Dulu kukira cinta itu indah. Memberi mimpi yang penuh tawa. Tanpa mengenal kesedihan. Tapi kini kurasakan bagaimana cinta itu mampu membuat mimpi yang indah tergores luka yang amat perih.
Bukan aku tak tahu cinta itu telah berdua. Namun hati tak bisa mengelak bahwa aku mencintainya. Hatiku jatuh dalam pesona sosok lelaki yang rupawan dan cuek. Kalau aku boleh memilih, aku ingin lenyap seketika itu juga, saat kedua pasang mata kami beradu. Ada desiran halus merayap di hatiku. Namun aku tersadar, aku tak boleh mempunyai perasaan yang lebih dari sekedar teman. Karena kenyataannya, lelaki rupawan dan cuek itu adalah kekasih adikku sendiri. Aku tak ingin dicap sebagai cewek perebut cowok adik sendiri.
Hatiku pedih saat Juno, lelaki itu datang ke rumah dan menemui Azka. Mereka selalu tertawa bersama, bahkan bermesraan di ruang tamu ataupun di teras rumah. Dengan nanar, aku menatapnya sembari mengelus-elus dada untuk menguatkan hatiku. Tanpa terasa, mataku panas, hingga air mata merembes, lewat sudut-sudut mataku yang bulat besar.
“Andaikan aku yang bertemu dulu dengan dia, mungkin sekarang aku yang bercanda bersamanya. Tapi kenyataannya tidak.” Lirihku dalam hati.
Aku kembali masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Berharap aku juga bisa mengunci hatiku untuk lelaki itu.
—
Aku tengah menyelesaikan tulisanku saat Azka mengetuk pintu.
“Ya masuk saja. Tidak dikunci kok.” Seruku dari dalam kamar.
Detik kemudian kepala Azka nongol di ambang pintu.
“Lagi sibuk nggak, Mbak?”
Sebenarnya aku ingin menyelesaikan tulisanku saat ini juga. Dan mengirimnya ke majalah siang ini sebelum berangkat kuliah.
“Nggak. Kenapa?”
Azka masuk dengan langkah dan senyum cerianya. Pantatnya dihempaskannya pada kasur.
“Mbak, nanti malam aku sama Juno mau makan malam. Mbak ikut ya. Kan kalau aku sendirian pasti nggak diijinin sama mama.” Azka melihat keraguan di wajahku. “Tenang Mbak, Mbak nggak akan jadi kambing congek kok. Nanti Juno bawa teman kok. Cowok lagi.” Azka memperlihatkan wajah polosnya, membuatku tak tega untuk menolak permintaannya. Dengan enggan, aku mengangguk dan tersenyum.
Melihat ekspresi wajahku yang setuju, Azka langsung bersorak riang dan berlari keluar kamar sambil berteriak pada mama. “Ma! Mbak Zhila mau ikut makan malam…” suaranya lenyap di ruang keluarga. Kudengar tawa papa dan mama yang menyambut putri kesayangan mereka berjingkat bahagia.
Namun di sudut kamarku, tertera luka yang mendalam. Seraut wajah sedih tengah menatap nanar pada setangkai bunga lili putih, yang bertengger indah di dalam pot dekat jendela. Seberkas keraguan menelusup hatinya tentang makan malam nanti. Ia harus mencari Antibiotik dulu, untuk bertahan dari penyakit cinta yang menyakitkan.
—
Azka terus ribut dengan penampilannya. Tiap detik ia terus bertanya pada mama, entah soal rambutnya, riasannya, gaunnya, ataupun sepatunya. Padahal ia sudah sangat-sangat perfect. Apalagi untuk gadis seumurannya. Rambut hitam sebahu dibiarkan tergerai, dengan hiasan mutiara perak di atas poni hingga menyamping. Gaun merah muda selutut dengan lengan pendek dipadukan dengan sepatu high heels yang serupa. Membuat gadis enam belas tahun itu terlihat aura kecantikannya.
Aku duduk tenang di kursi. Sesekali aku terlihat resah. Bukan karena jemputan lama datangnya. Tapi karena sosok cowok itu. Apa yang harus aku perbuat untuk hati yang tak tahu diri ini, mencintai kekasih dari adikku sendiri.
Malam ini dibandingkan kecantikan Azka denganku, sangat jauh berbeda. Azka terlihat cantik dengan background merah muda yang menampakkan keceriannya. Sedangkan aku terkesan elegant dan santai dengan balutan gaun putih selutut yang dipadukkan dengan sweater cream kesayanganku. Rambutku pun hanya digelung sederhana menggunakan copstic berwarna putih dengan tangkai lili putih. Untuk sepatu, kupadukan senada dengan gaunku.
Setelah sepuluh menit menunggu, dari halaman terdengar deru mobil Juno. Ternyata benar, Juno tidak sendirian. Ia membawa temannya yang terlihat cute. Malam ini Juno terlihat ganteng dan dewasa dengan balutan kemeja putih panjang, yang ia gulung hingga pergelangan tangannya. Teman Juno yang bernama Yoga, juga terlihat cute dalam balutan kemeja biru bergaris.
Juno berpamitan pada papa dan mama. Azka dan aku pun berpamitan pada papa dan mama.
“Hati-hati Sayang.” Seru mama pada Azka. Yang sudah duduk di kursi penumpang. “Zhila, jaga adikmu.” Aku tersenyum dan masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Azka. Juno duduk di belakang setir, dengan Yoga duduk di sebelahnya.
—
Juno memesan kursi untuk empat orang. Azka duduk di samping kanan Juno. Dan di sebelah kiri Juno ada Yoga. Sedangkan aku duduk di seberang meja Juno. Sungguh saat itu juga, aku merasa tak nyaman. Apalagi setiap kali melihat tatapan Juno penuh arti mengarah pada Azka. Atau perhatian kecil cowok itu pada adikku.
Semua memesan steak sapi, terkecuali aku. Aku meminta loabster laut. Padahal makanan yang kupesan adalah makanan kesukaanku. Tapi entah kenapa aku tak bisa menghabiskannya malam itu. Mungkin karena perasaan tidak nyamanku.
Aku tak banyak bicara. Aku lebih pasif daripada yang lainnya. Sering Yoga bertanya padaku dan kujawab singkat kata. Diam-diam aku melirik ke arah Juno dan Azka. Betapa bahagianya mereka. Sedikit perasaan bersalah menelusup ke dalam hatiku.
Tegakah aku menghancurkan tawa bahagia itu? Tegakah aku melihat wajah mendung Azka kalau aku merebut kekasihnya?
“Zhil, gue denger dari adik elo, katanya elo kuliah di jurusan jurnalistik ya? Hebat dong. Dari dulu gue pengin banget masuk dunia jurnalistik. Tapi sama nyokap gak diijinin. Katanya gak bikin sukses.” Kelakar Yoga dan aku menanggapinya dengan senyuman tanpa menyerobot ceritanya dengan berbagai pertanyaan tak penting. “Ngomong-ngomong elo diijinin ya, sama ortu elo?” Tanya Yoga yang melihatku diam saja.
“Sebenarnya Papa sama Mama gak setuju, mbak Zhila ambil jurnalistik.” Serobot Azka yang membuatku terkejut. “Papa-Mama, maunya mbak Zhila ambil broadcasting. Tapi mbak Zhila langsung gagal waktu tes masuk broadcasting. Jadi deh mba Zhila masuk jurnalistik dengan ijin terpaksa dari Papa-Mama.” Lanjut Azka tanpa rasa bersalah telah memalukanku di hadapan Yoga dan Juno.
Aku langsung bangkit selesai kalimat terakhir Azka.
“Mau kemana?” Tanya Yoga lembut.
“Tuh kan. Mbak Zhila emang suka gitu. Bentar-bentar ngambek. Makanya Mama gak sayang sama dia.” Seloroh Azka yang sudah kelewatan.
Ingin rasanya aku membekap mulut ember Azka dengan sepatu yang kukenakan. Cukup ia membuat aku malu dengan pernyataan pertama, tidak untuk pernyataan yang kedua. Dia benar-benar berhasil membuatku kehilangan muka. Lebh baik aku pergi dari tempat itu sekarang juga sebelum kulayangkan tamparan keras di mulutnya.
“Aku ingin ke toilet bentar.” Sahutku tenang. Aku langsung melesat pergi dari tempat itu, bahkan meninggalkan mereka di restoran itu. Aku tak peduli dengan mereka yang mungkin khawatir mencariku. Tapi yang kubutuhkan sekarang adalah ketenangan dan jauh-jauh dari Juno serta Azka.
Aku menelusuri jalan yang masih terlihat ramai walau malam sudah semakin larut. Kurasakan tungkai kakiku pegal. Kulihat sekeliling dan mataku berhenti pada pinggir air mancur. Kulangkahkan kakiku dengan terseok-seok menuju pinggir air mancur, dan duduk di sana. Kujulurkan kakiku agar tidak kaku, setelah kulepas sepatuku.
Kuhirup bau lembap rerumputan basah yang bercampur dengan angin malam yang menggigilkan kulit. Kupejamkan mataku sejenak untuk mengatur perasaanku yang galau. Meski aku pernah merasakan sakit, tapi rasa sakit ini tak sesakit seperti hari-hari sebelumnya.
Aku terkejut mendengar dering ponselku di dalam saku sweater creamku. Tertera nama “Juno” di layar. Tak kuangkat. Ada rasa sakit saat mengucapkan nama itu di hatiku. Dering ponsel berhenti. Kubuka ponsel dan terlihat lima belas panggilan tak terjawab, diantaranya Azka, Yoga, Juno dan Papa.
Duduk lama di tempat dingin seperti itu, lama-lama membuatku pusing. Aku bangkit dari duduk dan berniat untuk pergi dari tempat itu, sebelum seseorang memanggil namaku.
“Zhila!” pemilik suara itu sudah berada di depanku. Matanya terlihat khawatir. Penampilannya sedikit awutan. “Kemana saja kamu? Apa kamu baik-baik saja? Papa dan Mamamu mencarimu. Azka dan Yoga juga. Mereka semua khawatir padamu.” Ucapnya dengan nada riang.
“Aku baik-baik saja. Ngapain kamu ke sini?” nadaku ketus dan membuat Juno mengernyitkan alisnya.
“Tentu saja mencarimu dan mengembalikanmu pada keluargamu, BODOH!” Juno ikutan ketus mendengar ucapanku.
“Aku bukan anak kecil yang harus bilang dulu kalau mau pergi. Dan aku tak sebodoh yang kau ucapkan.” Aku berniat pergi sebelum tangan Juno menahan lenganku dengan kuat. “Lepaskan tanganku.” Teriakku.
“Diam saja, kalau tak ingin dikira macam-macam.” Bisik Juno di telingaku sambil menatap ke sekeliling diikuti pandanganku. “Sekarang kau ikut aku.” Juno melihat keraguan di mataku, “Tenang. Aku tidak akan membawamu pulang.” Lanjutnya.
Aku menurut saja mengikuti perintah Juno. Tangan Juno menggenggam erat tanganku dan menyeretku ke sebuah restoran. Juno menyuruhku duduk di kursi pojok, ia sendiri duduk di sebelahku. Ia memanggil pelayan dan memesan banyak makanan dan minuman. Beberapa menit kemudian, dua orang pelayan bolak-balik mengantarkan makanan dan minuman yang jumlahnya kurang lebih sepuluh macam. Setelah pesanan terakhir diantarkan, Juno mengucapkan terima kasih.
Aku ternganga menatap begitu banyak makanan tersaji di hadapanku, tanpa sadar aku berteriak, “Astaga! Apa kau akan makan semua ini, Juno?!” aku menatap Juno dengan tatapan tak percaya.
“Tentu saja. Mengapa tidak? Tapi kau juga harus ikut makan kalau tak ingin semua makanan ini sampai kuhabiskan semuanya.” Ucapnya dengan seringai senyum manisnya.
Dengan sekejap aku melupakan rasa sakit yang bercokol di dadaku. Dengan sekejap aku melupakan siapa sebenarnya Juno. Dengan sekejap aku melupakan perasaan Azka, adikku. Dengan sekejap aku melupakan papa dan mama yang cemas dan khawatir, karena aku tak kunjung pulang. Dengan sekejap aku melupakan semuanya.
Kurasakan begitu bahagia malam ini. Perasaan yang menyenangkan hadir setelah sekian lama menjauh dariku. Tawa yang kukira tak penah muncul lagi di sudut bibirku, kini tergores dengan indahnya.
Aku mengambil daging kerang dengan saus lada hitam yang menggugah lidahku, apalagi ditambah dengan lobster dengan saus mayones.
“Emmm… nyummi…!” lirihku. Aku makan hidangan itu dengan lahap. Tanpa kusadari, sepasang mata tengah memperhatikanku.
“Ternyata kau doyan makan juga, ya?” Tanya Juno sambil menyendokan kepiting ke dalam mulutnya.
“Baru tau ya, kamu. Gini-gini aku makannya banyak. Bahkan semua makanan di meja ini bisa kuhabiskan sendiri, tapi mengingat ada kau, jadi kubagi dua untukmu.” Ucapku dengan mulut penuh makanan. Juno tertawa melihat tingkahku.
Malam itu aku dan juno bergembira. Kami menghabiskan banyak makanan. Bahkan sampai kami sakit perut.
“Aduh perutku sakit nih.” Keluh Juno. Tangannya memegang perutnya sambil berjalan membungkuk.
“Aku juga nih.” Timpalku. “Sebaiknya kita cari toilet yuk, sebelum semua ampas makanan ini keluar.” Usulku kemudian.
“Ayo. Oh ya, di dekat sini ada hotel. Siapa tahu kita diperbolehkan untuk ke toilet.”
“Kalau begitu ke sana saja. Aku sudah tidak tahan nih.”
Akhirnya aku dan Juno pergi ke hotel terdekat. Sesampainya di sana kami tak diperbolehkan meminjam toilet. Kalau ingin ke toilet, kami harus memesan kamar, dan kami bisa pergi ke toilet di kamar tersebut. Itu yang dikatakan Juno setelah bertanya pada recepsionis. Sementara Juno bertanya, aku duduk menunggu di lobi hotel.
“Ah lega.” Seru Juno begitu keluar dari kamar mandi di salah satu kamar hotel sambil mengelus-elus perutnya.
Melihat Juno keluar dari kamar mandi, aku yang tengah duduk resah menunggu, langsung berlari menyongsong kamar mandi.
“Pelan-pelan saja. Kita punya banyak waktu kok.” Seru Juno dari luar.
Sepuluh menit kemudian aku keluar dari kamar mandi. Ternyata setelah ke belakang, membuat tenaga kita berkurang. Melihat kasur empuk, aku langsung berjalan menujunya dan merebahkan diriku di atas kasur empuk itu.
Kudengar suara bisik dering ponsel. Kuraih ponsel yang
semalam kuletakkan di meja samping tempat tidur. Pada layar ponsel
tertera nama Vira.
“Halo Vir. Ada apa pagi-pagi gini, elo nelpon gue?” tanpa beranjak dari kasur empuk bahkan tetap memejamkan mata, aku mengangkat telepon.
“Apa elo bilang?! Pagi?!” suara cempreng nan keras terdengar seperti loudspeaker di tengah kantukku. “Ya ampun non, sekarang udah jam berapa? Elo lupa apa kalau hari ini kita ada ulangan Pak Purwa! Dosen tergalak di kampus!” Suaranya terus menggema di seberang.
“Itu kan nanti jam sebe… Aaaargggh…!” jerit histerisku begitu melihat jam beker di atas meja yang menunjukkan jam setengah sebelas.
“Gimana non? Sudah sadar sekarang? Sudah sana mandi dan siap-siap ke kampus. Kalau tak mau tahun depan ngulang lagi.”
Begitu telepon ditutup aku langsung menarik tubuhku ke posisi duduk. Rasa kaget karena kesiangan belum hilang, kini ditambah shock baru. Aku menatap heran pada kamar yang kutempati. Ini bukan kamarku. Sepenggal memori mulai tersusun rapi di kepalaku. Tiba-tiba aku menjerit.
“Ya ampun! Jadi semalam aku tidur di sini?! Bersama Juno?!” begitu mengucapkan nama Juno, yang empunya nama langsung nongol dari kamar mandi.
“Oh kau sudah bangun.” Terdengar nada datar di mulut Juno. Tak ada ekspresi apapun yang terlintas di wajahnya.
Seketika aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku dan mengintip apakah pakaianku masih lengkap atau tidak. Terdengar desah lega saat aku tahu pakaianku masih lengkap, dan aku tidak merasakan perubahan apapun pada diriku.
“Tenang saja. Semalam kau tidak aku apa-apakan. Semalam aku tidur di sofa kok. Sebaiknya kau mandi. Kudengar hari ini kau ada ulangan? Dan kau tak ingin terlambat, kan?”
Aku langsung bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Sepuluh menit kemudian aku keluar dengan wajah yang lebih fresh, daripada wajah kusut sehabis bangun tidur tadi.
“Ini.” Juno melemparkan blus biru dan rok berbunga tulip padaku. “Pakai itu. Setelah itu kuantar kau ke kampus. Aku tunggu di lobi.” Setelah menyelesaikan kalimatnya yang terakhir, Juno pergi keluar dan menutup pintu.
Aku terbengong sesaat.
Benarkah dia Juno kekasih Azka? Benarkah dia Juno yang cuek? Benarkah dia Juno yang diam-diam aku cintai? Kalau dia benar Juno, tapi kenapa sikapnya lain dari biasanya? Dia terlihat lebih perhatian sekarang. Ya ampun Zhil, mikir apaan sih kamu? Dia itu kan cowok adikmu sendiri.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk mengganti pakaian yang lebih pantas ke kampus daripada gaun putih yang terlihat lebih santai. Selesai berganti baju, aku bergegas menemui Juno yang tengah menunggu di lobi. Begitu melihatku datang, ia tersenyum manis padaku. Saat melihat senyuman lelaki itu, aku merasa ada angin besar yang berhembus ke arahku. Membuat goyah tubuhku yang hampir tumbang dan jantung berdetak tak keruan.
Di dalam mobil kami tak banyak bicara. Sekeluar dari hotel tadi, Juno kembali pada Juno yang cuek. Aku jadi risih melihat sikapnya yang cuek itu. Dan aku merindukan sikap ramah dan hangat sewaktu di hotel tadi.
“Aku ingin tahu apa yang akan kau katakan pada Azka jika dia tahu kejadian ini.” Aku membuka percakapan. Dia tetap diam dan fokus pada setirnya.
“Aku tak ingin Azka berpikir yang tidak-tidak tentang aku. Apalagi aku ini kakaknya.” Lanjutku, dan lelaki itu masih tetap pada diamnya.
Aku mulai kehilangan kesabaranku. Aku memilih diam daripada ngomong dengan patung hidup. Selama lima belas menit kami seperti orang yang tak saling kenal. Kami saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesampainya di kampus, aku langsung turun dari mobil Juno dan melesat pergi begitu mengucapkan terima kasih.
—
Suara ramai dan riuh memenuhi ruang tamu. Acara pertunangan Azka dan Juno ternyata sudah disiapkan matang oleh mama dan papa. Buktinya, dekorasi ruangan terlihat mewah dan banyak tamu yang diundang. Aku merasa kecut untuk turun ke bawah. Setengah jam lagi pertunangan akan dimulai. Dan aku hanya bermalas-malasan di dalam kamar. Sudah sejak siang tadi aku mengurung diri dan tiduran di atas kasur, tanpa berniat untuk beranjak ke bawah. Sesekali bik Ijah mengetuk pintu dan membawakan jus untukku. Katanya mama yang nyuruh. Baik bener mama, biasanya cuma inget sama Azka.
Kali ini terdengar ketukan pintu. Paling-paling bik Ijah yang membawakkan makanan. Aku tak beranjak dari tidurku Aku tetap memejamkan kedua mataku yang terserang kantuk.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar ketukan pintu lagi.
“Masuk Bik. Pintunya nggak dikunci kok.” Seruku masih terpejam.
Terdengar suara pintu dibuka.
“Taruh saja di meja, Bik.” Seruku masih terpejam dan tak menoleh pada bik Ijah.
Tak terdengar suara. Mungkin bik Ijah sudah keluar. Tapi, detik berikutnya, pernyataan itu disanggah dengan belaian lembut di kepalaku. Spontan aku membuka dua kelopak mataku dan menarik tubuhku ke posisi duduk. Aku tertegun menatap Juno tengah duduk di tepi ranjang sembari menatapku.
“Juno.” Kata pertama yang keluar dari mulutku. “Sedang apa kau di sini?”
“Apa kau akan terus bermalas-malasan di sini? Sementara para tamu sudah berdatangan.” Suara lembut Juno, bagai cahaya yang menyinari kegelapan di kamarku.
Aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur. Memeluk bantal guling dan membelakangi Juno.
“Untuk apa aku turun? Lagipula tak ada yang peduli padaku.” Nadaku terdengar ketus.
“Apa kau tega membiarkan adikmu sedih karena ketidakhadiranmu?”
“Biarkan aku di sini. Lagipula tidak ada yang peduli padaku. Hari ini, semua orang hanya akan melihat Azka.”
“Kau salah, Zhil. Ada yang peduli padamu. Dan hari ini justru kau yang akan menjadi pusat perhatian semua orang…”
“Pusat perhatian orang karena memalukan!”
“Zhila! Bangun!” Juno mulai kesal melihat sikap dan suara ketusku.
Namun ia tak menyadari, setetes air mata telah mengalir, membasahi luka yang tak terobati. “Bodoh! Ayo bangun!” bentaknya dengan menarik lenganku hingga tubuhku ke posisi duduk. Ia langsung tertegun, begitu menatap mataku yang telah basah oleh air mata.
Tangannya terjulur ke pipiku dan menghapus air mata yang terlanjur mengalir tanpa bisa ku cegah. Mulutku terkatup lama. Mata kami saling beradu. Kurasakan desiran halus merayap ke tubuhku. Seolah kami berbicara lewat bahasa kalbu.
Air mataku terus mengalir, bahkan semakin deras.
Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan perasaanku. Kupeluk tubuh Juno. Tak ada reaksi dari lelaki itu. Ia membiarkan aku menangis dalam pelukannya. Tangannya membelai lembut kepalaku.
“Kenapa kau begitu jahat padaku?” lirihku di tengah isakku. “Apa kau tahu, betapa sakitnya aku menahan rasa yang begitu menyiksaku?” semakin erat aku memelukknya. Tak ingin sekalipun terlepas dari pelukannya. “Jujur, aku sangat mencintaimu.” Sempat terbesit rasa sesal di hatiku, karena telah mengatakan kata-kata itu. Dan masih tak ada respon dari Juno. “Dan aku tak ingin kau bertunangan dengan Azka.” Aku terpana ketika Juno mendorong tubuhku dan menatapku lekat.
“Apa kau bilang? Bertunangan dengan Azka? Aku?” tanyanya dengan nada ditekankan.
Aku menatapnya lekat, tak menjawab pertanyaannya. “Ha… ha… ha…” terdengar suara tawa Juno yang ringan, menggema di udara.
“Kenapa kau tertawa?” sungutku.
“Ya ampun, Zhil. Kau ini…” Juno menghentikan kata-katanya. Ia tak menyelesaikan kalimatnya, karena tak kuat menahan tawanya hingga matanya berair. “Kau ini nggak tahu, apa bodoh sih?” Tangan kekarnya mengacak rambutku.
“Apa maksudmu aku bodoh.” Aku menggeram dengan melototkan mataku dan berkacak pinggang.
“Dengar ya, Zhila yang BODOH, memang benar Azka akan bertunangan. Tapi itu dengan Yoga. Bukan denganku.”
Juno tertawa keras begitu melihat ekspresi wajahku dengan pipi yang memerah.
“Jadi Azka akan bertunangan dengan Yoga? Berarti Azka menghianatimu?”
“Siapa bilang dia menghianatiku?”
“Lho bukannya selama ini kau dan Azka berpacaran? Dan sekarang Azka bertunangan dengan Yoga! Berarti mereka berdua telah menghianatimu.”
Tangan Juno kembali mengacak rambutku dan tertawa lebih keras dari sebelumnya.
“Bodoh! Bodoh! Siapa yang bilang kalau aku dan Azka berpacaran? Dia memintaku untuk membantunya mendekati Yoga. Dan aku meminta bantuannya untuk mendapatkan… kakaknya.”
Aku melongo kaget, mendengar kata-kata Juno.
Juno mendekatkan wajahnya pada wajahku. Detik berikutnya, kurasakan bibir hangat dan lembut mengecup keningku.
“Yah, kau yang aku cintai. Bukan adikmu.” Ucap Juno yang langsung membuat tubuhku lemas. Juno meraih tubuhku ke dalam dadanya.
“Jadi kau tidak mencintai adikku?” tanyaku menggoda.
“Tidak.” Sahutnya sembari menggeleng.
“Dan kau tidak berpacaran dengan adikku?”
“Juga, tidak.” Juno kembali menggeleng.
Aku memeluk dada bidang Juno dengan erat.
“Jadi, sekarang kau mandi dan kita turun. Kau tak ingin terlambat menyaksikan pertunangan adikmu dan juga… tak ingn ketinggalan untuk menyusul bertunangan. Papa dan mamamu sudah menunggu kita.”
“Apa…” sebelum aku selesai protes, Juno membopong tubuhku dan membawaku ke kamar mandi.
“Mandi yang bersih dan dandan yang cantik.” Serunya sambil menutup pintu kamar mandi.”
Selesai mandi, aku langsung dirias oleh penata make-up. Aku memilih mengenakan gaun berwarna putih, warna favoritku. Setelah di make-up over, aku langsung turun ke bawah.
Kurasakan bahagia. Ternyata perasaan cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Karena Juno juga mencintaiku. Selama ini ia tahu kalau aku mencintainya. Tapi aku kesal padanya, karena dia sengaja bermesraan dengan Azka untuk membuatku cemburu. Dan semua yang dilakukannya sudah cukup membuatku cemburu, bahkan hampir membunuh perasaan cinta yang bercokol di hatiku.
~ The end ~
Cerpen Karangan: Mia
Facebook: www.facebook.com/der.laven3
http://cerpenmu.com
“Halo Vir. Ada apa pagi-pagi gini, elo nelpon gue?” tanpa beranjak dari kasur empuk bahkan tetap memejamkan mata, aku mengangkat telepon.
“Apa elo bilang?! Pagi?!” suara cempreng nan keras terdengar seperti loudspeaker di tengah kantukku. “Ya ampun non, sekarang udah jam berapa? Elo lupa apa kalau hari ini kita ada ulangan Pak Purwa! Dosen tergalak di kampus!” Suaranya terus menggema di seberang.
“Itu kan nanti jam sebe… Aaaargggh…!” jerit histerisku begitu melihat jam beker di atas meja yang menunjukkan jam setengah sebelas.
“Gimana non? Sudah sadar sekarang? Sudah sana mandi dan siap-siap ke kampus. Kalau tak mau tahun depan ngulang lagi.”
Begitu telepon ditutup aku langsung menarik tubuhku ke posisi duduk. Rasa kaget karena kesiangan belum hilang, kini ditambah shock baru. Aku menatap heran pada kamar yang kutempati. Ini bukan kamarku. Sepenggal memori mulai tersusun rapi di kepalaku. Tiba-tiba aku menjerit.
“Ya ampun! Jadi semalam aku tidur di sini?! Bersama Juno?!” begitu mengucapkan nama Juno, yang empunya nama langsung nongol dari kamar mandi.
“Oh kau sudah bangun.” Terdengar nada datar di mulut Juno. Tak ada ekspresi apapun yang terlintas di wajahnya.
Seketika aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku dan mengintip apakah pakaianku masih lengkap atau tidak. Terdengar desah lega saat aku tahu pakaianku masih lengkap, dan aku tidak merasakan perubahan apapun pada diriku.
“Tenang saja. Semalam kau tidak aku apa-apakan. Semalam aku tidur di sofa kok. Sebaiknya kau mandi. Kudengar hari ini kau ada ulangan? Dan kau tak ingin terlambat, kan?”
Aku langsung bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Sepuluh menit kemudian aku keluar dengan wajah yang lebih fresh, daripada wajah kusut sehabis bangun tidur tadi.
“Ini.” Juno melemparkan blus biru dan rok berbunga tulip padaku. “Pakai itu. Setelah itu kuantar kau ke kampus. Aku tunggu di lobi.” Setelah menyelesaikan kalimatnya yang terakhir, Juno pergi keluar dan menutup pintu.
Aku terbengong sesaat.
Benarkah dia Juno kekasih Azka? Benarkah dia Juno yang cuek? Benarkah dia Juno yang diam-diam aku cintai? Kalau dia benar Juno, tapi kenapa sikapnya lain dari biasanya? Dia terlihat lebih perhatian sekarang. Ya ampun Zhil, mikir apaan sih kamu? Dia itu kan cowok adikmu sendiri.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk mengganti pakaian yang lebih pantas ke kampus daripada gaun putih yang terlihat lebih santai. Selesai berganti baju, aku bergegas menemui Juno yang tengah menunggu di lobi. Begitu melihatku datang, ia tersenyum manis padaku. Saat melihat senyuman lelaki itu, aku merasa ada angin besar yang berhembus ke arahku. Membuat goyah tubuhku yang hampir tumbang dan jantung berdetak tak keruan.
Di dalam mobil kami tak banyak bicara. Sekeluar dari hotel tadi, Juno kembali pada Juno yang cuek. Aku jadi risih melihat sikapnya yang cuek itu. Dan aku merindukan sikap ramah dan hangat sewaktu di hotel tadi.
“Aku ingin tahu apa yang akan kau katakan pada Azka jika dia tahu kejadian ini.” Aku membuka percakapan. Dia tetap diam dan fokus pada setirnya.
“Aku tak ingin Azka berpikir yang tidak-tidak tentang aku. Apalagi aku ini kakaknya.” Lanjutku, dan lelaki itu masih tetap pada diamnya.
Aku mulai kehilangan kesabaranku. Aku memilih diam daripada ngomong dengan patung hidup. Selama lima belas menit kami seperti orang yang tak saling kenal. Kami saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesampainya di kampus, aku langsung turun dari mobil Juno dan melesat pergi begitu mengucapkan terima kasih.
—
Suara ramai dan riuh memenuhi ruang tamu. Acara pertunangan Azka dan Juno ternyata sudah disiapkan matang oleh mama dan papa. Buktinya, dekorasi ruangan terlihat mewah dan banyak tamu yang diundang. Aku merasa kecut untuk turun ke bawah. Setengah jam lagi pertunangan akan dimulai. Dan aku hanya bermalas-malasan di dalam kamar. Sudah sejak siang tadi aku mengurung diri dan tiduran di atas kasur, tanpa berniat untuk beranjak ke bawah. Sesekali bik Ijah mengetuk pintu dan membawakan jus untukku. Katanya mama yang nyuruh. Baik bener mama, biasanya cuma inget sama Azka.
Kali ini terdengar ketukan pintu. Paling-paling bik Ijah yang membawakkan makanan. Aku tak beranjak dari tidurku Aku tetap memejamkan kedua mataku yang terserang kantuk.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar ketukan pintu lagi.
“Masuk Bik. Pintunya nggak dikunci kok.” Seruku masih terpejam.
Terdengar suara pintu dibuka.
“Taruh saja di meja, Bik.” Seruku masih terpejam dan tak menoleh pada bik Ijah.
Tak terdengar suara. Mungkin bik Ijah sudah keluar. Tapi, detik berikutnya, pernyataan itu disanggah dengan belaian lembut di kepalaku. Spontan aku membuka dua kelopak mataku dan menarik tubuhku ke posisi duduk. Aku tertegun menatap Juno tengah duduk di tepi ranjang sembari menatapku.
“Juno.” Kata pertama yang keluar dari mulutku. “Sedang apa kau di sini?”
“Apa kau akan terus bermalas-malasan di sini? Sementara para tamu sudah berdatangan.” Suara lembut Juno, bagai cahaya yang menyinari kegelapan di kamarku.
Aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur. Memeluk bantal guling dan membelakangi Juno.
“Untuk apa aku turun? Lagipula tak ada yang peduli padaku.” Nadaku terdengar ketus.
“Apa kau tega membiarkan adikmu sedih karena ketidakhadiranmu?”
“Biarkan aku di sini. Lagipula tidak ada yang peduli padaku. Hari ini, semua orang hanya akan melihat Azka.”
“Kau salah, Zhil. Ada yang peduli padamu. Dan hari ini justru kau yang akan menjadi pusat perhatian semua orang…”
“Pusat perhatian orang karena memalukan!”
“Zhila! Bangun!” Juno mulai kesal melihat sikap dan suara ketusku.
Namun ia tak menyadari, setetes air mata telah mengalir, membasahi luka yang tak terobati. “Bodoh! Ayo bangun!” bentaknya dengan menarik lenganku hingga tubuhku ke posisi duduk. Ia langsung tertegun, begitu menatap mataku yang telah basah oleh air mata.
Tangannya terjulur ke pipiku dan menghapus air mata yang terlanjur mengalir tanpa bisa ku cegah. Mulutku terkatup lama. Mata kami saling beradu. Kurasakan desiran halus merayap ke tubuhku. Seolah kami berbicara lewat bahasa kalbu.
Air mataku terus mengalir, bahkan semakin deras.
Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan perasaanku. Kupeluk tubuh Juno. Tak ada reaksi dari lelaki itu. Ia membiarkan aku menangis dalam pelukannya. Tangannya membelai lembut kepalaku.
“Kenapa kau begitu jahat padaku?” lirihku di tengah isakku. “Apa kau tahu, betapa sakitnya aku menahan rasa yang begitu menyiksaku?” semakin erat aku memelukknya. Tak ingin sekalipun terlepas dari pelukannya. “Jujur, aku sangat mencintaimu.” Sempat terbesit rasa sesal di hatiku, karena telah mengatakan kata-kata itu. Dan masih tak ada respon dari Juno. “Dan aku tak ingin kau bertunangan dengan Azka.” Aku terpana ketika Juno mendorong tubuhku dan menatapku lekat.
“Apa kau bilang? Bertunangan dengan Azka? Aku?” tanyanya dengan nada ditekankan.
Aku menatapnya lekat, tak menjawab pertanyaannya. “Ha… ha… ha…” terdengar suara tawa Juno yang ringan, menggema di udara.
“Kenapa kau tertawa?” sungutku.
“Ya ampun, Zhil. Kau ini…” Juno menghentikan kata-katanya. Ia tak menyelesaikan kalimatnya, karena tak kuat menahan tawanya hingga matanya berair. “Kau ini nggak tahu, apa bodoh sih?” Tangan kekarnya mengacak rambutku.
“Apa maksudmu aku bodoh.” Aku menggeram dengan melototkan mataku dan berkacak pinggang.
“Dengar ya, Zhila yang BODOH, memang benar Azka akan bertunangan. Tapi itu dengan Yoga. Bukan denganku.”
Juno tertawa keras begitu melihat ekspresi wajahku dengan pipi yang memerah.
“Jadi Azka akan bertunangan dengan Yoga? Berarti Azka menghianatimu?”
“Siapa bilang dia menghianatiku?”
“Lho bukannya selama ini kau dan Azka berpacaran? Dan sekarang Azka bertunangan dengan Yoga! Berarti mereka berdua telah menghianatimu.”
Tangan Juno kembali mengacak rambutku dan tertawa lebih keras dari sebelumnya.
“Bodoh! Bodoh! Siapa yang bilang kalau aku dan Azka berpacaran? Dia memintaku untuk membantunya mendekati Yoga. Dan aku meminta bantuannya untuk mendapatkan… kakaknya.”
Aku melongo kaget, mendengar kata-kata Juno.
Juno mendekatkan wajahnya pada wajahku. Detik berikutnya, kurasakan bibir hangat dan lembut mengecup keningku.
“Yah, kau yang aku cintai. Bukan adikmu.” Ucap Juno yang langsung membuat tubuhku lemas. Juno meraih tubuhku ke dalam dadanya.
“Jadi kau tidak mencintai adikku?” tanyaku menggoda.
“Tidak.” Sahutnya sembari menggeleng.
“Dan kau tidak berpacaran dengan adikku?”
“Juga, tidak.” Juno kembali menggeleng.
Aku memeluk dada bidang Juno dengan erat.
“Jadi, sekarang kau mandi dan kita turun. Kau tak ingin terlambat menyaksikan pertunangan adikmu dan juga… tak ingn ketinggalan untuk menyusul bertunangan. Papa dan mamamu sudah menunggu kita.”
“Apa…” sebelum aku selesai protes, Juno membopong tubuhku dan membawaku ke kamar mandi.
“Mandi yang bersih dan dandan yang cantik.” Serunya sambil menutup pintu kamar mandi.”
Selesai mandi, aku langsung dirias oleh penata make-up. Aku memilih mengenakan gaun berwarna putih, warna favoritku. Setelah di make-up over, aku langsung turun ke bawah.
Kurasakan bahagia. Ternyata perasaan cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Karena Juno juga mencintaiku. Selama ini ia tahu kalau aku mencintainya. Tapi aku kesal padanya, karena dia sengaja bermesraan dengan Azka untuk membuatku cemburu. Dan semua yang dilakukannya sudah cukup membuatku cemburu, bahkan hampir membunuh perasaan cinta yang bercokol di hatiku.
~ The end ~
Cerpen Karangan: Mia
Facebook: www.facebook.com/der.laven3
http://cerpenmu.com
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com