Kehilanganmu sudah berhasil membuatku mencintai kesepian melebihi kesepian itu sendiri.
Masih
terekam jelas di ingatanku, senja itu kau berhasil membungkam kosakata
yang hendak kusampaikan, sebuah ungkapan rindu tak tertahan. Ketika
sebuah abjad, merasa tidak
mampu untuk berdiri sendiri diatas putihnya sehelai kertas tanpa bantuan
sepasang tangan yang merangkai huruf tersebut.
Ketika
warna sayap kupu-kupu yang kupelihara warnanya memudar perlahan, dan
aku berharap dengan paletmu, warna-warna ceria itu kembali hadir.
Tetapi
tanpa ditandai angin hardikmu datang dengan tiba-tiba laksana badai,
dan kau arahkan telunjukmu kepadaku searah lurus jalanan sepi berjelaga.
Bertemankan
pilu, bersahabatkan susah hati, aku patuh mengikuti telunjukmu yang
terarah lurus, tanpa menangis kukemasi pecahan hati yang berserak,
memasukannya dalam lipatan harapan, agar kelak bisa kembali merekat
walau berbekas.
Pada
ketiak luka yang mengangga aku berjalan pasif, kelebat kenangan tentang
kita serupa relief bermunculan dengan teratur. Frasanya sungguh rapi.
Bahkan pada sudut trotoar waktu yang kulewati, bekas jejak kita beriringan masih nampak ranum merona.
Pun pada setiap persimpangan yang kita lalui, disana terdapat beratus bahkan beribu ceceran rindu yang tersemai.
***
Dulu, katamu, padaku.
“..tidak
mungkin seorang Romeo mampu meramu hidangan perjamuan cinta tanpa
Juliet disisinya..” ucapmu ketika kita melewati persimpangan tanpa
temaram lampu.
Saat
itu, malam menunduk malu, betapa kita tak ubahnya pemilik semesta. Dan
aku..aku merasa “hidup” ketika aku merasa akan “mati”.
Dalam batin kutetapkan syahadat “Dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi”
Bisikku
pada semesta “Malam tetaplah pekat, biarkan aku berada lebih lama
dipelukkan kekasihku, karena disanalah senyumku terkembang tak berjeda”
Aku pun terlelap, dengan sebuah rasa percaya bahwa mimpi bisa di bangun di atas sebuah mimpi.
***
Purnama ketujuh,
Masih
berkalungkan keterkejutan, aku berusaha membakar timbunan-timbunan
kenangan yang beranak pinak itu, kenangan yang nampak usang dan
mengguning pada sisi-sisinya. Harapku setelah semua terbakar, aku
menjadi lupa akan luka kehilangan.
Akan tetapi kenangan itu seumpama kertas, walau terbakar menjadi abu tetap saja meninggalkan jejak.
Pagi
yang sama seperti pagi tujuh purnama yang lalu, kali inipun masih
kutemukan memori tentangmu diantara riuhnya embun yang berebut mencari
perhatian mentari, dengan kisah tentang kita yang sudah berubah letak
perannya. Kisah sang pecinta tanpa yang tercinta.
Dirimu sekarang adalah Romeo yang merindukan Cleopatra, padahal itu bukan jalan cerita yang benar
Keputusanmu
merindukan Cleopatra menenggelamkan puluhan perahu-perahu yang
kuarahkan berlabuh dihatimu. Padahal disana berlaksa harapan dan mimpi
sudah siap merapat.
Kau dan aku kini berjarak sejauh matahai dengan Pluto, sejauh cakrawala dengan bumi yang kita pijak bersamaan.
Aku
selalu menitipkam harapan pada sayap-sayap malam, agar waktu di senja
yang menghitam itu bisa kembali. Walau berjelaga, tapi penuh semiotika
yang mengurai ingatan bahwa kau dan aku pernah melebur menjadi kita.
Tanya
besar kerap mencuat ketika kesepian hadir, “Mengapa derap sang waktu
selalu menjadi hakim agung pada sebuah kisah, sehingga tidak pernah ada
sekalipun pilihan tersedia..”
Dan pertanyaan yang berasal dari rahim kesepian akan melahirkan bayi-bayi kehampaan.
***
Percakapan pada sebatang pohon,
Ada
yang mengatakan bahwa perasaan sedih hanyalah aliran sesat yang berasal
dari otak, bisa dikendalikan menggunakan sugesti. Jadi, apapun yang
dirasakan biarkan sugesti yang melawannya.
Omong kosong pekikku dalam hati.
Bagaimana
bisa sebuah perasaan mendiskripsikan dirinya sendiri, padahal benci dan
rindu berada di tempat yang sama. Di hati yang sama. Cerita yang sama.
Terlebih jalan cerita romansa Romeo dan Juliet sudah melenceng dari kehendak sang penulis.
Menemukan kemudian kehilangan merupakan dua sisi romantisme, yang tidak bisa dipungkiri suka dukanya.
Seumpama
sebuah pohon, rindu ini kini merambat sendiri, satu-satunya yang kelak
mempertemukan pecinta dan tercinta adalah akar pohon itu sendiri.
***
Masih
tentang sebuah kehilangan, yang menjadi hal terberat bagiku sekarang
adalah selalu ingin mengingatmu di tengah usahaku melupakanmu dan
melepaskanmu, yang memilih dirinya.
Dan,
Tenyata mengingat tentangmu…sama halnya mengeja duka dari A sampai Z
***
*Kutulis ini ketika Wamena tengah di rundung sakrataul maut sebab setia yang terberai
http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2014/02/22/tentang-kehilangan-633931.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com