatkala terjadi transisi antara kekuasaan
Raden Wijaya kepada Jayanagara. Pembacaan atas tokoh Gajah Mada kerap
dihubungkan dengan dimensi supernatural. Ini sulit dihindari, oleh sebab
masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, memang menilai tinggi dimensi tersebut.
Berdasarkan petunjuk spiritual menyebutkan bahwa Gajah Mada merupakan anak
pertama dari pasangan Si-Jawangkati dengan Lailan Mangrani. Sijawangkati
merupakan pembantu Si-Malui dan adiknya bernama Si-Baana dan sebagai manusia
yang kedua datang di pulau Buton. Si-Jawangkati datang ke pulau Buton menemani
Si Malui dan Si Baana pada hari bulan sya’ban tahun 634 Hijriah dengan
menumpangi behtera kapal bernama “Popanguna” berbenderakan Buncaha yakni
bendera dengan motif warna kuning hitam selang-seling yang tak lain adalah
bendera kerajaan asal leluhurnya dari daerah Bumbu negeri Melayu Pariaman.
Pada akhir tahun 1236 M, Si-Jawangkati beserta
tuannya terdampar di sebelah utara timur laut Buton yakni “kamaru” dengan
bentengnya bernama “Wonco”. Si-Jawangkati dengan memimpin rombongan kecil
berpamitan dengan Si Malui dan Si Baana untuk mencari daerah hunian baru dan
setelah ditemukan hunian ini bernama “Wasuembu”. Setelah menemui tempat baru
ini Si Jawangkati langsung membuat perkampungan serta benteng pertahanan
bernama “Koncu” di Wabula. Tak lama berselang kedatangan Si Jawangkati di pulau
Buton, maka datanglah serombongan para anak-anak bangsawan dari pulau Jawa.
Anak-anak bangsawan tersebut tak lain adalah Raden Sibahtera, Raden Jutubun dan
Lailan Mangrani yang merupakan anak-anak dari Raden Wijaya sebagai Raja Mataram
sebelum gabung dengan Majapahit. Kedatangan ketiga anak-anak Raden Wijaya
tersebut bukan tidak beralasan, mereka dating atas petunjuk ghaib yang diterima
oleh dukun atau penasehat istana kerajaan Majapahit untuk memerintahkan
anak-anak Raden Wijaya tersebut mencari suatu pulau yang terdapat di Wilayah
Timur Nusantara bernama pulau Buton.
Ilustrasi
Gajah Mada Orang Kuat
Setelah mereka tiba dan menemui pulau Buton ketiga
anak-anak Raden Wijaya diperintahkan untuk membangun Bandar perniagaan.
Kedatangan putra putri Raja Majapahit itu menggunakan dua Armada antara lain
satu armada dipimpin oleh Raden Sibahtera dengan adiknya Lailan Mangrani
disertai dengan 40 pengikutnya, sedangkan armada yang satu dipimpin oleh Raden
Jutubun beserta 40 pengawalnya. Kedua armada tersebut masing-masing membawa
bendera leluhurnya yang dipasang diburitan kapal dengan warna bendera merah
putih dan bendera ini dinamai “dayialo”. Kedua armada ini setelah tiba di laut
Buton selanjutnya disambut oleh Si Jawangkati dan Si Tamanajo di teluk Kalampa
tempat kedua armada tersebut berlabuh. Tak lama berselang beberapa tahun
kemudian setelah Raden Sibahtera telah dinobatkan menjadi Raja Pertama Buton
dengan permaisurinya bernama gelar Wa Kaa Kaa atau nama aslinya Mussarafatul
Izzati Al Fakhriy, maka kawinlah Si Jawangkati dengan Lailan Mangrani. Hasil
dari perkawinan Sijawangkati dengan Putri Raden Wijaya di pulau Buton ini
membuahkan 3 (tiga) orang anak, yakni 2 (dua) laki-laki dan 1 (satu) perempuan.
Nah..., anak pertama Si Jawangkati bersama Lailan
Mangrani ini adalah seorang bayi yang cukup besar dan berparas jelek dan diberi
nama Gajah Mada. Mulai umur 3 tahun Gajah Mada ini memiliki kelebihan-kelebihan
luar biasa baik secara kekuatan fisik maupun instinksi dan setelah usia
mencapai 7 tahun maka dilatihlah oleh ayahnya ilmu kanukragan dan ilmu
kesaktian. Perlu diketahui bahwa Si Jawangkati ini adalah seorang amat sakti
dari asal keturunan para wali negeri melayu. Kemudian setelah ilmu kanukragan
dan ilmu kesaktian telah diturunkan oleh ayahandanya kepada Gajah Mada, genap
usia 15 tahun Gajah Mada di bawalah ke pulau Jawa oleh ibunya Lailan Mangrani
untuk membantu Raden Wijaya dalam kesulitan melawan para pemberontak asal dari
dalam lingkungan kerajaan Majapahit.
Disanalah awal kisah Patih Gajah Mada dalam
peranannya membantu neneknya sendiri yakni Raden Wijaya untuk memberantas para
penjahat dalam lingkungan dalam kerajaan. Leo Suryadinata menulis, Gajah Mada
mengandalkan intelijensi, keberanian, dan loyalitas dalam meraih mobilitas
vertikalnya. Karirnya lanjutannya adalah kepala pasukan Bhayangkara, pasukan
penjaga keamanan Raja dan keluarganya. Raja yang menjadi junjungannya saat itu
adalah Jayanagara yang berkuasa di Majapahit sejak 1309-1328 M. Menjadi
mungkin, Gajah Mada telah meniti karir militer sejak kekuasaan Raden Wijaya,
Raja pertama Majapahit, dan sedikit banyak memahami spirit pemerintahannya.
Jayanagara ini adalah putra pasangan Raden Wijaya dengan seorang putri Sumatera
(Jambi) bernama Dara Petak. Sebab itu, darah yang mengalir di tubuh Jayanagara
bukanlah murni Jawa. Anggapan yang relatif rasis ini merupakan fenomena sebuah
kancah politik hegemoni dalam kekuasaan aneka suku bangsa tatkala itu.
Buktinya, pernah tahun 1316 M muncul pemberontakan Nambi yang menurut
http://www.gimonca.com muncul akibat sentimen "darah" Jayanagara
tersebut. Meski pemberontakan itu berhasil dipadamkan, seolah sesuatu yang
laten (faktor rasisme) 'menyala' dalam politik Majapahit ini.
Tatkala Gajah Mada jadi kepala pasukan
Bhayangkara, meletus pemberontakan Ra Kuti, salah satu pejabat istana tahun
1319 M. Pemberontakan ini cukup menohok, oleh sebab si pemberontak mampu
menduduki ibukota. Jayanagara berikut istri Raden Wijaya dan putrinya
(Tribhuwanattungadewi, Gayatri, Wiyat, dan Pradnya Paramita) mengungsi ke
Bedander. Selaku kepala pasukan keamanan, Gajah Mada memastikan keamanan raja
dan keluarga. Setelah dinyatakan save, ia berbalik ke ibukota guna menyusun
serangan balasan. Ia meneliti kesetiaan rakyat dan pejabat Majapahit kepada
Raja Jaya Nagara dengan memunculkan isu keterbunuhan raja. Menurut anggapannya,
raja dan sebagian besar pejabat Majapahit menyayangkan kematian raja dan
membenci perilaku Ra Kuti. Atas dasar ini, Gajah Mada menyusun serangan balasan
secara kemiliteran, dan berhasil membalik keadaan. Pemberontakan Kuti pun dipadamkan.
Raja dan keluarganya kembali ke ibukota. Kebijakan Jayanagara ditopang oleh
kemampuan politik Arya Tadah, mahapatih Majapahit. Fokus kebijakan raja dan
mahapatih ini adalah stabilitas politik dalam negeri.
Jadi, Majapahit belum lagi melakukan penaklukan ke
pulau-pulau "luar" Jawa. Ini mengingat Gajah Mada belum memegang
peran penting di dalam pembuatan keputusan politik level negara. Atas jasanya
memadamkan pemberontakan Kuti, Jayanagara menaikan status Gajah Mada dari
sekadar komandan pasukan Bhayangkara menjadi menteri wilayah (patih) dua daerah
kekuasaan Majapahit: Daha dan kemudian, Jenggala. Posisi tersebut cukup
berpengaruh mengingat dua wilayah tersebut diwenangi oleh putri
Tribuwanattunggadewi (Daha) dan Dyah Wiyat (Jenggala), dua saudari tiri
Jayanagara. Jayanagara sendiri belumlah memiliki putra laki-laki selaku penerus
tahta. Bukti mengenai hal ini, seperti ditulis Heritage of Java, sebuah
enskripsi bernama Walandit menceritakan gelar Gajah Mada dalam kekuasaan
barunya itu adalah Pu Mada. Wilayah yang diwenangi kepatihan Gajah Mada adalah
Jenggala-Kediri yang meliputi Wurawan dan Madura. Loyalitas Gajah Mada terhadap
Jayanagara tidaklah tetap. Versi cerita seputar perubahan loyalitas tokoh ini
pada rajanya, paling tidak ada tiga. Seluruhnya berorama motif pribadi.
Pertama, dari Charles Kimball yang menulis, loyalitas Gajah Mada terhadap Jaya
Nagara mengalami titik balik tatkala raja mengambil istri Gajah Mada selaku
haremnya. Kedua, Kitab Negara Kertagama olahan Empu Prapanca menulis, perubahan
loyalitas Gajah Mada akibat mulai jatuh hatinya Raja Jayanagara terhadap dua
saudari tirinya: Tribuwanattunggadewi dan Dyah Wiyat. Empu Prapanca ini akrab
dengan Gajah Mada sendiri. Ketiga, novelis Langit Kresna Hariyadi, yang menulis
loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara berubah akibat kekhawatian Gajah Mada
atas mulai berubahnya sikap raja terhadap Tribhuwanattunggadewi.
Ketiga asumsi tersebut melatarbelakangi proses
meninggalnya Raja Jayanagara tahun 1328. Versi meninggalnya Jayanagara pun berlatar
belakang loyalitas Gajah Mada pada Jayanagara. Versi Kimball menyatakan, Gajah
Mada menskenario pembunuhan atas Jaya Nagara dengan memanfaatkan tangan Ra
Tanca, tabib istana. Tanca dipaksa membunuh Jaya Nagara akibat suruhan Gajah
Mada dalam suatu proses pembedahan atas diri raja. Versi ini didukung pula oleh
pendapat Leo Suryadinata, yang juga menulis kekecewaan Gajah Mada akibat
istrinya diambil oleh raja sebagai motif asasinasi. Setelah raja meninggal,
Gajah Mada menuding Tanca ini telah membunuh raja dan ia pun dieksekusi mati
olehnya sendiri. Peristiwa 1328 M ini menggambarkan rumitnya politik pada aras
Palace Circle. Kepentingan pribadi berbaur dengan nasib dan masa depan suatu
negara.
Pada masa terbunuh dan digantinya Jayanagara ini,
Odoric dari Pordonone, pendeta ordo Fransiskan dari Italia mengunjungi Jawa,
Sumatera dan Kalimantan. Setelah terbunuhnya Jayanagara, Gajah Mada berkeras
Tribhuwanattunggadewi dijadikan ratu Majapahit. Belum ditemukan bukti yang
cukup seputar alasan kekerasan hati Gajah Mada atas penunjukan ini. Namun, dari
analisis ras, Gajah Mada mungkin khawatir singgasana akan jatuh pada Arya
Damar, keturunan Raden Wijaya dari istri yang asal Jambi. Sementara,
Tribhuwanattunggadewi adalah putri keturunan Raden Wijaya asli pulau Jawa.
Mungkin saja, opini yang muncul saat itu adalah putra asli atau bukan. Atau,
dimungkinkan pula, dengan beralihnya kekuasaan pada ratu ini, Gajah Mada lebih
leluasa dalam mengambil tindakan.
Konflik suksesi ini terbukti dengan baru
dilantiknya Ratu Tribhuwanattunggadewi tahun 1329, sekurang-kurangnya menurut
Charles Kimball. Pemimpin perempuan Majapahit ini berkuasa sejak 1329 hingga
1350 M. Pada fase ini, Majapahit memulai fase penaklukannya. Mahapatih Arya
Tadah pensiun tahun 1329 M, dan praktis posisi tersebut jatuh ke tangan Gajah
Mada. Tribhuwanattunggadewi sangat mendukung program-program Gajah Mada. Tahun
1331 M meletus pemberontakan Sadeng dan Keta, di wilayah timur Pulau Jawa.
Gajah Mada mengirim ekspedisi militer ke sana dan berhasil memadamkan
pemberontakan wilayah tersebut. Ra Kembar, salah satu bangsawan dan pejabat
Majapahit berusaha menutup jalan pasukan Gajah Mada ke wilayah Sadeng, baik
secara politik maupun militer.
Beberapa referensi menyebutkan bahwa Gajah mada
wafat tahun 1364 M, akibat diasingkan dan dihianati oleh Hayam Wuruk sebagai
suatu buntut peristiwa BUBAT dimana Gajah Mada di singkirkan ke wilayah
Madakaripura dan hidup Gajah Mada di wilayah itu asketis,Terdapat sejumlah
tulisan yang menyebut bahwa ia menderita sakit ataupun dibunuh oleh Raja Hayam
Wuruk (Rajasanagara) sendiri yang khawatir akan pengaruh politik Gajah Mada yang
sedemikian kuat di Majapahit.
Penaklukan Majapahit usai. Setelah tragedi Bubat
ini, Hayam Wuruk mengarahkan politiknya ke arah stabilitas dalam negeri. Memang
muncul beberapa pemberontakan di pulau "luar" seperti dari Palembang,
yang minta bantuan Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit. Namun,
begitu pasukan Cina datang ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan
Majapahit dan ekspedisi Cina itu pun diluluhlantakkan. Dalam pandangan
spiritual penulis Gajah Mada tidak dibunuh oleh Hayam Wuruk, namun dia begitu
melihat sudah tak ada lagi kepercayaan dari sang Raja, dia menggunakan
taktiknya untuk menghilangkan diri dari wilayah pengasingannya dengan diam-diam
dia berangkat dengan membawa pasukan atau prajuritnya yang setia sampai mati
sebanyak 40 orang berlayar menuju negeri asal kelahirannya yakni pulau Buton.
Setelah melalui perjalanan panjang dari pulau
Sumatera menuju pulau Buton Gajah Mada dan rombongan prajuritnya melewati
kepulauan tukang besi yang sekarang dikenal dengan Wakatobi. Perlu diketahui
bahwa Gajah Mada adalah seorang sakti mandraguna sebagaimana kesaktian yang
dimiliki oleh ayahnya Si Jawangkati sehingga dalam perjalannya pulau ke pulau
Buton dia dituntun secara ghaib dan mendapatkan petunjuk-petunjuk spiritual.
Oleh karena itu setelah melewati pulau Wangi-Wangi, Gajah Mada singgah dengan
prajurit setianya sebentar disalah satu pulau kecil di bagian barat kepulauan
Wangi-Wangi dengan memasang simbol-simbol disana. Pada saat rombongan Gajah
Mada singgah di pulau ini dia disambut dengan baik oleh penghuni yang sudah
lama mendiami pulau kecil ini diperkirakan pertengahan Abad XI yang tak lain
adalah merupakan para hulubalang dan bajak laut (bajak laut tobelo). Para bajak
laut di pulau ini terdiri dari sebagian besar adalah para prajurit Raja Khan
yang berkuasa di Kamaru pertengahan abad IX dan sebagian asal Mingindanau,
Papua, Tobelo, Lanun, Balangingi. Setelah beberapa saat Gajah Mada menyinggahi
pulau kecil ini dalam pelariannya ke pulau Buton, akhirnya berdasarkan petunjuk
ghaib, Gajah Mada memutuskan untuk wafat di pulau ini.
Sebagai tanda-tanda artifak awal sebagai landasan
studi orientasi dalam mengungkap misteri Gajah Mada ini, maka diantara
pelabuhan Sempo Liya dan Pulau Simpora ada Batu Parasasti yang terdapat di
tepian pantai dan batu ini dinamakan "Batu Mada". Sementara ke 40 prajurit
setianya diperintahkan untuk melanjutkan perjalannya menuju pulau Buton dengan
maksud agar kerahasiaan Maha Patih Gajah Mada yang amat sakti ini tetap
terjaga. Gajah Mada akhirnya di pulau kecil sebelah barat wangi-wangi tersebut
memutuskan untuk melakukan tapah brata didalam sebuah gua di wilayah Togo
Mo'ori yang mana situasi gua tersebut didalamnya datar tembus ke laut dalam dan
disanalah Maha Patih Gaja Mada meninggalkan alam maya padah ini dalam keadaan
duduk bersemedi dengan salah satu bagian tangannya menggenggam cakram sebagai
salah satu senjata andalannya.
Bukti-bukti ontologisme dari salah seorang tua
pertapa yang pernah menemukan Gajah Mada dalam gua ini pernah menkisahkan
secara terbatas dalam kalangan keluarga tertentu di pulau wangi-wangi, karena
ada rasa ketakutan luar biasa ketika melihat sosok orang tak bergerak dalam
keadaan duduk bersemedi dalam sebuah bagian gua di pulau kecil tersebut. Selain
itu bukti-bukti secara artifak sejarah yang belum terpublikasi dan hanya
dikonsumsi dari kalangan metafisis penduduk salah satu desa yang terdapat di
pulau wangi-wangi telah diriwayatkan oleh leluhurnya secara turun temurun
adanya segumpal batu muncul kepermukaan laut ketika air laut surut dan batu ini
dinamai batu Mada. Pengamatan secara spiritual setelah melalui pemantauan
khusus secara metafisis, menunjukkan bahwa keberadaan batu Mada ini merupakan
simbol yang sengaja dibuat oleh Gajah Mada, dimana dibawa batu tersebut
diperkirakan merupakan penyimpangan sebuah selendang warna kuning yang konon
dikisahkan sebagai selendang sakti.
Sedangkan ke 40 orang prajurit setianya berlabuh
di Batauga salah satu wilayah pulau Buton terdekat dari kepulauan wangi-wangi,
dan merekapun setelah tiba di wilayah ini tidak begitu lama berselang kemudian
mencari sebuah gua yang lebar dan luas. Dan di dalam gua inilah ke 40 orang
prajurit setia Maha Patih Gajah Mada melakukan semedi berbulan-bulan sampai
mereka semua meninggal secara bersamaan dan terkubur secara alamiah di dalam
gua ini. Keberadaan Gua ini di Batauga di kenal dengan nama Gua Mada tepatnya
terdapat di desa Masiri, kampung Mada di Batauga pulau Buton.
Berdasarkan kisah konseptual, spiritual dan
ontologisme riwayat Maha Patih Gajah Mada, maka postulat dapat disimpulkan
bahwa Gajah Mada merupakan anak pertama dari Si Jawangkati dengan ibu bernama
Lailan Mangrani yang tak lain adalah anak perempuan dari Raden Wijaya sebagai
Raja Majapahit. Si Jawangkati adalah salah seorang mia patamiana wolio yang
pada zamannya dia memiliki kesaktian yang luar biasa dan disegani dikalangan
penguasa pada saat itu. Masih diperlukan penelitian secara aksiologis untuk
menguak tabir kisah Maha Patih Gaja Mada yang penuh dengan misterius selama ini
oleh para ahli antropolog budaya, ahli ethnologis, ahli arkiologis dan ahli
sejarah guna mendapatkan suatu naskah sejarah Indonesia yang benar sekaligus
mengangkat harkat dan martabat orang-orang buton pada zamannya
gambar diatas disusun oleh: bagindaery.blogspot.com
artikel by: http://agungsupriadi5.blogspot.com/2013/03/kumpulan-orang-sakti-jaman-dulu.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com