Banyak yang mungkin belum tahu, bahkan untuk warga Solo sendiri,
bahwa Solo memiliki sejarah panjang dalam dunia pers nasional. Hari
Pers Nasional (HPN) diperingati setiap tanggal 9 Februari. Dasar
penetapan tanggal 9 Februari sebagai HPN adalah pembentukan organisasi
profesi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 9 Februari 1946 di
Sasana Suka, Solo. Sasana Suka merupakan gedung yang didirikan oleh
KGPAA Mangkunegoro VII. Di dalam gedung itu pula, atas prakarsa KGPAA
Mangkunegoro VII, lahirlah Solosche Radio Vereeniging (SRV), stasiun
radio pribumi pertama, stasiun radio yang melakukan perlawanan budaya
terhadap pemerintahan kolonial, dan stasiun radio yang menjadi cikal
bakal Radio Republik Indonesia (RRI). Pada tanggal 9 Februari 1978,
Presiden kedua RI, Suharto, meresmikan Sasana Suka menjadi Monumen Pers
Nasional. Sebelum pembentukan PWI sebenarnya telah muncul organisasi
wartawan pada masa kolonial, contohnya Inlandsche Journalisten Bond
(IJB) yang merupakan organisasi wartawan pelopor radikal yang juga
didirikan di Solo pada tahun 1914. Dari zaman kolonial hingga sekarang,
pers Indonesia merupakan pers yang berjuang bersama-sama rakyat.
Untuk memperingat HPN tahun ini, Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik - Kementerian Komunikasi dan Informatika menggelar pameran dengan tema “Pers Perjuangan: Wartawan Sebagai Pilar Keempat dan Upaya Penegakan Demokrasi di Indonesia” bertempat di Monumen Pers Nasional, Solo.
Pameran yang dimulai pada hari Senin, 6 Februaru 2012 dan berakhir hari
Jumat, 10 Februari 2012, menampilkan berbagai koleksi expose media
nasional dari zaman kolonial hingga zaman reformasi. Beberapa ilustrasi
majalah kuno pun dipamerkan di sini. Salah satunya adalah ilustrasi
majalah “Panorama” yang terbit tahun 1917.
Selain itu ada pula ilustrai Fikiran Ra’jat yang terbit 28 Oktober 1932. Pada ilustrasi tersebut disebutkan bahwa pimpinan redaksinya adalah Ir. Soekarno. Pada majalah itu terpampang tulisan Soekarno yang berbunyi “Kaoem Marhaen! Inilah Madjallah Kamoe!” berikut tanda tangan beliau.
Ada pula majalah terbitan pemerintahan Hindia Belanda terbitan tahun 1938 di Semarang berjudul “De Locomotief”.
Perempuan pun ikut berjuang lewat organisasi perempuan “Wanito Oetomo”. Surat kabar “Bale Warti Wanito Utomo” ini terbit di Solo tahun 1941.
Soeara Asia yang terbit tanggal 22 Agustus tahun 1945 mengabarkan maklumat tentang ditetapkannya Undang-Undang Negara Republik Indonesia dan Teks Lagu Indonesia Raya. Wah, rakyat Indonesia saat itu pasti bersuka cita karena telah memiliki negara baru dengan undang-undang dan lagu kebangsaan sendiri.
Ada pula artikel yang diambil dari Buku 50 Tahun Hari Pers Nasional terbitan 9 Februari 1996. Artikel itu memuat foto suasana konggres yang melahirkan PWI di Sasana Suka tahun 1946.
Artikel itu juga menceritakan suasana konggres PWI I tersebut. Alm. Surono Wirohardjono yang pada saat diwawancara berusia 80 tahun berkata, “sidang-sidang berjalan ramai, seru, tapi demokratis. Sekarang kan zaman merdeka, tak perlu berdebat. Justru konggres diharapkan bisa merukunkan kalangan wartawan. Soalnya di kalangan pers Indonesia masa itu suasananya saling mengkritik. Perand di tulisan, tapi secara person hubungan tetap baik. Kebanyakan kami tidak saling kenal sebelumnya. Namun begitu bertemu di konggres, kami langsung akrab, merasa seperti saudara dan bersatu-padu.” Menurut alm. Surono, peserta yang hadir saat itu “banyak yang berpenampilan layaknya pejuang. Memang, selain sebagai wartawan atau penulis, banyak di antara kami yang terjun langsung sebagai pejuang di front. Ada yang brewokan, rambutnya grondong, bercelana pendek. Banyak yang membawa senjata. Termasuk saya sendiri, bawa dua pucuk pistol. Tapi ada pula yang berpenampilan necis, misalnya Sudaryo Cokrosisworo, seorang wartawan freelance yang aktif menulis di berbagai surat kabar saat itu dengan inisial “S.Tj.S”. Sementara Manai Sophiaan harus berperahu selama 30 hari dari Makassar ke Jawa untuk menghadiri sidang di Sasana Suka. Menurutnya, “kami waktu itu dipersatukan oleh perjuangan republik. Saya rasa tidak ada friksi atau perpecahan apapun di kalangan pers waktu itu”. Rosihan Anwar, mantan redaktur I harian Merdeka, menuturkan bahwa “Sidang berlangsung relatif kurang tertib karena para peserta dari beragam latar belakang itu tampak keluar masuk ruang sidang. Saya sendiri tak mengikuti sidang terus. Keluar masuk begitu saja”. Menurut artikel itu, Rosihan Anwar tak terlalu berminat untuk masuk organisasi PWI, atau menjadi pengurusnya. Saat itu usianya baru 23 tahun. Wartawan-wartawan yang datang pada konggres umunya berusia 20-an tahun. Suasana persidangan berlangsung demokratis dan nampak kesetaraan. “Setiap kali bertmu sesama rekan, atau berbicara menyampaikan usulan di rapart, kami selalu mengepalkan tinju dan dengan semangat berseru ‘Merdeka, Bung!’”, kenang Rosihan Anwar.
Dari berbagai koleksi majalah dan surat kabar yang ada, yang menurut saya paling menarik perhatian adalah koleksi pemancar “Radio Kambing”. Walaupun sudah tidak dapat dipergunakan lagi, pemancar milik SRV (RRI Solo) ini merupakan saksi perjuangan pers dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Pada suatu ilustrasi artikel surat kabar yang turut dipamerkan yang ditulis oleh Naniek Kusumo, diceritakan bahwa Belanda mulai menyerang Indonesia lagi dan Studio RRI Solo dibom oleh Belanda. Belanda membom tempat-tempat strategis seperti studio RRI karena takut berkobarnya semangat anti penjajahan di kalangan rakyat. Namun, pemancar ini berhasil diungsikan sembunyi-sembunyi sampai di desa Balong, lereng Gunung Lawu 7 Januari 1949. Sebelumnya, pemancar ini sempat dipendam dalam tanah di desa Puntuk Rejo, Karanganyar. Atas perintah Gubernur Militer II Gatot Subroto, pemancar itu akhirnya dibawa ke rumah Kromo Sentono. Stasiun darurat ini bernama “Stasiun Penyiaran Berita Balong”.
Karena alasan keamanan maka pemancar tersebut akhirnya dipindahkan ke rumah Iro Sentono dan ditempatkan di kandang kambingnya. Siaran-siaran perjuangan pun mengudara dengan latar belakang embekan kambing. Oleh karenanya, penduduk menyebutnya “RRI Kambing”, ada pula yang menyebutnya “Kyai Balong”. Hal ini menjadi lelucon tersendiri bagi rakyat di tengah ancaman serangan Belanda waktu itu.
Saat Agresi Militer II Belanda, dari 16 cabang, hanya ada dua RRI yang bertahan dan mengudara, yakni RRI Bukit Tinggi dan RRI Kambing. Siaran RRI Kambing yang sampai ke luar negeri dengan antena yang dipasang pada pohon kelapa setinggi 18 meter ternyata mampu menyampaikan pesan kepada dunia bahwa RI masih berdiri tegak! Oleh karenanya, PBB mengumumkan bahwa RI masih tegak berdiri (sebelumnya Belanda mengumumkan kepada dunia bahwa RI telah runtuh).
RRI Kambing mengudara selama 9 bulan dengan menggunakan empat bahasa yaitu Indonesia, Inggris, Perancis, dan Belanda. Berkat perjuangan RRI Kambing, perjuangan Indonesia saat itu dalam melawan agresi Belanda bisa dikenal dan dipantau di berbagai kota dunia seperti London, India, Beijing, dan Berlin.
Referensi tambahan :
http://sejarahkita.blogspot.com/2010/02/persatuan-wartawan-indonesia-dan-hari.html
http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/02/08/hari-pers-nasional-ada-rri-kambing-di-pameran-monumen-pers-nasional-433972.html
Untuk memperingat HPN tahun ini, Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik - Kementerian Komunikasi dan Informatika menggelar pameran dengan tema “Pers Perjuangan: Wartawan Sebagai Pilar Keempat dan Upaya Penegakan Demokrasi di Indonesia” bertempat di Monumen Pers Nasional, Solo.
Selain itu ada pula ilustrai Fikiran Ra’jat yang terbit 28 Oktober 1932. Pada ilustrasi tersebut disebutkan bahwa pimpinan redaksinya adalah Ir. Soekarno. Pada majalah itu terpampang tulisan Soekarno yang berbunyi “Kaoem Marhaen! Inilah Madjallah Kamoe!” berikut tanda tangan beliau.
Ada pula majalah terbitan pemerintahan Hindia Belanda terbitan tahun 1938 di Semarang berjudul “De Locomotief”.
Perempuan pun ikut berjuang lewat organisasi perempuan “Wanito Oetomo”. Surat kabar “Bale Warti Wanito Utomo” ini terbit di Solo tahun 1941.
Soeara Asia yang terbit tanggal 22 Agustus tahun 1945 mengabarkan maklumat tentang ditetapkannya Undang-Undang Negara Republik Indonesia dan Teks Lagu Indonesia Raya. Wah, rakyat Indonesia saat itu pasti bersuka cita karena telah memiliki negara baru dengan undang-undang dan lagu kebangsaan sendiri.
Ada pula artikel yang diambil dari Buku 50 Tahun Hari Pers Nasional terbitan 9 Februari 1996. Artikel itu memuat foto suasana konggres yang melahirkan PWI di Sasana Suka tahun 1946.
Artikel itu juga menceritakan suasana konggres PWI I tersebut. Alm. Surono Wirohardjono yang pada saat diwawancara berusia 80 tahun berkata, “sidang-sidang berjalan ramai, seru, tapi demokratis. Sekarang kan zaman merdeka, tak perlu berdebat. Justru konggres diharapkan bisa merukunkan kalangan wartawan. Soalnya di kalangan pers Indonesia masa itu suasananya saling mengkritik. Perand di tulisan, tapi secara person hubungan tetap baik. Kebanyakan kami tidak saling kenal sebelumnya. Namun begitu bertemu di konggres, kami langsung akrab, merasa seperti saudara dan bersatu-padu.” Menurut alm. Surono, peserta yang hadir saat itu “banyak yang berpenampilan layaknya pejuang. Memang, selain sebagai wartawan atau penulis, banyak di antara kami yang terjun langsung sebagai pejuang di front. Ada yang brewokan, rambutnya grondong, bercelana pendek. Banyak yang membawa senjata. Termasuk saya sendiri, bawa dua pucuk pistol. Tapi ada pula yang berpenampilan necis, misalnya Sudaryo Cokrosisworo, seorang wartawan freelance yang aktif menulis di berbagai surat kabar saat itu dengan inisial “S.Tj.S”. Sementara Manai Sophiaan harus berperahu selama 30 hari dari Makassar ke Jawa untuk menghadiri sidang di Sasana Suka. Menurutnya, “kami waktu itu dipersatukan oleh perjuangan republik. Saya rasa tidak ada friksi atau perpecahan apapun di kalangan pers waktu itu”. Rosihan Anwar, mantan redaktur I harian Merdeka, menuturkan bahwa “Sidang berlangsung relatif kurang tertib karena para peserta dari beragam latar belakang itu tampak keluar masuk ruang sidang. Saya sendiri tak mengikuti sidang terus. Keluar masuk begitu saja”. Menurut artikel itu, Rosihan Anwar tak terlalu berminat untuk masuk organisasi PWI, atau menjadi pengurusnya. Saat itu usianya baru 23 tahun. Wartawan-wartawan yang datang pada konggres umunya berusia 20-an tahun. Suasana persidangan berlangsung demokratis dan nampak kesetaraan. “Setiap kali bertmu sesama rekan, atau berbicara menyampaikan usulan di rapart, kami selalu mengepalkan tinju dan dengan semangat berseru ‘Merdeka, Bung!’”, kenang Rosihan Anwar.
Dari berbagai koleksi majalah dan surat kabar yang ada, yang menurut saya paling menarik perhatian adalah koleksi pemancar “Radio Kambing”. Walaupun sudah tidak dapat dipergunakan lagi, pemancar milik SRV (RRI Solo) ini merupakan saksi perjuangan pers dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Pada suatu ilustrasi artikel surat kabar yang turut dipamerkan yang ditulis oleh Naniek Kusumo, diceritakan bahwa Belanda mulai menyerang Indonesia lagi dan Studio RRI Solo dibom oleh Belanda. Belanda membom tempat-tempat strategis seperti studio RRI karena takut berkobarnya semangat anti penjajahan di kalangan rakyat. Namun, pemancar ini berhasil diungsikan sembunyi-sembunyi sampai di desa Balong, lereng Gunung Lawu 7 Januari 1949. Sebelumnya, pemancar ini sempat dipendam dalam tanah di desa Puntuk Rejo, Karanganyar. Atas perintah Gubernur Militer II Gatot Subroto, pemancar itu akhirnya dibawa ke rumah Kromo Sentono. Stasiun darurat ini bernama “Stasiun Penyiaran Berita Balong”.
Karena alasan keamanan maka pemancar tersebut akhirnya dipindahkan ke rumah Iro Sentono dan ditempatkan di kandang kambingnya. Siaran-siaran perjuangan pun mengudara dengan latar belakang embekan kambing. Oleh karenanya, penduduk menyebutnya “RRI Kambing”, ada pula yang menyebutnya “Kyai Balong”. Hal ini menjadi lelucon tersendiri bagi rakyat di tengah ancaman serangan Belanda waktu itu.
Saat Agresi Militer II Belanda, dari 16 cabang, hanya ada dua RRI yang bertahan dan mengudara, yakni RRI Bukit Tinggi dan RRI Kambing. Siaran RRI Kambing yang sampai ke luar negeri dengan antena yang dipasang pada pohon kelapa setinggi 18 meter ternyata mampu menyampaikan pesan kepada dunia bahwa RI masih berdiri tegak! Oleh karenanya, PBB mengumumkan bahwa RI masih tegak berdiri (sebelumnya Belanda mengumumkan kepada dunia bahwa RI telah runtuh).
RRI Kambing mengudara selama 9 bulan dengan menggunakan empat bahasa yaitu Indonesia, Inggris, Perancis, dan Belanda. Berkat perjuangan RRI Kambing, perjuangan Indonesia saat itu dalam melawan agresi Belanda bisa dikenal dan dipantau di berbagai kota dunia seperti London, India, Beijing, dan Berlin.
Pemancar milik KGPAA Mangkunegoro VII ini
pernah dipergunakan pula oleh sang adipati ketika menghadiri pernikahan
Putri Yuliana dan Pangeran Bernhard di Belanda. Tanggal 7 Januari 1937
menjadi tanggal bersejarah tatkala Gusti Nurul (yang saat ini masih
hidup dan tinggal di Bandung) menarikan tari serimpi dengan diiringi
musik gamelan yang dipancarkan dari kompleks Mangkunegaran, Solo. KGPAA
Mangkunegoro VII pun menjadi sorotan jurnalis dunia saat itu karena
waktu itu dunia barat menganggap remeh kebudayaan dan kemampuan
teknologi kaum pribumi Hindia Belanda. Ternyata pemikiran mereka salah!
Mereka terpana dengan keindahan tari serimpi yang dibawakan Gusti Nurul.
MN VII telah menunjukkan kepada dunia bahwa pribumi Hindia Belanda pun
mampu memanfaatkan teknologi sendiri dan budayanya masih bertahan baik
di tengah politik pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa-masa
selanjutnya pemancar itu digunakan SRV sebagai media perlawanan budaya
dengan menyiarkan program-program kebudayaan daerah sementara propaganda
budaya Belanda terus menggempur masyarakat saat itu.
Masih banyak koleksi majalah maupun surat kabar lain yang terbit dari
zaman kolonial hingga pemberitaan reformasi sampai penyanderaan reporter
Meutya Hafid. Sayangnya koleksi majalah kuno yang ditempatkan dalam
kotak kaca tidak disertai dengan penjelasan tertulis sehingga pengunjung
kurang mendapat informasi terkait majalah kuno itu.
Senang sekali rasanya karena ternyata
banyak anak sekolah yang mengunjungi pameran ini. Bukan karena ada tugas
dari guru melainkan karena keinginan anak-anak itu untuk mempelajari
sejarah pers nasional.
Semoga pers Indonesia tetap berjuang dan berkarya demi rakyat, bangsa dan negara. Selamat Hari Pers Nasional. Merdeka, Bung!Referensi tambahan :
http://sejarahkita.blogspot.com/2010/02/persatuan-wartawan-indonesia-dan-hari.html
http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/02/08/hari-pers-nasional-ada-rri-kambing-di-pameran-monumen-pers-nasional-433972.html
0 komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com