Penulis : Tim Global Future Institute (GFI) | |
Waspadalah
terhadap gagasan otonomi daerah atau pemekaran provinsi baru, apalagi
kalau gagasan tersebut muncul dari orang asing. Dalam kasus Irak pasca
kejatuhan Saddam Hussein pada 2003 lalu, Peter Galbraith merupakan salah
satu konseptor lahirnya Undang-Undang Dasar baru Irak yang menekankan
betul betapa pentingnya desentralisasi dan otonomi daerah di Irak.
| |
Dalam
kerangka Rekonstruksi Irak, Galbraith memang tokoh sentral yang
memegang peranan penting dalam Irak pasca Saddam sejak 2003. Dialah yang
memperjuangkan lahirnya sebuah produk hukum baru pasca Irak menuju
desentralisasi dan terbelahnya Irak menjadi tiga negara bagian dalam
kerangka negara federal. Dengan kata lain, Peter Galbraith termasuk
pejabat tinggi Amerika yang menghalalkan terjadinya dis-integrasi
nasional di Irak.
Namun setelah enam tahun berlalu, ternyata terungkap bahwa Peter Galbraith memiliki kepentingan pribadi di Irak, dan gagasannya untuk Memecah-belah Irak menjadi negara bagian dalam kerangka negara federal, ternyata bukan murni atas dasar keyakinan politik maupun ideologi. Baru-baru ini, sebuah majalah terkenal Norwegia yang memfokuskan pemberitaannya di bidang keuangan, Dagens Naeringsliv (DN), mengungkap sebuah informasi yang cukup mengejutkan. Bahwa Galbraith, ternyata memiliki 5% saham di DNO's Duhok and Tawke Oil production di Kurdistan. Tentu saja ini merupakan skandal besar karena akan menjadi bukti nyata bahwa keterlibatan Amerika dalam menyusun konstitusi baru (UUD) Irak pasca Saddam, ternyata sejak awal bermuatan kepentingan ekonomi-bisnis dari para petinggi pemerintahan Presiden George W. Bush. Dan skandal Galbraith, hanya sekadar salah satu bukti nyata dari kecurigaan masyarakat internasional yang sudah berkembang sejak invasi militer Amerika ke Irak. Fakta yang diungkap majalah DN Norwegia bahwa Galbraith memilki kepemilikan saham sebesar 5% dari Production Sharing Agreement (PSA) sejak Juni 2004 lalu, dengan jelas membuktikan bahwa skema Amerika untuk merekonstruksi Irak sebagai negara federal yang bertumpu pada desentralisasi, ternyata berkaitan dengan kepentingan strategis Amerika di bidang ekonomi dan bisnis. Namun kasus Galbraith, kesepakatan untuk melibatkan kepemilikan dirinya sebesar 5% saham tersebut batal gara-gara adanya kesepakatan kontrak baru pada 2008. Sehingga berakibat munculnya gugatan sebesar 500 juta dolar Amerika kepada DNO. Dan dalam hal gugatan ini, majalah DN memiliki bukti cukup kuat bahwa Galbraith termasuk salah satu para pihak yang menggugat DNO tersebut. Galbraith, menurut majalah DN merupakan satu dari dua orang pemilik modal misterius yang menggugat DNO. Adapun satu lagi pemilik modal misterius yang menggugat DNO adalah mitra Galbraith asal Yaman, multi milioner bernama Shahir Abdul Haq. Mereka berdua bermitra melalui sebuah perusahaan konsultan bernama Porcupine. Kalau fakta yang diungkap majalah DN Norwegia tersebut memang benar dan akurat adanya, maka dampaknya bisa menjadi luar biasa menggegerkan. Betapa tidak. Ini akan menjadi sebuah bukti nyata betapa proses penyusunan konstitusi Irak pasca Saddam sedari awal telah sarat dengan kepentingan bisnis. Yaitu, terkait secara langsung dengan beroperasinya kegiatan bisnis Perusahaan minyak DNO dan Tawke. Artinya, ada upaya secara sadar agar produk UUD baru Irak harus sejalan dengan kepentingan dan keuntungan bisnis jangak panjang dari perusahaan minyak DNO dan Tawke di Kurdistan, Irak. Sehingga gugurlah citra Galbraith sebagai petinggi pemerintahan Amerika yang memprakarsai sebuah negara federal Irak semata didasari oleh keyakinan ideologis dan demi terciptanya Irak yang modern dan demokratis. Fakta yang diungkap majalah DN Norwegia, justru membuktikan bahwa invasi militer Amerika ke Irak memang sarat dengan berbagai motif busuk dan itikad buruk. Dengan begitu, buku karya Galbaith bertajuk The End Of Iraq, terbitan 2006, yang pada waktu itu dinilai sebagai karya seorang negarawan Amerika yang punya itikad baik untuk kemajuan Irak, maka sekarang bisa dibaca sebagai bukti adanya sebuah konspirasi untuk memecah-belah Irak. Dan ironisnya, melalui bukunya ini, Galbraith lah yang memberi pengakuan secara tidak sadar bahwa dirinya terlibat dalam gerakan konspirasi memecah-belah Irak. “Dua minggu sejak Saddam tumbang, saya mulai mengadakan rangkaian diskusi dengan para petinggi Kurdi di Irak untuk membahas masa depan Kurdistan di Irak. Dan apa yang mereka bisa capai di Irak melalui UUD baru Irak,” begitu kisah Galbraith di bukunya halaman 159. Memang kalau kita nilai UUD Irak 2005, kekuasaan dan kewenangan pemerintahan pusat di Baghdad nampaknya memang lemah sekali. Dan hal ini ternyata berkat peran sentral dari Galbraith dan ”tangan-tangan tersembunyi” pihak Amerika dalam ikut campur menyusun UUD baru Irak. Dan dengan klausul yang memberi kekuasaan yang besar kepada negara bagian dalam kerangka sistem negara federal tersebut, kepentingan strategis para elit politik Kurdi di Irak telah diuntungkan dalam berhadapan dengan pemerintahan pusat Irak di Baghdad. Bayangkan saja. Melalui UUD baru Irak hasil rancangan Galbraith itu, Pemerintahan Daerah Kurdistan berhak mendirikan angkatan bersenjatanya sendiri. Berhak sepenuhnya atas kepemilikan bumi, air, minyak dan mineral yang terkandung di wilayah Kurdistan. Bahkan Kurdistan berhak untuk mengelola ladang minyak yang ada wilayah kekuasaannya, termasuk dalam mengelola pendapatan hasil minyak mereka, meski pemerintahan pusat Baghdad tetap berwenang mengelola produksi komersial ladang minyak tersebut. Namun di atas itu semua, peran sentral Peter Galbraith memang harus diwaspadai. Karena dalam soal pecah-belah negara berdaulat, Galbraith nampaknya memang ahlinya. Sewaktu menjadi Duta Besar Amerika untuk Krosia pada 1993-1998, Galbraith termasuk salah satu actor intelektual yang berhasil memecah-belah negara Balkan menjadi Serbia, Bosnia dan Krosia. Padahal dulunya, ketiga negara itu menyatu dalam Republik Yugoslavia berkat rintisan Marsekal Joseph Broz Tito. Bagi Indonesia, di tengah kekhawatiran kemungkinan skenario pecah belah di Papua dan Aceh, maka terungkapnya skandal Peter Galbraith seharusnya mendorong pemerintahan SBY dan pemimpin Badan Intelijen Negara yang sekarang dipegang oleh mantan Kapolri Sutanto, semakin waspada tehadap berbagai modus operandi intelijen asing di Indonesia. |
17.25 | 0
komentar | Read More