Pagi itu, Ella kembali mengikat tali sepatunya dengan
tangkas. Seperti hari-hari sebelumnya, ia harus sampai di sekolah
sebelum pukul setengah tujuh. Tak ada sosok yang setia menghantarkannya.
Ketidakterlambatannya datang ke sekolah tidak lain karena supir
angkutan umum yang setiap paginya terkadang sering seenaknya sendiri.
Ella, gadis cantik, manis, berlesung pipi itu berparas bak seorang putri
dari kayangan. Tak ada yang tau apa yang sebenarnya terjadi di skenario
kehidupannya. Paras indahnya bak menorehkan pandangan bahwa ia
baik-baik saja.
Lagi-lagi, untuk yang kesekian kalinya Ella melewati gerbang sekolah bersamaan dengan dibunyikannya bel penanda masuk. “Permisi bu, maaf saya terlambat”, ia terpaksa mengatakan hal yang sama seperti dua pagi terakhir. Untunglah, Bu Rina memaklumi supir angkutan yang seenaknya sendiri mengantar Ella. Dengan telaten Bu Rina masih harus menjelaskan baru menyimpulkan. Kata perkata, penjelasan demi penjelasan yang diutarakan Bu Rina seakan selalu membekas di pikiran Ella. Bagaimana tidak? Ibu Guru dengan sosok yang masih muda, lengkap dengan handphone Blackberrynya itu merupakan guru yang sangat digemari para siswa. Tak lebih juga karena Bu Rina merupakan guru Biologi yang senang bersejarah kepada murid-muridnya. Sekali lagi, bel berbunyi cukup panjang.
Ella dan kedua temannya langsung seakan mengambil alih jalan menuju tempat yang ramai, sesak penuh orang. Kantin sekolah yang selalu dirindukan para siswa ketika jam pelajaran. Ella dan kedua temannya hanya menghabiskan tak lebih dari lima ribu rupiah untuk sekedar melepas dahaga. Tiba-tiba, ada yang canggung!
“Vi, kau ingat pelajaran Bahasa Inggris minggu lalu?”, pertanyaan Ella seolah memecah keheningan mereka.
“Masih past continous tense kan? Sama PR LKS halaman 21”, jawab Viona dengan cerdas.
“LKSku? LKSku masih tertinggal di rumah papa. Gimana nih?” sekali lagi Ella benar-benar memecah keheningan.
“Vi, kau kan pintar berbahasa orang bule. Bolehlah buat dua kali ini aku dan Ella nyalin jawabanmu lagi”, permohonan Fara yang seakan ikut terlibat di masalah.
“Sadarlah Far! Aku sedang tak ingin menjelaskan terlalu banyak. Ambil aja di laci mejaku”, Viona kembali bertutur cerdas.
Lembar Kerja Siswa milik Ella tertinggal di rumah papanya. Lantas? Tak mungkin Ella akan kembali ke rumah papanya hanya untuk mengambil buku itu. Sedangkan di sana, pasti akan dikucilkan bak seorang siswa yang ikut berjualan di kantin. Ella tak kuat dengan kedisiplinan papanya. Bukan! Menurutnya sikap papanya itu bukan disiplin, lebih condong ke keras. Ella seringkali rindu akan kehadiran mamanya yang lekas mengelus rambutnya sehabis ia mulai terlelap.
“Ma, Ella kangen mama”, entah berapa kali hatinya berucap seperti itu.
Sejak awal, hubungan mama-papanya memang sudah terasa janggal. Hanya muncul sedikit keharmonisan ketika Ella ada di tengah-tengah mereka. Ella tertekan! Siswa Sekolah Menengah Pertama yang harusnya mulai berbahagia bersama teman-temannya, ternyata harus menghadapi kenyataan bahwa pemikiran mama-papanya sudah tak sejalan lagi. Ella lelah setiap saat harus berharap bisa melewati perjalanan Tangerang-Bekasi secepat ia bahagia.
Tertahan lagi. Ia hanya bisa bertemu seorang demi seorang di antara mama-papanya.
“Bun, kapan ya Ella bisa ketemu mama sama papa di waktu dan tempat yang sama?” sosok Ella yang tak lagi tegar itu menginginkan bibinya menjawabnya. Ella memanggil bibinya dengan sebutan bunda karena ia merasakan kenyamanan lebih ketika ia tak memanggil bibinya itu dengan sebutan yang biasa dipanggil kebanyakan orang.
“Pasti ada Nak. Mama-papamu itu insyaAllah sudah berjodoh. Lauh Mahfuzh saksi skenarionya. Kita semua hanya butuh mengutarakan. Selebihnya, hanya indah-pedihnya yang ada yang akan terasa.” Jawab bibinya dengan bijak.
“Ella lelah Bun. Ella capek, Ella tertekan, setiap saat hanya bisa memohon, meminta, mengharap, mendoa. Ella lelah Bun!”, pertanyaannya sungguh menggetarkan hati Bibinya.
“Ingat La. Tuhan itu punya tiga cara menanggapi harapan kita. Yang pertama ya tak lain langsung mengabulkan. Yang kedua, akan dikabulkan namun entah kapan. Dan yang terakhir, akan diganti dengan yang lebih baik. Pahamilah Nak, Ella kuat sayang. Bunda mendukung Ella sepenuhnya.”, tutur kata-kata bijak kembali terpapar dari pita suara lembut bibinya. Segeralah Ella menahan air mata racunnya itu membasahi pipinya.
Lafal adzan terdengar di telinga Ella dan Bibinya. Cepat-cepat mereka mengambil air wudhu untuk segera bersujud kepada-Nya. Terlintas di pikiran Ella yang setiap saat selalu mengharapkan kebahagiaan mama-papanya bersamanya. Dengan berhias butiran air mata, kata demi kata yang tak sanggup diutarakan menemani kepedihan Ella yang ternyata sudah berniat bercerai. Tiba-tiba handphonenya bergetar ketika Ella masih dalam proses melepas mukenanya. Ella hanya melihat dari layar. Tertulis ‘one message unread; Mama’. Entah kenapa Ella tak berkeinginan membaca pesan singkat dari mamanya itu. Namun seketika, karena kekhawatirannya akan mamanya membuat Ella seolah tertarik untuk membaca pesan singkat mamanya.
“Ella sayang. Mama besok mau main ke tempat bibi ya..”, Ella tanpa respon membaca pesan singkat itu. Sudah biasa, mamanya menjenguk Ella di tempat bibinya sudah biasa. Namun kali ini, ketika handphone Ella bergetar untuk kedua kalinya, ada yang luar biasa.
“Ella, Papa besok habis dari kantor mau mampir tempat bibi ya..”, pesang singkat dari papanya seolah membuatnya tak percaya. Esok mama dan papanya akan bertemu. Ia tak menyangka secepat itu Tuhan mengabulkan doanya. Malam itu Ella hanya terbayang akan bagaimana skenario bak drama yang akan dilaluinya esok hari. Ella berfikir keras seperti apa yang harus ia lakukan agar mama-papanya mengurungkan niat untuk tak berstatus suami-istri lagi.
Keesokan harinya Ella kembali menggendong tas coklatnya ke sekolah. Di sekolah hanya beberapa persen pelajaran yang dapat ia tangkap. Tak lain penyebabnya ya membayangkan bahwa beberapa jam lagi mama-papanya akan bertemu bersamanya. Jarak itu terlintas begitu cepat.
“La, lekas pulang. Ndak usah main. Mama-papa udah di tempat Bunda” ting tong dari Bibinya yang sungguh menggembirakan hati gadis belia itu.
Ella mengetuk pintu depan rumah, berjalan dengan langkah perlahan menuju sebuah ruangan. Ruangan yang dominan bagi Ella. Namun saat itu, ada yang berbeda, ada yang nampaknya lebih luar biasa. Ada dua sosok sejoli yang mungkin sudah diriwayatkan Tuhan agar berjodoh. Mama Lisa dan Papa Fredi, itulah nama yang setidaknya sering menjadi penyebab Ella menangis tengah malam. Detik itu, mereka bertemu dalam satu ruangan walaupun tak saling bertatapan. Tapi Ella yakin, keduanya masih saling mengkhawatirkan.
“Ma, Pa, Ella kangen ada di suasana kek gini. Rasanya berasa di jadwal ya biar kita bisa kaya gini.”, suara Ella membuat mama-papanya saling bertatapan.
“La, Mama juga rindu suasana seperti ini. Tapi papamu itu La! Papamu masih saja selalu mementingkan bisnisnya di kantor. Padahal, di sini, di perut Mama ada calon adikmu! Papamu tak menghargai sedikit pun perjuangan mama mengandung buah hatinya.”, jawab Mama sambil mengelus-elus perutnya.
“Heh Lisa! Jaga omonganmu! Bukankah kamu yang menjauh? Apa pedulimu pada pekerjaanku? Sedangkan jika kau bilang aku tak menghargai perjuanganmu, lantas apa penyebab adanya Ella?”, kali ini Papa masih bisa tertahan.
“Ma, Pa! Sekali lagi. Kisah cinta mama-papa ini bukan drama! Bukan drama bertema keegoisan, ma, pa! Jangan seperti kisah cinta monyet teman-temanku lah.”, Ella seketika langsung meraih pegangan tangga menuju kamarnya.
Ella termenung. Rencananya semalam gagal total. Hanya judul yang ternyatakan. Mama-papanya sudah tak saling memperdulikan. Ella kembali menjatuhkan air matanya hingga ia terlelap dalam bunga tidur. Walaupun Ella sudah seperti itu, namun mama-papanya tetap saja bersikeras saling tak mau disalahkan. Ella tertidur dengan masih mengenakan seragam putih-biru dongker yang sempat basah karena tetesan air matanya. Cahayanya kini sudah redup. Ella seakan sudah susah untuk menemukan sosok penyebab terang itu. Ella makin tertekan. Sedangkan mama-papanya, entahlah Ella sedang tak ingin memikirkan. Ella berusaha tak peduli kepada kedua orangtuanya itu. Genap empat bulan Ella berusaha mengganggap semuanya masih baik-baik saja. Mungkin kini Ella sudah sangat mudah untuk berusaha tak peduli kepada urusan pribadi mama-papanya, Hingga kelahiran adiknya pun tak ia ketahui. Ella bermimpi bahwa adiknya yang akan membuat mama-papanya saling bermaafan. Ella lagi-lagi menyusun rencana yang sudah dipesimiskan tak berhasil. Tidak! Kali ini keajaiban datang. Tuhan telah menunjukkan yang hebat dari sebuah perjuangan. Mama-papanya saling bercakap, melengkapi dalam mengurusi sang adik perempuan Ella. Sebenarnya, Ella merasa iri, Ella termenung, teringat.
“Apakah dulu aku juga diseperti itukan?”, hati Ella sangat berkeinginan mengetahui jawabannya.
Ella masih bingung apa yang sebenarnya menyebabkan mama-papanya berubah menjadi peduli seperti ini. Namun itu tak terlalu dipikir. Yang utama hanyalah yang penting sekarang mama-papanya sudah tak berniat untuk tak sekartu keluarga lagi. Apalagi kini mama-papanya sudah kembali tinggal dalam satu atap bersama Ella dan adiknya. Sungguh keadaan yang sangat dirindukan oleh Ella. Kini keadaan itu sudah tak perlu dirindukan lagi. Ella menyimpulkan, sendainya dulu adiknya lahir lebih cepat, mungkin mama-papa akan lebih cepat pula kembali ke keadaan seharmonis ini. Kini, mereka hidup bak tak pernah mengalami perselisihan lagi.
Cerpen Karangan: Zahrona Fatimah
Blog: http://zahrards.blogspot.com
Facebook: Zahra Artubhe Chillciel
Saya bukanlah penulis yang mahir :’)
http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/ella.html
Lagi-lagi, untuk yang kesekian kalinya Ella melewati gerbang sekolah bersamaan dengan dibunyikannya bel penanda masuk. “Permisi bu, maaf saya terlambat”, ia terpaksa mengatakan hal yang sama seperti dua pagi terakhir. Untunglah, Bu Rina memaklumi supir angkutan yang seenaknya sendiri mengantar Ella. Dengan telaten Bu Rina masih harus menjelaskan baru menyimpulkan. Kata perkata, penjelasan demi penjelasan yang diutarakan Bu Rina seakan selalu membekas di pikiran Ella. Bagaimana tidak? Ibu Guru dengan sosok yang masih muda, lengkap dengan handphone Blackberrynya itu merupakan guru yang sangat digemari para siswa. Tak lebih juga karena Bu Rina merupakan guru Biologi yang senang bersejarah kepada murid-muridnya. Sekali lagi, bel berbunyi cukup panjang.
Ella dan kedua temannya langsung seakan mengambil alih jalan menuju tempat yang ramai, sesak penuh orang. Kantin sekolah yang selalu dirindukan para siswa ketika jam pelajaran. Ella dan kedua temannya hanya menghabiskan tak lebih dari lima ribu rupiah untuk sekedar melepas dahaga. Tiba-tiba, ada yang canggung!
“Vi, kau ingat pelajaran Bahasa Inggris minggu lalu?”, pertanyaan Ella seolah memecah keheningan mereka.
“Masih past continous tense kan? Sama PR LKS halaman 21”, jawab Viona dengan cerdas.
“LKSku? LKSku masih tertinggal di rumah papa. Gimana nih?” sekali lagi Ella benar-benar memecah keheningan.
“Vi, kau kan pintar berbahasa orang bule. Bolehlah buat dua kali ini aku dan Ella nyalin jawabanmu lagi”, permohonan Fara yang seakan ikut terlibat di masalah.
“Sadarlah Far! Aku sedang tak ingin menjelaskan terlalu banyak. Ambil aja di laci mejaku”, Viona kembali bertutur cerdas.
Lembar Kerja Siswa milik Ella tertinggal di rumah papanya. Lantas? Tak mungkin Ella akan kembali ke rumah papanya hanya untuk mengambil buku itu. Sedangkan di sana, pasti akan dikucilkan bak seorang siswa yang ikut berjualan di kantin. Ella tak kuat dengan kedisiplinan papanya. Bukan! Menurutnya sikap papanya itu bukan disiplin, lebih condong ke keras. Ella seringkali rindu akan kehadiran mamanya yang lekas mengelus rambutnya sehabis ia mulai terlelap.
“Ma, Ella kangen mama”, entah berapa kali hatinya berucap seperti itu.
Sejak awal, hubungan mama-papanya memang sudah terasa janggal. Hanya muncul sedikit keharmonisan ketika Ella ada di tengah-tengah mereka. Ella tertekan! Siswa Sekolah Menengah Pertama yang harusnya mulai berbahagia bersama teman-temannya, ternyata harus menghadapi kenyataan bahwa pemikiran mama-papanya sudah tak sejalan lagi. Ella lelah setiap saat harus berharap bisa melewati perjalanan Tangerang-Bekasi secepat ia bahagia.
Tertahan lagi. Ia hanya bisa bertemu seorang demi seorang di antara mama-papanya.
“Bun, kapan ya Ella bisa ketemu mama sama papa di waktu dan tempat yang sama?” sosok Ella yang tak lagi tegar itu menginginkan bibinya menjawabnya. Ella memanggil bibinya dengan sebutan bunda karena ia merasakan kenyamanan lebih ketika ia tak memanggil bibinya itu dengan sebutan yang biasa dipanggil kebanyakan orang.
“Pasti ada Nak. Mama-papamu itu insyaAllah sudah berjodoh. Lauh Mahfuzh saksi skenarionya. Kita semua hanya butuh mengutarakan. Selebihnya, hanya indah-pedihnya yang ada yang akan terasa.” Jawab bibinya dengan bijak.
“Ella lelah Bun. Ella capek, Ella tertekan, setiap saat hanya bisa memohon, meminta, mengharap, mendoa. Ella lelah Bun!”, pertanyaannya sungguh menggetarkan hati Bibinya.
“Ingat La. Tuhan itu punya tiga cara menanggapi harapan kita. Yang pertama ya tak lain langsung mengabulkan. Yang kedua, akan dikabulkan namun entah kapan. Dan yang terakhir, akan diganti dengan yang lebih baik. Pahamilah Nak, Ella kuat sayang. Bunda mendukung Ella sepenuhnya.”, tutur kata-kata bijak kembali terpapar dari pita suara lembut bibinya. Segeralah Ella menahan air mata racunnya itu membasahi pipinya.
Lafal adzan terdengar di telinga Ella dan Bibinya. Cepat-cepat mereka mengambil air wudhu untuk segera bersujud kepada-Nya. Terlintas di pikiran Ella yang setiap saat selalu mengharapkan kebahagiaan mama-papanya bersamanya. Dengan berhias butiran air mata, kata demi kata yang tak sanggup diutarakan menemani kepedihan Ella yang ternyata sudah berniat bercerai. Tiba-tiba handphonenya bergetar ketika Ella masih dalam proses melepas mukenanya. Ella hanya melihat dari layar. Tertulis ‘one message unread; Mama’. Entah kenapa Ella tak berkeinginan membaca pesan singkat dari mamanya itu. Namun seketika, karena kekhawatirannya akan mamanya membuat Ella seolah tertarik untuk membaca pesan singkat mamanya.
“Ella sayang. Mama besok mau main ke tempat bibi ya..”, Ella tanpa respon membaca pesan singkat itu. Sudah biasa, mamanya menjenguk Ella di tempat bibinya sudah biasa. Namun kali ini, ketika handphone Ella bergetar untuk kedua kalinya, ada yang luar biasa.
“Ella, Papa besok habis dari kantor mau mampir tempat bibi ya..”, pesang singkat dari papanya seolah membuatnya tak percaya. Esok mama dan papanya akan bertemu. Ia tak menyangka secepat itu Tuhan mengabulkan doanya. Malam itu Ella hanya terbayang akan bagaimana skenario bak drama yang akan dilaluinya esok hari. Ella berfikir keras seperti apa yang harus ia lakukan agar mama-papanya mengurungkan niat untuk tak berstatus suami-istri lagi.
Keesokan harinya Ella kembali menggendong tas coklatnya ke sekolah. Di sekolah hanya beberapa persen pelajaran yang dapat ia tangkap. Tak lain penyebabnya ya membayangkan bahwa beberapa jam lagi mama-papanya akan bertemu bersamanya. Jarak itu terlintas begitu cepat.
“La, lekas pulang. Ndak usah main. Mama-papa udah di tempat Bunda” ting tong dari Bibinya yang sungguh menggembirakan hati gadis belia itu.
Ella mengetuk pintu depan rumah, berjalan dengan langkah perlahan menuju sebuah ruangan. Ruangan yang dominan bagi Ella. Namun saat itu, ada yang berbeda, ada yang nampaknya lebih luar biasa. Ada dua sosok sejoli yang mungkin sudah diriwayatkan Tuhan agar berjodoh. Mama Lisa dan Papa Fredi, itulah nama yang setidaknya sering menjadi penyebab Ella menangis tengah malam. Detik itu, mereka bertemu dalam satu ruangan walaupun tak saling bertatapan. Tapi Ella yakin, keduanya masih saling mengkhawatirkan.
“Ma, Pa, Ella kangen ada di suasana kek gini. Rasanya berasa di jadwal ya biar kita bisa kaya gini.”, suara Ella membuat mama-papanya saling bertatapan.
“La, Mama juga rindu suasana seperti ini. Tapi papamu itu La! Papamu masih saja selalu mementingkan bisnisnya di kantor. Padahal, di sini, di perut Mama ada calon adikmu! Papamu tak menghargai sedikit pun perjuangan mama mengandung buah hatinya.”, jawab Mama sambil mengelus-elus perutnya.
“Heh Lisa! Jaga omonganmu! Bukankah kamu yang menjauh? Apa pedulimu pada pekerjaanku? Sedangkan jika kau bilang aku tak menghargai perjuanganmu, lantas apa penyebab adanya Ella?”, kali ini Papa masih bisa tertahan.
“Ma, Pa! Sekali lagi. Kisah cinta mama-papa ini bukan drama! Bukan drama bertema keegoisan, ma, pa! Jangan seperti kisah cinta monyet teman-temanku lah.”, Ella seketika langsung meraih pegangan tangga menuju kamarnya.
Ella termenung. Rencananya semalam gagal total. Hanya judul yang ternyatakan. Mama-papanya sudah tak saling memperdulikan. Ella kembali menjatuhkan air matanya hingga ia terlelap dalam bunga tidur. Walaupun Ella sudah seperti itu, namun mama-papanya tetap saja bersikeras saling tak mau disalahkan. Ella tertidur dengan masih mengenakan seragam putih-biru dongker yang sempat basah karena tetesan air matanya. Cahayanya kini sudah redup. Ella seakan sudah susah untuk menemukan sosok penyebab terang itu. Ella makin tertekan. Sedangkan mama-papanya, entahlah Ella sedang tak ingin memikirkan. Ella berusaha tak peduli kepada kedua orangtuanya itu. Genap empat bulan Ella berusaha mengganggap semuanya masih baik-baik saja. Mungkin kini Ella sudah sangat mudah untuk berusaha tak peduli kepada urusan pribadi mama-papanya, Hingga kelahiran adiknya pun tak ia ketahui. Ella bermimpi bahwa adiknya yang akan membuat mama-papanya saling bermaafan. Ella lagi-lagi menyusun rencana yang sudah dipesimiskan tak berhasil. Tidak! Kali ini keajaiban datang. Tuhan telah menunjukkan yang hebat dari sebuah perjuangan. Mama-papanya saling bercakap, melengkapi dalam mengurusi sang adik perempuan Ella. Sebenarnya, Ella merasa iri, Ella termenung, teringat.
“Apakah dulu aku juga diseperti itukan?”, hati Ella sangat berkeinginan mengetahui jawabannya.
Ella masih bingung apa yang sebenarnya menyebabkan mama-papanya berubah menjadi peduli seperti ini. Namun itu tak terlalu dipikir. Yang utama hanyalah yang penting sekarang mama-papanya sudah tak berniat untuk tak sekartu keluarga lagi. Apalagi kini mama-papanya sudah kembali tinggal dalam satu atap bersama Ella dan adiknya. Sungguh keadaan yang sangat dirindukan oleh Ella. Kini keadaan itu sudah tak perlu dirindukan lagi. Ella menyimpulkan, sendainya dulu adiknya lahir lebih cepat, mungkin mama-papa akan lebih cepat pula kembali ke keadaan seharmonis ini. Kini, mereka hidup bak tak pernah mengalami perselisihan lagi.
Cerpen Karangan: Zahrona Fatimah
Blog: http://zahrards.blogspot.com
Facebook: Zahra Artubhe Chillciel
Saya bukanlah penulis yang mahir :’)
http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/ella.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com