GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

Berburu Kue Selepas Malam

Written By Situs Baginda Ery (New) on Selasa, 12 November 2013 | 20.28

by: http://travel.kompas.com/read/2013/11/12/0758398/Berburu.Kue.Selepas.Malam




Kue berbahan beras khas Bugis-Makassar. | KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Oleh: Budi Suwarna & Aswin Rizal Harahap  

Pukul 02.00, budayawan Makassar, Asdar Muis, mengetuk pintu dapur rumah Sarifa (75) dan Khairana. Setengah berbisik, ia bertanya, ”Kue sikaporonya masih ada, Mak?” Sunyi sebentar sebelum datang jawaban, ”Masih Nak.”

Sejurus kemudian, pintu dapur dibuka. Sarifa dan anaknya, Khairana, muncul dengan wajah yang dibayangi kantuk. Dengan sopan, mereka mempersilakan Asdar dan Kompas masuk ke dapur rumah yang sederhana dan temaram itu. Beberapa loyang sikaporo, kue berbahan tepung beras, santan, dan pandan, tertata rapi di atas balai kayu besar. Penampilannya amat lugu, tanpa hiasan apa pun.

Dua meter dari situ, ada gantungan kain berisi sikaporo baru matang yang sedang diangin-anginkan. Aroma santan dan pandan mengabarkan kelezatan. Khairana mengambil dua loyang sikaporo berwarna hijau dan membelahnya menjadi beberapa bagian. Kami mencomot satu bagian dan mengunyahnya perlahan sambil menunggu sensasi yang akan dihadirkan kue itu.

Sensasi itu muncul dalam hitungan detik. Sikaporo yang kami kunyah teksturnya amat lembut. Saking lembutnya, kue itu terasa lumer di mulut bersama rasa gurih, rasa khas pandan, dan jejak asin yang tersamar.

Tidak terasa, dua loyang sikaporo berukuran 30 cm x 30 cm tandas sudah. Kami mengalihkan perhatian ke kue sala’ yang berwarna coklat. Kue itu berbahan dasar seperti sikaporo, hanya saja adonan sala’ dibubuhi gula aren. Tekstur sala’ sama lembutnya dengan sikaporo. Perbedaannya hanya satu, sala’ berasa manis.

”Limited edition”

Sikaporo dan sala’ selama bertahun-tahun menarik sejumlah orang datang malam-malam ke dapur rumah Sarifa dan Khairana di Kelurahan Jagong, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Ibu dan anak itu memang hanya menjual kue di dapurnya mulai pukul 20.00 hingga kue dagangan tandas. Berapa pun banyaknya permintaan pasar, Sarifa dan Khairana hanya membuat 15 loyang sikaporo dan 10 loyang sala' setiap malam. Tidak lebih tidak kurang. Katakanlah ini limited edition, meminjam istilah bisnis modal besar.

”Ee...dari dulu begitu Nak. Kami hanya buat 15 loyang sikaporo dan 10 loyang sala’,” jawab Khairana singkat ketika ditanya alasannya tidak membuat kue lebih banyak.

Karena kue yang dibuat amat terbatas, pembeli harus rebutan. Siapa yang datang lebih dulu, dialah yang pertama-tama dilayani. Pembeli boleh memesannya lebih dahulu, tapi mereka tetap mesti datang ke rumah Khairana dan Sarifa sebab mereka tidak punya alat komunikasi jarak jauh seperti telepon.


 
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Menumbuk beras.
Dengan begitu, perburuan sikaporo dan sala’ ke dapur Sarifa dan Khairana tidak selalu membuahkan hasil. Pernah suatu malam, Asdar mengantar sejumlah kawannya dari Jakarta yang tertarik mencicipi sikaporo dan sala’. Asdar pun mengantar mereka dengan mobil dari Makassar yang berjarak 52 kilometer dari Pangkep.

”Kami tiba di sana pukul 01.00. Ketika rumahnya saya ketuk, si ibu teriak dari dalam, ’La’ busu Na’. Kuenya sudah habis, Nak’. Kami hanya tersenyum kecut, tidak bisa marah sebab aturan mainnya jelas: siapa datang lebih awal, dia yang dapat,” kenangnya.

Buat Asdar, situasi serba tak pasti untuk mendapatkan sikaporo dan sala’ justru menjadi keasyikan tersendiri. ”Kadang datang jam 21.00 kita tidak kebagian kue, datang jam 02.00 malah kebagian. Ini seperti main teka-teki, dan kita baru mendapatkan jawabannya setelah mengetuk pintu mereka,” ujar Asdar yang tidak pernah kapok datang jauh-jauh dari Makassar demi sepotong sikaporo.

Dua orang tersisa

Selain Sarifa dan Khairana, tidak ada lagi penjual sikaporo dan sala’ di Pangkep. Boleh dikata mereka berdua adalah pembuat sikaporo dan sala’ yang masih tersisa. Bisa dipahami mengapa kue ini sekarang mulai langka.

Khairana menceritakan, ia bisa membuat sikaporo dan sala’ lantaran membantu ibunya di dapur sejak 32 tahun lalu. Adapun Sarifa tidak ingat sudah berapa tahun ia membuat sikaporo. Yang pasti, ia belajar membuat sikaporo dan sala’ dari almarhumah ibunya, Jaisah. Jaisah belajar bikin sikaporo dari orangtuanya. Seperti itu seterusnya turun-temurun. Begitulah, keterampilan membuat sikaporo dan sala’ diturunkan dari generasi ke generasi. Hanya sikaporo dan sala’, kue yang lain tidak.

Asdar yang lahir dan besar di Pangkep menjelaskan, leluhur Sarifa dan Khairana dulunya adalah pelayan Kerajaan Pangkajene yang khusus membuat sikaporo. ”Setiap pelayan ketika itu hanya membuat satu-dua kue yang spesifik. Mereka tidak bisa membuat kue yang lain,” tambah Asdar yang neneknya juga juru masak kerajaan.

Apa yang dikatakan Asdar itu bisa menjelaskan mengapa pembuat kue sikaporo tersisa hanya segelintir orang. Secara umum, kata antropolog dari Universitas Hasanuddin, Tasripin Tahara, resep masakan di masyarakat Bugis-Makassar memang diwariskan secara eksklusif hanya kepada keluarga dekat saja. Pewaris akan berusaha mengikuti resep tersebut seutuhnya.

Tengoklah Sarifa dan Khairana. Mereka juga mengolah sikaporo dan sala’ dengan cara yang sama seperti diajarkan tetuanya. Mereka menumbuk sendiri beras menjadi tepung dengan alu dan lumpang warisan tetua. Bahkan, dulu, mereka menanam sendiri padi yang berasnya dijadikan bahan sikaporo.

Suatu siang, kami melihat Sarifa menumbuk lima liter beras di kolong rumah panggungnya. Ia mengeluarkan banyak tenaga untuk menghaluskan beras. Selanjutnya, ia menyaring beras yang telah hancur itu dengan kain kerudung yang pori-porinya amat rapat. Hasilnya, tepung yang dihasilkan sangat halus. Pekerjaan berat menumbuk beras dilakoni Sarifa mulai pukul 10.00 dan baru selesai pukul 17.00. Setelah itu, tepung beras itu ia olah bersama Khairana menjadi sikaporo dan sala’ pukul 17.00. Pukul 19.00, kue matang, selanjutnya Sarifa dan Khairana menunggu pembeli datang. Saat sepi, mereka begadang menunggu pembeli yang mengetuk pintu dapurnya di tengah malam.

 
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Membuat kue.
Seloyang sikaporo yang dibuat dengan usaha amat keras itu mereka jual hanya Rp 7.500, sedangkan sala’ Rp 15.000. ”Keuntungannya Rp 45.000 per hari. Yang penting cukup untuk beli beras lagi,” ujar Sarifa.

Meski hasil usahanya tidak seberapa, Sarifa dan Khairana menegaskan, mereka akan terus membuat sikaporo dan sala’. ”Kami hanya bisa buat kue itu, sudah jadi tradisi keluarga,” tambah Khairana.

Begitulah, kedua perempuan tua itu bukan sekadar pembuat kue. Mereka bisa dikatakan penjaga tradisi Bugis-Maka

0 komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...