Kulangkahkan kaki keluar kelas yang sangat membosankan dan
suntuk. Siang hari yang cukup terik di kampus, hanya segelintir orang
yang rela berpanas-panas di jalan, sementara yang lain sepertinya nyaman
duduk di bawah pohon yang rindang. Menyebalkan sekali ketika mata
kuliah selanjutnya ada diakhir waktu pada sore hari pukul lima, masih
ada jeda waktu yang panjang untuk menunggu.
Suara azan zuhur menggema dari masjid kampus yang letaknya tidak jauh dari kelasku. Tanpa ragu kulangkahkan kaki ke masjid untuk salat zuhur dan tidur sejenak untuk melepas suntuk.
Dari sudut mataku bisa kulihat sepasang mata sedang mengawasiku dengan lekat saat aku mengambil air wudhu. Tak kuindahkan tatapan perempuan itu, aku bergegas ke dalam masjid dan memulai salat zuhur. Berbagai rapalan doa kupanjatkan, aku memohon agar keluargaku selalu diberi perlindungan, dan untuk ibu semoga diberi ketabahan dalam mengurus anak-anaknya termasuk aku, semoga ia selalu sabar dalam menjalani kehidupannya yang sendiri mengurus kami. Dan untuk ayah, berilah ia selalu kebahagiaan dengan keluarga barunya. Aku menyadari walaupun kenyataannya orangtua kami bercerai, aku lebih bisa melihat wajah ibu yang segar kembali dan tidak ada beban mengkhawatirkan ayah yang selalu pulang malam dengan pacar barunya.
Kuusap wajahku dengan kedua tanganku seraya mengamini doaku. Aku duduk disudut pojok masjid dengan posisi yang cukup nyaman dengan tas yang kujadikan alas untukku tidur.
Sosok perempuan tadi kembali menghampiriku masih dengan tatapan tajamnya. Wajah dan rambut panjangnya basah, mungkin ia ingin meminjam mukena milik masjid yang sudah terlipat rapi di sampingku.
Aku tersenyum simpul sambil menyodorkan mukena kepadanya.
“Untuk apa?” Tanyanya datar kepadaku.
Aku memutar bola mata dan menjawab pertanyaannya dengan nada jengkel.
“Ya untuk salat. Kamu kesini untuk salat kan?”. Lalu ia menatapku lagi dengan tatapan sinis.
“Maksudku, untuk apa kau salat? Salat bisa membuatmu bahagia?” Tanyanya sinis.
Aku terperanjat kaget, berani-beraninya perempuan ini berkata begitu, dadaku panas dan tersulut emosi.
“Ya, aku bahagia, karena hanya dengan salat aku bisa bertemu Tuhan” jawabku tegas.
Perempuan itu kembali menatapku dengan tatapan yang menyebalkan.
“Kau tahu? ada hamba-Nya yang tak pernah ingkar sekalipun kepada-Nya. Namun, ketika hamba-Nya tertimpa musibah, Ia sama sekali tidak menolong hamba itu. Aku khawatir kalau Tuhan kita selama ini tertidur” Katanya dengan nada yang kini menginggi. Sudah cukup aku bersabar dari tadi, tuturnya sudah cukup membuatku muak karena menghina apa yang aku percayai.
“Apa maumu? Siapa kamu? Berhentilah menjengkelkan! Kalau kau tidak percaya dengan Tuhan, keluarlah kau dari tempat ini dan tinggalkan aku!” Tuturku dengan nada meninggi, semua orang di dalam masjid memandangku dengan tatapan betanya-tanya. Namun, perempuan ini hanya tertunduk kaku dan menitikkan air mata, aku bingung, apa yang sudah kuperbuat? Perempuan ini sepertinya sedang tertekan dan aku malah membuatnya semakin tertekan.
“Ceritakanlah apa yang ingin kau ceritakan”
Setiap tutur katanya selalu dibarengi dengan air mata. Aku hanya bisa menenangkannya tanpa mampu memberi solusi tentang ceritanya yang begitu rumit. Kucerna sedikit demi sedikit ceritanya, namun semakin kesini, semakin aku ingin juga mengeluarkan air mata.
Namanya Laras, anak kedua dari dua bersaudara, kakaknya adalah seorang laki-laki yang sudah kerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi, hingga tinggallah ia bertiga dengan ibu dan ayahnya.
Laras adalah anak yang pintar, ia kuliah disini juga, di jurusan Ilmu Komputer dengan beasiswa prestasi penuh. Aku terkejut, terlintas dipikiranku ia adalah seorang yang jenius. Lalu ia juga taat pada agama, selalu menjalankan perintah-Nya. Namun, pada suatu titik tertentu dimana di bagian hidupnya ia meragukan keberadaan Tuhan. Hingga ia menceritakan bagian yang lebih banyak menguras air mata untuk diceritakan.
Keluarga Laras tinggal di lingkungan tempat prost*tusi dan kelab malam ilegal, Laras sudah sering meminta kepada ibunya untuk pindah kontrakan karena lingkungannya sangat rawan sekali. Namun, keluarga Laras bukanlah keluarga yang mudah untuk berpindah-pindah tempat tinggal, bukanlah keluarga yang mudah untuk mengabulkan permintaan anaknya. Namun, ibu Laras bekerja keras dengan menjadi penjual nasi uduk setiap pagi di depan kontrakannya. Sampai pada suatu malam, ayah Laras pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat dan diseret oleh dua lelaki berbadan besar dan kekar. Mereka akan membakar rumah ini dan segala isinya apabila ayah Laras tidak melunasi hutang-hutangnya yang terlampau banyak. Laras dan Ibunya sangat ketakutan, ini bukan sekali dua kali ayahnya membuat ulah, barang-barang di rumah Laras juga habis digadaikan di meja judi.
Dengan pikiran yang masih dipengaruhi alkohol, ayah Laras menarik Laras dan melemparkannya ke arah dua lelaki itu sebagai pengganti hutang-hutangnya. Batin Laras terpukul, ia kecewa ayahnya sendiri menyerahkan dirinya seperti binatang, tidak berperikemanusiaan.
Kedua Lelaki itu kemudian menyerahkan Laras ke bos mereka yang meminjamkan uang kepada ayahnya. Sebagai gantinya, Laras harus menjadi P*K dan hasil ia “kerja” harus ia setorkan ke bos itu atau dengan ancaman keluarga Laras akan dibunuh tanpa sisa. Malam-malam yang Laras lalui seperti disayat-sayat pisau lalu dikucuri air jeruk nipis, perih, pedih dan menyakitkan tanpa jeda.
Hingga di dalam semua kekalutannya, Laras kabur dan berada di sini, merambah masjid yang sudah jarang ia rambah sejak kejadian itu. Namun, aku tertegun di antara semua keraguannya, ia masih mengingat tuhan dan ingin menyembahnya walau dengan perasaan takut. Takut karena ia mengangap dirinya kotor.
“Aku percaya Tuhan itu ada. Tetapi mengapa ia tega membuatku seperti ini?. Aku bukan hamba-Nya yang sombong, aku selalu mengerjakan perintah-Nya, dan menutup auratku. Tetapi lihat sekarang, Tuhan membiarkan auratku terbuka, membiarkan aku seperti ini. Apa Tuhan mendengarku dengan baik disini? Apa ia masih menerima sujudku setelah ini? atau memang sebenarnya dia memang tak ada untukku?”
Tutur Laras yang tangisnya kembali pecah. Aku mencoba menenangkan Laras kembali.
“Laras, kamu percaya kan kamu punya otak? Tapi apa kamu bisa melihat otakmu sendiri? Kamu juga bisa melihat cara kerjanya? tidak kan?. Analogi itu sama dengan analogi Tuhan, kita tidak bisa melihat-Nya, kita tidak bisa melihat cara kerja-Nya. Laras, aku yakin kamu juga tahu kalau letak keimanan kita bukan dipikiran kita, tapi ada di hati kita, Ras. Karena pikiran tidak bisa menangkap hal diluar dari pengamatan indra secara faktual.” Jelasku dengan nada yang pelan, menghindari agar dirinya tidak menangis dan tersinggung. Laras kembali memandangku, dan kini ia memberi sebuah senyuman yang manis. Sambil mengusap air matanya, ia berkata lagi kepadaku.
“Kau benar, seharusnya aku memang tidak mempertanyakan keberadaan Tuhan. Aku hanya perlu menanyakan satu hal, mengapa Tuhan menghancurkan masa depanku seperti ini. Itu saja, Nesia!. Terimakasih kau bersedia mendengarkan ceritaku yang sangat tidak berguna. Aku akan protes sendiri ke Tuhan kita” Ucapnya keras. Lalu ia berdiri, mengeluarkan sebuah pistol dan mengacungkan ke pelipis kanannya sendiri.
“Laras, jangan lakukan itu! percayalah kalau ini semua hanya ujian dari Tuhan. Aku yakin kamu bisa melewatinya dan mengulangnya menjadi manusia yang baru, Ras!” Teriakku semakin takut, seluruh orang yang berada di dalam maupun di luar masjid berusaha menggagalkan rencana Laras, namun tak ada satupun yang berani mendekatinya.
“Jangan mendekat! ini urusanku dengan Tuhan!. Nes, kalau memang Tuhan bisa menyelamatkanku dari peluru ini, aku percaya ia memang ada, tetapi kalau tidak, aku meragukan-Nya!” Teriaknya lantang, air mata kembali membasahi pipinya yang merah.
“Ras, itu bodoh! kau jelas akan mati!. Percayalah bahwa semua deritamu akan berujung bahagia, jangan akhiri hidupmu seperti ini, Tuhan bisa murka!” Teriakku tak kalah keras, air mataku tumpah, aku tidak mengerti bagaimana aku bisa dengan jelas merasakan kepedihan hati Laras.
“Oh ya? Jangan sok tahu! Aku akan bertanya sendiri kepada-Nya.”
Kemudian suara tembakan terdengar, dan perempuan yang menjengkelkan beberapa jam yang lalu kini tergeletak tak bernyawa di pelataran masjid dengan lubang peluru di pelipis kanannya.
Semoga kamu menemukan jawabanmu, Ras.
Cerpen Karangan: Erna Cahyani
Blog: http://starersnew.blogspot.com
Facebook: Erna Cahyani
Perkenalkan, nama saya Erna Cahyani, Mahasiswi tingkat dua di salah satu Universitas Negeri di Jakarta. Cerpen yang berjudul “Pertemuan Singkat” ini adalah karya saya yang telah dimuat di blog pribadi saya www.starersnew.blogspot.com . Ide cerita ini berdasarkan hasil introspeksi diri saya terhadap seluruh pertanyaan-pertanyaan saya terhadap kehidupan ini, termasuk kepada Tuhan. Semoga kisah cerita ini bisa menginspirasi banyak orang yang membaca cerita ini, bahwa Tuhan hanya bisa ditemui saat kita berdoa, bukan saat kita memutuskan untuk mati dengan cara sendiri.
Terimakasih :)
http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/pertemuan-singkat-5.html
Suara azan zuhur menggema dari masjid kampus yang letaknya tidak jauh dari kelasku. Tanpa ragu kulangkahkan kaki ke masjid untuk salat zuhur dan tidur sejenak untuk melepas suntuk.
Dari sudut mataku bisa kulihat sepasang mata sedang mengawasiku dengan lekat saat aku mengambil air wudhu. Tak kuindahkan tatapan perempuan itu, aku bergegas ke dalam masjid dan memulai salat zuhur. Berbagai rapalan doa kupanjatkan, aku memohon agar keluargaku selalu diberi perlindungan, dan untuk ibu semoga diberi ketabahan dalam mengurus anak-anaknya termasuk aku, semoga ia selalu sabar dalam menjalani kehidupannya yang sendiri mengurus kami. Dan untuk ayah, berilah ia selalu kebahagiaan dengan keluarga barunya. Aku menyadari walaupun kenyataannya orangtua kami bercerai, aku lebih bisa melihat wajah ibu yang segar kembali dan tidak ada beban mengkhawatirkan ayah yang selalu pulang malam dengan pacar barunya.
Kuusap wajahku dengan kedua tanganku seraya mengamini doaku. Aku duduk disudut pojok masjid dengan posisi yang cukup nyaman dengan tas yang kujadikan alas untukku tidur.
Sosok perempuan tadi kembali menghampiriku masih dengan tatapan tajamnya. Wajah dan rambut panjangnya basah, mungkin ia ingin meminjam mukena milik masjid yang sudah terlipat rapi di sampingku.
Aku tersenyum simpul sambil menyodorkan mukena kepadanya.
“Untuk apa?” Tanyanya datar kepadaku.
Aku memutar bola mata dan menjawab pertanyaannya dengan nada jengkel.
“Ya untuk salat. Kamu kesini untuk salat kan?”. Lalu ia menatapku lagi dengan tatapan sinis.
“Maksudku, untuk apa kau salat? Salat bisa membuatmu bahagia?” Tanyanya sinis.
Aku terperanjat kaget, berani-beraninya perempuan ini berkata begitu, dadaku panas dan tersulut emosi.
“Ya, aku bahagia, karena hanya dengan salat aku bisa bertemu Tuhan” jawabku tegas.
Perempuan itu kembali menatapku dengan tatapan yang menyebalkan.
“Kau tahu? ada hamba-Nya yang tak pernah ingkar sekalipun kepada-Nya. Namun, ketika hamba-Nya tertimpa musibah, Ia sama sekali tidak menolong hamba itu. Aku khawatir kalau Tuhan kita selama ini tertidur” Katanya dengan nada yang kini menginggi. Sudah cukup aku bersabar dari tadi, tuturnya sudah cukup membuatku muak karena menghina apa yang aku percayai.
“Apa maumu? Siapa kamu? Berhentilah menjengkelkan! Kalau kau tidak percaya dengan Tuhan, keluarlah kau dari tempat ini dan tinggalkan aku!” Tuturku dengan nada meninggi, semua orang di dalam masjid memandangku dengan tatapan betanya-tanya. Namun, perempuan ini hanya tertunduk kaku dan menitikkan air mata, aku bingung, apa yang sudah kuperbuat? Perempuan ini sepertinya sedang tertekan dan aku malah membuatnya semakin tertekan.
“Ceritakanlah apa yang ingin kau ceritakan”
Setiap tutur katanya selalu dibarengi dengan air mata. Aku hanya bisa menenangkannya tanpa mampu memberi solusi tentang ceritanya yang begitu rumit. Kucerna sedikit demi sedikit ceritanya, namun semakin kesini, semakin aku ingin juga mengeluarkan air mata.
Namanya Laras, anak kedua dari dua bersaudara, kakaknya adalah seorang laki-laki yang sudah kerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi, hingga tinggallah ia bertiga dengan ibu dan ayahnya.
Laras adalah anak yang pintar, ia kuliah disini juga, di jurusan Ilmu Komputer dengan beasiswa prestasi penuh. Aku terkejut, terlintas dipikiranku ia adalah seorang yang jenius. Lalu ia juga taat pada agama, selalu menjalankan perintah-Nya. Namun, pada suatu titik tertentu dimana di bagian hidupnya ia meragukan keberadaan Tuhan. Hingga ia menceritakan bagian yang lebih banyak menguras air mata untuk diceritakan.
Keluarga Laras tinggal di lingkungan tempat prost*tusi dan kelab malam ilegal, Laras sudah sering meminta kepada ibunya untuk pindah kontrakan karena lingkungannya sangat rawan sekali. Namun, keluarga Laras bukanlah keluarga yang mudah untuk berpindah-pindah tempat tinggal, bukanlah keluarga yang mudah untuk mengabulkan permintaan anaknya. Namun, ibu Laras bekerja keras dengan menjadi penjual nasi uduk setiap pagi di depan kontrakannya. Sampai pada suatu malam, ayah Laras pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat dan diseret oleh dua lelaki berbadan besar dan kekar. Mereka akan membakar rumah ini dan segala isinya apabila ayah Laras tidak melunasi hutang-hutangnya yang terlampau banyak. Laras dan Ibunya sangat ketakutan, ini bukan sekali dua kali ayahnya membuat ulah, barang-barang di rumah Laras juga habis digadaikan di meja judi.
Dengan pikiran yang masih dipengaruhi alkohol, ayah Laras menarik Laras dan melemparkannya ke arah dua lelaki itu sebagai pengganti hutang-hutangnya. Batin Laras terpukul, ia kecewa ayahnya sendiri menyerahkan dirinya seperti binatang, tidak berperikemanusiaan.
Kedua Lelaki itu kemudian menyerahkan Laras ke bos mereka yang meminjamkan uang kepada ayahnya. Sebagai gantinya, Laras harus menjadi P*K dan hasil ia “kerja” harus ia setorkan ke bos itu atau dengan ancaman keluarga Laras akan dibunuh tanpa sisa. Malam-malam yang Laras lalui seperti disayat-sayat pisau lalu dikucuri air jeruk nipis, perih, pedih dan menyakitkan tanpa jeda.
Hingga di dalam semua kekalutannya, Laras kabur dan berada di sini, merambah masjid yang sudah jarang ia rambah sejak kejadian itu. Namun, aku tertegun di antara semua keraguannya, ia masih mengingat tuhan dan ingin menyembahnya walau dengan perasaan takut. Takut karena ia mengangap dirinya kotor.
“Aku percaya Tuhan itu ada. Tetapi mengapa ia tega membuatku seperti ini?. Aku bukan hamba-Nya yang sombong, aku selalu mengerjakan perintah-Nya, dan menutup auratku. Tetapi lihat sekarang, Tuhan membiarkan auratku terbuka, membiarkan aku seperti ini. Apa Tuhan mendengarku dengan baik disini? Apa ia masih menerima sujudku setelah ini? atau memang sebenarnya dia memang tak ada untukku?”
Tutur Laras yang tangisnya kembali pecah. Aku mencoba menenangkan Laras kembali.
“Laras, kamu percaya kan kamu punya otak? Tapi apa kamu bisa melihat otakmu sendiri? Kamu juga bisa melihat cara kerjanya? tidak kan?. Analogi itu sama dengan analogi Tuhan, kita tidak bisa melihat-Nya, kita tidak bisa melihat cara kerja-Nya. Laras, aku yakin kamu juga tahu kalau letak keimanan kita bukan dipikiran kita, tapi ada di hati kita, Ras. Karena pikiran tidak bisa menangkap hal diluar dari pengamatan indra secara faktual.” Jelasku dengan nada yang pelan, menghindari agar dirinya tidak menangis dan tersinggung. Laras kembali memandangku, dan kini ia memberi sebuah senyuman yang manis. Sambil mengusap air matanya, ia berkata lagi kepadaku.
“Kau benar, seharusnya aku memang tidak mempertanyakan keberadaan Tuhan. Aku hanya perlu menanyakan satu hal, mengapa Tuhan menghancurkan masa depanku seperti ini. Itu saja, Nesia!. Terimakasih kau bersedia mendengarkan ceritaku yang sangat tidak berguna. Aku akan protes sendiri ke Tuhan kita” Ucapnya keras. Lalu ia berdiri, mengeluarkan sebuah pistol dan mengacungkan ke pelipis kanannya sendiri.
“Laras, jangan lakukan itu! percayalah kalau ini semua hanya ujian dari Tuhan. Aku yakin kamu bisa melewatinya dan mengulangnya menjadi manusia yang baru, Ras!” Teriakku semakin takut, seluruh orang yang berada di dalam maupun di luar masjid berusaha menggagalkan rencana Laras, namun tak ada satupun yang berani mendekatinya.
“Jangan mendekat! ini urusanku dengan Tuhan!. Nes, kalau memang Tuhan bisa menyelamatkanku dari peluru ini, aku percaya ia memang ada, tetapi kalau tidak, aku meragukan-Nya!” Teriaknya lantang, air mata kembali membasahi pipinya yang merah.
“Ras, itu bodoh! kau jelas akan mati!. Percayalah bahwa semua deritamu akan berujung bahagia, jangan akhiri hidupmu seperti ini, Tuhan bisa murka!” Teriakku tak kalah keras, air mataku tumpah, aku tidak mengerti bagaimana aku bisa dengan jelas merasakan kepedihan hati Laras.
“Oh ya? Jangan sok tahu! Aku akan bertanya sendiri kepada-Nya.”
Kemudian suara tembakan terdengar, dan perempuan yang menjengkelkan beberapa jam yang lalu kini tergeletak tak bernyawa di pelataran masjid dengan lubang peluru di pelipis kanannya.
Semoga kamu menemukan jawabanmu, Ras.
Cerpen Karangan: Erna Cahyani
Blog: http://starersnew.blogspot.com
Facebook: Erna Cahyani
Perkenalkan, nama saya Erna Cahyani, Mahasiswi tingkat dua di salah satu Universitas Negeri di Jakarta. Cerpen yang berjudul “Pertemuan Singkat” ini adalah karya saya yang telah dimuat di blog pribadi saya www.starersnew.blogspot.com . Ide cerita ini berdasarkan hasil introspeksi diri saya terhadap seluruh pertanyaan-pertanyaan saya terhadap kehidupan ini, termasuk kepada Tuhan. Semoga kisah cerita ini bisa menginspirasi banyak orang yang membaca cerita ini, bahwa Tuhan hanya bisa ditemui saat kita berdoa, bukan saat kita memutuskan untuk mati dengan cara sendiri.
Terimakasih :)
http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/pertemuan-singkat-5.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com