Hari
ini 30 September adalah “Hari Ulang Tahun” melestusnya pemberontakan
Gerakan 30 September PKI yang ke 47. Pada era Pemerintahan Soeharta yang
berkuasa lebih dari 32 tahun
(1966-1998), tanggal 30 September ini dirayakan dan diperingati secara
besar-besaran sebagai acara Kenegaraan yang dipusatkan di Istana Negara,
tepatnya tanggal 1 Oktober, sebagai “Hari Kesaktian Pancasila”, antara
lain dengan memutar dan menonton film “Pemberontakan G-30-S PKI”, yang
tentu saja menempatkan Soeharto sebagai “pahlawan” yang menumpas Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Tapi
saat ini di zaman Reformasi, suasana seperti itu tidak ada lagi, bahkan
mungkin tidak pernah diketahui oleh generasi muda yang lahir setelah
tahun 1965. Apalagi bagi para pelajar yang senang dan sering melakukan
kekurusuhan dan tawuran. Bagi mereka peristiwa sejarah yang merenggut
nyawa ribuan rakyat Indonesia yang sebagian besar tidak bersalah itu
tidak penting sama sekali. Yang paling penting adalah muncul di layar TV
dengan tawuran.
Sebuah
stasiun TV Nasional tanggal 29 September kemarin menyiarkan sebuah
program dengan judul “Peristiwa G-30-S-PKI, Apakah Suatu Coup (Merebut
Keuasaan Secara Paksa) Atau Rekayasa?”. Sampai saat ini kita tidak tahu
persis apa yang sesungguhnya terjadi. Namun yang jelas dan faktanya
adalah, bila banyak Jenderal yang terbunuh, tapi Soeharto selamat,
bahkan dapat “merebut” kekuasaan dari Presiden Soekarno melauli “Surat
Sakti”, yang dia sebut “Surat Perintah Sebelas Maret-SUPERSEMAR”, yang
anehnya sampai sekarang tidak dapat ditunjukkan bukti otentik (yang
asli) nya.
Tapi
artikel ini bukan untuk membahas masalah itu, tetapi pengalaman pribadi
yang menyakitkan yang dialami penulis saat masih duduk di kelas satu
SMA pada tahun 1965 itu. Saya yakin sebagin besar Kompasiner belum lahir
saat G-30-S PKI itu terjadi. Maka baca dong kisah menyakitkan tapi ada
berkahnya ini. Beginilah ceritanya:
Tahun 1965, Masuk SMAN Baturaja
Tahun 1965 saya masuk SMA Negeri Baturaja. Di awal tahun ajaran, proses pendidikan berjalan normal-normal saja. Saat itu hampir tidak ada sepeda motor seperti saat ini. Karena jarak dari rumah ke sekolah dan tidak ada angkutan umum, saya naik sepeda (butut) untuk pergi dan pulang sekolah. Saya sering berboncengan dengan salah seorang teman yang satu arah dengan rumah orang tua saya. Lumayam tidak perlu mengayuh sepeda.
Menjadi Anggota Drum Band Marhaen
Sebagai seorang remaja, saya mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang lagi trend saat itu, yaitu bermain Drum Band. Waktu itu main Drum Band merupakan suatu kegiatan yang sangat populer karena sering diperlombakan antar sekolah. Saya
masuk Drum Band GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia), sebuah
organisasi di bawah naungan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
didirikan oleh mantan Presiden RI Pertama, Soekarno, yang merupakan
cikal bakal PDI Perjuangan sekarang, yang dibawah pimpinan Megawati
Soekarnoputri itu.
Untuk memperlancar main Drum Band, saya sering berlatih di rumah dengan menggunakan stick di atas meja, bukan drum. Suatu saat saya
latihan di ruang depan rumah memukul stick di meja, sambil memanggang
ikan di dapur. Gak taunya api sudah menjilat atap dapur. Untunglah api
dapat dipadamkan, kalau tidak, rumah kami yang sebagian besar terbuat dari kayu itu, pasti sudah ludes dimakan api.
Tidak Naik Kelas Karena Korban Politik-G-30-S PKI
Pada saat terjadinya pemberontakan G30S/PKI, ternyata PNI dituduh ikut terlibat khususnya PNI ASU. Ternyata Drum Band GSNI tempat kami
bergabung dituduh sebagai PNI ASU. Akibatnya semua siswa yang aktif
dalam Drum Band GSNI tersebut dinyatakan tidak naik kelas, kecuali
anak-anak pejabat, mungkin gurunya takut kepada orang-tua mereka. Saya tidak naik kelas karena ada tiga pelajaran yang diberi nilai 3 (tiga), yaitu Bahasa Indonesia, Civic (sekarang Pancasila) dan Agama.
Saya dan teman-teman tidak naik kelas bukan karena bodoh atau malas belajar, tetapi karena korban politik. Padahal
kami yang masih remaja dan polos itu tdak tahu apa-apa soal politik.
Yang ada hanya enjoy saja, karena Drum Band GSNI selalu jadi juara
hampir di setiap perlombaan. Pokoknya, wow keren, kata anak sekarang.
Singkat
cerita, para orang-tua murid yang anaknya tidak naik kelas melakukan
protes ke sekolah. Terjadi keributan. Akhirnya diputuskan, bagi yang
tidak naik kelas karena korban politik itu, bisa naik kelas asalkan
pindah sekolah ke kota lain, nilai rapotnya dirubah dan rapor-nya diganti dengan yang baru. Nilai ke-tiga mata pelajaranku yang semula 3 itu diubah menjadi 5, sehingga bisa naik kelas. Saya naik ke kelas dua Pasti Alam (PASPAL).
Pamit pada Guru Agama
Akhirnya saya diputuskan keluarga untuk pindah sekolah di Palembang. Sebelum berangkat ke Palembang, ada peristiwa kecil yang masih tetap saya ingat sampai sekarang. Sebagai seorang murid yang santun dan menghormati gurunya, saya hendak pamitan kepada guru-guru di SMA Negeri Baturaja ini, yang bagaimanapun pernah membimbing dan mendidik saya. Saya pergi ke rumah Guru Agama pada hari Minggu pagi, sekitar jam tujuh.
Ternyata pak Guru Agama itu belum bangun. Begitu dia buka pintu, saya
langsung marah dan berkata: “Kamu guru agama yang memberi saya angka 3,
baru bangun sekarang, itupun karena saya bangunkan. Kapan kamu shalat
subuh?” Sang guru mungkin ketakutan melihat kemarahanku, tidak
memberikan reaksi apapun. Dia hanya berkata: “Maaf dik, saya dipaksa
untuk memberi nilai 3 kepadanmu, padahal nilai kamu sebenarnya bagus”.
Akhirnya kemarahanku surut, dan dengan berlinang air mata, saya cium tangannya dan pamit, serta mohon doa’ restu padanya agar saya berhasil menuntut ilmu di Palembang.
SMAN IV Palembang
Saya akhirnya melanjutkan sekolah di SMAN Palembang. Dalam waktu singkat saya banyak teman baru.
Mereka sangat baik padaku. Mengapa mereka baik semua padaku, yang orang
kampung ini? Begini ceritanya. Setelah meletus pemberontakan G30S PKI,
saat itu hampir setiap hari ada demo di seluruh kota besar di Indonesia,
termasuk Palembang. sehingga sebagian besar pelajar dan mahasiswa tidak
belajar. Demo dan demo setiap hari. Sementara kami di kota kecil seperti Baturaja, tetap sekolah seperti biasa, tidak pernah demo. Nah disinilah rahasianya, ilmu kami lebih banyak daripada mereka.
Setelah saya pindah ke Palembang, saya menjadi orang yang “paling pintar” di kelas, karena saat ulangan, saya dapat menyelesaikan soal-soal dengan baik, sementara teman-teman lain tidak bisa, sehingga mereka “berlomba-lomnba” mendekati dan ingin menjadi sahabat saya.
Saya merasa senang banyak teman anak-anak orang kaya. Enak sih, karena mereka sering mentraktir,
termasuk makan empek-empek dan kapal selam, makanan khas Palembang yang
sangat saya sukai. Mungkin ini sebagai balas jasa karena saya telah
membantu mereka belajar. Saya
jadi lebih cepat “populer” dan banyak teman, dan keadaan keuangan yang
sangat terbatas menjadi terbantu dari teman-teman tersebut.
Walaupun
kejadian ini sedikit menyakitkan dalam proses pendidikan saya, namun
ada manfaatnya juga, saya bisa pindah dan beradaptasi hidup di kota besar lebih cepat dua tahun dari yang seharusnya apabila peristiwa itu tidak terjadi.
Demikian
sedikit pengalaman pribadi yang mudah-mudahan ada manfaatnya bagi
pembaca, paling tidak bagi anak-anak saya, yang suatu saat pasti membaca
artikel ini di Kompasiana.
Depok, 30 September 2012
http://sejarah.kompasiana.com/2012/09/30/pengalaman-menyakitkan-akibat-peristiwa-g-30-s-pki-1965-497463.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com