Pertanyaan:
- Istri yang ditalak satu atau dua dan setelah itu rujuk, bagaimanakah tata cara rujuk yang syar’i?
- Apabila masa ‘iddah belum habis, apakah harus membuat akad nikah baru?
- Apabila masa ‘iddah telah habis, bagaimanakah cara rujuk yang sesuai syar’i?
Jazakallahu khairan.
M. Iqbal, Kepri
08526497xxxx
08526497xxxx
Jawaban:
Agama Islam sangat menjaga keutuhan biduk rumah
tangga kaum muslimin. Hal ini bisa dilihat dalam pengaturan tentang
perceraian (talak), bahwasanya Islam tidak menjadikan talak hanya
sekali, namun sampai tiga kali.
Disebutkan dalam firman Allâh Ta'âla :
Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik.
(Qs. al-Baqarah/2:229)
Juga adanya pensyariatan‘iddah. Yaitu masa menunggu bagi yang ditalak, seperti tersebut dalam firman-Nya:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan
isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu‘iddah itu
serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka
dari rumah mereka, dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar, kecuali
kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
(Qs. ath-Thalâq/65:1)
Dengan demikian, seorang suami yang menceraikan
istrinya satu kali, ia masih memungkinkan untuk memperbaiki kembali bila
dirasa hal itu perlu dan baik bagi keduanya. Semua ini menunjukkan
perhatian Islam yang sangat besar dalam pembangunan rumah tangga yang
kokoh dan awet.
Adapun syarat sahnya rujuk, di antaranya:
- Rujuk setelah talak satu dan dua saja, baik talak tersebut langsung dari suami atau dari hakim.
- Rujuk dari istri yang ditalak dalam keadaan pernah digauli. Apabila istri yang ditalak tersebut sama sekali belum pernah digauli, maka tidak ada rujuk. Demikian menurut kesepakatan ulama.
- Rujuk dilakukan selama masa ‘iddah. Apabila telah lewat masa ‘iddah -menurut kesepakatan ulama fikih- tidak ada rujuk.
Dalam rujuk, tidak disyaratkan keridhaan dari wanita. Sedangkan bila masih dalam masa ‘iddah, maka anda lebih berhak untuk diterima rujuknya, walaupun sang wanita tidak menyukainya. Dan bila telah keluar (selesai) dari masa ‘iddah tetapi belum ada kata rujuk, maka sang wanita bebas memilih yang lain. Bila wanita itu kembali menerima mantan suaminya, maka wajib diadakan nikah baru.
Allâh Ta'ala menyatakan dalam firman-Nya, yang artinya:
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allâh dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allâh dan
hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti
itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
(Qs. al-Baqarah/2 ayat 228)
Di dalam Fathul Bâri, Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan:
“Para ulama telah
bersepakat, bahwa bila orang yang merdeka menceraikan wanita yang
merdeka setelah berhubungan suami istri, baik dengan talak satu atau
dua, maka suami tersebut lebih berhak untuk rujuk kepadanya, walaupun
sang wanita tidak suka. Apabila tidak rujuk sampai selesai masa
iddahnya, maka sang wanita menjadi orang asing (ajnabiyah), sehingga tidak halal baginya, kecuali dengan nikah baru”. [1]
Cara untuk rujuk, ialah dengan menyampaikan rujuk
kepada istri yang ditalak, atau dengan perbuatan. Rujuk dengan ucapan
ini disahkan secara ijma’ oleh para ulama, dan dilakukan dengan lafazh
yang sharih (jelas dan gamblang), misalnya dengan ucapan “saya rujuk
kembali kepadamu” atau dengan kinayah (sindiran), seperti
ucapan“sekarang, engkau sudah seperti dulu”. Kedua ungkapan ini, bila
diniatkan untuk rujuk, maka sah. Sebaliknya, bila tanpa diniatkan untuk
rujuk, maka tidak sah.
Sedangkan rujuk dengan perbuatan, para ulama masih
bersilang pendapat, namun yang rajih (kuat) -insya Allâh- yaitu dengan
melakukan hubungan suami istri atau muqaddimahnya, seperti ciuman dan
sejenisnya dengan disertai niat untuk rujuk.
Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah dan dirajihkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh dan Syaikh as-Sa’di rahimahullâh.[2]
Apabila disertai dengan saksi, maka itu lebih baik, apalagi jika
perceraiannya dilakukan di hadapan orang lain, atau sudah diketahui
khalayak ramai.
Wallahu a’lam.
[1] |
Tafsîr Ibnu Katsîr (5/342- cet Dâru Thayyibah).
|
[2] |
Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34).
|
(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII)
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com