“Dunia nggak akan kiamat hanya karena kamu di bullying”
***
Mata Milly yang coklat menerawang jauh menembus kaca jendela kelasnya. Beberapa kali ia melirik ke arah benda berdetak di sudut kelas. Ternyata bukan hanya Milly yang bersikap seperti itu. Hampir seluruh penghuni kelas! Bukan tanpa alasan mengapa mereka begitu tak sabar menanti. Sebab, seharusnya sudah dua menit yang lalu bel istirahat berkumandang, tapi sekarang mereka masih saja berkutat dengan pelajaran matematika.
Benar saja, tiga detik setelah bel berdering nyaring. Hanya dengan sekejap, setengah dari murid di kelas sudah tak berada di tempat
semula. Mereka semua sudah berhamburan menuju ke kantin, tempat tujuan wisata paling populer saat istirahat di sekolah. Apalagi, hari ini, ada promo spektakuler dari para penjual di kantin. Kebetulan, ada promo beli satu gratis satu yang sangat menyedot antusiasme siswa. Tak terkecuali Milly dan Pia yang notabene sedang dilanda kelaparan, akibat pelajaran yang mengandalkan angka itu. Tak ada salahnya kalau mereka turut berpartisipasi.
@@@
Dengan langkah yang tak kalah kalapnya dengan siswa yang lain,
Milly dan Pia berusaha mendapat antrean di kantin bu Imah. Kantin
inilah yang memelopori adanya event luar biasa itu. Beli spagheti
satu piring, bonus satu piring lagi. Dan kini, antrean panjang pun tak
bisa diantisipasi. Milly dan Pia pun jadi salah satu di antaranya. Kali
ini, persediaan bonus hanya sejumlah lima puluh piring saja. Jadi tak
heran kalau Milly dan Pia seperti orang kesetanan hari ini.Tak terasa, yang awalnya Milly berada di antrean ke empat puluh delapan, kini beralih jadi antrean ke dua. Tinggal selangkah lagi ia berhak mendapatkan paket hemat dari kantin ini. Dengan segenap kobaran semangatnya, Milly berusaha sabar menunggu hingga detik terakhir. Itulah Milly, ia selalu berusaha dengan keras dan bersungguh-sungguh mendapatkan apa yang ia inginkan.
Namun, tiba-tiba di saat hiruk pikuk keramaian kantin membuat bising segala pelosok sekolah, muncul Andra dan beberapa temannya yang mengikuti. Ya, ‘Andra’ merupakan sebuah kata yang tak asing lagi di kalangan para murid. Terutama bagi anak populer. Semua mata tertuju padanya meski pun tengah menikmati hidangan nikmat sekali pun. Andra merasa ia merupakan anak paling populer dari segala anak yang merasa dirinya populer. Setidaknya itu menurut Milly dan Pia yang kurang peduli pada siswa seperti mereka.
“Permisi, Andra mau lewat. Mohon jangan mengganggu jalan,” seru Andra dengan percaya diri. Beberapa murid yang sedang antre sontak tak bisa berbuat apa-apa dan menyingkir begitu saja. Memberikan jalan pada raja hutan, dalam artian pada kawasan sekolah tentunya. Sementara Milly yang kebetulan sedang melamun jadi bingung sendiri melihat perubahan formasi antrean yang mendadak. Pia pun juga sudah memberi jalan.
“Lho?” kata Milly dalam hati. “Pia sama yang lain kok…???”
“Woi, kamu ngapain masih berdiri di situ? Andra, murid paling multitalented di sekolah ini mau lewat. Kamu nggak lihat?” tanya Roby, teman Andra. Milly diam dan bahkan pura-pura tidak mendengar. “Heh! Kamu!” ulang Roby teman gank Andra lebih sinis. Milly menunjukkan reaksi yang sama.
“Udah jangan, biar aku aja yang urusin anak kayak gitu,” tukas Andra dengan yakinnya.
“Hei, kamu! Siapa ya? Aku lupa namamu…Lily, Bily, atau apalah itu,” ujar Andra sarkastis. Milly yang merasa Andra sedang membicarakan dirinya sontak menoleh.
“Milly. Bukan Lily atau Bily,” jawab Milly menegaskan. Rasanya Milly muak juga melihat wajah sombong itu berdiri tepat di depan batang hidungnya. Memang Milly dan Andra tidak satu kelas, tapi kelas mereka bersebelahan. Andra kelas 8 B, sedangkan Milly 8A. Mereka berdua hampir tak saling kenal, hanya kadang kala bertemu saja seperti saat mereka di kantin seperti ini.
“Iya. Ya itu makdusku, eh maksudku,” kata Andra seraya berjoke ria (Pak Makdus merupakan nama guru matematika di kelas). Tapi bagi Milly, itu sama sekali tak berhasil membuatnya tertawa. “Eh, kamu jualan ya?” tanya Andra dengan nada yang agak
merendahkan.
“Hah? Jualan? Jualan apa? Aku nggak pernah jualan kok,” jawabMilly bingung dan kurang yakin.
“Lha itu, lihat aja. Jerawat segudang kamu bawa ke mana-mana kayak orang jualan. Emang mau dijual ya tuh jerawat?” celetuk Andra tanpa merasa bersalah. Sesegera mungkin siswa lain menyorakinya. “Mungkin ada yang tertarik untuk beli satu. Emang berapa harganya?” suasana semakin riuh.
Milly terperanjat kaget. Ucapan itu membuat Milly kaget sekaligus malu. Ia kaget karena tak pernah mengira Andra akan mengatakan hal sekejam itu padanya. Malu sebab, semua ini terjadi di tengah kerumunan siswa. Sungguh, Milly tersentak bukan main, insiden yang baru kalipertama ia alami. Ternyata benar rumor yang selama ini berhembus, kalau Andra memang suka seenaknya sendiri. Dan kali ini Milly benar-benar telah membuktikannya.
Milly diam dan sesekali melihat sekeliling. Gema suara tawa di atas penderitaan orang lain itu seakan menyayat hatinya dan membuatnya hancur seperti butiran pasir. Ia benar-benar malu saat ini. Ia tak tahu harus berbuat apa di situasi seperti ini. Kalau saja semua ini mimpi, pasti ia akan segera bangun dan segalanya akan baik-baik saja. Tapi ini sama sekali bukan mimpi!
Milly hanya bisa menelan ludah. Ia tak mampu mengangkat wajahnya, apalagi menatap Andra yang telah membuatnya malu setengah mati! Tak terkecuali Pia, ia jadi ikut sedih melihat sahabatnya jadi bahan pembicaraan.
“He! Maksud kalian apa sih? Normal kan kalau kita jerawatan di umur segini! Justru kalian itu yang nggak normal, ngomong nggak pakai hati dan otak!” Pia angkat bicara, meski pun Milly mencoba mencegahnya. “Ckck…, setahuku ngomong itu pakai mulut, bukan pakai hati atau otak,” celetuk Roby, tak mau kalah.
“Rob, kayaknya kita harus pergi deh. Jerawat nih anak, udah bikin aku jadi nggak pengen makan. Jadi kenyang duluan!” ujar Andra pada Roby dan beberapa temannya. Lantas, Andra, diikuti dengan teman-temannya pergi begitu saja tanpa memedulikan Milly yang masih mematung. Milly tak percaya, semua terjadi begitu cepat.
Tanpa disengaja, pelupuk mata Milly digenangi air mata. Tubuhnya jadi gemetar saat membayangkan bagaimana rupa dirinya tadi. Hatinya merasa pedih mengingat ucapan miris Andra tentang dirinya. Baginya semua ini begitu menyakitkan.
“Milly, kamu nggak apa-apa?” Pia mengelus bahu Millly. Ia tak tahu harus berbuat apa. Gerombolan Andra bubar sejak beberapa detik terakhir, namun Milly masih berdiri di sana, membiarkan orang berlalu lalang di dekatnya yang tengah dilanda kegetiran. Satu hal yang pasti, Milly tidak mendapatkan spaghetti, yang didapatkannya kali ini sebuah luka sayatan yang amat mendalam di hatinya.
“Milly, kamu nggak apa-apa?” ulang Pia. Milly menggeleng. Air matanya seakan memaksa untuk keluar. Dan benar saja, Milly menangis, air matanya begitu deras mengalir. Pia mengajak Milly untuk duduk di salah satu bangku. Ia mencoba menghibur Milly dengan berbagai macam kata. Namun nampaknya semua itu sia-sia belaka.
“Milly, kamu tahu gimana tabiatnya Andra kan?”
Milly sesenggukan. Ia bahkan sampai tak sanggup manjawab pertanyaan Pia. Lidahnya kelu.
“Kalau gitu mending kita ke kelas, dan jangan pikir tentang kejadian ini. Anggap semua ini nggak pernah terjadi. Inget, dunia ini
nggak bakal kiamat hanya karena kita dibullying!” ujar Pia menyemangati.
@@@
Sepulang sekolah, Milly masih dihantui perkataan Andra. Tak
sedetik pun Milly mampu mengenyahkan ingatan kelam itu. Kini, ia merasa
bahwa hatinya sedang dipenjarakan. Entah mengapa ia jadi seperti
orang hilang yang terombang ambing di laut tanpa sebuah kepastian.
Milly seakan sudah tak ingin hidup.Tak hanya sehari ini saja Milly didera frustasi dan galau berkepanjangan karena ejekan Andra. Bahkan setiap hari, setiap detak jantungnya berdegup ia masih bisa merasakan rasa benci pada dirinya itu meluap. Bagaimana tidak, setiap hari semenjak insiden itu, berapa pasang mata menatapnya aneh. Milly seakan memiliki pandangan baru tentang dirinya, bahwa dia, Milly yang sekarang hanya sebutir debu yang kotor dan jelek. Membuat orang muak memandangnya.
Kini Milly berubah. Milly yang dulu periang meskipun seorang kutu buku jadi pendiam. Milly yang selalu bersikap manis kepada siapa saja, kini selalu murung, berusaha menghindar ketika bertemu dengan orang. Semua karena gara-gara jerawat yang bertengger di wajah manis Milly dan telah dijadikan bahan ejekan Andra!
@@@
Sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan Milly yang sedang
murung, matanya pun terlihat sembab. Tanpa ragu-ragu, Milly masuk ke
dalam mobil tersebut, yang tidak lain mobil mamanya. Berselang lima
menit semenjak keheningan di dalam mobil itu pekat memenuhi udara, mama
angkat bicara.“Milly, kamu kenapa? Kok beberapa hari ini diam. Mama lihat sekarang Milly selalu murung dan lebih banyak diam. Tidak seperti anak mama biasanya?”
Tak satu pun kata terlontar dari bibir Milly. Ia diam seribu bahasa. Tiba-tiba Milly kembali teringat kata-kata yang keluar dari mulut harimau Andra. Ia pun kembali merasakan kepedihan. Milly menangis. Mama yang baru menyadari kalau Milly menangis, lantas bertanya dengan paniknya, “Milly, kamu kenapa Nak?!” mama spontan memperlambat laju mobilnya.
“Ma, Milly mau perawatan kulit wajah! Milly malu sama jerawat Milly ini!,” seru Milly masih sambil menangis. Ia to the point kali ini.
“Apa?!” kini bahkan mama memberhentikan laju mobilnya dan menepi.
“Apa maksud kamu, sayang?” lanjut mama.
“Milly malu, Ma. Banyak anak yang ejek Milly cuma karena jerawat ini,” Milly menunjuk jerawat di pipi kanan-kiri Milly. Memang, ada
beberapa bintik yang bertengger di sana.
“Milly, kenapa harus malu, Nak? Bukannya normal kalau jerawat muncul di umur seperti kamu ini?” jelas mama. Lagi pula, jerawat
kamu itu, juga nggak mengurangi kecantikan alami kamu, Nak.”
“Tapi nggak ada yang punya jerawat sebanyak Milly, Ma. Milly malu,
karena jerawat ini bikin Milly jadi jelek,” tangis Milly semakin pecah. Wajahnya bahkan merah karena ia sedang naik darah.
Mama sebenarnya sudah tahu hal yang membuat Milly berubah beberapa hari ini. Pia menceritakan kejadian di kantin ketika mama Milly dua hari yang lalu meneleponnya bertanya tentang perubahan Milly. Jadi sebenarnya mama Milly sudah punya rencana di benaknya untuk menyadarkan Milly.
“Oke, kalau gitu,” mama memutar balik mobilnya. Beliau justru menuju jalur yang lain. Yang entah ke mana arah dan tujuannya. Tangis Milly sedikit mereda. Ia pikir mama akan mengajaknya ke tempat perawatan kulit. Tapi ia merasa heran, tak mungkin mama akan mengabulkan permohonannya secepat ini. Milly tetap diam dan berharap semua itu terjadi. Dalam diamnya, ia tentu berdoa.
@@@
Milly dan mama sampai di depan sebuah bangunan tua yang
beberapa catnya sudah mengelupas. Di depan pagar bangunan tersebut,
terdapat sebuah plakat dengan isi ‘YAYASAN ANAK INDONESIA’. Milly
bingung, mau apa mama mengajaknya ke sini? Tapi ia lagi-lagi hanya
bisa bungkam.“Milly, ayo masuk,” ajak mama.
“Ta..tapi..,” sergah Milly. Mama bersikap tak acuh pada perkataan Milly. Mama tetap melangkahkan kakinya menuju ke sebuah ruangan. Setelah beberapa menit menunggu di depan ruangan, muncul seorang wanita berjilbab yang mempersilakan mereka masuk. Wanita itu terlihat ramah dan bersahabat. Mama dan wanita berjilbab berjalan berdampingan, sedang Milly berjalan di belakang mereka dengan tatapan asing pada lingkungan tersebut. Apalagi saat Milly melihat sekelompok anak berumur sekitar 8-14 tahun yang tengah bermain bersama. Juga saat ia melihat seorang gadis remaja duduk di atas kursi roda yang sebagian besar wajahnya tertutup perban.
“Nah, Milly sekarang salaman dengan Bu Ratna. Beliau merupakan kepala yayasan sekaligus pengurus tempat ini,” kata mama mengagetkan lamunan Milly.
Milly menjabat tangan Bu Ratna dengan senyum yang sedikit dipaksakan karena ia masih bingung. Seperti mengerti kebingungan Milly, Bu Ratna berkata pada Milly, “Wah cantik sekali kamu. Mmmhh, pasti kamu bingung, tempat apa ini? Dan mengapa anak-anak itu ada disini? Iya kan?” tanya Bu Ratna seraya mengedarkan pandangannya ke arah yang beliau maksud. Milly mengangguk dengan tak yakin.
Bu Ratna tertawa pelan dan mulai melanjutkan perkataanya, “Begini, sebenarnya saya ingin memperkenalkan kamu dengan semua anak-anak yang tinggal di sini. Tapi ada satu anak yang bagi saya sangat luar biasa.”
Milly tidak mengerti dengan ucapan Bu Ratna. Hingga akhrinya Bu Ratna mengajaknya ke suatu tempat.
“Milly, ayo ikut saya. Saya akan memperkenalkan kamu dengan seorang anak.”
Milly menatap mamanya. Mama memberi kode agar Milly mau ikut dengan Bu Ratna. Dan mau tak mau, Milly harus melakukannya.
“Nah, Milly. Ada beberapa hal yang ingin saya katakan. Tapi sebelumnya saya ingin minta maaf,” ujar Bu Ratna sesaat setelah mereka mulai jauh dari tempat mama berdiri.
“Iya, silahkan. Apa yang ingin Bu Ratna katakan?”
“Saya sudah mendengar semua hal tentang Milly dari Mama. Saya tahu bagaimana perasaan kamu jika saya ada di posisi itu. Tapi saya pasti akan bersikap lebih rasional lagi, dan akan berusaha membendung emosi. Bukan maksud saya menggurui. Tapi, sungguh saya memang pernah menjadi korban bullying juga,” Bu Ratna berhenti sejenak, suaranya jadi melemah. “Tapi, mereka semua telah membuka mata hati dan pikiran saya akan arti kehidupan,” senyum Bu Ratna mengembang. Beliau menunjuk ke arah kerumunan anak didiknya. “Ya, saya belajar banyak hal dari mereka. Termasuk bagaimana cara menerima diri sendiri apa adanya.”
Milly mengerutkan kening. Bingung.
“Milly kenalkan, ini Bilqis. Dia baru berumur empat belas tahun. Ia merupakan korban kekerasan,” Bu Ratna memperkenalkan. Nampak seorang gadis remaja berumur belasan, yang sebagian besar wajahnya tertutup perban, kecuali mata, hidung, dan bibir.
“Korban kekerasan?” tanya Milly.
“Ayahnya, menyiram wajah Bilqis dengan air panas. Dan itu membuat wajah Bilqis melepuh. Bahkan ia sudah divonis akan menderita cacat wajah seumur hidup. Bilqis kini juga jadi tuli, penglihatannya juga sudah agak buram. Tapi, semua ini tidak membuat Bilqis patah semangat. Sudah beberapa kali ini, ia memenangkan kontes menggambar. Dan itu membuat dia jadi lebih bersemangat. Kamu tahu, cita-cita Bilqis dulu adalah menjadi model majalah, tapi semua itu pupus begitu saja. Tapi ia tidak menyesal, katanya, dengan begini, ia akan selalu belajar untuk bersyukur.”
Tanpa disengaja air mata Milly turun di sela pipinya setelah mendengar penjelasan singkat dari Bu Ratna. Ia merasa sangat berdosa, pada dirinya dan Bilqis. Setidaknya sekarang ia mengerti mengapa mama mengajaknya ke sini. Tidak lain dan tidak bukan, karena mama hanya ingin Milly menghadapi suatu masalah dengan sikap yang dingin, bukan dengan menjerit dan menangis.
“Milly, ini,” Bu Ratna menjulurkan tangannya. Beliau memberikan foto Bilqis sewaktu ia masih berumur dua belas tahun, saat ia mengikuti sebuah kontes fashion show. “Bagaimana? Cantik bukan?” tanya Bu Ratna.
Milly tercekat. Lagi-lagi hatinya serasa ditimpa oleh palu martil, sakit. Betapa bodohnya ia selama ini. Setidaknya Milly masih bisa melihat wajah cantiknya setiap kali bercermin, sedangkan Bilqis? Sungguh, semua ini membuat Milly tersadar akan arti bersyukur. “Milly, selama kita masih diberi kesempatan untuk menikmati nikmat yang telah Tuhan berikan, jangan pernah menyiakannya. Justru dengan kekurangan yang mungkin kamu miliki saat ini, suatu saat kamu akan belajar dari segala kesalahan itu,” Bu Ratna tersenyum kecil. Milly pun ikut membalasnya, yang pasti dengan senyum yang lebih tulus dari tadi. Milly dan Bilqis pun berbicara menggunakan penerjemah, yaitu Bu Ratna. Hingga Milly pun terkesima melihat keagungan hati seorang Bilqis. Ya, sekali lagi, setidaknya Milly bersyukur sebab masih bisa melihat pantulan wajahnya di cermin. Tidak seperti Bilqis, mau pun orang lain yang lebih kurang beruntung darinya.
@@@
‘Lima tahun kemudian…“Ndra, kayaknya kamu harus perawatan wajah,” ujar Roby. Mereka berdua sedang berada di dalam sebuah kamar kos. Mereka berdua
sama-sama kuliah di sebuah universitas di kota Surabaya. Dan kebetulan, lusa, mereka harus berubah jadi wartawan dadakan guna menyelesaikan tugasnya. Narasumber mereka ialah seorang model sekaligus redaktur sebuah majalah mode terkenal. Mereka harus melakukan wawancara seputar fashion yang mencakup segala trend atau style tahun ini. Malu juga kalau nanti lihat para model yang mayoritas perfect semua.
“Iya, gara-gara tugas ini, aku jadi stres jerawatku jadi makin banyak,” jawab Andra mencoba mencari alasan.
“Ndra, jerawat kamu itu bahkan udah overload. Aku jadi inget sama anak yang pernah kamu olokin dulu Ndra,” Roby mengingat-ingat sesuatu. Semua itu begitu saja melintas di benaknya.
“Siapa?”
“Milly.”
“Hah? Maksud kamu?”
“Ya, mungkin kamu kena karmanya,” jawab Roby sekenanya.
“Haha..,” Andra tertawa getir. “Nggak lucu, Bro.”
@@@
Andra dan Roby berdua datang ke kantor sebuah majalah
fashion terkenal. Mereka memang membuat kesepakatan untuk melakukan
wawancara di sana, di kantor narasumber. Sang model sudah
menyatakan kesanggupannya via telepon kemarin.Saat ini, mereka sedang berada di ruang tunggu. Kata resepsionis, Miss Ara, sang model sekaligus redaktur majalah masih meeting jadi mau tak mau mereka harus menunggu. Sambil menunggu, Andra merasa ingin ke kamar mandi. Hingga akhirnya ia pun pergi ke kamar mandi tanpa ditemani Roby tentunya.
Di tengah jalan, karena Andra benar-benar ingin segera sampai ke kamar mandi, ia pun memutuskan untuk berjalan cepat. Tapi siapa
sangka, di waktu yang bersamaan, seorang wanita tinggi semampai, berwajah cantik putih bersih, berhidung mancung berjalan dengan
langkah yang cepat, menuju arah yang berlawanan dengan Andra. Dengan waktu yang tak lebih dari dua detik, di pertigaan lorong tersebut, Andra bertabrakan dengan wanita tinggi semampai itu. Kedua jatuh tersungkur.
Andra yang baru menyadari bahwa ia baru saja menabrak seseorang, lantas meminta maaf. Saking takutnya, ia sama sekali tak berani
melihat wajah orang yang ditabraknya. “Maaf, maaf, saya benar-benar tidak sengaja. Tolong maafkan saya,” pinta Andra. “Saya benar-benar tidak sengaja.” “Iya, saya sudah memaafkan anda, bahkan jauh sebelum anda meminta maaf,” ujar wanita itu sambil berdiri, dan membersihkan roknya. Andra senang mendengar jawaban tersebut. Ia pun mendongakkan wajahnya dan tercengang melihat sosok wanita di depannya, “kamu??” Nada bertanya Andra kaget dan terkejut tak terhingga. Sosok cantik di hadapan Andra hanya tersenyum..menggangguk..dan berlalu dari hadapannya. Andra tercengang dan kelihatan shock. Ia pun berjalan pelan menuju ke tempat Roby menunggu…dengan muka…pucat pasi!
@@@
Sesampainya di ruang tunggu lobby wajah shock Andra masih terlihat.“Ndra ada apa? Kok wajahmu berubah pucat, putih seperti kapas.
Seperti habis melihat hantu saja?” Tanya Roby heran melihatperubahan pada air muka temannya.
“Nggak apa-apa kok…” jawab Andra sambil meneguk segelas airmineral di tangannya.
“Ayolah Ndra, kita ini mau mewawancarai seorang model sekaliguspimpinan majalah ini. Ubah donk raut muka pucat pasimu itu menjadimuka terbaikmu” goda Roby.Tapi Andra tetap dengan wajah pucatnya.
“O..ya Ndra..ternyata Miss Ara yang akan kita wawancarai SMPnya satu sekolah dengan kita lho, kata mbak resepsionis yang ada di lobby. Kami tadi sempat cerita-cerita!” Andra kaget bukan kepalang. Andra berharap dan berdoa semoga orang yang akan diwawancarainya bukan orang yang bertabrakan dengannya tadi.
“Mas, itu Miss Ara sudah selesai meetingnya,” kata resepsionis. Sesosok wanita cantik, tinggi semampai sedang berjalan menuju ke arahmereka. Ya..benar miss Ara adalah Milly Aranaya teman SMP Andra dan Roby dulu. Andra seakan terjatuh dalam sebuah jurang setinggi lima puluh meter dari permukaan laut, tubuhnya kaku detik itu juga. Aliran darahnya seolah berhenti.
“Hai! Lama nggak ketemu. Wajah kalian berubah, ya?” Milly tersenyum manis. Kini, Milly yang dulu berbeda dengan Milly yang sekarang. Semua orang yang mengenal Milly yang dulu pasti akan mengedipkan mata beberapa kali untuk memastikan bahwa itu adalah Milly yang selama ini ia kenal. Dan itu terjadi pada Andra. Rasa bersalah itu kini menggelayut di hati Andra yang semula beku.
@@@
“Ndra, coba lihat. Ini, laman yang kita buat sudah terbit,” Robymenyodorkan sebuah majalah ke tangan Andra.
“Kalau ditanya, kenapa saya menyukai dunia fashion. Saya akan menjawab bahwa saya hanya ingin membuktikan pada teman saya dulu, teman saya saat di SMP, bahwa sebaiknya kita jangan pernah menilai seseorang dari fisikinya saja. Karena bisa saja di balik penampilannya itu, terdapat jiwa yang sangat luar biasa. Ya, saya tahu, meski pun sempat merasa benci dengan teman saya dan diri saya, tapi saya bersyukur, karena dengan itu, saya bisa jadi seperti ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman saya atas segala kritikannya,” Andra tersenyum kecut membaca artikel dalam majalah tersebut. Ia yakin yang dimaksud oleh Milly adalah dirinya.
Andra merenung. Ia sadar, bahwa bullying yang selama ini ia lakukan adalah salah dan sama sekali tak ada untung baginya, malah justru sebaliknya. Jika seseorang yang menjadi korban tak pandai menyikapi, mungkin akhir cerita mereka tak akan berakhir indah seperti Milly. Karena itu, Andra berjanji pada dirinya tak lagi melakukan hal itu. Lagi pula, Andra sekarang sudah kena batunya, kena hukum karma sepertinya. Jerawat, kini telah memenuhi wajah Andra yang semula mulus. Kalau saja dulu Anda membullying siswa yang bertahi lalat banyak, apa mungkin Andra jadi juragan tahi lalat juga yaa?
Hahaha….
by: http://us.mjeducation.co/hukum-karma/
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com