NEW YORK (SuaraMedia News) – Di sebuah negara Islam, merayakan
Ramadhan biasanya sangat sederhana; kebanyakan orang berpuasa dari fajar
hingga senja. Namun di AS, dimana kebanyakan orang makan, dan reklame
makanan yang menggoda, restauran yang sangat banyak dan melihat orang
lain makan dapat menjadikan ibadah di bulan Ramadhan lebih menantang.
Bagaimana Muslim AS dapat mengatasi keinginan dan godaan yang datang, pandangan yang bertanya-tanya, serta pertanyaan-pertanyaan “Apa kamu sedang diet?”
The Associated Press mewawancarai beberapa mahasiswa mengenai Ramadhan, yang dimulai sekitar 21 atau 22 Agustus menurut para ulama Muslim, dan berlangsung selama kira-kira 30 hari (Ramadhan ditetapkan berdasarkan pengamatan terhadap bulan).
Berikut ini adalah cerita-cerita mereka.
Saba Shahid, 17 tahun yang berasal dari Naugatuck, Connecticut. Ia adalah seorang mahasiswi tahun pertama di Quinnipiac University in Hamden.
“Saya dapat mengingat ketika saya masih muda, saya dan kakak laki-laki saya akan berpura-pura sedang berpuasa. Kami menemui orang tua kami dan berkata bahwa kami tidak akan mau makan, kami juga berpuasa.
“Orang tua kami tidak pernah memaksa kami untuk berpuasa. Kami dibesarkan dalam sebuah tradisi dan kebiasaan Muslim dari usia yang sangat muda.”
Saba yakin bahwa pertama kali dia berpuasa denngan benar adalah ketika dia berada di kelas empat atau lima SD.
“Saya bersekolah di sekolah Katolik dan semua orang sangat mendukung saya. Saya memiliki seorang teman yang non-Muslim yang ikut berpuasa bersama saya. Kadang-kadang saya pergi ke kantin, namun pada saat makan siang saya lebih sering ke perpustakaan.”
Saba melanjutkan ceritanya, “Ada hari-hari dimana saya sangat sibuk di pagi hari hingga hanya sempat minum air. Tapi saya tidak akan berbohong. Ada hari-hari tertentu dimana saya tidak dapat menunggu hingga Magrib untuk dapat makan.
“Pada akhir bulan Ramadhan, kami merayakan Idul Fitri. Semua orang bersiap-siap merayakannya. Kami sholat berjamaah dan makan bersama. Ketika kami pulang kami akan mendapat hadiah dan pergi ke rumah-rumah tetangga, seperti acara Natal,” ujar Saba menutup ceritanya.
Abdullah Shamari, 19, dari Pomona California, seorang mahasiswa tahun kedua di University of California, menceritakan bagaimana ketika ia masih berusia 6 atau 7 tahun, dia sangat bersemangat untuk berpuasa.
“Saya berpuasa di sekolah dan kemudian buka puasa ketika saya pulang ke rumah. Ada anak-anak yang masih berusia 6 atau 7 tahun melakukan puasa penuh. Orang tua disini tidak menyuruh anak-anak untuk berpuasa, namun anak-anak sendiri yang menginginkannya.”
Ia mengakui bahwa dia sendiri berpuasa penuh mulai usia 11 tahun.
“Ketika anda bertumbuh dewasa anda akan menyadari pentingnya puasa. Ada yang lebih dari sekedar menahan lapar ataupun menghindari makanan. Namun lebih ke puasa moral. Anda memperbaiki diri anda di segala aspek.”
Ia mengatakan hari pertama adalah yang tersulit, “Di hari pertama dan anda tidak pernah berpuasa setahun sebelumnya, anda akan merasa lapar. Anda akan mengalami sakit kepala. Tapi, selanjutnya, anda tidak akan merasakan lapar.”
Ia menggambarkan puasa seperti berjuang dalam balapan yang panjang dan ada titik-titik dimana ia ingin berhenti, namun setelah melewati titik tersebut, “Anda akan terus berlari” ujarnya.
“Anda lapar dan anda tahu anda harus terus melanjutkannya. Pada akhir dari perjalanan, anda akan merasa lega karena telah berhasil mencapai sesuatu yang telah memperbaiki diri anda dengan cara tertentu, bahkan jika itu adalah menghilang satu kebiasaan buruk kecil.”
Aisha Azher dari Iowa mengatakan bahwa pada awalnya dia merasakan sangat lapar, dan mulai menginginkan untuk makan, terutama jika menonton televisi dan melihat iklan makanan. “Saya terus menyibukan diri saya. Ketika saya sibuk, saya tidak berfikir tentang makanan.” Ujar gadis berusia 18 tahun tersebut.
Gadis yang pindah dari Pakistan sejak usia 9 tahun tersebut berkata bahwa ia pertama kali puasa pada usia 12 tahun. Pada usia 14 dia sudah mulai terbiasa.
Aisha mengakui bahwa dengan adanya teman-teman yang mendukung, puasanya menjadi lebih ringan. “Terkadang teman-teman saya mengubah rencana sehingga kami dapat nonton film dan bukannya pergi ke restoran.”
Aisha melanjutkan, “Mereka bertanya-tanya tentang Ramadhan. Saya mengatakan kepada mereka bahwa itu adalah bulan puasa dan dalam bulan ini kami tidak makan dari Subuh hingga Magrib. Kemudian mereka bertanya mengapa. Saya menjawab bahwa dalam Islam kami seharusnya dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang miskin. Pada saat yang sama, kami juga harus mengatasi celah dari kepribadian kita.”
Aisha mengatakan bahwa ia terkadang berbuka puasa dengan pizza, namun biasanya dia berbuka puasa dengan meminum air putih kemudian makan buah.
“Saya berusaha mengurangi berat badan. Namun, dalam kegiatan di Masjid setiap Sabtu, mereka menghidangkan banyak makanan pencuci mulut, jadi apapun yang telah anda keluarkan pada seminggu ini akan kembali lagi pada akhir pekan.”
Sebagai keturunan Pakistan, Qasim Ijaz, seorang mahasiswa tahun ketiga di Community College di Rocherster New York, mengatakan bahwa kehidupan puasa di New York berbeda dengan di Pakistan.
“Di Pakistan kebanyakan penduduknya adalah Muslim dan hampir tidak ada yang makan ketika Ramadhan. Namun di sini, semua orang makan di sekitar anda. Sangat mudah sekali untuk berlaku curang. Tapi saya tidak pernah curang. Allah ada dimana-mana. Allah Maha Melihat.”
Menurutnya, teman-temannya cukup pengertian karena mereka tidak makan di depannya ketika ia sedang puasa. “Kami merencanakan sesuatu tanpa makanan, seperti melakukan bowling, atau bermain bilyard, atau hanya berjalan-jalan atau berkendara yang jauh.” Kisah pemuda 19 tahun ini.
“Namun, jika seseorang makan, saya berusaha untuk tetap sibuk dengan hal lain sehingga saya tidak melihatnya makan. Semakin sering anda memperhatikan orang makan, semakin ingin anda untuk makan. Saya mulai membaca buku atau bermain komputer. Saya mungkin juga Sholat.”
Ramadhan lebih dari sekedar tidak makan atau merokok atau minum air, ujarnya. “Itu juga menghentikan diri anda dari berkata bohong, bersikap curang. Itu menghentikan anda dari segala yang bersifat tidak etis.”
Qasim adalah wakil ketua dari klub Muslim di kampusnya tahun lalu dan ia mendapatkan banyak pertanyaan seputar mengapa mereka berpuasa.
“Saya suka ketika orang-orang bertanya. Cara terbaik untuk menghilangkan miskonsepsi adalah dengan bertanya.”
Koresponden lain adalah Ismahan Warfa, mahasiswi tahun terakhir di University of California.
“Orang-orang bertanya kepada saya ‘Apakah anda sedang diet?’ dan saya menjawab ‘tidak’. Banyak sekali orang yang salah mengira bahwa Ramadhan adalah saat dimana orang-orang Islam berlapar-lapar tanpa alasan. Orang-orang berdiet untuk menjadi kurus; tapi puasa, memiliki tujuan lain. Puasa mengajarkan anda pengendalian diri.”
Selama satu bulan “anda harus mengontrol lidah anda, yakinkanlah bahwa anda bersikap baik pada orang-orang. Anda beramal dan bersedekah kepada mereka yang kurang beruntung.”
Ismahan berkata ia menggunakan bulan ini untuk merefleksikan karakternya dan melihat kekurangan-kekurangan tertentu yang ini dirubah sehingga dapat menjadi orang yang lebih baik. “Saya telah menetapkan tujuan untuk diri saya sendiri untuk mengingat sebuah ayat dari Al-Quran dan mencoba menerapkannya pada diri saya.
“Karena kami adalah manusia, kami selalu menginginkan makan, saya memiliki kelemahan pada coklat. Namun saya merasa kecewa dengan diri saya jika membiarkan nafsu tersebut mengontrol saya.”
Ia mengakui bahwa ia merasa sedih ketika bulan Ramadhan berakhir. “Anda merasa berkah bulan Ramadhan. Pada saat yang sama saya merasa bahagia karena saya telah menetapkan tujuan saya untuk sepanjang tahun. Saya sangat mencintai bulan itu.” (iw/sod/s.med)
Bagaimana Muslim AS dapat mengatasi keinginan dan godaan yang datang, pandangan yang bertanya-tanya, serta pertanyaan-pertanyaan “Apa kamu sedang diet?”
The Associated Press mewawancarai beberapa mahasiswa mengenai Ramadhan, yang dimulai sekitar 21 atau 22 Agustus menurut para ulama Muslim, dan berlangsung selama kira-kira 30 hari (Ramadhan ditetapkan berdasarkan pengamatan terhadap bulan).
Berikut ini adalah cerita-cerita mereka.
Saba Shahid, 17 tahun yang berasal dari Naugatuck, Connecticut. Ia adalah seorang mahasiswi tahun pertama di Quinnipiac University in Hamden.
“Saya dapat mengingat ketika saya masih muda, saya dan kakak laki-laki saya akan berpura-pura sedang berpuasa. Kami menemui orang tua kami dan berkata bahwa kami tidak akan mau makan, kami juga berpuasa.
“Orang tua kami tidak pernah memaksa kami untuk berpuasa. Kami dibesarkan dalam sebuah tradisi dan kebiasaan Muslim dari usia yang sangat muda.”
Saba yakin bahwa pertama kali dia berpuasa denngan benar adalah ketika dia berada di kelas empat atau lima SD.
“Saya bersekolah di sekolah Katolik dan semua orang sangat mendukung saya. Saya memiliki seorang teman yang non-Muslim yang ikut berpuasa bersama saya. Kadang-kadang saya pergi ke kantin, namun pada saat makan siang saya lebih sering ke perpustakaan.”
Saba melanjutkan ceritanya, “Ada hari-hari dimana saya sangat sibuk di pagi hari hingga hanya sempat minum air. Tapi saya tidak akan berbohong. Ada hari-hari tertentu dimana saya tidak dapat menunggu hingga Magrib untuk dapat makan.
“Pada akhir bulan Ramadhan, kami merayakan Idul Fitri. Semua orang bersiap-siap merayakannya. Kami sholat berjamaah dan makan bersama. Ketika kami pulang kami akan mendapat hadiah dan pergi ke rumah-rumah tetangga, seperti acara Natal,” ujar Saba menutup ceritanya.
Abdullah Shamari, 19, dari Pomona California, seorang mahasiswa tahun kedua di University of California, menceritakan bagaimana ketika ia masih berusia 6 atau 7 tahun, dia sangat bersemangat untuk berpuasa.
“Saya berpuasa di sekolah dan kemudian buka puasa ketika saya pulang ke rumah. Ada anak-anak yang masih berusia 6 atau 7 tahun melakukan puasa penuh. Orang tua disini tidak menyuruh anak-anak untuk berpuasa, namun anak-anak sendiri yang menginginkannya.”
Ia mengakui bahwa dia sendiri berpuasa penuh mulai usia 11 tahun.
“Ketika anda bertumbuh dewasa anda akan menyadari pentingnya puasa. Ada yang lebih dari sekedar menahan lapar ataupun menghindari makanan. Namun lebih ke puasa moral. Anda memperbaiki diri anda di segala aspek.”
Ia mengatakan hari pertama adalah yang tersulit, “Di hari pertama dan anda tidak pernah berpuasa setahun sebelumnya, anda akan merasa lapar. Anda akan mengalami sakit kepala. Tapi, selanjutnya, anda tidak akan merasakan lapar.”
Ia menggambarkan puasa seperti berjuang dalam balapan yang panjang dan ada titik-titik dimana ia ingin berhenti, namun setelah melewati titik tersebut, “Anda akan terus berlari” ujarnya.
“Anda lapar dan anda tahu anda harus terus melanjutkannya. Pada akhir dari perjalanan, anda akan merasa lega karena telah berhasil mencapai sesuatu yang telah memperbaiki diri anda dengan cara tertentu, bahkan jika itu adalah menghilang satu kebiasaan buruk kecil.”
Aisha Azher dari Iowa mengatakan bahwa pada awalnya dia merasakan sangat lapar, dan mulai menginginkan untuk makan, terutama jika menonton televisi dan melihat iklan makanan. “Saya terus menyibukan diri saya. Ketika saya sibuk, saya tidak berfikir tentang makanan.” Ujar gadis berusia 18 tahun tersebut.
Gadis yang pindah dari Pakistan sejak usia 9 tahun tersebut berkata bahwa ia pertama kali puasa pada usia 12 tahun. Pada usia 14 dia sudah mulai terbiasa.
Aisha mengakui bahwa dengan adanya teman-teman yang mendukung, puasanya menjadi lebih ringan. “Terkadang teman-teman saya mengubah rencana sehingga kami dapat nonton film dan bukannya pergi ke restoran.”
Aisha melanjutkan, “Mereka bertanya-tanya tentang Ramadhan. Saya mengatakan kepada mereka bahwa itu adalah bulan puasa dan dalam bulan ini kami tidak makan dari Subuh hingga Magrib. Kemudian mereka bertanya mengapa. Saya menjawab bahwa dalam Islam kami seharusnya dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang miskin. Pada saat yang sama, kami juga harus mengatasi celah dari kepribadian kita.”
Aisha mengatakan bahwa ia terkadang berbuka puasa dengan pizza, namun biasanya dia berbuka puasa dengan meminum air putih kemudian makan buah.
“Saya berusaha mengurangi berat badan. Namun, dalam kegiatan di Masjid setiap Sabtu, mereka menghidangkan banyak makanan pencuci mulut, jadi apapun yang telah anda keluarkan pada seminggu ini akan kembali lagi pada akhir pekan.”
Sebagai keturunan Pakistan, Qasim Ijaz, seorang mahasiswa tahun ketiga di Community College di Rocherster New York, mengatakan bahwa kehidupan puasa di New York berbeda dengan di Pakistan.
“Di Pakistan kebanyakan penduduknya adalah Muslim dan hampir tidak ada yang makan ketika Ramadhan. Namun di sini, semua orang makan di sekitar anda. Sangat mudah sekali untuk berlaku curang. Tapi saya tidak pernah curang. Allah ada dimana-mana. Allah Maha Melihat.”
Menurutnya, teman-temannya cukup pengertian karena mereka tidak makan di depannya ketika ia sedang puasa. “Kami merencanakan sesuatu tanpa makanan, seperti melakukan bowling, atau bermain bilyard, atau hanya berjalan-jalan atau berkendara yang jauh.” Kisah pemuda 19 tahun ini.
“Namun, jika seseorang makan, saya berusaha untuk tetap sibuk dengan hal lain sehingga saya tidak melihatnya makan. Semakin sering anda memperhatikan orang makan, semakin ingin anda untuk makan. Saya mulai membaca buku atau bermain komputer. Saya mungkin juga Sholat.”
Ramadhan lebih dari sekedar tidak makan atau merokok atau minum air, ujarnya. “Itu juga menghentikan diri anda dari berkata bohong, bersikap curang. Itu menghentikan anda dari segala yang bersifat tidak etis.”
Qasim adalah wakil ketua dari klub Muslim di kampusnya tahun lalu dan ia mendapatkan banyak pertanyaan seputar mengapa mereka berpuasa.
“Saya suka ketika orang-orang bertanya. Cara terbaik untuk menghilangkan miskonsepsi adalah dengan bertanya.”
Koresponden lain adalah Ismahan Warfa, mahasiswi tahun terakhir di University of California.
“Orang-orang bertanya kepada saya ‘Apakah anda sedang diet?’ dan saya menjawab ‘tidak’. Banyak sekali orang yang salah mengira bahwa Ramadhan adalah saat dimana orang-orang Islam berlapar-lapar tanpa alasan. Orang-orang berdiet untuk menjadi kurus; tapi puasa, memiliki tujuan lain. Puasa mengajarkan anda pengendalian diri.”
Selama satu bulan “anda harus mengontrol lidah anda, yakinkanlah bahwa anda bersikap baik pada orang-orang. Anda beramal dan bersedekah kepada mereka yang kurang beruntung.”
Ismahan berkata ia menggunakan bulan ini untuk merefleksikan karakternya dan melihat kekurangan-kekurangan tertentu yang ini dirubah sehingga dapat menjadi orang yang lebih baik. “Saya telah menetapkan tujuan untuk diri saya sendiri untuk mengingat sebuah ayat dari Al-Quran dan mencoba menerapkannya pada diri saya.
“Karena kami adalah manusia, kami selalu menginginkan makan, saya memiliki kelemahan pada coklat. Namun saya merasa kecewa dengan diri saya jika membiarkan nafsu tersebut mengontrol saya.”
Ia mengakui bahwa ia merasa sedih ketika bulan Ramadhan berakhir. “Anda merasa berkah bulan Ramadhan. Pada saat yang sama saya merasa bahagia karena saya telah menetapkan tujuan saya untuk sepanjang tahun. Saya sangat mencintai bulan itu.” (iw/sod/s.med)
22.30 | 0
komentar | Read More