GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ARTIKEL PILIHAN

Silahkan Disimak: SEKULARISME AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM

Written By Situs Baginda Ery (New) on Kamis, 14 Maret 2013 | 21.45

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-9_uMXg6XHFWEAmTt9zh-Ezt_ySmuC4NR7-z7_xGccd04YApAidmcAYFDJqmOaYe7k2tDo4NZaq06AYxhWynYeBIYWP9keDKtAB8BW-vkv1dxkDQk-3G3DZKKdGJrNIEPcXSGvF2JTDE/s1600/PluralismLogo.gif Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
 A.    Latar Belakang
Sekularisme sebuah konsep kebebasan berfikir dan ide-ide secular yang menyangkut pemisahan dari agama untuk menjelaskan pandangannya yang mendukung tatanan sosial terpisah dari agama, tanpa meremehkan atau mengkritik sebuah kepercayaan beragama dan berhubungan dengan kehidupan membantun tercapainya kesejahteraan di dunia dalam masyarakat dan budaya.
Sekularisme mutakhir  ada dua jenis, sekularisme keras dan sekularime lunak menurut Barry Kosmin dari Institut Pengkajian Keagamaan tidak mempunyai kelengkapan pernyataan secara epistimologi dan tidak dijamin oleh agama dan pengalaman namun dalam pandangan sekulerisme lunak pencapaian kebenaran mutlak adalah mustahil dan oleh karena itu toleransi dan skeptisme harus menjadi prinsip dan nilai yang di junjung.[1]
B.     Sejarah Sekularisme Agama
Sekularisme berasal dari bahasa Inggis; secularism yang berarti bersifat keduniaan (worlly).[2] Termonologi sekularisme diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dengan imaniyyah, dan tersebar luas di Mesir dan Afrika Utara, non-agama (irriligious). Non-spiritual (un-spiritual; larthly; mundane) lawan katanya adalah : suci (holy), yaitu bersifat keagamaan (religious). Jadi sekularisme menempatkan hal-hal ilmiah, tata aturan dan masalah-masalah sosial pada posisi agama.[3]
Historis seklar sebagaimana juga Marxizme-Tribul di Barat sebagai reaksi terhadap Kristianisme pada akhir abad pertengahan sekularisme adalah satu isme dalam kultur yang memiliki ciri berikut :
a.       Secara sadar mengonsintrasikan atau memusatkan prhatian semata-mata kepada masalah duniawi.
b.      Dengan sadar pula manusia mengasingkan dan menyisihkan peranan agama atau wahyu dan Tuhan dari berbagai segi kehidupan.
Karena peradaban barat memiliki sifat dan karakter sekuler, sekalipun semua peradaban memiliki otoritas Tuhan yang bersifat metafisik (non-materi).[4] Oleh sebab itu peranan Tuhan “disingkirkan” dari urusan Negara, sosial dan peradaban. Dalam peradaban Islam yang menampilkan aqidah Islam, mewakili ideologinya serta jalan pikiran umatnya sejak ia menjadi ruh dalam setiap peradabannya yang mencakup politik, sosial, ekonomi, Negara arsitektur dan lainsebagainya. Khusus prinsip syari’ah bukan ciptaan manusia melainkan ia buatan Tuhan melalui wahyu ajaran yang dianut oleh manusia, bukan ciptaan manusia seperti dalam peradaban Barat hokum sipil (yang berlaku dalam peradaban Barat).[5]
C.    Agama dalam Pandangan Islam
Sedangkan dalam Islam agama terjemahan dari lafadz addin, yakni suatu syarat atau perundang-undangan lengkap di luar ciptaan manusia. Kata agama juga terjemahan dari kata millah yang artinya masyarakat yang melakukan upacara (tradisi) peribadatan.[6]
Sebagaimana yang selama ini berkembang dalam kehidupan masyarakat agama di pandang sebagai kebutuhan asasi dan fitrah bagi manusia. Dalam hal demikian agama mampu menjembatani kebutuhan yang bersifat personal berupa kebutuhan agama tersebut. Persoalannya kemudian ternyata tidak hanya berhenti sebagai kebutuhan dasar atau fitrah, akan tetapi muncul banyak persoalan kemanusiaan yang membutuhkan peran optimal agama yang diantaranya berkaitan dengan masalah sekularisme.
[7]Secularist, orang yang berpendapat bahwa pendidikan dan soal-soal sipil lainnya hrus jauh dari unsur-unsur keagamaan; paham seperti itu disebut sekularisme. Istilah yang dipakai untuk menyatakan suatu proses yang dengan demikian rupa berlakunya, sehingga orang, golongan atau masyarakat yang bersangkuatan semakin berhaluan duniawi, artinya semakin memalingkan mukanya dari agama atau semakin kurang memedulikan nilai-nilai alam norma-norma yang dianggap kekal dan sebagainya, dalam kebudayaan Barat hal tampak misalnya dimana sehabisnya zaman pertengahan dan di zaman pecerahan (aufhlarung) penyitaan hak milik gereja yang dilakukan oleh badan-badan masyarakat, serikat kerja atau Negara, kejadian semacam ini tampak misalnya di Rusia sewaktu dan sesudah revolusi tahun 1917.[8]
Islam sebagai agama dunia dan akhirat, sangat memperhatikan masalah duniawi. Akan tetapi masalah duniawi ini tidak dapat di lepaskan dari masalah ukhrowi, tak dapat di pisahkan dari agama atau wahyu dan Tuhan. Islam dapat sejalan dengan sekularisme karena yang terakhir ini dalam rangka memusatkan perhatiannya kepada masalah dunia itu, telah secara sadar memalingkan muka dari agama atau wahyu dan Tuhan adalah kehidupan sehari-hari. Umat Islam menentang sekularisme karena sekularisasi adalah proses yang membawa orang, golongan, masyarakat semata-mata berhaluan duniawi kian lama kian memalingkan muka dari agama atau wahyu dan Tuhan. Di lain sisi, Islam adalah agama harmoni, agama keseimbangan antara dunia akhirat.[9]
Agama sebagai kekuatan sosial politik baik Katolik maupun Protestan dengan berbagai alirannya, ternyata berperan penting dalam menimbulkan perang agama-agama di seluruh Eropa. Perang tersebut telah menghancurkan berbagai masyarakat dan kerajaan-kerajaan juga imperium-imperium lepasnya Nederland an kerajaan-kerajaan juga dari imperium Hasburg Spanyal (1588-1548) dalam perang selama 80 tahun adalah contohnya. Meskipun harus di akui ada berbagai fakta lain di luar agama yang juga ikut mempengaruhi.
Di Perancis, tindakan Raja Hanry IV serta sikap rakyat Prancis yang setia pada agama Khatolik menunjukkan model kesatuan agama dan timbulnya protestanisme dalam tubuh Kristen Eropa ada perpecahan agama, politik dan masyarakat. Konflik atau kontradiksi realitas perpecahan agama politik ini, oleh para elit Eropa pada waktu itu yang terdiri dari kaum bangsawan dan agamawan tinggi lalu di sebut dengan prinsip “Civius Regio Ilius est Religio” (agama raja adalah agama para kawula atau rakyatnya). Prinsip ini terutama dilaksanakan di Jerman yang terdiri dari puluhan kesatria politik dari raja sampai ke pangeran, Graf, baron,, ushuy kota merdeka dan lain-lain kalau ada rakyat yang tidak seagama dengan rajanya maka ia harus pindah.[10]
Moralitas sebagai mana yang diakui oleh Plato adalah sebuah prinsip yang mengilhami dan mendorong kita untuk merealisasikannya dalam sebuah Negara cita, dia menemukan jawabannya dalam realisasi sebuah hirarki cinta-cita ke indahan, cita-cita keadilan, dan sebagainya yang menuntun sampai pada cita-cita kebaikan.[11] Dalam sekema evaluasi ini, baik buruk, sebagaimana yang dibedakan dari moralitas, adalah sebuah persoalan nilai-nilai instrinsik yang terlepas dari pengaruh-pengaruh atau kemungkinan terjadinya. Sedangkan persoalan moralitas secara esensial berada dalam wilayah perilaku dalam suatu system yang ditentukan. Bagaimana dia seharusnya bertindak sama sekali bukanlah persoalan apa yang secara hakiki. Karena manusia bukan pemilik situasi, karena dia dikuasai oleh keadaan-keadaan tertentu dan dia dalam melakukan (kemungkaran), ia tidak akan menjadi sesuatu yang bermoral untuk berbuat menurut apa yang mungkin masuk di antara tindakan bermoral yang akan dilakukan oleh seorang manusia dengan tindakan yang secara etis baik untuk di lakukan oleh seorang manusia.[12]  Sosiologi Frankfurt Gerdhard Brandt, mengambil kombinasi dari suatu pendekatan ini-anailisis tentang struktur sosial dan teori tentang tindakan sosial dengan dasar bahwa kedudukannya sama-sama penting bagi perkembangan teori-teori yang berorientasi pada masyarakat secara keseluruhan belum mengalami kemajuan diatas level yang diinginkan.[13] Sekularisme lahir sebagai reaksi atas berkuasanya kaum gereja terhadap Negara. Kristen yang merupakan risalah rohaniah dan ritual illahiyah mempunyai prinsip “berikan hak kaisar kepada kaisar, dan hak Allah kepada Allah” akan tetapi suatu ketika di masa kegelapan Eropa, kaum gereja menguasai Negara meski tidak terlalu langsung, kemudian terjadi penyelewengan-penyelewengan yang berakibat pada kemunculan revoluis yang mengaburkan habis-habis fungsi agama dan mengembalikan Kristen ke gereja.
Masa gelap kekuasaan teokrat greja ini agaknya menjadi trauma kaum Barat dan selalu menganggap agama sebagai masalah kemudian ketika mereka mulai menjajah dunia Islam, mereka anggap dunia Islam sedang terkena bencana, yaitu agama maha mereka membawa sekularisme sebagai solving.  Padahal sebaliknya dunia Islam justru Berjaya dengang Islamnya, oleh Karen itu Syaikh Al-Azhar menyebut propaganda mereka sebagai da’watun ila hallim laisat lahu musykilah.
[14]Menjelang penghujung zaman tengah dan abad berikutnya amat terkenal sekali di tanah Prancis dan sekitarnya akan kisah-kisah tentang Roland berupa himpunan sajak mengisahkan akan tentang keberanian dan keperkasaan keponakan Charles Magne (768-814) itu mengusir dan menghalaukan “infidls” (orang-oran gkafir, dimaksudkan orang-orang Islam) dari wilayah selatan Prancis, terutama dari wilaya Aquitania (Goseonye) dan Septimania (Langedoe) dan Burgundy; selagi pamannya sendiri Charlemgne giat menasranikan suku-suku Jerman di sebelah utara, sehingga akhirnya Paul ke III (795-816) menobatkan paman itu menjabat kaisar imperium Roma Suci (Holy Roman Empire).
Masa-masa yang diceritakan di dalam kisah-kisah Roland itu masa pengembangan Agama Kristen secara intensif pada dunia belahan Barat oleh karena suku-suku keltic, Saxons, northmen, dan lainnya masih merupakan suku-suku liar yang gagah perkasa; sedangkan dari arah pegunungan Pyreneen pada belahan selatan di saksikan perkembangan agama Islam yang demikian pesatnya.[15]
Penyebaran agama demikian menjadi menyimpang dari misi sucinya setelah factor yang bersifat non-agama seperti factor primodialisme, tanatisme dan egoisme ikut memainkan peran akibatnya penyebaran agama cenderung ekspansif tanpa memperalihkan prinsip tasamuh (toleransi) dan seringkali di ikuti oleh cara-cara yang kurang fair kecenderungan inilah mendorong upaya mendiskriditkan agama lain yang potensial menjadi uniting factor atau factor perekat sosial berdasarkan persamaan watak universal justru muncul menjadi factor pemisah atau pemisah belah dalam kehidupan bermasyarakat. Keadaan berkembang karena sikap berlebihan (fanatisme) dalam memahami agama dan menerjemahkan ajaran dalam kehidupan bersosial.
Potensi agama sebagai factor permersatu di atas masih menyisakan persoalan mengenai bagaimana menciptakan kehidupan yang integrative dalam konteks kemajemukan agama, sehingga konflik-konflik agama dapat di hindari. Upaya pemecahan potensi konflik di atas menurut Frans Magnis Suseno (1992) bertolak dari pemandangan relativisme agama dan liberalism yang secara ektrim mendatangkan pandangan sekularisme revalitas agama memandang bahwa semua agama sebenarnya dan agama di pandang semata-mata termasuk ke dalam kategori suatu yaitu Tuhan (God), sementara liberalism berusaha membatasi agama sebagai ajaran mengenai alam baka serta pada kegiatan amal ini mana urusan dunia di serahkan kepada Negara.[16]
Diantara Negara Arab dan Al-Jazair, ada Negara Tunisia dan maroko juga sangat mendukung reformasi modern meskipun secara teknis mereka bukan negarasekuler. Agama Negara resmi mereka secara turun temurun adalah Islam. Yordania adalah Negara moderat lainnya yang memiliki populasi penduduk Kristiani 10%. Iraq, disatu sisi dikuasai oleh partai Baath yang memiliki karakter sosialis. Irak sampi menjelang terjadinya perang Teluk pada tahun 1990, sangat berkarakter sekuler. Akan tetapi, tekanan perang Teluk dan perang sebelumnya dengan engara Iran selama delapan tahun telah membawa perubahan dalam karakter pemerintahan (Negara) dan pribadi Saddam Hussein dalam rangka untuk mendapatkan dukungan (legitimasi), maka dimulailah Islamisasi undang-undang yang lebih lentur. Beebrapa Negara teluk semisal Bahrain , dan Yaman juga berkarakter Islam namun nberwawasan liberal tidak seperti Arab Saudi dan Kuwait. Pada kenyataannya, dalam proses modernisasi yang begitu pesat ternyata cukup berpengaruh kuat terhadap Negara-negara Islam semisal Arab Saudi dan Kuwait.[17]
Pandangan Marxisme terhadap agama sangat dipengaruhi oleh filsafat atheistiknya Feuerbach. Feuerbach menyatakan tentang gagasan keterasingan terhadap agama (The alienating effect of religion) dalam kritiknya, Feuerbach melakukan pembalikan pada hubungan antara Kristus dengan Tuhan. Ia mengatakan bahwa bapa (Tuhan) dilahirkan oleh Sang Anak (Kristus). Tuhan tidak memanifestasikan kristus melainkan Kristus yang memanifestasikan Tuhan. Tesis inilah yang diklaim menunjukkan bahwa manusialah yang melahirkan ahal-hal yang bersifat imaginer. Kristus adalah humanitasriil. Sedangkan Roh Kudus tidak lain adalah jiwa manusia itu sendiri yang gagal mengenali eksistensi ketuhanan dalam dirinya sendiri, kemudian mempersonifikasikannya dalam bentuk mahluk mertafisik. Pandangan inilah yang kemudian dirujuk oleh Marx dalam mengontruksi gagasan atheistiknya.
Menurut sari’ah, kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Feuerbach, telah menjungkirbalikkan doktrin trinitas kristiani dengan membalik logika asal mula Tuhan, Bapa, dan Yesus, ia membuktikan bahwa sesungguhnya manusialah yang melahirkan Tuhan. Tuhan ada karena manusia berfikir keberadaannya. Dengan demikian “keterasingan agama” dalam istilam Feuerbach adalah bentuk kekeliruan yang harus dicabut. Dengan dicabutnya fenomena tersebut, maka manusia akan kembali pada dirinya sendiri secara utuh dan menyadari dengan kesadaran zatiah-nya bahwa dia adalah Tuhan bagi dirinya sendiri (homo hominidei).
Sepakat dengan gagasan Feuerbach, marxisme menganggap bahwa salah satu diantara kewajibannya adalah melakukan propaganda terencana terhadap agama manapun yang belum dengan bentuk apapun. Karena dia tidak hanya memandang agama sebagai suatu landasan bathil, tetapi juga berbahaya, bertentangan dengan akal dan menjadi musuh bagi rakyat. Dengan demikian agama dimata marxis hanyalah penghalang kemajuan.
Seterusnya marx mengatakan:
“Agama adalah kesadaran diri yang terdapat pada manusia yang masih belum mampu meninggalkan dirinya atau telah kehilangan dirinya untuk kesekian kalinya, akan tetapi agama adalah penentu nasib manusia yang membingungkan akal”.
Sebab nasib manusia tidak memiliki realitas yang hakiki, …. Perang terhadap agama sama artinya dengan perang terhadap alam yang agama adalah esensi ruhaninya kekejaman. Agama adalah pencipta kekejaman relitas dan penentangan terhadap kekejaman itu sendiri. Agama adalah ilusi tentang perwujudan yang kejam, jiwa yang tidak berjiwa. Agama adalah candu bagi rakyat (opium of the people).”
Marx mengatakan bahwa prinsip-prinsip sosial agama masehi (Yahudi, Kristen, islam) menganjurkan adanya kelas penguasa dan rakyat yang diperintah. Prinsip-prinsip sosial agama Masehi menumpahkan seluruh kekayaan di dunia. Dengan cara ini, maka melanjutkan hal tersebut di dunia ini, ditatapkan sebagai bagian dari dosa warisan atau satu ketentuan, dan Tuhan telah mengajarkan tentang ketidakadaan kecemburuan, kehinaan, ketaatan dan penindasan, serta seluruh sifat-sifat tercela. Sedang kelas kaum ploretar revolusioner”
Ketika Marx masih seorang pemuda, Hegelian yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh filsafat Hegelian ia menulis dalam pendahuluan risalahnya sebagai berikut:
“Filsafat berkaitan dengan keimanan kepada Bramat Heus dan dengan kata singkat, saya tegaskan bahwa saya membenci Tuhan-Tuhan …. Seluruh bukti tentang adanya Tuhan, justru membuktikan tentang tidak adanya Tuhan. Bukti-bukti realitas mesti dijelaskan sebagai berikut: apabila alam ini tidak memiliki proses pembentukan yang benar, maka dengan demikian Tuhan ada, dan sepanjang ada dunia yang tidak bisa dipahami dengan akal, berarti disitu  Tuhan ada. Dengan kata lain bukti-bukti tidak rasional sajalah yang menjadi landasan bagi adanya Tuhan.”
Pernyataan tersebut Marx telah menerapkan keimanan dan masyarakt Bramathean yang dari para filosof dan sarjana sosiologi yang meyakini humanism dan terpengaruh oleh sains Simon, serta orang-orang sesudahnya oleh Proudon. Satu hal yang tidak realistis dimata syariah adalah mitologi Yunani oleh Marx diberlakukan secara umum dan kaprah untuk melihat hubungan Tuhan-manusia terhadap semua agama. Pada saat dia tahu betul bahwa teori keagamaan yang ada pada agama-agama besar Timur sepenuhnya berbeda dengan itu. Berbeda dengan apa yang ada pada mitologi Yunani, jelas syarit. Dalam agama-agama besar Timur tidaka ada pertentangan antara Tuhan dengan manusia. Tuhan tidak membenci manusia, dan bukan tidak hanya menginginkan keburukan bagi manusia yang takut kepada-Nya, malahan sangat mencintainya. Landasan seruan agama Allah di “Timur” adalah mengangkat manusia dari bumi menuju langit, dari kelompok binatang menuju mahluk Illahi.[18]
Dunia intelektual Islam masa kini dihadapkan oleh berbagai isu kontemporer yang cukup hangat. Misalnya isu nasionalisme, hak asasi manusia, keadilan sosial, kedudukan wanita, dan sebagainya. Hal ini secara langsung menempatkan posisi “tradisi” dalam sorotan.
Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran tentang “tradisi Islam” dan tantangan yang dihadapinya. Walaupun definisi “tradisi” (secara umum) tetap merupakan bahan diskusi yang tidak menghasilkan kesepakatan para intelektual, secara garis besar teristimewa oleh para pakar psikologi yang beraliran secular tradisi diilustrasikan sebagai suatu konsep yang yang bertolak  belakang dengan perkembangan rasionalitas Barat sejak masa pencerahan.
Dalam persepsi mereka yang diikuti banyak orang, tradisi tidak lain adalah religiusitas yang diwarnai anakronisme, keterbelakanga mental, kedangkalan kreatifitas dan ketakutan akan inovasi (bid’ah dalam istilah Islam). Namun dikalangan agamawan, “tradisi” berarti aturan suci yang memiliki otoritas tinggi, keseimbangan lahir dan batin, dan karenanya harus dilestarikan dan dijunjung tinggi.
Sebagaimana diketahui, tradisi teristimewa yang bersifat keagamaan, berpindah dari suatu generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk ucapan atau tulisan. Tradisi lisan (oral tradisional) bagi penganut agama Yahudi, misalnya, yang kemudian diabadikan dalam kitab Talmud, merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari Nabi Musa a.s yang mengikat sepanjang masa. Demikian pula ucapan dan tindakan Nabi Muhammad Saw., yang menjadi sumber kedua ajaran a gama Islam setelah al-Qur’an, mulanya  merupakan tradisi lisan yang kemudian dilestarikan dalam buku-buku hadits.
Perlu digaris bawahi bahwa, meminjam kategorisasi Fazlur Rahman, “tradisi” dalam konteks ini tidak menunjuk pada pengertian literalnya yang sepadan dengan “sunnah”, baik sunnah ideal “tradisi Nabi” atau sunah yang mencakup tradisi para sahabat Nabi dan pengikut-pengikutnya. Tradisi islam dalam kontek ini adalah hasil interaksi Al-Qur`an dan sunah dengan macam-macam penafsiran manusia, peristiwa sejarah dan kekuatan kekuatan manusia intelektual sepanjang sejarah islam. Aneka interaksi-interaksi ini kemudian menghasilkan ketentuan-ketentuan yang bersifat doktrinasi, filosofia, etis, serta konsep-konsep dan perilaku islami yang bercirikan monotoisme (tauhid) kesemuanya ini lalu menyatu untuk menyatukan dirinya sebagai tradisi islam.
Wilferd cantwe smith, cendekiawan asal kanada yang terkenal bersahabat dengan islam, menamakan hasil interaksi dinamis tersebut sebagai the cumulative tradition (kumpulan tradisi-tradisi) yang senantiasa berkembang. Hal ini senada dengan ungkapan pemikir mesir kontemporer mustapa najib Mahmud, yang menamakan dirinya al-turats al-islami(warisan tradisi islam).
Tanggapan tradisi islam diatas menampilkan tiga posisi yang berbeda, pertama pandangan orientalis yang meragukan keampuhan tradisi islam untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, posisi kedua adalah pandangan kelompok islam konservatif yang menghimbau untuk menghidupkan tradisi serta kejayaan masa lalu dalam seting modern masa kini, kelompok ini berupaya menggali kembali khasanah intelektualtanpa harus meminjkam  konsep konsep modern.
Sementara kelompok ketiga adalah posisi ``jalan tengah`` yang menganjurkan pendekatan interaksi positif antara tradisi islam dan tradisibarat modern – dalam pengertian menyaring kkonsep-konmsep barat yang positif untuk memperkaya dan memperkuat tradisi islam sehingga ia mampu untuk tampil sebagai kekuatan alternative. Kelompok ini berupaya menggali kembali khasanah intelektual islam untuk dapat diterapkan dalam kontek kehimian, tanpa harus meminjam konsep –konsep modern.
Sementara posisi ketiga adalah posisi jalan tengah yang menganjurkan pendekatan interaksi positif antara tradisi islam dan tradisi barat modern – dalam pengertian menyaring konsep-konsep barat yang positif untuk memperkaya dan memperkuat tradisi islam sehinggaia mampu tampil sebagai kekuatan alternative , kelompok ini dipelopori oleh mereka yang menamakan dirinya kaum modernis telah banyak beredar artikel yang membeberkan bahaya pemikiran para kaum orientalis kepada umat islam, bagi para orientalis islam dinilai sebagai agama pecahan adri ajaran-ajaran jiplakan yahudi-kristen disatu pihak karena itu islam sebagai agama peradaban dianggap rendah karena ia hanyalah nesidu buruk dari peradaban byzxantium Kristen. Persepsi orientalis ini menurut A. Tibawi, cendekiawan muslim yang berpendidikan barat akibat kecemasan dan kebencian mereka terhadap islam yang tampil sebagai rival utama bagi agama yahudi dan Kristen.
Sementara itu Edward said, cendekiawan arab Kristen pengarang buku ``orientalis`` lebih jauh menjelaskan bahwa wa terdapat beberapa asumsi dasar atau dogma dalam pemikiran para orientalis dalam interaksi pemikiran mereka dengan islam antara lain adalah pemikiran yang mengatakan bahwa cirri dunia barat adalah rasional , berpikiran maju, berperikemanusiaan dan karenanya lebih unggul dari dunia orient (timur, termasuk islam) yang disebut memiliki ciri statis, irasional dan terbelakang.
Disamping buku said sederetan karya tulis di dunia islam khususnya dalam bahasa arab yang bertemakan musytasyroq (orientalis) telah memu8nculkan karya karya tersebut pada dasarnya memperingati umat islam bahwa orientalisme yang berlindung pada selimut objektifitas ilmiah dan penelitian yang bersifat rasional tidak jarang menyisipkan agenda utamanya yakni untuk membendung pengaruh islam dimana-mana.
Tanpa mengesampingkan kekhawatiran para intelektual muslim akan bahaya agenda orientalis yang terselubung, perlu dicatat bahwa pada dasawarsa terakhir abad ini telah muncul beberapa nama besar dari kalangan orientalis yang menunjukkan kecenderungan positif terhadap peradaban islam. Salah satu dari mereka adalah monthgomery walt, yang berusaha menggugat mispersepsi , prasangka , serta citra keliru barat kristen terhadap islam.karya-karyanya diseputar tema tersebut adalah muslim cristian encounter : Perception and Misperception dan the Influence of Islam in the Medieval Europe.
Lois masiggnon, orientalis asal prancis yang meneliti tentang tasawuf islam, termasuk dalam kategori orientalis yang menaruh simpati terhadap islam, Ia secara aktif ikut berperan memikirkan dan memberikan masukan positif tentang islam terhadap dunia katolik, yang membuahkan konsili Vatikan II.
Meskipun demikian, sejarah Indonesia mengingatkan kita akan nama –nama orientalis yang memandang rendah ajaran islam , diantaranya adalah, hendrik khralmer, dan snauck hurgranje keduanya meragukan efektifitas agama islam dalam mengantarkan Indonesia kedunia modern.
Penilaian negative terhadap islam, yang selama ini berkembang dibarat, merupakan kelanjutan dari mentalitas abad pertengahan Kristen yang antipasti terhadap islam, demikian norman Daniel dalam bukunya, islam and the west: the making of an image dan Robert W. Southern dalam bukuya western views of islam in the middles agies.
Sebagai bangsa yang sedang mengembangkan saling pengertian sesame pemeluk agama –agama, kita harus waspada terhadap kajian-kajian para orientalis yang tidak menguntungkan kita. Usaha untuk memisahkan kebudayaan jawa dari ajartan islam hanya merupakan lapisan tipis yang tidak melekat pada darah daging umat islam Indonesia, adalah contoh dari hasil kajian orientalis yang dipengaruhi oleh sikap antipasti terhadap islam.[19]
Sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, Sunnah menjadi factor sejarah bahwa Allah menciptakan manusia terbagi dalam berbagai kelopok dan komunitas, yang masing-masing memiliki orientasi atau tujuan hidupnya sendiri sesuai dengan keyakinannya oleh karena itu, pada masing-masing komunitas atau kelompok diharapkan dapat menerima kenyataan keragaman sosial, kultur, dan saling toleransi dan memberikan kebebasan serta kesempatan pada mereka untuk menjalankan sistematis kepercayaan yang diyakininya.[20] Hal ini sesuai dengan ayat al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut :
9e@ä3Ï9ur îpygô_Ír uqèd $pkŽÏj9uqãB ( (#qà)Î7tFó™$$sù ÏNºuŽöy‚ø9$# 4 tûøïr& $tB (#qçRqä3s? ÏNù'tƒ ãNä3Î/ ª!$# $·èŠÏJy_ 4 ¨bÎ) ©!$# 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏ‰s% ÇÊÍÑÈ
Artinya : Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqoroh, 148).
Oleh karena itu tidak boleh ada paksaan dalam menyiarkan agama kepada orang lain.[21]
Selain itu pemaksaan dalam hal beragama sendiri adalah bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka.
Iw on#tø.Î) ’Îû ÈûïÏe$!$# ( ‰s% tû¨üt6¨? ߉ô©”9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ ωs)sù y7|¡ôJtGó™$# Íouróãèø9$$Î/ 4’s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ìì‹Ïÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat tersebut di atas adalah inti dan sekaligus pemahaman kebebasan beragama menurut pandangan Islam, Fakta bahwa umat manusia terbagi dalam berbagai kelompok masing-masing mempunyai tujuan hidup berbeda menjunjung tinggi nilai-nilai agama berarti juga menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang mewujud pada penghargaan dan pembebasan sebab keberagamaan yang bersumber pada keyakinan dirilah yang bias mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan yang bias ditransformasikan kepada nilai sosial, jadi sikap menghargai keberagamaan sebagai mana anjuran Islam merupakan wujud dari tingkat kedewasaan seseorang dalam menerima kenyataan sejarah.[22]
D.    Kesimpulan
Umat Islam sudah sangat suka dan jenak dengan tata kehidupan yang sangat pluralistic dan sekularistik. Proses ini sekaligus memiliki keuntungan dan kerugian bagaimana keuntungannya adalah sesuai dengan ajaran agama-agama besar seperti Islam, Yahudi dan Kristen sedangkan kerugiannya adalah bagi banyak orang pengalaman agamawi dipersulit atau bahkan hampir dimustahilkan.
Islam adalah pandangan terhadap Tuhan terhadap alam dan terhadap manusia yang menentukan terhadap sains, kepada seni, kepada tiap orang dan tiap masyarakat, suatu proyek untuk membentuk suatu dunia yang bersifat ke Tuhanan dan kemanusiaan secara tak terpisahkan dua dimensi besar yaitu dimensitransenden dan dimensi masyarakat.
Posisi umat Islam dalam kenyataan ini mengharuskan umat Islam menjadi ummatan wasathan/umat penengah dan saksi (Syuhada) di antara manusia. Hal ini dicontohkan oleh kehidupan Nabi saat berada di Madinah, yaitu dengan meciptakan piagam Madinah dan menghargai non-muslim. Dan membuktikan Islam sebenarnya adalah agama yang terbuka dalam pengertian menolak absolutisme dan eksklusivme kebenaran agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman Wahid, dkk, Dialog Kritik dan Identitas Agama.
Ahmad Fuad Fanani, Islam Madzhab Kritis; Menggagas Keberagaman Liberatif. Buku Kompas, Jakarta, 2004.
Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1999.
Dr. Nurcholis Majid, Pluralisme Agama di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998.
DR. H. Danang Kahmad, M.S.I., Sosiologi Agama, Konisius, Yogyakarta, 1994.
Eko Supriyadi, Sosialisme Islam, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 20003
H. Endang Saefuddin Anshori, MA, Wawasan Islam, Gema Insani, Jogjakarta, 2004.
H. Zulfi Mubarok, MA., Prof. Dr. H. Iman Suprayoga, Sosiologi Agama, UIN Malang Pres , 2006.
http:/kampus/blogspot.com/2011/01
Joesoef Sau YB, Sejarah Daulat Umayyah di Cordova, Bulan Bintang, Jakarta, 1977.
Moh. Hefni, Israul Haque, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
M. Rusli Karim, Dinamika Islam di Indonesia Suatu Tunjauan Sosial dan Politik, PT. Handindita Ofset, Yogyakarta, 1985.
Perang Terminologi Islam Versus Barat, Rabbani Pres, Jakarta, 1998.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Pt. Remaja Rosda Karya. Bandung, 1995,
Tobroni & Samsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Sip Ress, Yogyakarta, 1994.
TS. G. Mulia dan KH. Hidding, Ensiklopedia Indonesia, Artikel Seduce Risosi (dari Bahasa Latin). 2004.
Zaenal Arifin Abas, Perkembangan Pemikiran Terhadap Agama, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1984.
[1] http:/kampus/blogspot.com/2011/01
[2] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Pt. Remaja Rosda Karya. Bandung, 1995, cet. 1, 255
[3] H. Endang Saefudin Anshari, MA, Wawasan Islam, Gema Islami, Jogjakarta, 2004, hal. 183
[4] Zaenal Arifin Abas, Perkembangan Pemikiran Terhadap Agama, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1984, hal 39.
[5] Ibid, hal. 59-60
[6] Dp. H. Danang Kahmad, M.S.I., Sosiologi Agama, Konisius, Yogyakarta, 1994. Hal. 124
[7] Perang Terminologi Islam Versus Barat, Rabbani Pres, Jakarta, 1998, hal. 19
[8] TS. G. Mulia dan KH. Hidding, Ensiklopedia Indonesia, Artikel Seduce Risosi (dari Bahasa Latin).
[9] Loc.cit, hal 184
[10] Op cit, wawasan Al Qori’ah.
[11] H. Endang Saefuddin Anshori, MA, Wawasan Islam, Gema Insani, 2004, hal. 183
[12] Abdurahman Wahid, dkk, Dialog Kritik dan Identitas Agama.
[13] Moh. Hefni, Israul Haque, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
[14] H. Zulfi Mubarok, MA., Prof. Dr. H. Iman Suprayoga, Sosiologi Agama, UIN Malang Pres , 2006, hal 28
[15] Joesoef Sau YB, Sejarah Daulat Umayyah di Cordova, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hal. 34
[16] Tobroni & Samsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Sip Ress, Yogyakarta, 1994, hal. 27
[17] Ashar Ali Engineer, Islam Masa Kini, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 126.
[18] Eko Supriyadi, Sosialisme Islam, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 20003, hal. 195-198.
[19] Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1999, hal. 287-190.
[20] Ahmad Fuad Fanani, Islam Madzhab Kritis; Menggagas Keberagaman Liberatif, Buku Kompas, Jakarta, 2004, hal, 36
[21] Dr. Nurcholis Majid, Pluralisme Agama di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hal 62
[22] M. Rusli Karim, Dinamika Islam di Indonesia Suatu Tunjauan Sosial dan Politik, PT. Handindita Ofset, Yogyakarta, 1985, Hal 1

0 komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com

BACA JUGA

DAFTAR LENGKAP ARTIKEL BLOG BAGINDAERY

Ikuti situs Bagindaery

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...