Oleh : Abu Akmal Mubarok
Telah sampai pada kami perkataan orang-orang di dunia maya yang
mengatakan bahwa wanita yang tidak berjilbab tidak sah shalatnya dan
tidak diterima shalatnya. Apakah benar demikian?Jika kita perhatikan hadits berikut ini :
Telah menceritakan kepada kami Hannad berkata; telah menceritakan kepada kami Qabishah dari Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ibnu Sirin dari Shafiyah binti Al Harits dari ‘Aisyah ia berkata; “Tidak sah shalat wanita yang telah haid kecuali dengan mengenakan kerudung (khimar).” Ia berkata; “Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin ‘Amru. Sedangkan maksud dari sabda Nabi, “Wanita yang telah haid, “Adalah wanita yang telah berumur baligh kemudian mengalami haid.” (H.R. Tirmidzi No. 344)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal telah menceritakan kepada kami Hammad dari Qatadah dari Muhammad bin Sirin dari Shafiyyah binti Al-Harits dari Aisyah dari Nabi s.a.w., bahwasanya beliau bersabda: “Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haid (baligh), kecuali dengan memakai tutup kepala (khimar).” (H.R. Abu Daud No. 546) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.
Abu Isa berkata; “Hadits ‘Aisyah derajatnya hasan shahih. Para ahli ilmu mengamalkan hadits ini, bahwa wanita yang telah mengalami haid kemudian melaksanakan shalat sedang rambutnya terlihat maka shalatnya tidak sah. Ini adalah pendapat yang diambil oleh Syafi’i, Ia mengatakan, “Shalat seorang wanita tidak sah jika ada sesuatu dari bagian tubuhnya terlihat.” Imam Syafi’i ketika ditanya; bagaimana jika pada bagian luar telapak kakinya terlihat?” ia menjawab, “Shalatnya sah.”
Jika kita perhatikan hadits di atas, maka anggapan bahwa wanita yang tidak berjilbab tidak sah shalatnya adalah YA dan TIDAK. Jelas hadits-hadits di atas konteksnya adalah shalat. Namun di sini ada pihak-pihak yang mencoba “memperluas penerapannya”.
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa dalam hadits di atas, yang diminta adalah menggunakan kerudung (khimar) dan bukan jalaba (jilbab) Karena istilah jilbab di Indonesia pada masa sekarang sesungguhnya adalah kerudung. Sedangkan kerudung dalam bahasa Arab yang digunakan dalam Ayat dan Hadits adalah khimar. Adapun jalaba adalah kain lebar seperti sprei atau selimut yang digunakan sebagaimantel luar dan menyelimuti seluruh tubuh.
Jika yang dimaksud tidak berjilbab di sini adalah krudung (khimar), maka tidak mengenakan kerudung ketika dalam keadaan shalat, jelas shalatnya tidak sah dan tidak diterima. Karena syarat sah shalat adalah menutup aurat, dan bagi wanita yang telah aqil baligh (ditandai telah haid) maka auratnya adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Maka ia wajib menutup rambutnya ketika shalat.
Dari Muhammad bin Zain bin Qunfudz dari ibunya bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah istri Nabi s.a.w. : “Pakaian apa yang harus dikenakan wanita ketika menunaikan shalat ?” Ummu Salamah menjawab : “Wanita shalat dengan memakai kerudung dan baju panjang yang menutup kedua punggung dan tumitnya” (H.R. Imam Malik)
Dari Ubaidillah bin Aswad Al-Khaulani (saat itu dipelihara oleh Maimunah) bahwa “Maimunah istri Nabi s.a.w. shalat dengan memakai bau panjang (dar’i) dan kerudung (khimari) dengan tidak mengenakan sarung” (H.R. Imam Malik)
“Aisyah istri Nabi s.a.w. melakukan shalat dengan mengenakan baju panjang (dar’i) dan kerudung (khimari)” (H.R. Malik dalam Al Muwatha Juz 1 Hal 141-142)
Maka berdasarkan hal ini Imam Malik berkata : “Untuk wanita dua helai pakaian yang berupa baju kurung dan kerudung dan ini merupakan pakaian minimal yang mencukupi masing-masing mereka untuk shalat” (Muwatha’ Imam Malik Juz 2 Hal 480)
Sedangkan perluasan makna yang dilakukan oleh sebagian orang-orang yang terlalu bersemangat dalam berislam adalah meluaskan penerapan hal ini untuk di luar shalat. Maka hal ini tidaklah benar. Orang yang ketika di luar shalat tidak berjilbab namun ketika shalat ia berjilbab maka shalatnya adalah sah. Adapun di luar shalat mereka tidak mengenakan jilbab / tidak menutup aurat sesuai tuntunan Islam, maka hal itu ada penilaian dosa tersendiri dan sama sekali tidak mempengaruhi keabsahan shalat.
Sebagaimana kita tahu bahwa di Asia Tenggara dan Indonesia, umumnya wanita shalat diwajibkan mengenakan mukena.
Mukena ini adalah hal bid’ah (secara bahasa tergolong perkara baru) karena hal ini tidak ada di jaman Nabi s.a.w. dan tidak dikenal adanya seragam tertentu dalam shalat. Namun ini adalah hasil ijtihad para ulama, mengingat banyak wanita di Asia Tenggara ini sehari-harinya tidak mengenakan kerudung (khimar), sedangkan pada jaman Nabi tidak hanya kerudung (khimar) melainkan diminta untuk mengenakan jalaba / jilbab, yaitu kain yang melapisi bagian luar ke seluruh tubuh.
Sehingga untuk memastikan mereka menutup kepalanya ketika shalat maka diadakanlah “mukena” sebagai seragam wajib ketika shalat. Dengan cara ini para ulama mengambil jalan tengah bahwa walaupun di luar shalat ia tidak berjilbab (dan perhitungannya di tangan Allah) namun minimal ketika shalat ia berjilbab dan menutup aurat, karena jika tidak shalatnya tidak sah.
Kita tidak akan menjumpai tradisi mukena ini di negara Arab, karena rata-rata wanitanya telah menutup aurat baik ketika shalat maupun di luar shalat. Sehingga ia bisa langsung shalat dengan pakaian yang dipakainya. Namun anehnya, di Asia Tenggara, saking melembaganya keyakinan “seragam mukena” ini maka wanita yang menggunakan jilbab abaya dan tertutup rapat hingga berkaus kaki pun, masih merasa perlu menggunakan mukena ketika shalat. Maka kami katakan hal ini tidak lah mengapa. Bahkan seandainya ia menggunakan pakaian rangkap lima pun tidak lah mengapa karena syarat minimalnya adalah menutup aurat. Sedangkan model pakaian dan berapa lapis pakaian yang dikenakannya, agama tidak campur tangan dan tidak melarangnya.
Maka jelaslah di sini bahwa pernyataan : “wanita yang tidak berjilbab tidak diterima shalatnya atau tidak sah shalatnya” adalah konteksnya ketika shalat atau pernyataan ini cocok untuk kondisi di Timur Tengah dimana tidak dikenal tradisi “mukena” sehingga wanita yang sehari-hari tidak mengenakan jilbab maka bisa dipastikan juga shalat tidak memakai jilbab, karena di Arab pakaian yang dipakai ketika shalat sama dengan pakaian ketika tidak shalat. Adapun perkataan ini tentu tidak sesuai dengan situasi di Asia Tenggara di mana masyarakat memiliki tradisi mengenakan mukena ketika shalat (terlepas dia memakai jilbab atau tidak).
Adapun di luar shalat, ketika Rasulullah s.a.w. ditanya apakah berdosa wanita yang tidak mengenakan jilbab? Maka Rasulullah s.a.w. mengharuskan wanita yang telah baligh mengenakan jilbab (pengertian jilbab pada waktu itu adalah jalaba yaitu kain lebar sebagai mantel luar yang menyelimuti seluruh tubuh), baru boleh menghadiri acara-acara bersosialisasi dengan masyarakat. Dan hendaknya saudaranya atau kaum muslimin memberikan jilbab padanya jika ia tidak memiliki jilbab
Telah menceritakan kepada kami Isma’il, telah mengabarkan kepada kami Ayyub dari Hafshah binti Sirin dia berkata; kami melarang gadis-gadis kami untuk keluar rumah, kemudian seorang wanita datang dan singgah di benteng bani Khalaf, lalu dia bercerita bahwa saudara perempuannya -ia berada dalam asuhan salah seorang sahabat Rasulullah s.a.w. – ikut serta berperang bersama Rasulullah s,a,w, sebanyak dua belas kali, saudara perempuanku bercerita; “Aku ikut berperang bersama beliau sebanyak enam kali peperangan, ” dia melanjutkan; “Kami bertugas mengobati orang yang terluka dan merawat yang sakit.” Lalu saudaraku perempuanku bertanya kepada Rasulullah s.a.w.; “Apakah salah seorang dari kami berdosa bila keluar rumah, sementara dirinya tidak memiliki jilbab?” Beliau menjawab: “Hendaknya saudara perempuannya memberikan jilbab kepadanya, barulah ia dapat menyaksikan acara-acara yang baik dan memenuhi undangan kaum muslimin.” (H.R. Imam Ahmad No. 19859)
Wallahua’lam.
http://seteteshidayah.wordpress.com/2012/09/16/wanita-tidak-berjilbab-tidak-diterima-shalatnya/
23.08 | 0
komentar | Read More