(Harian Kompas, Kamis, 07/11/2013)
by: http://politik.kompasiana.com/2013/11/08/bukan-lebih-bodoh-daripada-keledai-tetapi-lebih-jahat-daripada-serigala-berbulu-domba-607635.html
“Keledai pun
tak akan mau terperosok ke dalam lubang yang sama sampai dua kali!”
Itulah peribahasa yang cukup sering kita dengar untuk menggambarkan
tidak ada orang normal yang mau melakukan kesalahan yang sama sampai dua
kali, kecuali dia lebih bodoh daripada keledai.
Namun,
di dalam kenyataannya di Indonesia malah cukup sering terjadi pemerintah
melakukan kesalahan yang sama bahkan lebih dari dua kali dalam
kenjalankan suatu kebijakan rutin tertentu. Ironisnya, mereka yang
seharusnya bertanggung jawab karena kewenangannya, yakni
menteri-menterinya tetap bisa langgeng jabatannya karena tidak
dijatuhkan sanksi apapun oleh sang Presiden. Ini juga sebenarnya
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terus terulangnya kesalahan
yang sama itu setiap tahun, karena menteri-menteri itu tidak perlu
merasakan takut dengan sanksi seperti itu.
Sebagai
contoh bagaimana persoalan yang sama terus berulang setiap tahun di
dunia pendidikan nasional dengan problem ujian nasionalnya, masalah
kelangkaan dan persoalan kenaikan harganya yang melebihi kewajaran
setiap tahun di pasaran terhadap daging sapi, beras, bawang putih, cabe,
dan kedele.
Fenomena
ini pun terjadi di saat-saat menjelang Pemilu, antara lain yang saat
ini paling dibicarakan mengenai data-data kependudukan bagi mereka yang
berhak memilih, yang disebut Daftar Pemilih Tetap (DPT). Seperti DPT
Pemilu sebelumnya (2004 dan 2009), DPT Pemilu 2014 kali ini pun
berlarut-larut dengan masalah akurasi data. Sampai-sampai membuat KPU
harus menunda pengumuman penetapan data DPT itu sampai dua kali.
Setelah
ditunda dua kali, pada pengumuman penetapan DPT Pemilu 2014, Senin, 4
November 2013 pun sebenarnya DPT itu masih bermasalah. Seharusnya, KPU
menunda lagi pengumuman DPT itu. Karena sampai saat ini, masih ada 10,4
juta data pemilih yang bermasalah (belum memiliki NIK = Nomor Induk
Kependudukan, NIK ganda, dan NIK yang tidak sesuai dengan orangnya).
Tetapi, dengan alasan sangat tidak baik menunda pengumuman yang teramat
sangat penting itu sampai tiga kali, dan alasan biaya yang akan semakin
membengkak, KPU terkesan memaksa diri untuk tetap mengumumkan DPT Pemilu
2014 itu dengan “menghibur atau menipu diri sendiri” bahwa masalah NIK
itu akan diatasi dalam kurun waktu satu bulan kemudian. Padahal mereka
tahu itu tak bakalan tercapai.
Apakah
KPU dan lain-lain itu seperti atau bahkan lebih bodoh daripada keledai
sehingga melakukan kesalahan yang sama lagi di DPT Pemilu 2014 ini,
seperti secara tersirat disinggung di karikatur Harian Kompas tersebut
di atas? Ataukah, sebaliknya?
Kejanggalan dan Persoalan Hukum di Balik Penetapan DPT
Pada
pengumuman penetapan data DPT pada 4 November itu, diumumkan DPT Pemilu
2014 adalah 186,6 juta pemilih, di antara data itu ada 10,4 juta yang
bermasalah dengan NIK. Padahal NIK itu sangat penting, karena merupakan
satu-satunya basis data identitas setiap WNI baik yang berada di
Indonesia, maupun di luar negeri.
Maka,
tak heran dari pengumuman penetapan data DPT Pemilu 2014 itu muncul
beberapa masalah kejanggalan dan hukum, yakni (sumber: Jawa Pos):
Pertama,
sikap janggal yang diperlihatkan oleh Bawaslu yang dapat mentolerir
penetapan DPT oleh KPU pada 4 November 2013 saat masih ada 10,4 juta
data pemilih yang bermasalah, padahal dalam rapat pleno KPU 23 Oktober
lalu, Bawaslu merekomendasikan penundaan penetapan DPT karena terdapat
10,8 juta data pemilih yang bermasalah. Artinya, sebenarnya masalah pada
23 Oktober yang membuat Bawaslu merekomendasikan penundaan itu masih
jauh dari selesai, kenapa kini Bawaslu berubah sikap menjadi
mentolerirnya?
Kedua,
dari aspek legalitasnya, Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2013, masih
menyebutkan jadwal penetapan DPT adalah pada 23 Oktober 2013.
Pelaksanaannya, penetapan DPT itu ditetapkan pada 4 November 2013. KPU
tidak membuat perubahan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2013 itu terlebih
dahulu, untuk menyebutkan perubahan tanggal penetapan dari 23 Oktober
2013 menjadi 4 November 2013, supaya ada dasar hukumnya. Jadi,
penetapan DPT pada 4 November 2013 itu sebenarnya tidak punya dasar
hukumnya.
Ketiga,
mengenai validitas data: Dengan masih terdapat 10,4 juta pemilih yang
NIK–nya bermasalah. Risikonya adalah potensi kelak terjadinya kekurangan
kartu suara pada saat diselenggarapakn Pemilu 2014. KPU memang mencetak
kartu suara yang dilebihkan sebanyak 2,5 persen kartu suara cadangan,
tetapi ini bukan untuk pemilih tambahan atau khusus tersebut di atas,
tetapi untuk mengantisipasi kalau ada kartu suara yang rusak/cacat.
Keempat,
Kamis, 7/11/2013, anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, mengatakan
pada Rabu, 6/11/2013, dari 10,4 juta data pemilih dengan NIK yang
bermasalah itu, 3,3 juta di antaranya telah berhasil dilengkapi dengan
NIK yang benar (Kompas, Jumat, 08/11/2013).
Menurut
Ferry hal itu dilakukan melalui pengecekan ke dinas kependudukan dan
pencatatan sipil daerah, kelurahan atau desa, ataupun dari daftar Data
Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). Dengan demikian, tinggal 7,1
juta data yang masih bermasalah.
Pertanyaan
saya seperti juga pertanyaan dari Ray Rangkuti dari Lingkar Madani
Indonesia (Lima): “Apa benar pernyataan Ferry itu? Masa iya, dalam tempo
hanya satu hari saja dari tanggal pengumuman penetapan DPT itu (tanggal
5/11 hari libur), KPU sudah memperbaiki 3,3 data yang sebelumnya
bermasalah itu? Dalam satu hari 3,3 juta data bermasalah bisa diklirkan
KPU? Ini memerlukan penjelasan dan transparansi dari KPU.
Ferry
juga menegaskan, untuk pemilih yang sudah terdaftar di DPT, tetapi NIK
yang tercantum salah atau ganda dengan pemilih lain, maka hak pilih
warga tidak akan hilang. Orang tersebut saat Pemilu bisa memberikan
suaranya dengan menunjukkan surat undangan dan/atau KTP.
Pernyataan
Ferry itu seolah-olah berarti persoalan NIK itu bukan sesuatu yang
terlalu penting, toh, mereka yang masih bermasalah dengan NIK tetap saja
bisa memilih. Padahal justru dengan NIK bermasalah ini yang paling
dikhawatirkan dimanfaatkan untuk memanipulasi data hasil Pemilu.
Ketika
semua parpol terus mempertanyakan keakuratan data DPT Pemilu 2014 dan
menghendaki pengumuman penetapannya ditunda lagi oleh KPU, Partai
Demokrat adalah satu-satunya parpol yang menyatakan bisa menerimanya.
Sedangkan Presiden SBY, yang juga Ketua Umum Partai Demokrat tak
bersuara sedikitpun mengenai karut-marutnya DPT Pemilu 2014 ini.
Padahal, saat ini masalah ini adalah yang terpenting bagi masa depan
bangsa dan negara Republik Indonesia ini, untuk mendapat pimpinannya
yang baru yang legalitasnya tak diragukan. Sikap Presiden SBY ini
sangat kontras jika pribadinya, keluarganya, dan parpol-nya yang
dipermasalahkan, langsung reaktif dan emosional.
Kenapa Partai Demokrat yang nota bene
adalah parpol penguasa tidak mempermasalahkan mengenai karut-marutnya
DPT Pemilu 2014 ini? Apakah karena ini ada yang mendesainnya seperti itu
seperti pada Pemilu 2009, demi melanggengkan kekuasaannya?
(Jawa Pos, Jumat, 08/11/2013)
Indikasi akan Ada Manipulasi Data Hasil Pemilu 2014
Di Harian Jawa Pos,
Kamis, 07/11/2013 diberitakan dari Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) mengaku sulit untuk memberi NIK untuk 10,4 juta pemilih
yang masuk di DPT itu (yang bermasalah). Kepala Pusat Penerangan
(Kapuspen) Kemendagri Restuardy Daud menyatakan, pihaknya hanya bisa
memberikan dukungan terhadap upaya optimalisasi akurasi data DPT.
Artinya, sudah hampir dapat dipastikan masalah NIK 10,4 juta pemilih
yang berada di DPT itu tetap akan menjadi sesuatu yang misterius, atau
tepatnya, “dimisteriuskan.”
Di dalam
kemisteriusan itulah muncul data-data “aneh tapi nyata”, salah satunya
adalah orang-orang yang sudah lama almarhum alias meninggal dunia, bisa
masuk di data DPT. Itu jumlahnya tidak sedikit. Sekitar 1,5 juta sampai
dengan 2 juta orang.
Dari
sinilah muncul sindiran dari Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan
Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Maskurin Hafidz beberapa waktu lalu di
status BlackBerry Messenger-nya dia tulis: “Almarhum itu harusnya didoakan masuk surga, bukan dimasukkan dalam DPT.”
Dicurigai
masuknya para almarhum itu ke DPT bukan sesuatu yang tanpa sengaja dan
bukan tanpa maksud. Nama-nama mereka akan dimanfaatkan untuk menambah
suara di hasil Pemilu bagi parpol atau capres-cawapres tertentu.
Upaya
adanya NIK tunggal yang akurat sudah dijalankan sejak menjelang Pemilu
2009, tetapi pada waktu itu harapan itu tak tercapai, atau tepatnya,
harapan itu dibuat menjadi tidak tercapai. DPT-juga ambur-adul mirip
seperti sekarang. Pada waktu itu juga sudah banyak muncul isu-isu
terjadinya manipulasi data untuk keuntungan pihak tertentu yang sekarang
ini sedang memimpin.
Salah
satu indikasinya adalah kasus komisioner KPU saat itu, Andi Nurpati
(kini Wakil Sekretaris Jenderal IV Partai Demokrat) yang diduga telah
memalsukan surat Mahkamah Konstitusi (MK). Kasus itu pernah ditangani
polisi, tetapi kemudian menguap begitu saja.
Pada
waktu itu, 21 September 2009, dalam rapat pleno KPU yang dipimpin oleh
Andi Nurpati, KPU mengambil keputusan berdasarkan surat MK tanggal 14
Agustus 2009, yang intinya berisi keputusan yang oleh karenanya Partai
Hanura-lah yang berhak memperoleh satu kursi di DPR. Surat MK itu dibawa
oleh Andi Nurpati, dan dikatakan berasal dari MK.
Ternyata,
kemudian diketahui surat itu palsu, yang asli tertanggal 17 Agustus
2009, isinya pada intinya adalah oleh karenanya Partai Gerindra-lah yang
memperoleh tambahan satu kuris di DPR.
Dari
hasil penyelidikan diketahui surat MK palsu itu begitu saja ada di
kantor KPU dan dibawa oleh Andi Nurpati, tidak ada kurir dari MK yang
membawanya, dan juga tidak ada mesin fax yang menerima surat itu.
Dihentikan penyidikan kasus ini oleh polisi , membuat kasus ini masih misterius sampai sekarang.
Di saat
menjelang Pemilu 2014 ini ada indikasi-indikasi permainan-permainan
seperti itu diulangi lagi. Indikasinya antara lain kembali kacau lagi
data pemilih tetap Pemilu 2014, dan beberapa kejanggalan lainnya.
e-KTP dengan DPT
Harian Kompas
menulis, sebelum adanya program NIK 2009 tersebut di atas, sudah ada
program yang disebut Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Untuk SIAK 2003-2008, anggarannya sebesar Rp. 800 miliar. Tetapi
program ini gagal memenuhi tenggat waktu. Gagalnya penerapan NIK di DPT
Pemilu 2009 itu membuat seolah Rp 800 miliar itu terbuang percuma. Kini,
hal yang sama terulang lagi di dalam proyek e-KTP-nya Kemendagri.
Selesai
Pemilu 2009, SIAK tetap dilanjutkan, ditargetkan rampung pada 2011 untuk
kepentingan Pemilu 2014. Program ini dilanjutkan dengan perekaman data
untuk e-KTP, pencetakan, dan integrasi sistem. Anggarannya Rp 6,9
triliun, dengan Rp. 5,8 triliun di antaranya untuk perekaman dan
pencetakan 172 juta e-KTP. Ditargetkan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi selesai paling lambat akhir 2012. Agar bisa digunakan dengan
seoptimal mungkin untuk DPT Pemilu 2014. Kemendagri menyatakan keyakinan
mereka, DP4 (daftar penduduk potensial pemilih pemilu) dan DAK2 (data
agregat kependudukan per kecamatan) siap untuk Pemilu 2014.
Bahkan
Gamawan Fauzi sempat berikrar bahwa dia akan mundur jika target
perekaman data 172 juta penduduk tak tercapai pada akhir 2012.
Faktanya, sampai akhir 2012, pemerintah (Kemendagri) mengaku sudah
merekam data 175 juta penduduk. Namun, e-KTP yang dicetak dan
didistribusikan baru mencapai 90 juta. Artinya, proyek ini sebenarnya
juga gagal memenuhi target. Tetapi, sang Menteri pun pura-pura lupa
dengan ikrarnya itu dengan beraneka alasan yang dikemukakan.
Pada
awal Februari 2013 Kemendagri telah menyerahkan 190 juta nama berikut
data kependudukan warga dalam DP4. Saat itu Gamawan menyebutkan, 175
juta di antaranya hasil perekaman e-KTP sehingga akurat. KPU cukup
meneliti 15 juta sisanya.
Bulan
berikutnya, KPU mempertanyakan, data dengan keterangan “tunggal” pada
DP4 hanya 139 juta. Saat itu, Kemendagri mengakui, jumlah itu adalah
data hasil e-KTP yang sudah diidentifikasikan tunggal kendati
perekamannya sudah mencapai 175 juta.
Kompas
mempertanyakan pengakuan (klaim) Kemendagri itu, karena jika 175 juta
data benar-benar sudah direkam sejak Desember 2012, berarti proses
memasukkan, mengunggah, dan mengidentifikasikan data sungguh lamban.
Padahal, ada aparat hingga tingkat desa atau lurah.
Setelah
munculnya karut-marut data (DPT) Pemilu 2014 itu Mendagri Gamawan Fauzi
pun buru-buru bikin pernyataan bahwa antara program e-KPT-nya dengan
masalah DPT pemilu 2014 tidak ada kaitannya. Oleh karena itu pihaknya
tidak bisa dipersalahkan.
UU Nomor
8 Tahun 2012 tentang Pemilu memang tidak menyebutkan e-KTP sama sekali.
Daftar pemilih dimutakhirkan dari DP4. Namun, daftar pemilih jelas tak
lepas dari pengerjaan e-KTP. Sumber datanya belum siap/kacau, pasti
DPT-nya juga kacau.
Jelas,
antara DPT dengan program e-KTP itu erat kaitannya. Karena KPU menerima
DP4 dari Kemendagri, sedangkan untuk DP4 itu datanya diperoleh dari
program e-KTP. Kekacauan ini menunjukkan bahwa program e-KTP itu
sebenarnya sudah gagal. Buktinya, ketika tenggat waktu pendataan DP4
selesai, program e-KTP belum juga tuntas. Itu menghasilkan DP4 tidak
akurat, sehingga ketika dipakai untuk menyusun DPT, kacaulah itu.
Pertanyannya,
apakah ini mencerminkan ketidakbecusan dalam bekerja di Kemendagri,
ataukah memang ini justru merupakan sesuatu yang disengaja, atau bahkan
sebenarnya membawa misi rahasia dari Kemendagri di bawah kepimpinan
Gamawan Fauzi itu, untuk kepentingan dan perintah pihak yang lebih
berkuasa daripadanya? Demi melanggengkan kekuasaan yang ada saat ini?
Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg)
Kerjasama
antara KPU dan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dalam penyelenggaraan
Pemilu 2014 pun sebenarnya merupakan indikasi lain dari
kejanggalan-kejanggan yang mulai kelihatan menjelang Pemilu 2014 ini.
Apa pertimbangan dan motif sebenarnya dari kerjasama ini? Mengingat
kedua lembaga ini sistem dan metoda kerjanya bertolak belakang. KPU
bekerja dalam transparansi ke publik, sedangkan Lemsaneg bekerja dalam
sistem yang serba tertutup dan rahasia.
Kenapa
KPU tidak menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga yang berbasis pada
data dan teknologi informasi, misalnya dari perguruan-perguruuan tinggi
negeri tertentu? Ini, kok malah bekerja sama dengan sebuah lembaga yang kerjanya serba rahasia?
Maka,
wajar kalau ada yang malah curiga, jangan-jangan jalinan kerjasama ini
sesungguhnya hanya untuk menutup dan menghilangkan jejak-jejak
manipulasi data yang pernah diduga terjadi di KPU sebelumnya, dan
sekarang, hendak membantu menyamarkan manipulasi-manipulasi data baru
menjelang Pemilu 2014?
Lebih Jahat daripada Serigala Berbulu Domba
Kalau
kesalahan-kesalahan menjelang Pemilu yang lalu-lalu dilakukan lagi
sekarang bukan karena ketidakbecusan mereka, melainkan memang merupakan
sesuatu yang disengaja, bahkan justru merupakan tugas dan misi mereka
merekayasa kesalahan-kesalahan tersebut demi kepentingan pemenangan
Pemilu 2014 oleh pihak tertentu (yang berkuasa sekarang?), maka mereka
itu bukan lebih bodoh daripada keledai yang bisa terperosok ke dalam
lubang yang sama sampai dua kali, tetapi sesungguhnya mereka itu lebih
jahat daripada serigala berbulu domba. ***
Sumber informasi dan data:
- Harian Jawa Pos, Rabu, 06/11/2013: “Penetapan DPT Tanpa Payung Hukum: (halaman 2),
- Harian Kompas, Rabu, 06/11/2013: “Data Pemilih: NIK, E-KTP, dan DPT” (halaman 5),
- Harian Kompas, Jumat, 08/11/2013: “Jangan Hilangkan Hak Pemilih.”