Sabtu, 16 Mei 2015

IMAN YANG TERNODA (Drs. St. Mukhlis Denros)


Menserikatkan Allah bukan sebatas merusak iman, tapi dia merupakan
sebuah kezhaliman, kezhaliman saja mengantarkan seseorang
ke dalam neraka, apalagi kezhaliman itu adalah kezaliman yang besar,
syirik merupakan kezhaliman yang besar, ini yang diwaspadai
Lukman terhadap pendidikan anaknya, yaitu penanaman dan
pembenahan iman sebelum perintah
untuk menegakkan shalat.

Perkara iman bukanlah urusan manusia, iman bukanlah warisan dari nenek moyang dan tidak bisa untuk diwariskan, kalau iman urusan manusia maka yang lebih dahulu beriman  kepada Allah adalah Abu Thalib, yaitu  paman dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Nabi Ibrahim harus berlawanan  dengan ayahnya karena dia tidak mau menyembah patung hasil karya ayahanda. Karena keimanan pulalah kenapa  Nabi Musa harus berhadapan dengan Fir’aun, Nabi Ibrahim dimusuhi oleh Namrudz dan Nabi Muhammad tidak disukai oleh bangsa Quraisy.

Tidak semua orang dapat hidayah iman, dia merupakan karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba-Nya tanpa memandang status sosial dan keturunan. Bilal bin Rabah dan Amar bin Yasir  hanya budak yang dikekang oleh majikannya, berbuat hanya untuk kepentingan sang tuan, tidak ada hak-hak istimewa diberikan kepada para budak, siapa yang membangkang maka lecutan, tendangan dan  tamparan menjadi sarapan setiap  pagi, apalagi menyatakan diri telah beriman kepada agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam.

Betapa sayangnya Allah kepada kita sehingga hidayah iman itu diberikan kepada kita, apakah keimanan itu  karena ajakan dan didikan orangtua atau karena usaha kita yang menelaahnya. Dari sekian karunia Allah yang dicurahkan kepada kita, apakah nikmat harta, kesehatan, kelapangan hidup, kebahagiaan rumah tangga dan tersedianya fasilitas hidup, maka nikmat iman adalah karunia yang besar, sebab kepentingannya bukan hanya di dunia tapi untuk menyelamatkan diri kita di akherat kelak.

Nikmat iman hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya dan ini merupakan hak preogratif Allah tanpa bisa dicampuri oleh siapapun. Walaupun demikian iman tersebut akan diberikan memang kepada orang-orang yang mencarinya atau orang-orang yang memang ada kecendrungan kepada keimanan, Allah berfirman; "Segala puji bagi Allah yang Telah menunjuki kami kepada (surga) ini. dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. "[Al  A'raf  7;43]/

Betapa banyak orang yang hidup dizaman Rasulullah,  tapi mereka tidak mendapat petunjuk untuk mengikuti kebenaran, karena kecendrungan hati mereka pulalah  sehingga Allahpun menyesatkan mereka. Walaupun semua orang berupaya untuk memberi petunjuk kepada kita, tapi kalau Allah tidak memberikan petunjuk itu maka tidak ada yang bisa untuk memberikan petunjuk, lihatlah betapa dekatnya Abu Thalib dengan Rasulullah, bahkan dia berupaya untuk melindungi Nabi dari serangan orang-orang kafir, ketika mau meninggal, Rasulullah menawarkan kembali kepadanya keimanan dengan mengucapkan kalimat shahadat, tapi dia menggeleng untuk sekian kalinya,  dan sebaliknya  walaupun semua orang berupaya untuk menghalangi datangnya petunjuk maka tak satupun yang akan dapat menghalangi ketika petunjuk itu diberikan oleh Allah, bagaimana raja Najasi, yang jauh hidup di negeri Habasyah, tidak pernah bertemu dengan Rasul, tapi dia beriman kepada Allah, ketika meninggal Rasulullah melakukan shalat ghaib untuk sang raja.  "Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, Maka merekalah orang-orang yang merugi" [Al A'raf 7;178]
Iman yang ada pada hati manusia bila diibaratkan kepada bangunan bagaikan pondasi yang menghunjam ke bumi sehingga bangunan itu kokoh dan kuat. Bila diibaratkan kepada pohon dia adalah akar yang kuat yang terkubur di tanah. Tanpa itu semua bangunan dan pohon tadi akan mudah rubuh, tumbang dan tidak berdaya. Demikian pula manusia, tanpa iman dan taqwa akan goncang dalam percaturan kehidupan ini.

Namun ketika iman itu sudah ada dalam hati,  kita tidak pandai memeliharanya, iman itu kita dinodai dengan kotoran yang busuk, walaupun kita masih shalat, masih puasa, zakat bahkan hingga menunaikan ibadah haji. Kemurnian iman itu telah rusak, dia tidak laku lagi dihadapan Allah, percuma saja kita shalat, puasa, zakat, haji atau amalan-amalan lainnya kalau iman telah kotor, busuk lagi berulat, ibarat koreng yang semakin melebar sakitnya,  lama-kelamaan kaki yang terkena koreng itu akan habis digerogoti oleh penyakit.

Betapa sia-sianya kita, yang telah diberi hidayah oleh Allah berupa iman, tapi kita tidak pandai memeliharanya, iman itu kita cemari dengan keyakinan lain yaitu syirik kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita menyatakan beriman kepada Allah dengan melaksanakan segala pengabdian seperti shalat, puasa dan pengabdian lainnya tapi kita tidak takut dengan dosa syirik yang kita lakukan, seperti melakukan pengobatan kepada dukun, padahal Nabi sendiri menyatakan bahwa siapa yang mendatangi dukun, maka tidak diterima amal ibadahnya selama empat puluh hari, kita masih  mendatangi kuburan-kuburan tertentu untuk memohon berkah, padahal yang dikubur itu tidak mampu untuk memberikan berkah kepada dirinya, kita juga masih  menyediakan sajian-sajian kepada syaitan dengan alasan untuk menolak bala serta bentuk kesyirikan lainnya, memakai jimat, menggantungkan sesuatu di pintu rumah yang intinya untuk menyelamatkan diri dari gangguan syaitan, padahal dengan jelas Allah sudah menerangkan bahwa syirik itu adalah dosa yang tidak berampun dan pelakunya dimasukkan ke dalam neraka. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”(An-Nisaa’ 4 : 48,116)

“ Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”(.Al Bayyinah 98:6).

Betapa malangnya ya Allah, andai kata kami tidak mengetahui  kalau iman kami telah tercemar oleh syirik, kurafat dan tahayul, atau mungkin kami sadar bahwa itu perbuatan syirik, tapi  masih dilakukan juga, sehingga sia-sialah iman dan amal ibadah kami selama ini, padahal Engkau telah menyebutkan dalam firman-Mu yang mulia tentang sia-sianya amal perbuatan bila iman dicemari oleh kesyirikan,  “Dan seandainya mereka berbuat syirik, pastilah gugur amal perbuatan yang telah mereka kerjakan.”(Al-An’am 6; 88).

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, (sedangkan) mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia amalan-amalan mereka, dan mereka kekal di dalam Neraka.” (At-Taubah 9: 17).

Betapa banyak dari kami yang tidak pandai menjaga iman walaupun kami melakukan shalat, puasa, zakat dan haji, tapi iman kami bercampur-aduk dengan kotoran. Sebenarnya kamipun sudah banyak mendengar dalam pengajian dan ceramah bahkan khutbah tentang bahaya perbuatan syirik, tapi kami tidak tanggapi semua itu sebab kami telah terlanjur mengikuti cara-cara nenek moyang kami yang mereka tidak mendapat petunjuk dan jauh dari kebenaran.

Tidakkah kita meneladani bagaimana Lukman Al Hakim mendidik anak-anaknya  yang diawali dengan pembersihan hati dari keimanan yang syirik, Lukman tidak mendahulukan pengajaran kepada anaknya tentang shalat atau puasa dan ibadah lainnya walaupun hal itu memang dianjurkan, tapi dia perioritaskan terlebih dahulu membersihkan hati anaknya dari syirik, “dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". [Lukman 31;13]
 Menserikatkan Allah bukan sebatas merusak iman, tapi dia merupakan sebuah kezhaliman, kezhaliman saja mengantarkan seseorang ke dalam neraka, apalagi kezhaliman itu adalah kezaliman yang besar, syirik merupakan kezhaliman yang besar, ini yang diwaspadai Lukman terhadap pendidikan anaknya, yaitu penanaman dan pembenahan iman sebelum perintah untuk menegakkan shalat, karena kalau sekedar beriman, banyak orang yang beriman tapi hatinya kotor, rusak, bernoda dan busuk, bahkan Fir’aun yang selama ini kita yakini seorang Raja Zhalim yang sombong, ternyata hatinya beriman kepada Allah, terbukti ketika dia ditenggelamkan di laut, saat ajal menjemput dia mengakui Allah sebagai Tuhan yang layak disembah, tapi keimanannya sia-sia, begitu juga Iblis, dia adalah makhluk yang beriman kepada Allah, keingkarannya muncul ketika tidak mau sujud kepada Adam, padahal perintah sujud itu dari Allah sehingga saat itu iblis makhluk yang terlaknat.

Ampuni kami ya Allah atas keterlanjuran ini, berilah kami hidayah iman dan beri pula kami kemampuan untuk menaga iman itu dengan baik, tetapkanlah hati kami istiqamah untuk menjaga iman sehingga ketika kematian menjemput, iman yang  kami miliki adalah iman yang tauhid, yaitu iman yang  bersih dari noda-noda syirik, karena iman yang bersihlah yang akan menyelamatkan kami sebagaimana yang Engkau janjikan kepada kami dalam hadits qudsi “Hai anak Adam, seandainya kamu dating kepadaKu dengan membawa dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika menemuiKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu sedikitpun, niscaya aku berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.”(HR. At-TirmidzidanAdh-Dhiya’, hadisthasan).

Berilah juga taufiq dan hidayah-Mu  kepada saudara-saudara kami yang masih tenggelam dalam kesyirikannya, mereka masih percaya dengan kehebatan batu cincin, masih meyakini suara burung di malam hari akan mendatangkan bahaya, tidak sedikit diantara saudara kami yang masih menghitung-hitung hari, dan mencari hari baik untuk mengadakan pesta, ada juga yang menaburi sesuatu di depan kedainya agar usahanya lancar, ramal meramal sudah menjadi kebiasaan di negeri kami. Kalaulah masyarakat awam yang melakukan masih dapat dikatan wajar, tapi yang melakukan dan yang punya keyakinan tersebut banyak pula mereka yang terpelajar, bergelar sarjana, ada juga yang mengadakan semua  praktek syirik disebut buya, ustadz, kiyai atau orang pintar, anehnya merekapun shalat dan puasa sehingga orang yakin kalau hal itu dibolehkan oleh agama dan bukan termasuk syirik.

Maha besar Engkau ya Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, engkau masih memberikan waktu kepada kami untuk hidup di dunia ini  beberapa saat saja untuk memperbaiki iman dan amal ibadah kami sebelum ajal menjemput, alangkah  malangnya kami bila kematian mendahului kami sebelum iman kami bersih dari segala noda, dengan taufiq dan hidayah-Mu, berilah kami kecendrungan hati untuk mempelajari islam dengan baik dari para ulama yang bersih imannya dan shahih ibadahnya, semoga kami mampu membersihkan iman ini dari segala kotoran dan noda yang mencemarinya, Wallah A’lam [Cubadak Solok, Jum’at  18 Rabiul Awal 1436.H/ 09 Januari 2015.M].

Literatur;
1. Yanuar Z  Arief, Hikmah: Kabar Kubur,Republika OnLine; Jumat, 18 Februari 2011, 09:46 WIB

Artikel diatas dikirim oleh: mukhlisdenros@gmail.com 
Dipublish oleh: bagindaery.blogspot.com

ISLAM YANG ALAKADARNYA (Drs. St. Mukhlis Denros)

Kalaulah seorang muslim itu melakukan hal-hal yang wajib ditambah
dengan yang sunnah-sunnah, dia tinggalkan segala yang dilarang Allah, menjauhi syirik dan meninggalkan maksiat maka hal itu sudah dapat
dipastikan dia adalah muslim yang baik.

Beruntunglah kita yang beragama islam sejak lahir karena orangtua kita muslim sehingga kitapun otomatis muslim yang dididik sejak di rumah tangga dan sekolah dengan didikan islam, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam meneybutkan “setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah atau suci, maka orangtuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Majusi atau Nasrani”.  Artinya walaupun kita lahir dalam keadaan muslim, tapi peluang untuk kafir besar sekali, yang dilakukan oleh orangtua kita, apakah orangtua di rumah tangga yaitu ayah dan ibu, orangtua di sekolah yaitu bapak dan ibu guru atau orangtua di masyarakat sekitar.

Seorang muslim yang baik, pasti menginginkan agar anaknya beragama islam dalam rangka untuk menjaga keturunan, yaitu keturunan Islam, tapi bagi mereka yang menikah  dengan lain agama, akan terjadi dualisme pendidikan di rumah tangga, sehingga ada anak yang muslim dan lainnya kafir. Sungguh keberuntungan diberikan Allah kepada seseorang lahir dalam kalangan muslim sehingga dia jadi seorang yang beragama islam, juga keberuntungan bila seseorang bershahadat menyatakan diri masuk Islam setelah bergelut dengan keyakinannya,  sebagai muslim  adalah nikmat yang tidak terkirakan dari Allah.

Banyak nikmat Allah sudah direguk manusia, baik nikmat lahir maupun bathin, sejak dari bangun tidur hingga tidur lagi, sehingga sulit kita untuk mengkalkulasikannya, nikmat itu diantaranya digambarkan Allah dalam firman-Nya; ”Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).  [Ibrahim 14;32-34].

Dari sekian nikmat Allah itu maka islam adalah nikmat yang besar yang patut disyukuri karena tidak semua orang menerima dan mendapat hidayah islam ini. Nikmat islam dan iman hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya dan ini merupakan hak preogratif Allah tanpa bisa dicampuri oleh siapapun. Walaupun demikian islam tersebut akan diberikan memang kepada orang-orang yang mencarinya atau orang-or"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya" [Ali Imran 3;19]

Berarti semua bentuk isme dan dien lain selain islam adalah bathil dan sia-sia, alangkah meruginya manusia bila salah memilih agama apa yang layak untuk dijadikan sebagai pegangan hidup, tapi tidak sedikit pula manusia yang mengetahui kebenaran islam namun enggan untuk mengakui kebenarannya karena beberapa faktor.
Allah memberikan ultimatum secara terbuka di dunia ini kepada manusia yang tidak mengakui dan meyakini islam sebagai agama yang layak diikuti, bagi mereka yang menganut ajaran apa  saja walaupun nampaknya indah, ilmiah, sesuai dengan zaman dan selera manusia tapi tidak agama wahyu yang kita sebut dengan islam, maka semua penyembahan mereka, pengabdian mereka terhadap agama itu sia-sia dan bahkan mendapat kerugian yang sebesar-besarnya, Allah menjelaskan dalam firman-Nya; “Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”[Ali Imran 3;85]
Itulah keyakinan azasi seorang muslim terhadap islam sebagai agama baginya walaupun banyak asfek islam yang belum mampu dia laksanakan, tapi tentang keyakinan ini  tidak dapat diragukan lagi, seawam-awamnya mereka terhadap islam tidak mungkin mengingkari asfek ini. Mengingkari salah satu dari lima hal tersebut apalagi semuanya jelas telah keluar dari iman tauhid yang diajarkan oleh nenek moyang dan orangtua kita.
Dapat kita saksikan, betapa banyaknya ummat manusia yang tidak terlahir dari kalangan keluarga muslim sehingga sulit sekali dari mereka untuk mendapat hidayah Islam kecuali  orang-orang yang dikehendaki Allah, dengan mempelajari islam akhirnya memutuskan diri sebagai mualaf, bergabung dalam barisan muslim dengan segala konsekwensinya.

Rukun Islam menyebutkan beberapa konsekwensi seorang muslim diantaranya shalat, zakat, puasa dan haji setelah mendalami kalimat shahadat. Shalat merupakan tiang agama yang harus ditegakkan oleh seorang muslim dan tidak bisa dianggap enteng perintah ini. Abdullah ibnu Mas'ud Ra berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, amal perbuatan apa yang paling afdol?" Beliau menjawab, "Shalat tepat pada waktunya." Aku bertanya lagi, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa lagi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." (HR. Bukhari)

Dari Abu Qatadah ra., ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Allah berfirman : "Sesungguhnya Aku menfardhukan atas umatmu shalat lima (waktu). Dan Aku janjikan janji bahwasanya barangsiapa yang menjaga shalat itu pada waktunya, maka Aku masukkan ke sorga. Dan barangsiapa yang tidak menjaganya maka tidak ada janjiKu padanya".

Karena pengetahuan agama yang tidak cukup, iman yang dangkal dan ibadah yang sekedarnya, banyak  sekali ummat islam yang tidak shalat, padahal pada satu sisi orangnya baik, pekerja keras untuk mencari nafkah bagi kepentingan keluarganya, tapi sayang sekali dia tidak melakukan shalat, ketika ketika banyak mengunjungi warga yang sedang sakit, sebelum sakit mereka adalah warga yang rajin shalat, tapi ketika  jatuh sakit saat itu dia tinggalkan shalat, alangkah ironinya, seharusnya saat sakit itulah saat-saat semakin dekat kepada Allah, siapa tahu ajal semakin dekat, tapi tidak shalat apalah jadinya, apalagi sakit yang diderita sekian hari, sekian bulan, maka otomatis shalat tidak dikerjakan dengan alasan tidak mampu berbuat apa-apa karena terserang penyakit.

Padahal dalam islam sudah dituntunkan bahwa ummat ini banyak mendapatkan dispensasi dalam ibadah apalagi dalam keadaan sakit, kalau tidak mampu berdiri maka lakukanlah shalat dengan duduk, tidak sanggup duduk maka berbaringlah, dalam keadaan sakit yang parah, dengan gerakanpun tidak sanggup maka lakukan dengan isarat atau kedikan mata saja, sehingga tidak ada alasan untuk tidak shalat, berhalangan menggunakan air maka dapat dilakukan dengan bertayamum.

Di kampung-kampung kita menemukan masyarakat yang tidak shalat karena mereka beranggapan shalat cukup dengan mengingat Allah saja, bahkan ada aliran sesat yang mengajak masyarakat untuk mendalami suatu ilmu, semakin bagus ilmunya semakin meninggalkan shalat, mereka mengutamakan hakekat saja dan meninggalkan syariat. Ada pula yang  menyatakan yang penting hati bersih, karena shalatkan untuk membersihkan hati, padahal siapa yang lebih bersih hatinya di dunia ini selain Rasulullah tapi beliau luar biasa ibadah shalat dilakukannya.

Kita juga bisa melihat ada masyarakat yang menghabiskan waktunya dari siang sampai siang lagi hingga malam sampai malam lagi untuk mencari rezeki dengan berbagai profesi, hal itu dia peroleh dengan keberhasilan yang luar biasa, rezekinya bagus, usahanya maju, anak-anaknyapun banyak yang pandai mencari uang dengan berbagai pekerjaan tapi keluarga itu walaupun muslim tapi tidak satupun yang shalat.

Itu baru masalah shalat, banyak dari kaum muslim yang tidak melakukannya bahkan ilmu tentang shalatpun hanya sekedarnya, padahal diantara kita banyak yang sudah sarjana pada satu bidang tapi untuk mempelajari islam sangat enggan sekali, sehingga keislamannya hanya alakadarnya, ironinya mereka yang terpelajar tadi banyak yang terlibat praktek syirik, kurafat, tahayul dan bid’ah. Padahal ayat pertama kali turun adalah perintah untuk membaca, menelaah dan mengkaji tentang kebenaran penciptaan manusia oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala;  "bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.  Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” [Al Alaq 96;1-5].

Perintah membaca ditujukan kepada ummat Islam agar jadi orang yang punya ilmu pengetahuan, dengan membaca pula Allah mengokohkan ilmu pada dada manusia, lebih jauh dari itu posisi seorang  muslim yang berilmu dilebihkan beberapa derajat dari mereka yang tidak berilmu. Memang tidak mungkin masing-masing kita mengetahui tentang semua seluk beluk islam, tapi paling tidak hal-hal yang pokok dan   merupakan kewajiban harian kita mengetahuinya.

Masalah bersuci dan urusan shalat selayaknya kita mengetahuinya melalui membaca atau belajar dengan seorang ustadz secara talaqi sehingga jangan sampai seorang muslim tidak bisa membedakan shalat jamak dan qashar, atau tidak bisa membedakan antara adat dan ibadat, bahkan ada yang tidak tahu antara  syirik dan tauhid.

Betapa malangnya kita, yang diberikan Allah posisi mulia sebagai muslim tapi tidak bisa menempatkan posisi itu dengan baik, keislaman kita hanya sekedarnya saja, dianggap dengan mengucapkan dua kalimat shahadat selesai semua perkara tanpa melakukan praktek ibadah dan pengabdian yang sempurna kepada Allah.  Satu ketika datang seseorang kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam menyatakan dirinya sebagai Mukmin, artinya orang yang telah beriman, maka Rasulullah menyatakan bahwa orang itu sebagai Muslim, karena iman belum menghunjam ke hatinya, Hal itupun diungkapkan Allah dalam firman-Nya  “orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar." [Al Hujurat 49;14-16].

Agar kita tidak sekedar muslim atau muslim alakadarnya maka gunakanlah waktu untuk menimba ilmu agama melalui kajian, membaca dan  diskusi untuk menambah wawasan keislaman, karena menuntut ilmu agama merupakan kewajiban semua muslim, apakah laki-laki ataupun perempuan. Dengan menuntut ilmu agama maka dapat dipastikan seorang muslim mengetahui tentang seluk beluk agamanya, minimal hal-hal yang prinsip. Kalaulah seorang muslim itu melakukan hal-hal yang wajib ditambah dengan yang sunnah-sunnah, dia tinggalkan segala yang dilarang Allah, menjauhi syirik dan meninggalkan maksiat maka hal itu sudah dapat dipastikan dia adalah muslim yang baik.

Mumpung Allah masih memberikan waktu kepada kita dalam detik, menit, jam, hari, minggu, hingga bulan dan tahun bahkan beberapa  tahun lagi berarti Allah masih sayang kepada kita, agar kita gunakan kesempatan itu untuk membenahi diri kita sebelum ajal, memohon ampun atas segala dosa dan menuntut ilmu agama secara intensif guna mencapai derajat muslim kenuju mukmin, meraih tingkat mukmin menuju taqwa, sehingga ketika ajal datang kita sudah ada modal untuk menghadapi kehidupan yang baru yaitu alam barzakh dan akherat,  Wallah A’lam [Cubadak Solok, Jum’at  19  Rabiul Awal 1436.H/ 10 Januari 2015.M].

Artikel diatas dikirim oleh: mukhlisdenros@gmail.com 
Dipublish oleh: bagindaery.blogspot.com




SHALAT TERUS MAKSIAT JALAN [STMJ] (Drs. St. Mukhlis Denros)

Road, Exit, Dark
Walaupun kita beribadah kepada Allah dengan shalat yang rutin dan khusyu’ tapi tidak bisa meninggalkan dosa dan  maksiat, maka  kita belumlah dikatakan shalat, Rasulpun menyebutkan ”Tidak ada shalat bagi orang yang tidak meninggalkan maksiat”, lebih jelas Allah menyebutkan   bagaimana kondisi
orang yang shalat tapi mengerjakan perbuatan keji dan mungkar juga ?

Shalat merupakan kebutuhan muslim selain kewajiban maka hendaknya dibiasakan sejak kecil sebagaimana Rasul menyatakan, "Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh tahun dan pisahlah tempat tidur mereka (putera-puteri).(HR. Abu Dawud).

Anak usia sepuluh tahun yang tidak shalat dapat dipaksakan oleh orangtuanya dengan sangsi member pukulan, itu usia sepuluh tahun, bagaimana kalau mereka yang sudah berumur tiga puluh atau lima puluh tahun belum juga melaksanakan shalat, maka wajar kiranya sangsinya bukan dipukul tapi digantung.

Hadits di atas memerintahkan bahwa anak umur sepuluh tahun yang belum mau  mengamalkan shalat harus dipukul.  Pukulan itu adalah sebagai sangsi atau hukuman. Ini bukannya tindakan kejam, karena menurut penjelasan ahli agama, hukuman pukulan bagi anak tersebut tidak boleh lebih dari tiga kali dengan alat pemukul kecil yang tidak menyakitkan sehingga tidak membawa penderitaan fisik bagi si anak.  Lagi pula, sebelum hukuman pukul itu dilaksanakan, hendaklah telah dipergunakan segala cara dan taktik bagaimana agar si anak mau shalat. Ia diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya itu, sehingga cara-cara yang keras dari orangtua dihindari dulu.

Allah telah memperingatkan sejak lama dalam firman-Nya pada surat At Tahrim 66; 6 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”

Kaitan dengan ayat ini, Umar bin Khatab bertanya kepada Rasulullah, bagaimana caranya menjaga keluarga, kalau menjada diri pribadi bisa diupayakan. Rasulullah menjelaskan kiat menjaga anak, isteri dan orang yang dibawah naungan kita dari panasnya api neraka yaitu, ”Engkau tanamkan kepadanya apa yang diperintahkan Allah agar dia laksanakan dan apa yang dilarang Allah agar dia hindari”

Perintah melakukan shalat bukan sebatas ibadah tapi adalah tameng untuk menghindari diri dari perbuatan keji dan mungkar, supaya kita tidak berbuat maksiat lagi karena kita adalah  hamba Allah yang shalat, orang shalat tidak layak untuk berbuat keji dan mungkar, sebagaimana yang diungkapkan Allah dalam firman-Nya,  “ bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.[Al Ankabut 29; 45].

Saat berada di akherat kelak, ada orang-orang yang terlambat masuk syurga karena harus masuk dalam neraka terlebih  dahulu, orang yang dimaksud mungkin anda atau mungkin juga saya, karena ketika hidup di dunia hidup berbuat maksiat, berbuat keji dan mungkar walaupun shalat.  Setelah  sekian lama dalam neraka Saqar, lalu dikeluarkan dari neraka itu, mereka menuju syurga, tapi saat memasuki syurga, orang yang sudah lama dalam syurga, bertanya kepada mereka, kenapa anda terlambat masuk syurga ?, dengan jujur mereka menjawab, disebabkan  dahulu  kami termasuk orang-orang yang meninggalkan shalat, Allah menerangkan dalam firman-Nya,  "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,[Al Mudatsir 74;42-43].

Ukuran  baiknya semua amal manusia diawali dari baiknya ibadah shalat yang yang dilakukan, Rasulullah bersabda,"Yang pertama-tama dipertanyakan (diperhitungkan) terhadap seorang hamba pada hari kiamat dari amal perbuatannya adalah tentang shalatnya. Apabila shalatnya baik maka dia beruntung dan sukses dan apabila shalatnya buruk maka dia kecewa dan merugi'' (HR. An-Nasaa'i dan Tirmidzi)

Shalat yang dikerjakan merupakan ujud dari dua kebersihan yaitu kebersihan fisik dan kebersihan mental seseorang "Perumpamaan shalat lima waktu seperti sebuah sungai yang airnya mengalir dan melimpah dekat pintu rumah seseorang yang tiap hari mandi di sungai itu lima kali" (HR. Bukhari dan Muslim).

Kalau melihat kondisi ummat islam, banyak diantara ummat islam yang rajin beribah, berkali-kali melakukan umrah dan haji, zakat dan infaq pun ditunaikan dengan memberikan sebagian besar dari rezeki kita, dikala Ramadhan datang kita juga berpuasa, saat azan berkumandang kita segera berwudhu lalu menunaikan shalat sunnah sebelum shalat wajib, itupun dilakukan di masjid, tidak ada yang kurang dari kewajiban shalat yang kita lakukan, zikir dan do’a  membasahi bibir kita, mengeja dan membaca  lafadz-lafadz Al Qur’an. Dengan aktivitas itu, semua orang tahu kalau kita adalah hamba Allah yang baik lagi shaleh, tapi orang tidak tahu apa yang kita lakukan dibelakang itu semua, maksiat dan dosa kita lakukan,  orang tidak tahu kalau kita adalah hamba Allah yang rajin shalat tapi berbuat zina juga, mencuri hingga korupsi  agenda  untuk menumpuk kekayan, main judi sejak dahulu biasa kita dilakukan, suap menyuap  sudah lumrah terjadi   untuk meluluskan calon pegawai baru, semua itu kita lakukan disela-sela shalat yang kita lakukan, dalam bahasa  premannya kita adalah orang yang STMJ, shalat terus maksiat jalan.

Walaupun kita beribadah kepada Allah dengan shalat yang rutin dan khusyu’ tapi tidak bisa meninggalkan dosa dan  maksiat, maka  kita belumlah dikatakan shalat, Rasulpun menyebutkan ”Tidak ada shalat bagi orang yang tidak meninggalkan maksiat”, lebih jelas Allah menyebutkan   bagaimana kondisi orang yang shalat tapi mengerjakan perbuatan keji dan mungkar juga ?

Allah 'Azza wajalla berfirman (hadits Qudsi): "Tidak semua orang yang shalat itu bershalat. Aku hanya menerima shalatnya orang yang merendahkan diri kepada keagunganKu, menahan syahwatnya dari perbuatan haram laranganKu dan tidak terus-menerus (ngotot) bermaksiat terhadapKu, memberi makan kepada yang lapar dan memberi pakaian orang yang telanjang, mengasihi orang yang terkena musibah dan menampung orang asing. Semua itu dilakukan karena Aku." "Demi keagungan dan kebesaranKu, sesungguhnya bagiKu cahaya wajahnya lebih bersinar dari matahari dan Aku menjadikan kejahilannya kesabaran (kebijaksanaan) dan menjadikan kegelapan terang, dia berdoa kepada-Ku dan Aku mengabulkannya, dia mohon dan Aku memberikannya dan dia mengikat janji dengan-Ku dan Aku tepati (perkokoh) janjinya. Aku lindungi dia dengan pendekatan kepadanya dan Aku menyuruh para Malaikat menjaganya. BagiKu dia sebagai surga Firdaus yang belum tersentuh buahnya dan tidak berobah keadaannya." (HR. Ad-Dailami).

Inilah kondisi kita,  yaitu sebagai muslim yang serba rajin, rajin beribadah tapi rajin pula berbuat maksiat dan dosa, berarti shalat yang kita lakukan itu tidak mendatangkan bekas, dia hanya sebagai gerakan rutinitas atau kebiasaan pribadi kita, karena sejak kecil kita sudah biasa melakukan shalat sehingga sampai tuapun kita tetap melakukannya tapi dosa dan maksiat juga terus kita lakukan tanpa bisa dicegah oleh shalat, lalu apa artinya shalat  yang kita lakukan, bila maksiat juga kita kerjakan, apakah Allah akan menerima  ibadah shalat kita kalau maksiat dan dosa kita lakukan terus menerus, atau Allah akan mengampuni dosa dan maksiat  kita hanya dengan shalat.

Selayaknya kita benahi ibadah  shalat kita, jangan tinggalkan shalat, sempurnakan ibadah shalat kita dengan meninggalkan dosa dan maksiat, taubat dan mohon ampunlah kepada Allah, mumpung masih ada waktu beberapa menit  yang diberikan Allah untuk kita benahi hidup  ini  dengan baik. Shalat adalah ibadah wajib yang harus ditunaikan oleh seorang muslim, kelak, shalat merupakan barometer untuk diterimanya amalan yang lain, kalau shalatnya baik maka akan baiklah amalan-amalan yang lain, dan sebaliknya bila ibadah shalat kita rusak maka rusaklah semua amalan yang lain,  shalat yang tidak mampu untuk mencegah kita dari berbuat   dosa dan maksiat maka criteria shalat begini bukanlah shalat yang baik,tapi ini adalah shalat yang buruk, berarti kelak semua amalan kita tergolong dalam amalan yang buruk,  Wallah A’lam [Cubadak Solok,  Senen  21  Rabiul Awal 1436.H/ 12 Januari 2015.M].


Artikel diatas dikirim oleh: mukhlisdenros@gmail.com
Dipublish oleh: bagindaery.blogspot.com

PUASA TANPA MAKNA (Drs. St. Mukhlis Denros)


”Betapa banyak orang puasa, tetapi tidak mendapatkan hikmah sedikitpun dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga saja. Dan betapa banyak orang yang shalat di malam hari, tetapi tidak mendapat apapun kecuali sekadar mengantuk akibat bangun malam” (HR. Ad-Darimi).
Sebenarnya puasa itu bukanlah ibadah yang memberatkan, siapapun akan mampu melaksanakannya asalkan dalam keadaan sehat, sebab orang yang sakit memang diperkenankan untuk tidak berpuasa, demikian pula bagi orang yang berat melakukannya karena sebab-sebab lain, semua itu dapat diganti dengan qadha atau membayar fidyah yang disyariatkan islam.
Puasa itu memiliki tiga tingkatan yaitu; puasa orang awam, puasa orang khawas [khusus] dan puasa orang khawashil [istimewa]. Adapun puasanya orang awam ialah menahan perut dari makan dan minum serta tidak menggauli isteri disiang hari, puasanya orang khusus yaitu puasanya orang-orang yang shaleh, disamping menahan makan dan minum dan senggama juga menahan semua indra dari perbuatan dosa.
Kesadaran untuk meningkatkan nilai ibadah puasa pada setiap tahun semakin berkurang di tengah masyarakat kita karena kurangnya pengetahuan yang diawali tidak mau mendengarkan pengajian apa lagi membaca buku-buku fiqih. Di bulan ini dijadikan sebagai arena pemborosan dengan istilah konsumerisme, bukan melatih diri untuk hidup prihatin tapi berlomba-lomba dalam bentuk masakan yang diikuti lomba pakaian diakhirnya. Ketika saat berbuka tiba semua makanan dilahap tanpa fikir panjang karena sekian jam tidak makan tidak minum yang akhirnya  balas dendam sampai untuk shalat maghribpun tidak sanggup lagi karena kekenyangan.
Kegiatan puasa khususnya pada bulan Ramadhan hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman, panggilan itu termaktub dalam firman Allah, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,[Al Baqarah 2;183].
“Dari Abi Abdirrahman, Abdullah bin Umar bin Khattab Ra, ia berkata,”Islam itu terdiri dari lima perkara; menyaksikan bahwa tiada Tuhan kecuali Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah dan puasa Ramadhan”.
Dalam sebuah hadits dari Ubaidilah diriwayatkan;“Hai Rasulullah, katakanlah kepadaku puasa yang diwajibkan oleh Allah kepadaku”, jawab Nabi,”Puasa pada bulan Ramadhan”, lelaki itu bertanya lagi, “Apakah masih ada puasa wajib atasku?” Jawab Nabi, “Tidak ada, kecuali kalau engkau berpuasa sunnah”.

Ibadah puasa bagi seorang mukmin sudah dilakukan dengan latihan diwaktu masih anak-anak untuk membiasakan pengamalan ajaran rukun Islam ketiga, disamping bermanfaat bagi kesehatan rohani juga mendatangkan kesehatan jasmani,. Sudah banyak penelitian yang dilakukan oleh para pakar kesehatan, baik yang beragama Islam maupun non muslim dengan mengambil suatu kesimpulan bahwa berpuasa sangat baik untuk kesehatan jasmani dan rohani.

Asfek rohani didapati seorang muslim dalam berpuasa yaitu derajat taqwa yang merupakan tingkat tertinggi dalam pengabdian kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal untuk mencapai tingkat taqwa harus melalui marhalah atau fase pengabdian antara lain Muslim, Mukmin, Muhsin, Mukhlis dan Muttaqin. Fase ini bisa dicapai seseorang tergantung kemampuan dan kemauannya untuk meningkatkan kwalitas dirinya, tapi dalam satu bulan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kesempatan kepada orang beriman untuk meraih derajat taqwa melalui ibadah yang dilakukan di bulan ini, Rasulullah menggambarkan bahwa derajat taqwa tidak ada balasannya, bukan tidak dibalas, tapi balasannya adalah syurga, yaitu suatu balasan yang sangat mahal, dan ini merupakan dambaan setiap muslim.

Kenapa orang yang beriman disuruh untuk puasa ? bukankah orang lainpun bisa melakukannya, orang muslim, fasiq, munafiq dan kafir sekalipun bisa berpuasa. Sekedar puasa memang semua orang mampu melakukannya tapi yang diamanatkan untuk puasa pada bulan Ramadhan hanya orang yang beriman, karena puasa yang baik, sesuai syariat hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang beriman, karena tujuan puasa bukan sekedar  sehat dan tidak pula sekedar rutinitas tahunan, tapi tujuan yang besar yaitu untuk mencapai derajat taqwa.

Kalau derajat keimanan kita baru sekedar muslim artinya orang yang imannya masih rendah sekali maka tidaklah wajib untuk puasa, walaupun puasa juga tapi puasa yang tidak bermakna bagi dirinya, keluarganya dan bagi agamanya. Anak-anakpun tidak wajib untuk puasa, tapi sebagai sarana untuk latihan maka dianjurkan anak-anak untuk puasa.



Dalam ajaran Islam telah sering dijelaskan bahwa puasa merupakan pilar agama Islam yang sarat dengan muatan-muatan hikmah.Para ahli dari berbagai disiplin ilmu, banyak menguak hikmah dan muatan filosofis yang terkandung dalam ibadah yang satu ini.Ada yang meninjaunya dari perspektif kesehatan, manajemen, psikologi, ekonomi, sosiologi, etika sosial, dan sebagainya.
Dengan analisis itu, puasa disimpulkan dapat membuat orang menjadi sehat, baik jasmani maupun rohani, puasa dapat meningkatkan kedisiplinan, membentuk insan yang jujur, berkepribadian luhur, mempunyai kepekaan sosial yang tinggi, dapat melahirkan pencerahan etika dan perilaku positif.Tidak cuma itu, puasa dapat meningkatkan etos kerja dan produktifitas, bahkan dapat mewujudkan pencerahan spiritual dan intelektual.
Namun, apakah hikmah puasa yang berlimpah itu tercapai di akhir ramadhan nanti, sehingga puasa mempunyai dampak terhadap pencerahan perilaku, pembangunan manusia yang sehat fisik dan mental, jujur, berdisiplin, mempunyai kepekaan sosial, etos kerja tinggi, produktif?
Anehnya, masih banyak orang yang berpuasa, kesehatannya justru semakin menurun. Pasca ramadhan ia selalu ke rumah sakit karena gangguan kesehatan. Kejujuran tetap di kesampingkan, kolusi dan korupsi masih dipraktikkan, etos kerja melempem, produktivitas menurun, semangat mengamalkan ajaran agama menjadi luntur, pencerahan spritual dan intelektual menjadi gelap, jiwa kepekaan sosial menjadi pekak, bekerja tetap tidak disiplin, dan kurang menghargai waktu.
Jika demikian, benarlah apa yang pernah dituturkan oleh Nabi kita, ”Betapa banyak orang puasa, tetapi tidak mendapatkan hikmah sedikitpun dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga saja. Dan betapa banyak orang yang shalat di malam hari, tetapi tidak mendapat apapun kecuali sekadar mengantuk akibat bangun malam” (HR. Ad-Darimi).
Betapa ruginya kita bila puasa hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja, padahal siang hari sekian jam tidak makan dan tidak minum, ditahan rasa lapar dan ditolak rasa haus  ditengah teriknya matahari, rasa letih dan rasa lemaspun   yang menggelayut di badan ini, tapi motivasinya beribadah kepada Allah sehingga semua rintangan itu ditahan sekuatnya, namun semuanya hanya berbuah lapar dan haus saja, karena melaksanakan puasa diiringi pula dengan kemaksiatan dan dosa. Begitu juga shalat malam, pahalanya begitu besar dan pengaruhnya terhadap jiwa seseorang sangatlah baik, namun shalat malamnya hanya mendatangkan ngantuk saja, ibarat orang yang  menonton pertadingan sepak bola hingga larut malam, tidak ada pahala dan jauh dari hikmah ibadah, karena shalat malamnya diiringi pula dengan maksiat-maksiat lainnya, Rasulullah bersabda,”Lima perkara yang dapat menghapuskan pahala ibadah puasa yaitu dusta, ghibah, adu domba, sumpah palsu dan memandang dengan syahwat”.
Kalau kita ketahui hikmah yang terkandung dalam puasa serta balasan apa yang diterima bagi orang yang melakukannya tentu kita akan melaksanakan ibadah puasa dengan baik, tidak mengiringi puasa dengan dosa dan maksiat, tidak berdusta, tidak jadi saksi palsu, tidak mengadu domba, tidak memandang dengan syahwat dan tidak menggunjing.
Kalau kita mau memasuki sebuah syurga khusus bagi mereka yang berpuasa maka kita tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.  “Dari Shal bin Sa’ad Ra, dari Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, ia bersabda,”Sesungguhnya di syurga itu ada sebuah pintu yang disebut “Rayyan” yang akan dimasuki oleh orang-orang yang sedang berpuasa”, lalu ditanyakan, “Dimana orang-orang yang sedang berpuasa itu?”, lalu mereka berdiri ketika itu tidak seorangpun selain mereka yang masuk pintu tersebut. Maka apabila mereka telah masuk semua, pintu itu ditutup, sehingga tidak ada seorangpun yang masuk”.
Jauhi hal-hal yang dapat mengurangi dan menggugurkan nilai puasa. Inti puasa adalah melatih kita menahan diri dari hal-hal yang tidak benar. Bila hal-hal itu tidak bisa ditinggalkan, maka nilai puasa kita akan berkurang kadarnya. Rasulullah saw. bersabda, “Bukankah (hakikat) puasa itu sekadar meninggalkan makan dan minum, melainkan meninggalkan perbuatan sia-sia dan kata-kata bohong.” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah).




Setiap tahun kita sebagai muslim melaksanakan  ibadah puasa Ramadhan yang diiringi dengan amaliah lainnya, bahkan amal yang dilakukan pada bulan ini harga pahalanya berlipat-lipat, bila ibadah sunnah yang kita kerjakan maka Allah mengganjarnya dengan pahala ibadah wajib, apalagi ibadah wajib, memberi perbukaan puasa kepada yang puasa pahalanya sama dengan orang yang puasa, bahkan   bau mulut orang yang puasa disisi Allah ibarat kasturi yang berterbangan. Namun semua itu hanya sia-sia, tidak ada maknanya, pahalanya hilang sebelum Ramadhan berakhir,  karena tidak mampu meninggalkan dosa dan maksiat.
Begitu banyaknya orang yang puasa di bulan Ramadhan, ketika berdagang masih mempermainkan harga, alat takar dan timbangan diperlakukan dengan curang, alat ukur dan meteran digunakan tidak yang sebenarnya, intinya kecurangan masih melekat dijiwa orang yang puasa.  Betapa banyaknya para pejabat yang masih  berurusan dengan penegak hukum karena melakukan korupsi dan manipulasi, padahal puasa itu menuntut  untuk membersihkan  harta seorang muslim, jangankan dibersihkan dengan zakat dan sedekah tapi malah dikotori dengan cara-cara yang dilarang Allah.
Begitu rusaknya puasa kita karena tayangan televisi atau pemandangan aurat setiap hari menghiasi penglihatan mata kita, kita bisa mengatakan bahwa pandangan mata kita tidak diiringi dengan syahwat, tapi kenapa mata melotot dan dilakukan berkali-kali.  Apakah mungkin kita akan mendapatkan pahala dari ibadah puasa kita bila ghibah atau menggunjing dilakukan setiap ada kesempatan bertemu dengan lawan bicara, betapa banyak perkara di pengadilan yang memihak  bukan kepada kebenaran tapi karena yang bayar, sebab mampu menghadirkan saksi palsu. Kenapa kita berharap  meraih syurga Raiyyan, sementara watak buruk kita masih biasa saling mengadu untuk menimbulkan permusuhan, serta dosa  dan maksiat lainnya tidak mampu untuk ditinggalkan.
Hai saudaraku, mumpung Allah masih memberikan  hidup dan waktu  untuk kita, jadikanlah kesempatan ini untuk membersihkan jiwa kita dengan melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan  syariat, selain kita tinggalkan hal-hal yang membatalkan puasa  juga kita tinggalkan segala hal yang dapat mengurangi bahkan menghapuskan ibadah puasa kita, jangan hasil puasa kita hanya lapar, haus dan ngantuk saja, tanpa ada pahala dari Allah.  Padahal janji Allah kepada orang yang sungguh-sungguh melakukan puasa Ramadhan menyebutkan Semua itu tidak akan bisa kita lakukan kecuali dengan bersungguh-sungguh dalam melaksankannya. Dengan begitu, puasa yang kita lakukan menghasilkan ganjaran dari Allah berupa ampunNya. Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam. bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan sepenuh iman dan kesungguhan, maka akan diampuni dosa-dosa yang pernah dilakukan.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Kalau hari ini kita berada di bulan Ramadhan, maka jadikanlah Ramadhan ini sebagai Ramadhan terakhir, jangan terulang lagi kejadian negatif pada Ramadhan yang lalu, perbaikilah niat dan cara ibadah kita, jangan kotori ibadah puasa dengan dosa dan maksiat agar puasa kita membawa hikmah, belum tentu kita akan bertemu lagi dengan Ramadhan yang akan datang, sehingga jadikanlah ini Ramadhan yang terakhir.
Kalau hari ini kita masih menunggu datangnya bulan Ramadhan, berharaplah kepada Allah agar hidup kita masih diberi kesempatan untuk berpuasa Ramadhan,  lalu mengisi bulan ini dengan amaliah yang maksimal, ingatlah  banyak saudara kita yang tidak diberi kesempatan lagi untuk memasuki bulan Ramadhan karena datangnya ajal terlebih dahulu, Wallahu A’lam [Kubu Dalam Padang,  Rabu 23  Rabiul Awal 1436.H/ 14 Januari 2015.M].

Artikel diatas dikirim oleh: mukhlisdenros@gmail.com
Dipublish oleh: bagindaery.blogspot.com


ZAKAT MINIMALIS (Drs. St. Mukhlis Denros)


Zakat bermakna Al-Barakatu, yang artinya berkah. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu membayar zakat, hartanya akan selalu dilimpahkan keberkahan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kemudian keberkahan harta ini akan berdampak kepada keberkahan hidup. Keberkahan ini lahir karena harta yang kita gunakan adalah harta yang suci dan bersih, sebab harta kita telah dibersihkan dari kotoran dengan menunaikan zakat yang hakekatnya zakat itu sendiri berfungsi  untuk membersihkan dan mensucikan harta.

Keyakinan seorang muslim untuk mengeluarkan zakat tidak diragukan lagi, jangankan orang kaya bahkan petani miskin di desapun meyakini tentang zakat, setiap musim panen padi mereka tidak ketinggalan untuk menunaikan zakat, hal itu dapat kita ketahui  disiarkannya uang masuk ke kas masjid, diantara sedekah dan infaq yang masuk ke kas masjid juga banyak zakat yang dibayarkan. Padahal kalau kita perhatikan, kehidupan petani itu sangat memprihatinkan, tapi setiap panen hasil pertaniannya selalu dikeluarkan zakatnya untuk membersihkan pendapatan.
Selain shalat maka kewajiban mendesak yang harus ditunaikan oleh seorang muslim adalah membayar zakat dikala sudah sesuai dengan nisabnya, karena makna salam kekiri dan ke kanan dalam shalat adalah menebarkan kesejahteraan kepada ummat islam di sekeliling kita, kesejahteraan akan tercapai bila ada berbagi dalam penghasilan, itulah zakat; "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui." [At Taubah 9;103]

Zakat sering sekali disebutkan dalam hadits Rasul dengan shadaqah, karena fungsi dan hakekatnya memang sama yaitu menafkahkan harta di jalan Allah, adapun orang yang memberikan zakat atau sedekahnya akan dinilai pahala yang berlipat ganda, Rasulullah ber "Bershadaqah pahalanya sepuluh, memberi hutang (tanpa bunga) pahalanya delapan belas, menghubungkan diri dengan kawan-kawan pahalanya dua puluh dan silaturrahmi (dengan keluarga) pahalanya dua puluh empat"(HR. Al Hakim).
Namun masih banyak ummat islam yang enggan mengeluarkan zakat, ada memang yang mengeluarkan zakat tapi tidak sesuai dengan sasaran. Masyarakat akan menunaikan zakat bila zakat itu ditujukan untuk pembangunan fisik, seperti membangun ruang wudhu masjid, membangun menara masjid atau membangun tingkat dua masjid dan sebagainya, yang penting semua zakat itu untuk pembangunan fisik masjid. Sedangkan yang lainnya karena tidak nampak sepertinya masyarakat enggan untuk mengeluarkan zakat untuk masjid, tidak ada yang mau membayar zakat untuk kegiatan selain pembangunan. Padahal zakat itu sudah jelas peruntukannya sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk  budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .”




Al-Quran menyatakan bahwa kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam, ciri utama mu’min yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup dan ciri utama mu’min yang akan mendapatkan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kesediaannya berzakat dipandang pula sebagai orang yang selalu berkeinginan untuk membersihkan diri dan jiwa dari berbagai sifat buruk, sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, mensucikan dan mengembangkan harta yang dimilikinya.  Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“…Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS. At Taubah :5)
“…Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan”. (QS. Ar Ruum, 30:39).
Secara umum zakat dan sedekah atau infaq itu berbeda, kewajiban untuk membayar zakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku sedangkan sedekah atau infaq merupakan amalan sunnah, walaupun seseorang banyak mengeluarkan sedekah, maka dengan sedekah itu belum selesai zakatnya, yang dituntut dari zakat selain khaul juga nishabnya, khaul yaitu masa berlakunya harta seseorang, yang diperkirakan satu tahun sedangkan nishab adalah batas banyaknya harta yang  wajib dizakatkan.
Karena kurangnya ilmu seseorang, dia lebih mengutamakan sedekah dari pada zakat, bahkan dia menyamakan antara zakat dan sedekah. Ada juga yang membayar zakat ditujukan untuk pembangunan fisik masjid, padahal zakat itu ditujukan kepada manusia, bukan bangunan sebagaimana surat At-Taubah ayat 60 menyebutkan. Sehingga wajar bila masjid-masjid yang ada disekitar kita tidak mendatangkan berkah, jamaahnya sangat sedikit sekali, pengurusnya terjadi hubungan yang tidak harmonis, karena hak fakir miskin di sekitar masjid tidak ditunaikan, masjidnya besar lagi megah tapi masyarakatnya dalam keadaan miskin. Ada anak yang tinggal di sekitar masjid putus sekolah, banyak janda-janda miskin yang hidupnya susah, anak-anak yatim sangat memprihatinkan, karena hak mereka sudah diberikan untuk pembangunan masjid. Masjidnya megah tapi masyarakatnya miskin, jangankan untuk beribadah ke masjid sedangkan perut mereka dalam keadaan kosong, pakaian mereka compang camping dan tidak punya pekerjaan.
Ada diantara kita yang mengeluarkan zakat, diberikan untuk semua orang, masing-masing mendapat paling banyak lima puluh ribu rupiah, walaupun zakatnya sebesar lima juta atau lebih, diberikan untuk sekian orang, akhirnyapun tidak memadai, jangankan untuk membeli beras sekian liter, sedangkan untuk membeli lauk saja tidak cukup, besok mereka mengharapkan zakat lagi. Seharusnya zakat yang lima juta tadi diberikan untuk dua atau tiga orang saja, sehingga bisa digunakan untuk usaha, tahun depan mereka membayar zakat, tidak mengharapkan zakat lagi, inilah zakat produktif namanya.
Orang yang punya harta bisa saja mengatakan, inikan harta saya, hasil memeras keringat dan membanting tulang sendiri, kenapa harus diberikan kepada orang lain. Namun ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman keras terhadap orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Di akhirat kelak, harta benda yang disimpan dan ditumpuk tanpa dikeluarkan zakatnya, akan berubah menjadi azab bagi pemiliknya.Allah Subhanahu Wa Ta’ala  telah berfirman dalam surat Attaubah ayat 35 :“Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.



Walaupun harta itu hasil usaha sendiri, tapi ketahuilah bahwa itu adalah rezeki dari Allah, karunia dari Tuhan yang mencurahkan rezekinya kepada makhluk-Nya di dunia ini, di dalam harta kita ada hak orang lain yang harus dikeluarkan, ibarat kotoran maka dalam harta kita itu terdapat daki-daki yang harus dibuang agar harta itu bersih semua, pembuangan kotoran tadi melalui pembayaran zakat.   Jangan kita sok berkuasa dan sok kaya, tanpa karunia dari Allah tidak ada apa-apanya diri kita ini, kelak kita akan menyesal bila pelit, enggan membayar zakat, dikala ada kesadaran untuk mengeluarkan zakat, tapi orang lain tidak mau menerima lagi, karena waktu pembayaran zakat sudah limit,  Haritsah bin Wahab (al-Khuza'i ) berkata, "Saya mendengar Nabi bersabda, 'Bersedekahlah! Sesungguhnya akan datang atasmu suatu masa ketika seseorang berjalan membawa sedekahnya lalu ia tidak menjumpai orang yang mau menerimanya. Seseorang berkata, 'Seandainya kamu membawanya kemarin, niscaya saya terima. Adapun hari ini maka saya tidak membutuhkannya.'".
Zakat bermakna At-Thohuru, yang artinya membersihkan atau mensucikan. Makna ini menegaskan bahwa  orang yang selalu menunaikan zakat karena Allah dan bukan karena ingin dipuji manusia, Allah akan membersihkan dan mensucikan baik hartanya maupun jiwanya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam surat At-Taubah ayat 103: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan  dan mensucikan  mereka  dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu  ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Perintah diatas ditujukan kepada penguasa, agar mengambil zakat dari harta orang yang kaya, disini ada unsur  pemaksaan yang tujuannya untuk membersihkan harta pemilik harta, seharusnya sebelum dipaksa mengeluarkan zakat, maka sebaiknya wajib zakat  mengeluarkan zakat terlebih dahulu, biasanya terjadinya pemaksaan ketika diketahui sang wajib zakat enggan untuk mengeluarkan zakatnya, hampir sama dengan pajak, tanpa paksa dan injak tidak akan terkumpul pajak. Itulah makanya Abu Bakar As Siddik ketika Rasulullah shalallahu Alaihi Wasallam meninggal dunia, banyak terjadi pemurtadan dan keengganan dari mereka untuk mebayar zakat, sehingga kaum murtad itu harus diperangi.
Dalam hal ini, tepat sekali Prof Dr Hamka dalam buku Lembaga Hidup menyimpulkan, "Zakat bukanlah urusan kemerdekaan seseorang dengan harta bendanya, melainkan hak bagi negara Islam mengambil harta itu dan menyerahkan kepada yang berhak menerimanya.Peraturan zakat yang diurus oleh negara menjadi jalan tengah di dalam pertentangan orang yang bermodal dengan kaum miskin.Jadi, zakat itu usaha meringankan pertentangan kelas."
Zakat bermakna Al-Barakatu, yang artinya berkah. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu membayar zakat, hartanya akan selalu dilimpahkan keberkahan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kemudian keberkahan harta ini akan berdampak kepada keberkahan hidup. Keberkahan ini lahir karena harta yang kita gunakan adalah harta yang suci dan bersih, sebab harta kita telah dibersihkan dari kotoran dengan menunaikan zakat yang hakekatnya zakat itu sendiri berfungsi  untuk membersihkan dan mensucikan harta.


Keberkahan harta tidak tergantung dari banyaknya harta itu,  orang yang punya banyak harta belum tentu berkah, ada-ada saja jalan untuk menghabiskan harta itu, apakah mobilnya yang tertabrak, uang yang digondol maling atau musibah lainnya. Bila terjadi panen yang gagal, usaha dagang yang bangkrut, penghasilan berupa honor dan gaji yang hilang atau habis tidak menentu, pendapatan para pejabat yang mengakibatkan buruk bagi diri dan keluarganya, maka orang lansung menghubungkannya dengan zakat yang tidak beres, zakat yang tidak ditunaikan, tidak bayarkan sesuai dengan aturan agama padahal islam mewajibkan membayar zakat kepada ummatnya bila penghasilan sudah sampai pada satu nishab.
Saudaraku, kita selalu berharap agar harta kita bertambah sehingga malam jadi siang, siang jadi malam, bekerja apa saja untuk meraih harta yang banyak, agar deposito selalu bertambah, investasi tanah dan rumah ada dimana-mana, sawah dan ladang dengan panen yang berlimpah, kendaraan tiap tahun selalu berganti merk, selama masih dalam koridor mencari rezeki dari Allah tidak ada masalah, tapi hak dari harta itu harus ditunaikan zakatnya.

Saudaraku, kenapa kita enggan menunaikan zakat ? bukankah zakat yang kita keluarkan itu sangat minimal dibandingkan dengan banyaknya harta yang kita peroleh dari Allah, padahal dengan zakat yang minimalis kita akan memperoleh pahala yang maksimal dari Allah selain ketentraman hidup di dunia juga keselamatan di alam akherat, Wallahu A’lam [Kubu Dalam Padang,  Kamis 24  Rabiul Awal 1436.H/ 15 Januari 2015.M].

Artikel diatas dikirim oleh: mukhlisdenros@gmail.com
Dipublish oleh: bagindaery.blogspot.com

Haji Tanpa Berkah (Drs. St. Mukhlis Denros)


Haji yang mabrur berarti haji yang membuat orang yang menunaikannya menjadi baik bila sebelumnya ia orang yang tidak baik dan bila ia sudah baik akan bertambah kebaikannya yang tidak hanya dirasakan oleh diri dan keluarganya tapi juga oleh masyarakat banyak. Ini berarti, Seorang haji disebut mabrur hajinya bila kehidupannya sesudah menunaikan ibadah itu semakin disesuaikan dengan segala ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang dicontohkan
oleh Rasul-Nya.


Ummat islam sangat antusias untuk pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah Al Mukarramah sebagai usaha untuk melengkapi rukun islam yang lima, terbukti setiap tahun selalu banyak yang berangkat menunaikan haji, bahkan antrian untuk pergi haji sangat panjang sekali, kalau tahun ini kita mendaftar ke Kementerian Agama maka sepuluh atau dua tahun lagi baru bisa berangkat, ini antrian yang sangat panjang dan lama sekalli, sehingga wajar bila ada kebijakan di Malaysia untuk mendaftar haji itu sejak usia baligh bahkan saat anak-anakpun ada yang mendaftar haji sehingga dapat diperkirakan  tamat kuliah bisa berangkat haji.
Kewajiban haji bila sudah datang kepada mereka yang mampu harus dilaksanakan walaupun dengan rukhshah atau keringanan sebagaimana yang terjadi dizaman Rasulullah, Abdullah bin Abbas r.a. berkata, "Al-Fadhl bin Abbas mengiringi Rasulullah, lalu datang seorang wanita dari Khats'am. Kemudian al-Fadhl melihat kepadanya dan wanita itu melihat Fadhl. Lalu, Nabi mengalihkan wajah al-Fadhl ke arah lain. Wanita itu berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-Nya untuk haji. Ayahku terkena kewajiban itu, namun ia sudah tua bangka, tidak kuat duduk di atas kendaraan. Apakah saya menghajikannya?'Beliau menjawab, 'Ya.'Hal itu pada Haji Wada'."

  Banyak keutamaan dan pahala yang diberikan Allah kepada orang yang datang menunaikan ibadah haji, sejak dari ujung timur hingga ujung barat dengan syarat semata-mata mengharapkan ridha Allah, jauh dari motivasi duniawi; " Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.[Al Hajj 22;27-28].

Allah menggambarkan kedatangan ummat Islam untuk menunaikan ibadah haji dengan mengendarai  Unta yang kurus, hal ini menunjukkan jauh dan sukarnya perjalanan yang ditempuh oleh jemaah haji, apalagi mereka yang sudah lanjut usia tentu lebih sukar lagi perjalanan itu, tapi disana jugalah letak manisnya ujian dalam menjalankan ibadah kepada Allah, bahkan kadangkala mereka berazham untuk wafat di Mekkah saja, yaitu tanah suci tempat ummat islam menunaikan ibadah besar setiap tahun.  Ibnu Umar r.a. berkata, "Saya melihat Rasulullah mengendarai kendaraannya di Dzul Hulaifah. Kemudian beliau membaca talbiyah dengan suara keras sehingga kendaraan itu berdiri tegak."
 
Karena sukarnya perjalanan untuk menunaikan ibadah haji itu, tidak sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, selain membutuhkan fisik yang sehat dan dana yang tidak sedikit juga membutuhkan konsentrasi dan kekhusu'kan yang prima, sehingga wajar bila ibadah haji merupakan salah satu bentuk jihad, Umar r.a. berkata, "Pergilah dengan berkendaraan untuk mengerjakan ibadah haji. Sebab, sesungguhnya haji itu adalah salah satu dari dua macam jihad.".

Haji termasuk amal yang utama dari amal-amal yang lain, setelah iman dan jihad, Abu Hurairah r.a. berkata, "Nabi ditanya, 'Amal apakah yang lebih utama?' Beliau bersabda, 'Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.' Ditanyakan, 'Kemudian apa?' Beliau bersabda, 'Berjuang di jalan Allah.' Ditanyakan, 'Kemudian apa?' Beliau bersabda, 'Haji yang mabrur.'.

Aisyah Ummul Mukminin r.a. berkata, "Wahai Rasulullah, kami melihat bahwa jihad (berperang) itu seutama-utama amal, apakah kami tidak perlu berjihad?" Nabi saw. bersabda, 'Tidak, bagi kalian jihad yang paling utama adalah haji mabrur." (Dalam satu riwayat: Rasulullah ditanya oleh istri-istri beliau tentang haji, lalu beliau bersabda, "Sebaik-baik jihad adalah haji.".
Bagi yang belum mendapati giliran haji sementara dana ada, kesempatanpun tidak akan terulang dua kali sehingga mereka melakukan ibadah umrah, bahkan ada pula yang sudah berulang kali melakukan umrah sementara ibadah haji belum dilakukan, tidak menutup mata pula berlanjutkan dengan umrah sekian kali juga. Salah satu memotivasi kuatnya keinginan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah adalah besarnya pahala yang akan diperoleh dalam melakukan ibadah ini.
Kita ingin seluruh ibadah yang dilakukan selain mendapat pahala dari Allah juga berdampak baik di dunia ini, sebagaimana ibadah haji, nilai yang baik bagi pelakunya adalah memperoleh haji mabrur.
Secara harfiyah, mabrur artinya baik. Haji yang mabrur berarti haji yang membuat orang yang menunaikannya menjadi baik bila sebelumnya ia orang yang tidak baik dan bila ia sudah baik akan bertambah kebaikannya yang tidak hanya dirasakan oleh diri dan keluarganya tapi juga oleh masyarakat banyak. Ini berarti, Seorang haji disebut mabrur hajinya bila kehidupannya sesudah menunaikan ibadah itu semakin disesuaikan dengan segala ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul-Nya.
Tentu bukanlah haji mabrur bila harta yang diperoleh untuk berangkat kesana dari harta yang tidak halal, hasil korupsi, hasil manipulasi dan hasil kolusi misalnya, padahal kewajiban untuk menunaikan ibadah haji itu hanya ditujukan kepada mereka  yang mampu, yaitu mampu meraih harta dengan cara yang halal. Kalau tidak ada harta yang halal maka seseorang tidak wajib haji, walaupun banyak hartanya tapi hasil yang tidak bersih. Semua ibadah termasuk ibadah haji adalah ibadah yang diawali dengan segala yang baik maka hasilnyapun haruslah baik.
Namun kebaikan yang harus ditunjukkan tidak hanya pada sepekan atau dua pekan sesudah pulang haji, bukan pula sebulan atau dua bulan atau setahun dua tahun. Tapi kebaikan itu harus dibuktikan hingga akhir hayatnya. Karenanya, ibadah yang menggabungkan seluruh rangkaian makna ibadah di dalam Islam diwajibkan hanya sekali seumur hidup sehingga pengaruh positifnya seharusnya terbawa sampai mati, bila itu yang terjadi, maka pantaslah kalau seorang haji itu akan memperoleh imbalan berupa surga sebagaimana hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam: “Haji yang mabrur tidak ada balasannya selain syurga “(HR.Bukhari dan Muslim).
Apakah mungkin ibadah haji kita bernilai mabrur dan memperoleh syurga dari Allah bila sikap dan kepribadian yang muncul dalam kehidupan sehari-hari jauh berbeda dengan nilai-nilai islam. Seharusnya keislaman seorang haji semakin meningkat karena dia meresapkan keimanan itu hingga relung sanubarinya, pengetahuan agamanya semakin luas karena dahaga terhadap ilmu semakin menjadi-jadi, dia merasakan bahwa ilmu selama ini tidaklah seberapa dibandingkan tanggungjawabnya sebagai muslim.
Saudaraku, apakah mungkin seorang yang sudah menunaikan ibadah haji meninggalkan shalat dan puasa, tidak membayar zakat, durhaka kepada orangtua,  tidak berjilbab bagi muslimah, masih asyik dengan goyang dangdutnya, terlibat praktek perdukunan, kurafat dan tahyul serta bid’ah, mungkinkah  kita akan memperoleh haji mabrur bila ada kemenakan kita yang berjudi kita mengucapkan “Astaghfirullah”, tapi kalau menang judinya kita berkata, “Alhamdulillah”.
Haji mengandung pelajaran penting bagi 'Aqidah seorang Muslim.Seharusnya, yang banyak diperhatikan oleh jamaah haji adalah evaluasi terhadap pemahaman tauhid yang ada pada diri masing-masing.Apakah pemahamannya selama ini tentang syahadat tauhid sudah benar atau belum.
Jika ilmu tentang syahadat sudah ia miliki, bagaimana implementasinya dalam kehidupan? Apakah ilmu itu sudah membuahkan hasil tunduk dan pasrah secara mutlak kepada Allah Swt?Apakah mereka sudah benar-benar mengilahkan (menuhankan) Allah swt atau belum?
Jika ya, niscaya akan terlihat efeknya dalam sepak terjangnya. Bila ia seorang politisi, tentunya ia tidak akan haus jabatan dan pemburu kekuasaan. Jika ia seorang pebisnis, tentu ia tidak menuhankan keuntungan materi.
Jadi pertanyaan-pertanyaan ini perlu dihidupkan terus menerus oleh para jamaah, agar kepergiannya ke tanah haram membuahkan hasil berupa perubahan dalam garis hidupnya. Tanpa melakukan ini, besar kemungkinan tidak ada yang berubah, sehingga setelah ia kembali dari haji, mentalnya sama seperti ketika ia belum berangkat.
Jika ia melakukan korupsi sebelum haji, maka setelah hajipun perbuatan haram itu masih tetap berlanjut. Jika sebelum haji, ia hampir tidak pernah datang ke masjid, maka setelah hajipun ia juga jarang berjamaah ke masjid.
Tidak sedikit muslim bahkan aktifis Islam, yang bolak balik haji dan umroh (bahkan iktikaf asyrul awakhir bulan Ramadhan di Masjidil Haram), tapi sesampainya di tanah air, watak aslinya tetap muncul, enggan salat berjamaah di Masjid, ambisi kekuasaannya sampai ke ubun-ubun, kehausannya pada kesenangan duniawi mengalahkan kaum kuffar.
Manusia semacam ini, jelas mengkhianati iqrar tauhid yang ia ucapkan dalam manasik haji atau umroh.[Dr. Daud Rasyid, MA, Haji dan Ideologi Kekuasaan Republika Online, Rabu, 12/11/2008 12:26 WIB].



Semua berangkat dari pemahaman dan pengamalan agama yang dimiliki selama ini, bila harta yang diperoleh tidak dengan jalan berkah, maka ibadah haji yang dilakukanpun  tidaklah berkah, tidak mendatangkan kebaikan kepada pelakunya walaupun berkali-kali menunaikan ibadah haji, haji yang berkah yaitu haji yang mabrur, haji yang mabrur diawali dari harta yang berkah.
Sulit rasanya mencari orang yang bersih dari dosa dan steril dari maksiat, selama masih bernama manusia maka selama itu pula kita masih menyandang dosa dan maksiat sebelum dosa itu diampuni  oleh Allah, peluang untuk diampuni itu salah satunya terdapat dalam menunaikan ibadah haji sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam: Barangsiapa mengerjakan haji dan ia tidak bercampur pada waktu terlarang  serta  tidak  berbuat  maksiat, maka ia akan  kembali  seperti saat  dilahirkan  ibunya (HR. Bukharidan Muslim).



Lebih jauh lagi, imbalan bagi mereka yang menunaikan ibadah haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali syurga, syurga bukanlah imbalan yang ringan, kalau saja kita punya kekayaan seluruhnya dijual untuk membeli syurga maka tidak akan terbeli syurga itu, syurga itu sangatlah mahal, tapi bisa dibeli dengan haji mabrur.“Umrah  kepada  umrah  menghapuskan  dosa  yang terdapat diantara keduanya, sedang haji yang  mabrur  tidak  ada  ganjarannya  selain  surga (HR. Bukharidan Muslim).
Saudaraku, berapa banyak harta yang sudah dikeluarkan untuk menunaikan ibadah haji, waktu yang sekian hari tersita, belum lagi tenaga dan fikiran yang terkuras untuk itu, yang  seharusnya dosa dan maksiat tidak lagi menjadi konsumsi kita apalagi sudah bergelar haji, sehingga jangan disalahkan masyarakat bila cap tertentu ditujukan kepada orangyang menunaikan ibadah tapi prediket haji itu hanya untuk menyandang status sosial saja, Wallahu A’lam [Kubu Dalam Padang,  Kamis 24  Rabiul Awal 1436.H/ 15 Januari 2015.M].

Artikel diatas dikirim oleh: mukhlisdenros@gmail.com
Dipublish oleh: bagindaery.blogspot.com

TAKUT NERAKA TAK JERA MAKSIAT (Drs. St. Mukhlis Denros)


Siapa yang tidak takut dengan neraka, sengsaranya manusia hidup di dunia
maka kesengsaraan di akherat belumlah seberapa, padahal kesengsaraan di
dunia paling lama hanya enam puluh tahun, tapi kesengsaraan di akherat,
abadi dan selamanya, kecuali  orang-orang  yang dirahmati-Nya  dan
 mendapat syafaat rasul dengan  izin-Nya.
Sejak kecil kita sudah dikenalkan  oleh orangtua di rumah atau guru di sekolah dengan dua tempat yang sangat kontradiktif antara satu dengan lainnya, bahkan keberadaan dua tempat tersebut jauh berbeda dengan suasana di dunia walaupun disana ada kesenangan dan kesengsaraan, tempat itu adalah syurga dan neraka. Syurga digambarkan dengan segala kesenangan sedangkan neraka tempat segala kesengsaraan berpadu di dalamnya.



Kalau ada anak kecil berlaku tidak baik, kita lansung menegurnya, jangan atau awas nanti masuk neraka !, mau masuk neraka ? disertai nada ancaman yang menakutkan, dan memang neraka selalu digunakan untuk menakut-nakuti orang yang berperangai tidak baik. Kenapa kita takut dengan neraka?
Neraka adalah sebuah tempat (yang sangat luas yang diciptakan oleh Allah) untuk menyiksa hamba-hamba-nya (yang bermaksiat, membangkang maupun kafir kepadanya), dan neraka itu terus merasa kurang untuk diisi, sampai Allah ta’ala meletakkan (tapak) kakinya, kemudian neraka berkata, "cukup, cukup!" (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat al-bukhari dan muslim dari abu hurairah).


Jangan dikira dengan banyaknya manusia yang masuk neraka lalu neraka akan penuh segera, neraka itu tempat yang sangat luas, yang tidak akan cukup-cukupnya diisi oleh hamba yang durhaka. Rasulullah menyatakan tentang luasnya neraka itu seperti seseorang yang dimasukkan ke dalamnya, gerahamnya saja sebesar bukit Uhud, itu baru geraham, bagaimana wajah dan seluruh tubuh penghuni neraka itu.
Neraka mempunyai tujuh pintu, setiap pintu itu akan dimasuki oleh golongan-golongan pembangkang dan pelaku maksiat tertentu. Allah ta’ala berfirman,"jahanam itu mempunyai tujuh pintu, tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka." (al-hijr: 44).
Tidak terlalu antri untuk memasukkan calon penduduk neraka ke dalamnya karena tersedia pintu-pintu yang lebar sehingga dapat memasukkan semuanya tanpa tersisa, apalagi  malaikat yang menghalaunya sangat keras lagi bengis, yang selalu taat atas perintah Allah. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At Tahrim 66;6]
Panasnya neraka tak terhingga, karena dihidupkan selama seribu tahun sehingga warnanya menjadi putih, kemudian dihidupkan selama seribu tahun lagi sehingga warnanya berubah menjadi merah, dan dihidupkan kembali selama seribu tahun lagi sehingga menjadi hitam. Mari kita bayangkan, alangkah panasnya neraka, sehingga warnanya pun bisa menjadi hitam kelam. tak ada satu pun makhluk yang ada di atas bumi ini yang sanggup menahan panas yang begitu dahsyat ini. rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,"neraka kalian adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari neraka jahanam." (hr. al-bukhari dan muslim).
Panas api saat ini, membuat baja yang begitu keras dan kokoh bisa menjadi meleleh. lalu bagaimana dengan tubuh-tubuh kita yang begitu lembek, ditambah dengan kadar panas yang melebihi dari panas dunia seukuran tujuh kali lipat?
Rasulullah menyebutkan tentang azab neraka yang akan diterima oleh Abu Thalib, ini azab yang teringan yang diberikan kepadanya, begitu dipasangkan terompahnya dalam neraka itu, maka mendidik semua tubuhnya, meleleh karena panasnya yang luar biasa.
Api neraka berkobar sangat dahsyat, dan menyambar semua penghuninya tanpa belas kasihan.  Allah ta’ala berfirman;"sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana, seolah-olah ia iringan unta yang kuning." (al-mursalat: 32, 33).
Di samping itu, api neraka juga bisa marah dan menggeram-geram ketika melihat rombongan calon penghuninya yang digiring untuk memasuki tempat tinggal mereka.  Allah ta’ala berfirman,"apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya."(al-furqan: 12).
Bahan bakar neraka terdiri dari manusia dan bebatuan. sebagaimana Allah ta’ala berfirman di dalam surat al-baqarah,"peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang kafir." (al-Baqarah: 24).
Di antara sabda Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang membenarkan pendapat bahwa surga dan neraka telah diciptakan Allah sejak awal ialah: “Sesungguhnya bila salah seorang di antaramu meninggal, maka diperlihatkan kepadanya tempatnya di waktu pagi dan petang. Jika ia termasuk ahli surga, maka ia ahli surga. Dan jika termasuk ahli neraka, maka ia ahli neraka. Lalu dikatakan kepadanya: ”Inilah tempatmu sehingga Allah bangkitkan kamu pada hari Kiamat.” (HR Bukhary)
  Bahkan ada lagi suatu hadits panjang yang menggambarkan bahwa surga dan neraka telah Allah ciptakan dahulu dan bahwa Allah telah menyuruh Malaikat Jibril untuk melihat dan memberikan penilaian terhadap keduanya. Kemudian Allah melapisi masing-masing surga dan neraka dengan lapisan yang bisa menyebabkan manusia tertipu akan hakikat keduanya. Dan pelapis itulah –wallahu a’lam- alam fana dunia yang sedang kita jalani saat ini. Dunia yang fana ini memang sangat kaya dengan tipuan mata bagi manusia.
“Ketika Allah menciptakan surga Dia berfirman kepada Jibril: ”Pergi dan lihatlah surga.” Maka Jibril pergi dan melihatnya. Kemudian ia datang dan berkata: ”Demi keagunganMu ya Rabb, tidak seorangpun yang mendengar perihal surga melainkan pasti ingin memasukinya.” Kemudian Allah lapisi surga dengan al-makaarih (hal-hal yang tidak disukai manusia) lalu Allah berfirman: ”Hai Jibril, pergi dan lihatlah surga.” Maka Jibril pergi dan melihatnya. Kemudian ia datang dan berkata: ”Demi keagunganMu ya Rabb, sungguh aku khawatir tidak seorangpun bakal ingin memasukinya.” Ketika  Allah menciptakan neraka Dia berfirman kepada Jibril: ”Pergi dan lihatlah neraka.” Maka Jibril pergi dan melihatnya. Kemudian ia datang dan berkata: ”Demi keagunganMu ya Rabb, tidak seorangpun yang mendengar perihal neraka bakal mau memasukinya.” Kemudian Allah lapisi neraka dengan asy-syahawaat (hal-hal yang disukai manusia) lalu Allah berfirman: ”Hai Jibril, pergi dan lihatlah neraka.” Maka Jibril pergi dan melihatnya. Kemudian ia datang dan berkata: ”Demi keagunganMu ya Rabb, sungguh aku khawatir tidak akan ada orang yang bakal lolos dari api neraka.” (HR Abu Dawud)
Saudaraku, Banyak di antara kita yang salah presepsi bahwa neraka itu hanya untuk orang-orang kafir dan munafik. Ada pula yang lebih keliru lagi sambil berspekulasi : Hidup ini hanya sekali. Akhirat adalah urusan nanti.Akibatnya, kita merasa tenang-tengang saja setelah kita menjadi Muslim dan Mukmin secara formal. Lebih celaka lagi, berbagai dosa dan maksiatpun dilakukan tanpa malu pada Allah Ta’ala, Tuhan Pencipta. Perlu kita ketahui bahwa formalitas keislaman dan keimanan kita sama sekali tidak akan menolong kita di akhirat nanti jika kita tidak melaksanakan kosekuensi-konsekuensi keislaman dan keimanan itu secara baik dan utuh.
Sesungguhnya Neraka itu bukan hanya tempat hukuman yang amat pedih bagi orang-orang kafir, musyrik dan munafik. Neraka juga diperuntukkan bagi orang-orang Mu’min yang tidak mentaati (durhaka) dan lalai terhadap sistem dan aturan kehidupan yang Allah tetapkan untuk manusia selama mereka hidup di dunia .Akan tetapi, neraka juga menjadi tempat hukuman bagi orang-orang yang beriman yang tidak menjalankan nilai-nilai keimanan secara utuh dan menyeluruh saat mereka hidup di dunia. Mereka ini disebut orang-rang yang durhaka pada Allah dan Rasul-Nya dan lalai dari mengingat Allah dan ancaman akhirat.
Dengan iman yang penuh dengan syirik, kurafat dan tahyul, kita merasa yakin mengantongi tiket masuk syurga dan terjauh dari neraka, padahal prilaku syirik seperti berobat ke dukun, memakai jimat, jampi-jampi serta sihir menghalangi seseorang ke dalam syurga dan mengantarkannya ke neraka. Walaupun kita seorang muslim yang shalat, namun sering meninggalkan shalatnya kelak  dimasukkan ke dalam neraka Saqar namanya,  saat mereka sudah keluar dari neraka shaqar itu terjadi dialog dengan penduduk syurga yang sudah lama didalamnya, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,[Al Mudatsir 74;42-43].

Itu baru masalah shalat yang sering ditinggalkan, bagaimana kalau tidak puasa, tidak membayar zakat, enggan menunaikan ibadah haji padahal mampu, lebih-lebih kalau kita berbuat maksiat lainnya seperti zina, membunuh, mabuk-mabukan, korupsi dan yang lainnya, jelas peluang untuk masuk neraka sangat besar, kalau sebelum wafat kita tidak bertaubat  kepada Allah, itupun kalau Allah menerima taubat kita.
Siapa yang tidak takut dengan neraka, sengsaranya manusia hidup di dunia maka kesengsaraan di akherat belumlah seberapa, padahal kesengsaraan di dunia paling lama hanya enam puluh tahun, tapi kesengsaraan di akherat, abadi dan selamanya, kecuali  orang-orang  yang dirahmati-Nya  dan mendapat syafaat rasul dengan  izin-Nya.
Seharusnya, ketika kita merasa takut dengan azab neraka, keimanan kita bertambah dengan menjauhkan diri dari segala yang merusak kemurnian iman, tanpa terlibat dengan praktek syirik yang menodai tauhid. Selayaknya dikala kita takut dengan neraka tidak akan berbuat maksiat lagi, memperbaharui iman dan keinginan untuk beribadah semakin banyak.  Stoplah dan Janganlah kita memperturutkan keinginan untuk berbuat dosa dan maksiat terus, jangan lagi meninggalkan shalat, puasalah yang baik, kalau sudah sampai khaul dan nishabnya maka tunaikanlah zakat, bila sudah mampu maka tunaikanlah ibadah haji, semua itu ujud ketaatan kepada Allah yang akan melindungi kita dari azab neraka. Wallahu A’lam [Kubu Dalam Padang,  Kamis  24  Rabiul Awal 1436.H/ 15 Januari 2015.M].

Literatur:
1. Al Qur’an dan terjemahannya, Depag RI, 1998/1999
2. Mukhlis Denros, Kumpulan Ceramah Praktis, 1999
3. Fathuddin Ja'far,Dosa-Dosa Yang Menyebabkan Pelakunya Masuk Neraka, eramuslim.com.Jumat, 05/02/2010 09:26 WIB
4. Waznin mahfud,ngerinya neraka,kumpulan khutbah jum’at pilihan setahun edisi ke-2, darul haq Jakarta
5. Ihsan Tandjung Surga Dan Neraka Sudah Tercipta Sejak Dahulu, eramuslim.com Minggu, 8 Desember 2013 15:08 WIB

Artikel diatas dikirim oleh: mukhlisdenros@gmail.com 
Dipublish oleh: bagindaery.blogspot.com

MENGHARAP SYURGA TANPA IBADAH (Drs. St. Mukhlis Denros)


“Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya maka dia berkata; “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini) dan aku tidak mengetahui apakah hisab (perhitungan amal) terhadap diriku. Duhai seandainya kematian itu adalah kematian total (tidak usah hidup kembali). Hartaku juga sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku, kekuasaanku pun telah lenyap dari-padaku”.(Al-Haqqah 25-29)
Al Imam Al Hasan bin Ahmad Al ‘Athar Al Hamadzani dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abi Hatim berkata: “Aku bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah radhiallahu ‘anhuma tentang madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mereka peroleh dari ulama di seluruh negeri.” Kemudian beliau menyebutkan secara global akidah keduanya dan berkata: “Surga dan Neraka itu benar, keduanya adalah makhluk, keduanya tidak akan binasa. Surga sebagai balasan untuk wali-wali-Nya dan Neraka sebagai hukuman bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya, kecuali orang yang dirahmati.”
Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi.Kenikmatan itu adalah Surga.Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Diantaranya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : “(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga).Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah).Berada dalam Surga kenikmatan.Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya :

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman : 56)

“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman : 58)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37).
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 107-108: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya. (QS Al-Kahfi: 107-108).
Rasulallah SAW bersabda, sebagaimana disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim dari hadits riwayat Abu Hurairah, (Allah berfirman, Aku telah mempersiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih surga yang (kenikmatannya) belum pernah ada mata yang telah melihat, dan tidak pernah ada telinga yang telah mendengar maupun telah terdetik di hati manusia).
Dengan kasih Allah dan rahmat-Nya kepada kita,  Dia telah membentangkan gambaran surga yang nikmat itu, dengan menekankan keabadian dan kesempurnaan, tanpa kekurangan sedikitpun, tidak panas atau dingin, tidak lelah dan tidak sibuk dengan hiruk pikuk, tak ada kerugian, tidak ada yang dicurangi. Sekali teguk kenikmatan di surga melupakan semua penderitaan dalam hidup ini.Timbul pertanyaan, mengapa semua ini diceritakan wahai hamba-hamba Allah? Hal ini semata untuk mengajak orang-orang beriman ke surga dengan penuh semangat. Agar mereka bergegas menuju berbagai kebahagiaan, taman dan segala istananya.  Sebab surga adalah tempat tinggal yang Allah ciptakan dengan tangan-Nya sendiri, dipersiapkan sebagai rumah untuk orang-orang yang dicintai-Nya agar mengisinya dengan rahmat, kemuliaan dan ridha-Nya.Dia menggambarkan kenikmatannya sebagai kemenangan besar, pemiliknya sebagai raja diraja, segala kebaikan dan kemurniannya dijaga dari setiap cacat dan kekurangan. Celakalah jiwa-jiwa yang tidak menginginkan hal itu, tidak ingin melihatnya, dan tidak berusaha untuk masuk ke dalamnya!
Namun, sadarkah kita, keinginan masuk surga dan meraih pahala sering hanya dusta belaka?Bukankah sering keinginan itu hanya ada di lisan kita, tidak benar-benar berasal dari lubuk hati kita dan termanifestasikan dalam amal-amal kita? Buktinya, tak sedikit orang justru melakukan amal-amal yang menjauhkan diri mereka dari kemungkinan masuk surga dan meraih pahala. Mereka malah makin mendekatkan dirinya ke neraka dan 'memilih' siksa. Di mulut mereka sangat ingin masuk surga dan enggan masuk neraka. Namun kenyataannya, mereka enggan menunaikan shalat, tak mau melaksanakan kewajiban menuntut ilmu, tidak berbakti kepada orang tua, malas berdakwah, cuek terhadap kemungkaran, dan lain-lain. Semua itu pasti akan menjaukan diri mereka dari surga dan malah bisa menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Di lisan, mereka ingin pahala dan tak mau disiksa.Namun kenyataannya, mereka suka berbohong, berakhlak buruk, berlaku sombong dan merendahkan orang lain, memamerkan aurat, berzina, korupsi, memakan riba, mendzalimi orang lain, dan lain-lain. Semua itu pasti mengundang siksa dan menjauhkan mereka dari pahala.
Maka dari itu, tentu benar sabda Baginda Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra., "Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan." Para Sahabat heran, bagaimana mungkin ada orang yang enggan masuk surga? Tentu tidak masuk akal! Karena itu, mereka kemudian bertanya, "Ya Rasulullah, siapakah yang enggan masuk surga?"Baginda menjawab, "Mereka yang menaatiku pasti bakal masuk surga. Sebaliknya, mereka yang tidak mau mengikutiku, itulah yang enggan masuk surga."(HR Bukhari dan Ahmad).
Saudaraku, ada suara lantang menyebutkan tentang kehebatan seseorang, suara itu mungkin suara kita yang berkata,”Waktu kecil di manja-manja, waktu muda kaya raya, hidup berpoya-poya, kalau mati masuk syurga”, dengan gaya demikian layakkah kita masuk syurga, akan dimasukkan ke dalam syurga mana kita kelak, bila di dunia hidup jauh dari nilai-nilai agama,  hidup yang bergelimang dengan kekayaan diiringi dengan berpoya-poya jelas bukanlah watak orang yang menghendaki untuk masuk syurga, janganlah kita mengklaim diri akan masuk syurga hanya dengan mengandalkan kekayaan tanpa iman yang bersih dan tidak dengan amal shaleh, nanti ketika di akherat kekayaan dan kekuasaan itu tidak akan mampu untuk menyelamatkan kita,      “Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya maka dia berkata; “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini) dan aku tidak mengetahui apakah hisab (perhitungan amal) terhadap diriku. Duhai seandainya kematian itu adalah kematian total (tidak usah hidup kembali). Hartaku juga sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku, kekuasaanku pun telah lenyap dari-padaku”.(Al-Haqqah 25-29)

Dalam ayat ini Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya juz IV hal 501, menerangkan bahwa ayat tersebut menggambarkan keadaan orang-orang yang sengsara. Yaitu manakala diberi catatan amalnya di padang pengadilan Allah dari arah tangan kirinya, ketika itulah dia benar-benar menyesal, dia mengatakan penuh penyesalan: ‘Andai kata saya tidak usah diberi catatan amal ini dan tidak usah tahu apakah hisab (perhitungan) terhadap saya (tentu itu lebih baik bagi saya) dan andaikata saya mati terus dan tidak usah hidup kembali. Coba perhatikan ayat selanjutnya:  “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya, kemudian masukkanlah dia ke dalam api Neraka yang menyala-nyala kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta” (Al-Haqqah ayat 30-32).
    Bagi kaum beriman yang mengetahui makna yang terkandung dalam ayat tersebut, menjadi tergetarlah hatinya, akan menetes air mata mereka, terisaklah tangis mereka dan keluarlah keringat dingin di tubuh mereka, seakan mereka saat itu sedang merasakan peristiwa yang sangat dahsyat. Maka tumbuhlah rasa takut yang amat mendalam kepada Allah kemudian berlindung kepada Allah agar tidak menjadi orang-orang yang celaka seperti ayat di atas.
Saudaraku, dengan rahmat Allah, masih ada waktu diberikan-Nya untuk kita mempersiapkan diri dengan membenahi iman, agar iman yang kita miliki adalah iman yang bersih dari syirik, ibadah yang kita lakukan adalah ibadah yang shahih yaitu ibadah yang bersih dari bid’ah serta akhlak yang kita miliki adalah akhlak yang mulia dengan menjadikan Rasulullah sebagai teladan, tanpa iman yang bersih, tanpa ibadah yang shahih mustahil syurga kita masuki, bermohonlah kita kepada Allah agar dikarunia rahmat dan semangat iman yang memicu kita untuk beribadah sebagai salah satu sarana untuk memasuki syurga-Nya, rahmat atau kasih sayang Allah itulah yang memasukkan seseorang ke dalam syurga-Nya, Wallahu A’lam [Kubu Dalam Padang,  Kamis  24  Rabiul Awal 1436.H/ 15 Januari 2015.M].
Literatur:
1. Al Qur’an dan terjemahannya, Depag RI, 1998/1999
2. Mukhlis Denros, Kumpulan Ceramah Praktis, 1999
3. Sekilas tentang Neraka dan Surga (Keadaan dan Para Penguninya) NuansaIslam.Mujahidah, 11 Mei 2011
4. Khutbah Jum’at, Peristiwa Hari Akhir, Abu Adam Al-Khoyyat (Hartono)www.alsofwah.or.id/khutbah

Artikel diatas dikirim oleh: mukhlisdenros@gmail.com 
Dipublish oleh: bagindaery.blogspot.com

WAKTU YANG TERSIA-SIA (Drs. St. Mukhlis Denros)

Kita hidup di dunia hanya menghabiskan waktu yang disediakan Allah, tidak bisa ditambah dan tidak bisa pula untuk dikurangi, waktu yang sedikit itu seharusnya dimanfaatkan untuk berbuat baik sehingga waktu yang berupa usia itu bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga dan orang lain, rugilah orang yang menghambur-hamburkan usianya di dunia ini dengan hal-hal negative.
Sejak kejadian manusia yang hanya dengan setetes mani, dari waktu yang ditentukan akhirnya lahirnya sang bayi, hingga sekian puluh tahun kembali lagi kepada asalnya yaitu tanah dengan kematian. Sehingga Rasul pernah bersabda, Ada orang yang pagi tadi beriman kepada Allah tapi setelah sorenya dia kafir, ada juga orang yang tadinya kafir akhirnya menjadi orang yang taat. Semua itu karena perjalanan waktu, itulah makanya dalam islam ada yang disebut dengan khusnul khatimah bagi kehidupan manusia yaitu akhir kehidupan yang baik.

"Allah, dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, Kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, Kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah Kuat itu lemah (kembali) dan beruban. dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa"[Ar Ruum 30;54].
Waktu yang begitu berharganya, sampai setiap orang memiliki persepsi masing-masing terhadap waktu:
Bagi  orang  barat  waktu  adalah  uang.
Bagi  seorang  pelukis waktu adalah karya.
Bagi seorang pelajar waktu adalah ilmu
Bagi seorang pekerja kuli bangunan waktu adalah upah dan
Bagi seorang pejabat nakal waktu adalah kesempatan.

         Waktu pula bagaikan sebuah pedang, jika kita tidak bisa mengunakanya, maka ia akan menebas leher kita. Waktu pun bagaikan sebuah kendaraan, jika kita tidak bisa mengunakanya, maka kita akan terlindas olehnya.

       Dari semua istilah dan persepsi yang digunakan, pada hakekatnya waktu akan kembali pada satu kepastian dan satu kenyataan. Atau mungkin waktu hanya sebuah angin lalu yang memindahkan seseorang dari masa lalu ke masa yang akan datang, tidak ada hasil, tidak ada karya, waktu tercecer begitu saja di berbagai tempat, di warung, di terminal, di jalan ataupun di tempat-tempat lainnya.
 
   Dalam waktu tertentu ada orang yang mampu membuat jembatan layang, pesawat terbang, bangunan megah, segudang karya keilmuan, dan sebagainya. Dan ada pula yang sama sekali yang tidak menghasilkan apa-apa. Ia hanya terdiam bermalas-malasan tanpa ada usaha, tapi ketika kenyataan itu datang, ia selalu menyalahkan kaadaan. Oleh sebab itu Allah Subhanaha Wa Ta’ala  berfirman dalam sutat Al-'Ashr,  "Demi waktu, sesungguhnya mausia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjalan amal shaleh…"

Jika orang-orang non Muslim bekerja di dunia hanya untuk mengejar kesenangan dan keduniaan, yang sifatnya hanya sementara, maka bagi orang islam bukan hanya dunia yang dicari, tapi juga akhirat yang menjadi tujaun.

Waktu akan berjalan sesuai dengan sunnatullah, apapun yang terjadi dan apapun yang dialami oleh manusia, apakah hidup penuh dengan genangan darah atau bergelimang kemewahan, apakah menemukan keberhasilan atau terpuruk pada kegagalan maka waktu pasti bergerak dengan pastinya tanpa ada yang menghalangi, semuanya akan selesai sesuai dengan waktunya.
Demi waktu. Demikian Alquran menegaskan pentingnya waktu. Isyarat tertulis seperti tercantum pada surah al-Ashr (QS 103) ini mengingatkan manusia untuk selalu menghitung dan mempertimbangkan waktu. Bahkan, setelah bersumpah demi waktu, Allah kemudian menyatakan bahwa manusia akan rugi, kecuali orang yang beriman dan beramal saleh. Lebih dari itu, surah ini juga menggarisbawahi posisi orang-orang yang senantiasa saling mengingatkan dalam kebajikan dan kesabaran.Mereka adalah orang-orang yang suka memperhatikan waktu.
Kita hidup di dunia hanya menghabiskan waktu yang disediakan Allah, tidak bisa ditambah dan tidak bisa pula untuk dikurangi, waktu yang sedikit itu seharusnya dimanfaatkan untuk berbuat baik sehingga waktu yang berupa usia itu bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga dan orang lain, rugilah orang yang menghambur-hamburkan usianya di dunia ini dengan hal-hal negative.
Ustadz Aidh Abdullah al-Qarni memberikan taujihnya kepada kita tentang memanfaatkan usia seefektif mungkin di dunia ini sebagaimana penuturannya dibawah ini;
Tiap-tiap sesuatu dapat dicari penggantinya,kecuali usia. Dan, tiap-tiap sesuatu bila telah lenyap, adakalanya dapat dikembalikan melalui suatu jalan atau lainnya, kecuali usia. Karena apa yang telah berlalu dari usia tidak dapat dikembalikan dan ia pergi untuk selamanya.
Apa yang sudah berlalu dari usia, berarti lenyap yang diharapkan masih belum pasti, dan bagimu hanyalah saat sekarang yang sedang dijalani.Allah Ta'ala berfirman "Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?" (QS. Fathir [35] : 37)
Huruf ma disebutkan dalam penggunaannya adakalanya sebagai huruf maushul yang berarti: "Dalam yang cukup untuk berpikir" atau sebagai huruf mashdar yang berarti: "Untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir" dalam kehidupan ini. Allah Ta'alaberfirman :"Allah bertanya: 'Berapa tahunkah lamanya kamu tinggi di bumi?' Mereka menjawab: 'Kami tinggal di (dibumi) sehari atau setengah hari'." (QS. Al-Mu'muninun [23] : 112-113)
Allah Ta'ala berfirman :"Kamu tidak tinggal (di bumi), melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui. Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenarnya, tidak ada tuhan(yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) Arsy yang mulia." (QS. Al-Mu'muninun [23] : 114-116)
Ibnu Abbas ra telah menceritakan bahwa Rasulullah shallahu alaihi was sallam pernah bersabda: "Ada dua nikmat yang keduanya memperdaya kebanyakan manusia,yaitu sehat dan waktu luang." (HR. Muslim)
Hal yang paling menyia-nyiakan usia adalah melakukan kedurhakan. Ulama salaf yang shalih sangat antusias dalam memelihara usia dan menggunakan sebaik-baiknya. Apabila menggunakan usianya untuk maksiat, berarti lenyaplah dunia dan akhiratnya.Semoga Allah melindungi kita dari kedurhakaan.
Sesungguhnya ulama salaf dahulu menjauhi banyak hal yang diperbolehkan karna kawatir terjerumus ke dalam hal yang dimakruhkan. Berbeda dengan kita sekarang, sesungguhnya kita tidak ragu lagi mengerjakan kedurhakaan, bukan lagi sekadar hal-hal yang diperbolehkan. Semoga Allah mengampuni kita semua.
    Pernah dikatakan kepada Kanzun Ibnu Wabrah, salah seorang ahli ibadah: "Duduklah bersama kami", maka ia menjawab: "Tahanlah matahari!" Yakni agar tidak datang dan pergi menggerogoti usia.
Kita datang dan pergi untuk keperluan kita, dan keperluan orang hidup itu tiada habisnya, akan berhentilah keperluan seseorang dengan kematiannya, selama seseorang masih hidup, perputaran siang dan malam hari, telah membuat anak kecil beruban dan orang tua mati, bila malam telah membuat tua siang harinya,
datanglah sesudahnya siang hari yang muda.
Berapa habisnya waktu kita setiap harinya untuk kepentingan yang tidak ada manfaatnya, walaupun ada manfaatnya  hanya kita saja yang mengartikan bahwa hal itu bermanfaat tapi sebenarnya waktu yang habis itu adalah kesia-siaan. Dapatkah dibenarkan bila kita berada di kedai kopi sekian jam hanya untuk minum secangkir kopi dan sebuah kue kering, yang lama bukan ngopinya tapi ngobrolnya itu sekian topik  yang dibahas, sejak dari masalah keluarga, politik, ekonomi hingga menggunjing  tetangga dan siapa saja yang lewat, itu bergulir setiap hari dan setiap minggu.
Dapatkah dibenarkan, kita menghabiskan waktu dengan olah raga semisal berburu, dua kali dalam sepekan, bukan hanya menghabiskan waktu untuk mengejar babi tapi tidak jelas kapan dan dimana shalatnya lalu kapan pulangnya, biaya untuk itupun tidak sedikit. Begitu  banyak diantara kita yang menghabiskan waktu untuk membahas hal-hal tidak penting, apalagi datang tamu yang pandai bicara ngalor ngidul, sehingga waktu sekian jam tidak terasa.
Tidakkah kita menyadari bahwa main game, main domino dan pekerjaan lainnya yang menghabiskan waktu kelak akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah, untuk apa usia yang diberikan, masa muda digunakan kemana, semua itu bukan hanya membutuhkan jawaban saja lalu selesai tapi pertanggungjawaban dari semua itu.
Begitu banyaknya kita menggunakan waktu sehari semalam untuk kegiatan yang positif seperti diskusi, seminar, dakwah, membaca, menulis dan kegiatan keumatan lainnya, tapi waktu kita untuk mengabdi kepada Allah hanya sisa-sisa waktu dari sekian kesibukan itu. Apalagi yang berbelimang dengan kemaksiatan, waktunya habis untuk mengasuh keinginan sahwatnya saja dan memperturutkan kehendak syaitan, apalagi yang ada untuk kebaikan, sehingga wajar kalau ustadz Aidh Qarni menyatakan bahwa waktu bertaubat bagi orang itu tidak ada kesempatan lagi.

Saudaraku, yang dihitung di dunia ini bukanlah berapa lama hidup seseorang tapi apa yang diperbuat oleh seseorang ketika dia hidup, Buya Hamka mengatakan,"Sehari Harimau di hutan sama dengan setahun bagi seekor kijang". Bahkan dalam beramalpun seseorang tidak dituntut apakah amal itu dapat dia nikmati atau tidak, Rasulullah mengatakan;."Meskipun saat kiamat akan tiba dan di tangan seseorang diantara kamu ada bibit tanaman, kalau dia ada waktu dan sanggup sebelum kiamat datang maka tanamlah bibit itu, dengan demikian dia akan mendapatkan pahala"

Allah mengajak orang-orang beriman untuk punya cita-cita dalam hidup, punya harapan yang akan dituju dan punya program untuk melangkah dalam rangka mengisi restan dan kesempatan hidup  yang ada,  firman Allah dalam surat Al Hasyr 59;18 "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Seorang yang bernama Hariet Martineau berkata,"Berfikirlah dan bertindaklah yang terbaik hari ini untuk persiapan besok dan besok-besoknya lagi". Searah dengan sabda nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi;"Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya dan beramallah untuk akheratmu seolah-olah kamu mati besok".
Orang-orang yang menyia-nyiakan umurnya dalam kehidupan di dunia, dan durhaka kepada Allah Ta'ala, dan tidak mau bertaubat, maka hanya kebinasaan ketika nanti di akhirat, dan tidak ada lagi pintu taubat baginya.  Wallahu A’lam [Kubu Dalam Padang,  Jum’at  25  Rabiul Awal 1436.H/ 16 Januari 2015.M].
Literatur:
1. Al Qur’an dan terjemahannya, Depag RI, 1999/2000
2. Mukhlis Denros, Kumpulan Ceramah Praktis, 2009
3. Didi Suardi,Hikmah Pagi: Waktu, Kesempatan, dan Satu Kepastian, Republika.co.id. Senin, 03 Januari 2011, 07:05 WIB
4. Aidh Abdullah al-Qarni, Jangan Sia-Siakan Usiamu, eramuslim.com, Minggu, 05/06/2011 15:09 WIB

Artikel diatas dikirim oleh: mukhlisdenros@gmail.com 
Dipublish oleh: bagindaery.blogspot.com