Ada cerita menarik di balik siaran langsung televisiberita dalam ajang Pilpres 2014. Dukungan berbeda antara pemilik kedua stasiun televisi berita tvOne dan MetroTV tampak pada pemberitaan.
Kemarin, MetroTV menayangkan pendaftaran duet capres-cawapres Joko Widodo dan Jusuf Kalla , tvOne memilih menyiarkan langsung deklarasi Prabowo-Hatta Rajasa, Senin (19/5).
Perbedaan ini tak bisa dipisahkan dari sikap politik para pemilik kedua stasiun televisi. Pemilik MetroTV, Surya Paloh dikenal sebagai ketua umum Partai NasDem yang mendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Sementara pemilik tvOne, Aburizal Bakrie memberikan dukungan kepada Prabowo. Bahkan ada juga pemilik televisi yang mendukung Prabowo yaitu Hary Tanoesoedibjo yang dikenal menguasai tiga televisi RCTI, GlobalTV, dan MNC TV.
Hari ini, tvOne juga sudah menyiarkan langsung agenda duet Prabowo-Hatta ke TMP Kalibata, sementara MetroTV tidak menayangkan agenda tersebut.
Apakah dukungan dari pemilik televisi ini akan bisa mempengaruhi opini publik? Mantan komisioner KPI Dadang Rahmat menyatakan sudah menjadi rahasia umum soal independensi media di saat pemiliknya berafiliasi ke dunia politik. Bahkan, konten yang ditayangkan kerap kali hanya menampilkan salah satu partai atau sosok yang didukung.
"Masyarakat sendiri melihat bahwa media yang punya afiliasi dengan pemilik afiliasi politik cenderung secara kuantitatif paling tidak memberi kesempatan lebih kepada partai yang bersangkutan," ungkap Dadang, Selasa (20/5).
Merujuk aktivitas politik yang tengah terjadi saat ini, Dadang yakin apa yang pernah terjadi pada Pemilu Legislatif (Pileg) lalu akan kembali terjadi. Beberapa media di mana para pemilik mendukung salah satu calon, maka porsi yang akan disampaikan cenderung berat sebelah.(MDK)
http://www.okuoke.com/berita-pemilik-metro-ke-jokowi-tvone-dan-mnc-ke-prabowo.html
Kamis, 29 Mei 2014
Sisi Lain Politik: Saat TV Berita, Memberitakan Capres Dari Mitra Koalisi Juragannya
Tak dapat dibantah lagi,televisi berita
di negeri ini yang paling banyak dikenal adalah Metro Tv dan juga Tv
One,kedua stasiun tivi ini memang begitu beradu cepat dalam menangkap
berita,persaingan kedua stasiun tivi yang memiliki kesamaan segemen ini
memang sudah lama memiliki aroma persaingan,dan kedua juragannya pun
mempunyai partai yang berbeda,dalam pemberitaannya pun mereka kerap
saling sindir,saling sentil,silih berganti dan ini merupakan warna unik
dari jurnalisme layar kaca di bumi pertiwi.
Namun yang perlu di catat adalah
persaingan menjelang pilpres,kita tidak usah susah payah merekam jejak
pertarungan dua stasiun berita di masa masa yang telah lewat,kita tahu
memang kedua stasiun berita ini telah lama bersing dalam segala hal.
Kini media dengan bobot tv berita telah
melakukan strategi head to head dalam ajang pilpres ini,dan seorang
Kompasianer pun memotret persaingan ini dengan cerdas,iya dia adalah
Kompasianer yang bernama Samandayu yang menuliskan postingannya dan
menjadi trending artikel,sumber.
Tadi pagi pun ‘perang udara’ di antara
TVOne dan Metro berlangsung dengan sengit,pagi pagi sekali Metro
melakukan acara talkshow,pembahasannya pun jelas,keunggulan Jokowi dalam
mengelola Jakarta selama hampir dua tahun masa baktinya di DKI
Jakarta,selanjutnya bedah editorial pun memasukan unsur unsur berkaitan
dengan black campaign dan sudah barang tentu pihak yang di dukung
Metro,tak ada kendala di black campaign,karena mereka main cantik.
Namun di TVOne pagi ini pun ada talkshow
tentang gestur capres,ada yang mendukung Prabowo dan ada juga yang
menjadi pendukung Jokowi serta pengamat,dalam hal ini TVOne mungkin
memilih berimbang,namun bukan berarti stasiun ini memiliki
kenetralan,tidak juga,kita tahu bahwa TVOne lebih banyak meberitakan
porsi Prabowo lebih dibanding capres Jokowi,ini bisa dimengerti karena
bos mereka adalah Aburizal Bakrie yang menjadi mitra koalisi Prabowo.
Di titik ini kita bisa menyimpulkan
juga,Metro TV pada akhirnya melabuhkan berita baik dengan porsi lebih ke
capres Jokowi karena pemilik media adalah Surya Paloh yang berada di
kubu moncong merah,di kutub lainnya TVOne pun sering memberitakan
tentang hebatnya pasangan Prabowo-Hata Rajasa.
Lalu saya pun membuka buku dari acara
Nangkring Kompasiana saat peluncuran buku Ahok Untuk Indonesia,buku yang
ditulis oleh praktisi jurnalistik asal Surabaya,Sirikit Syah,di Bab II
dengan judul Pers dan Kepala Negara,ada sebuah artikel yang di tulis di
halaman 75,sub judulnya adalah’Pengaruh Media dalam Pemilu’.Ini menjadi
sebuah relevansi dengan pilpres kali ini.
Di artikel ini Sirikit Syah mengupas
alam demokrasi Amerika Serikat dari kaca mata media televisi,dan juga
mengapa media pun akhirnya berpihak,digambarkan bagaimana debat antara
Josep Biden dengan Sarah Palin yang berdebat secara elegant tanpa harus
mengupas’borok borok’lawan bicaranya,atau bagaimana keberpihakan Fox
atau Oprah Winfrey dalam pemilihan presiden Amerika Serikat.
Artikel ini memang di rilis 4 Oktober
2008,namun tulisan Sirikit Syah mampu meneropong keberpihakan media
walau kita berada di tahun 2014,inilah yang kita alami,mau tidak mau
akhirnya kita tahu memang kedua TV berita ini memiliki keberpihakannya
karena juragan mereka adalah mitra koalisi capres,dan untuk waktu hingga
pilpres nanti kita akan mengalami berita keberpihakan dari tivi tivi
ini karena sang juragannya adalah koalisi dari capres,ya sudahlah kita
nonton dan tuliskan di Kompasiana saja.
http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2014/05/28/saat-tv-beritamemberitakan-capres-dari-mitra-koalisi-juragannya-658198.html
Antara Metro TV dan TV One: Jokowi Didukung Metro TV, Prabowo Didukung TV One
KALAU diperhatikan, TV One lebih rajin mempublikasi kabar mengenai
Prabowo ketimbang Jokowi. Sebaliknya, Metro TV rajin memberitakan Jokowi
bahkan cenderung “menyentil” kubu Prabowo.
Contohnya pada tayangan “News Maker” di Metro TV minggu malam kemarin (25/5). Di tayangan yang mengupas apa yang terjadi selama sepekan terakhir itu, ada bagian yang membahas kubu Prabowo. Dengan jenaka (atau nyinyir?), naratornya “meledek” Prabowo yang katanya pernah bermasalah dengan “pemecatan”. Hatta Rajasa yang meninggalkan jabatan menteri demi jadi cawapres, atau menyentil ARB/Ical.
Semisal narasi sentilan untuk Hatta Rajasa seperti ini: “Kalau nanti terpilih jadi wapres, jangan tinggalkan jabatan ya Pak, seperti Bapak pernah meninggalkan jabatan menteri.” Tidak mengherankan karena program tersebut bernada “santai dan jenaka”.
Di malam yang sama (25/5) lebih tepatnya petang hari, TV One mengabarkan tentang “bocornya” wawancara Jusuf Kalla saat mengkritik Jokowi. Menurut JK, wawancara itu terjadi pada satu setengah tahun lalu. Sementara ada yang mengatakan kalau wawancara TV tersebut dilakukan Maret 2014.
Media mainstream memang sering terlibat “dilema besar”. Antara menjaga independensi dan digodam kepentingan tertentu. Dan ini bukan tak lagi jadi rahasia umum untuk orang-orang yang “melek”, terutama netizen. Sebagaimana yang diketahui pengguna internet muda misalnya, mereka cenderung kritis dan tahu apa yang dinamakan konspirasi. Bagaimanapun sebagian besar dari mereka suka terhadap katakanlah mister-misteri besar di dunia, taruhlah isu freemason dan illuminati.
Tidak mengherankan jika pencitraan kurang punya efek kuat pada netizen. Kecuali untuk masyarakat “awam”, taruhlah pemilih lama, semisal bekas zaman orba yang tidak melek internet.
Kubu Prabowo Lebih Banyak Didukung Media?
Keberpihakan media televisi ini semakin jelas setelah arah koalisi (kubu politik) diketahui publik.
Keberpihakan yang dimaksud adalah pemberitaan tentang capres tertentu yang diberitakan dalam porsi yang cukup “panjang”. Coba saja perhatikan TV One. Seperti “tiada hari tanpa pemberitaan Prabowo”. Tapi uniknya, mereka juga tidak bersikap “sentilan-sentilun” terhadap lawan capres Prabowo. Soal porsi penayangan Jokowi, memang akan selalu ada tapi sepertinya sedikit. Maklumlah, stasiun televisi juga punya program lain sehingga bagaimanapun segala penayangan harus dibuat rasional.
Sementara itu kita pun tahu kalau TV One adalah milik Aburizal Bakrie. Dia adalah bos Viva Group yang memiliki TV One, Anteve, dan juga Vivanews.com. Sementara itu Hary Tanosoedibjo yang saat ini berbelok pada kubu Prabowo, tak lain tak bukan adalah bos MNC Group yang menaungi Global TV, RCTI, MNC TV, Sindo TV, Koran Sindo, Okezone.com, dan Trijaya FM. Sementara Metro TV milik Surya Paloh (Nasdem).
Nah, otomatis secara kasat, pemberitaan untuk meningkatkan elektabilitas Prabowo akan tayang di media-media tersebut. Soal seberapa gencar, sepertinya belum terlihat. Karena TV One adalah stasiun TV news, maka perhatikan saja, pemberitaan Prabowo setelah Partai Golkar (ARB) bergabung dengan Gerindra, ditayangkan cukup banyak.
Bagaimana dengan kubu Jokowi? Sepertinya timses Jokowi masih konsisten mengerahkan kampanye via social media, media mainstream, dan “relawan lapangan”. Kalau mau jadi pengamat amatiran, mudah saja. Like saja fanpage Tempo, kompas, okezone, liputan6.com, dan lain-lain. Perhatikan apa yang akan kita temui di wall FB kita dan lihat apa bedanya.
Salah satu contohnya adalah getolnya Tempo.co membahas urusan kewarganegaraan “dobel” Prabowo. Begitupun okezone atau republika yang tak ragu “mengkritik” Jokowi. Tentunya dalam tulisan feature, tanpa opini, tapi porsi pemberitaan tentang kedua capres tersebut terlihat “sangat selektif”.
Hal yang menarik adalah bagaimana Jokowi juga sering wara-wiri di Indosiar. Beberapa kali tampil di acaranya Tina Talisa. Jokowi juga “terlihat menghindari” Tv One. Apakah karena host TV One dianggap pernah menjengkelkan? Mengingat Ahok juga pernah marah-marah saat diwawancara wartawan TV One dalam siaran langsung, dan tidak hanya sekali. Sejak saat itu Ahok dan Jokowi “tak terlihat lagi” di TV One.
Tapi mungkin akan “lain ceritanya” kalau HT dan ARB mendukung Jokowi. Bisa jadi pemberitaan tentang Jokowi yang sudah 4 tahun terakhir dianggap jadi media darling, akan diberitakan gencar sehingga menimbulkan hype masyarakat. Namun yang terjadi, Prabowo pada akhirnya lebih diekspos RCTI (lihat keberadaannya pada ajang Indonesian Idol kemarin), juga acara tim kampanye pemenangannya disiarkan langsung oleh TV One sing ini (27/5).
Yang jelas kita harus percaya bahwa media mainstream itu berusaha “sekuat tenaga” untuk menjaga netralitas dan independensi. Kalaupun ada “kepentingan” itu pun ada, tapi dilakukan implisit. Orang-orang yang bekerja di dunia jurnalistik “pasti” paham akan “dilema” ini.
http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2014/05/27/jokowi-didukung-metro-tv-prabowo-didukung-tv-one-655127.html
Contohnya pada tayangan “News Maker” di Metro TV minggu malam kemarin (25/5). Di tayangan yang mengupas apa yang terjadi selama sepekan terakhir itu, ada bagian yang membahas kubu Prabowo. Dengan jenaka (atau nyinyir?), naratornya “meledek” Prabowo yang katanya pernah bermasalah dengan “pemecatan”. Hatta Rajasa yang meninggalkan jabatan menteri demi jadi cawapres, atau menyentil ARB/Ical.
Semisal narasi sentilan untuk Hatta Rajasa seperti ini: “Kalau nanti terpilih jadi wapres, jangan tinggalkan jabatan ya Pak, seperti Bapak pernah meninggalkan jabatan menteri.” Tidak mengherankan karena program tersebut bernada “santai dan jenaka”.
Di malam yang sama (25/5) lebih tepatnya petang hari, TV One mengabarkan tentang “bocornya” wawancara Jusuf Kalla saat mengkritik Jokowi. Menurut JK, wawancara itu terjadi pada satu setengah tahun lalu. Sementara ada yang mengatakan kalau wawancara TV tersebut dilakukan Maret 2014.
Media mainstream memang sering terlibat “dilema besar”. Antara menjaga independensi dan digodam kepentingan tertentu. Dan ini bukan tak lagi jadi rahasia umum untuk orang-orang yang “melek”, terutama netizen. Sebagaimana yang diketahui pengguna internet muda misalnya, mereka cenderung kritis dan tahu apa yang dinamakan konspirasi. Bagaimanapun sebagian besar dari mereka suka terhadap katakanlah mister-misteri besar di dunia, taruhlah isu freemason dan illuminati.
Tidak mengherankan jika pencitraan kurang punya efek kuat pada netizen. Kecuali untuk masyarakat “awam”, taruhlah pemilih lama, semisal bekas zaman orba yang tidak melek internet.
Kubu Prabowo Lebih Banyak Didukung Media?
Keberpihakan media televisi ini semakin jelas setelah arah koalisi (kubu politik) diketahui publik.
Keberpihakan yang dimaksud adalah pemberitaan tentang capres tertentu yang diberitakan dalam porsi yang cukup “panjang”. Coba saja perhatikan TV One. Seperti “tiada hari tanpa pemberitaan Prabowo”. Tapi uniknya, mereka juga tidak bersikap “sentilan-sentilun” terhadap lawan capres Prabowo. Soal porsi penayangan Jokowi, memang akan selalu ada tapi sepertinya sedikit. Maklumlah, stasiun televisi juga punya program lain sehingga bagaimanapun segala penayangan harus dibuat rasional.
Sementara itu kita pun tahu kalau TV One adalah milik Aburizal Bakrie. Dia adalah bos Viva Group yang memiliki TV One, Anteve, dan juga Vivanews.com. Sementara itu Hary Tanosoedibjo yang saat ini berbelok pada kubu Prabowo, tak lain tak bukan adalah bos MNC Group yang menaungi Global TV, RCTI, MNC TV, Sindo TV, Koran Sindo, Okezone.com, dan Trijaya FM. Sementara Metro TV milik Surya Paloh (Nasdem).
Nah, otomatis secara kasat, pemberitaan untuk meningkatkan elektabilitas Prabowo akan tayang di media-media tersebut. Soal seberapa gencar, sepertinya belum terlihat. Karena TV One adalah stasiun TV news, maka perhatikan saja, pemberitaan Prabowo setelah Partai Golkar (ARB) bergabung dengan Gerindra, ditayangkan cukup banyak.
Bagaimana dengan kubu Jokowi? Sepertinya timses Jokowi masih konsisten mengerahkan kampanye via social media, media mainstream, dan “relawan lapangan”. Kalau mau jadi pengamat amatiran, mudah saja. Like saja fanpage Tempo, kompas, okezone, liputan6.com, dan lain-lain. Perhatikan apa yang akan kita temui di wall FB kita dan lihat apa bedanya.
Salah satu contohnya adalah getolnya Tempo.co membahas urusan kewarganegaraan “dobel” Prabowo. Begitupun okezone atau republika yang tak ragu “mengkritik” Jokowi. Tentunya dalam tulisan feature, tanpa opini, tapi porsi pemberitaan tentang kedua capres tersebut terlihat “sangat selektif”.
Hal yang menarik adalah bagaimana Jokowi juga sering wara-wiri di Indosiar. Beberapa kali tampil di acaranya Tina Talisa. Jokowi juga “terlihat menghindari” Tv One. Apakah karena host TV One dianggap pernah menjengkelkan? Mengingat Ahok juga pernah marah-marah saat diwawancara wartawan TV One dalam siaran langsung, dan tidak hanya sekali. Sejak saat itu Ahok dan Jokowi “tak terlihat lagi” di TV One.
Tapi mungkin akan “lain ceritanya” kalau HT dan ARB mendukung Jokowi. Bisa jadi pemberitaan tentang Jokowi yang sudah 4 tahun terakhir dianggap jadi media darling, akan diberitakan gencar sehingga menimbulkan hype masyarakat. Namun yang terjadi, Prabowo pada akhirnya lebih diekspos RCTI (lihat keberadaannya pada ajang Indonesian Idol kemarin), juga acara tim kampanye pemenangannya disiarkan langsung oleh TV One sing ini (27/5).
Yang jelas kita harus percaya bahwa media mainstream itu berusaha “sekuat tenaga” untuk menjaga netralitas dan independensi. Kalaupun ada “kepentingan” itu pun ada, tapi dilakukan implisit. Orang-orang yang bekerja di dunia jurnalistik “pasti” paham akan “dilema” ini.
http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2014/05/27/jokowi-didukung-metro-tv-prabowo-didukung-tv-one-655127.html
Sabtu, 24 Mei 2014
Artikel Tentang Televisi Berubah jadi Gelanggang Politik: Beberapa Stasiun Televisi Berubah jadi Gelanggang Politik
Media Televisi sebagai salah satu sarana publikasi berbagai informasi yang dibutuhkan Masyarakat kini seperti memutar arah balik kemasa Orde Baru. Banyak stasiun televisi swasta yang berubah fungsi menjadi kendaraan politik dari sejumlah pemilik modal dan partai politik. Jika kita rajin menyimak berbagai program yang ditayangkan diluar program hiburan, hampir seluruhnya berisikan pesan-pesan politik. Perbedaannya dengan zaman Orde Baru adalah TVRI sebagai media penyiaran publik kala itu dikukuhkan sebagai satu-satunya media elektronik yang ada di negeri ini sehingga hanya partai politik yang berkuasalah yang dapat menguasai dan memperalatnya, sedangkan dizaman morat-marit sekarang ini sejumlah stasiun televisi swasta bebas bersiaran tanpa harus memperhatikan netralitasnya dalam soal politik.
Ya…kalau soal wajar yang dipersoalkan tentulah wajar jika pemilik stasiun televisi itu memanfaatkan stasiun televisinya sebagai sarana mengkampanyekan partai politiknya karena memang ia pemilik stasiun televisi itu dan sekaligus pemimpin partai politik tersebut. Yang dipersoalkan dalam hal ini adalah bagaimana media yang menyebutkan dirinya sebagai media massa itu bisa dipercaya sebagai sumber informasi yang terpercaya oleh masyarakat jika semua programnya berujung pada kepentingan politik yang pastilah tidak akan bersikap netral.
Pengertian netralitas media televisi kita garis bawahi sebagai mengutamakan kepentingan rakyat/umum tanpa berpihak kepada golongan manapun kecuali pada kebenaran (itu sejatinya pers). Monopoli TVRI zaman Orde Baru kini dipraktekkan oleh sejumlah stasiun televisi swasta dalam strategi lain yakni dengan pemilik yang berbeda tetapi satu misi kepentingan kekuasaan. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sosiologis dengan mengangkat issue-issue sosioekonomi yang kurang berhasil diatasi penguasa saat ini.Issue-issue sosioekonomi itulah yang kemudian dijadikan dasar pembentukan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang menargetkan rekruitment keanggotaan sebanyak-banyaknya dan persebaraan cabang,ranting diseluruh penjuru tanah air hingga akhirnya dideklarasikan menjadi partai politik.
Dapat diyakini percepatan pencapaian target dan misi tersebut diatas sangat ditentukan oleh efektifitas komunikasi sosial yang didukung sepenuhnya peran media televisi. Televisilah pemegang kunci dan pemeran utama dalam mendongkrak popularitas seseorang atau sekelompok orang yang punya hajat besar dalam rangka menggenggam kekuasan di negeri ini. Syahkah hal itu dilaksanakan ? terus terang saya belum tahu karena sekarang ini jangan UU tentang politik, UUD saja banyak masyarakat yang tidak tahu lagi apa isinya yang banyak berubah kulit itu. Yang paling baik didiskusikan dari fenomena politik dan Media Televisi ini adalah apakah hal ini baik bagi kesejahteraan rakyat atau tidak. memepercepat kesejahteraankah atau malah memperlambat !. Kajian cerdasnya adalah baik dan tepat untuk rakyat bukan baik dan tepat untuk sekelompok orang atau seseorang.
Perlu diingat bahwa media televisi juga mempergunakan jaringan teknologi yang dibangun dengan dana rakyat, tidak semata-mata modal seseorang atau korporasi. Dan yang namanya media massa sebagian besar keuntungannya tentulah berasal dari saku rakyat. Oleh karena itu sangat wajar jika media televisi berterimakasih pada rakyat yang membesarkannya. Rasa terimakasih itu sebaik-baiknya dalam bentuk komitment media televisi untuk memposisikan dirinya sebagai lembaga independent sejati dan memelihara netralitas dalam hal politik dibidang manapun (bukan hanya netralitas dalam bidang politik partai).
Saya yakin dan percaya keruntuhan sebuah stasiun televisi akan sangat ditentukan oleh rakyat yang menjadi penontonnya. Dan saya sangat yakin stasiun televisi yang secara profesional mampu menjaga perannya sebagai media informasi dan media publik yang independent serta netralitasnya tinggilah yang akan mampu bertahan dihati penontonnya.
Mengherankan jika ada pihak-pihak yang berargumentasi bahwa keterlibatan stasiun televisi yang dimilikinya dalam kancah politik praktis sebagai bukti keperduliannya terhadap persoalan rakyat yang gagal dikerjakan pemerintah kecuali jika stasiun televisi itu tidak lagi memerlukan biaya yang sangat besar dalam operasionalisasinya. Sampai disini bolehlah kita mulai bertanya …” lalu apa sih motivasinya ?”.
Semua orang tau berapa gaji seorang Presiden, pastilah lebih kecil dibanding penghasilan seorang konglomerat dunia penyiaran. Tentulah pengeluaran akan jauh lebih besar jika sang konglomerat dunia penyiaran memelihara partai politik yang didalamnya banyak melibatkan orang-orang nonproduktif. Tetapi yang namanya penguasa tentulah ada hal-hal yang dibidik jika berhubungan dengan uang ketimbang hanya gaji formal semata. Tentulah tidak soal popularitas dan citra karena dengan nedia televisinya hal-hal tersebut sangat mudah diperoleh.
Logika berpikir rakyat harus dibangun dengan benar agar negeri ini tidak bolak-balik hanya mengurusi soal-soal yang tidak produktif dan tidak memiliki nilai-nilai apapun.Disinilah diperlukan peran TVRI sebagai media publik milik rakyat dan akan lebih baik lagi jika ada stasiun televisi swasta yang cerdas melihat moment saat ini yang percaya pada hukum alam bahwa akhirnya rakyat sebagai penonton televisi akan menjadi hakim tunggal dalam menentukan apakah stasiun televisi itu terus ditonton atau tidak.
Sangat berbeda jika ingin dibandingkan dengan stasiun televisi di negara-negara maju, walaupun ada beberapa stasiun televisi yang menjadi kenderaan politik tetapi sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia.Rakyat (utamanya yang ada didesa-desa yang kurang banyak memperoleh informasi) harus bisa berpikir analitis dengan membangun kesadaran awal yakni kritis tidak berpihak hanya karena sekilo beras,segepok uang makan,sepasang ayam atau bebek atau bahkan sepasang sapi. Awas dan ingat perangai jin, (kata orang bijak sebaik apapun pemberian jin akhirnya akan menghasilkan penderitaan berat bagi sipenerima pemberian jin tadi). Hal semacam ini sudah sering kita alami sehingga dengan cara berpikir kritis dan hanya berpihak bagi kepentingan semua dan kebenaran sejati akan kita hambat semua janji-janji muluk yang secara logika sajapun tidak mungkin bisa dilaksanakan. Sebagai penonton televisi rakyat diharapkan bisa menjadi penonton yang cerdas. Harus bisa menjaga diri dan keluarganya agar tidak diatur hidupnya oleh stasiun televisi yang kemungkinan akan menghasilkan penderitaan lebih panjang.
Tidak semua stasiun televisi yang berperilaku seperti yang telah diulas diatas, tetapi jumlahnya sangat tidak berimbang, yang berpolitik praktis jauh lebih banyak. Kita masih dikepung oleh para pengembara politik, kita harus berupaya agar negeri kita dan bangsa kita ini tidak lagi terjajah pemikirannya. Kita harus merapatkan barisan kita sebagai rakyat yang tak terlalu percaya dengan jargon-jargon politik kekuasaan dengan berbagai cara dan potensi diri yang kita miliki. Jika ada orang-orang kaya yang berkomitment dengan keadaan rakyat ini bangunlah televisi yang berperan sebagai media publik sejati dan komit dalam netralitas.
Berita Tentang Pemilu Terbaru ( Pemilu: Kenapa Televisi Gagal )
Mungkin Anda akan terkejut mengetahui
bahwa pendapatan media televisi yang berasal dari tayangan iklan-iklan
politik tahun ini ternyata “tidak se-wah itu”.
Laman analis media dan teknologi IndoTelko mencatat,
rata-rata stasiun televisi yang “disuapi” iklan kampanye oleh partai
dan atau tokoh politik tertentu hanya meraup tambahan omzet sebesar 3-4%
saja, jauh dari perkiraan pemirsa awam yang mengira televisi sudah
memanen emas dari helatan pemilihan umum.
Setidaknya, pasca-pemilihan
legislatif 9 April hampir semua stasiun televisi menyampaikan keluhan
sama bahwa iklan politik tidak menambah pundi-pundi keuntungan mereka.
Visi Media Asia Tbk. (Viva yang melingkupi TV One dan ANTV), catat IndoTelko,
hanya meraup 3% tambahan pendapatan dari iklan kampanye politik, meski
dua stasiun televisi ini dimiliki oleh politisi yang juga calon presiden
Partai Golkar Aburizal Bakrie.
Partai Golkar memasang iklan sampai 45 spot di tiga media itu, dengan pembagian 14 spot di TvOne, 15 spot di ANTV, dan 16 spot sisanya di Indosiar.
Grup Media Nusantara Citra lewat
Direktur Keuangannya Jarod Suwahjo mengakui pendapatan iklan dari
tayangan kampanye politik hanya mentok di kisaran 4%, meski pendapatan
iklan keseluruhan di kuartal I 2014 mencapai 19%.
Dari semua stasiun lingkup MNC,
adalah RCTI yang paling “kenyang” dengan jatah tenggak 9 iklan politik,
sementara MNCTV dan GlobalTV berbagi tiap-tiapnya 4 iklan. Jatah iklan
dengan durasi tayang yang meluap-luap ini nyatanya tidak membawa suara
pemilu legislatif yang cukup baik pemiliknya, taipan Hary Tanoesoedibjo,
mantan politisi Nasdem yang hampir pasti lengser dari posisi cawapres
Partai Hati Nurani Rakyat.
Di MetroTV, spot iklan
Partai Nasdem milik presiden direkturnya Surya Paloh hanya 12, bahkan
lebih rendah dari Trans TV yang memasang iklan Partai Gerindra sebanyak
14 spot. Dari semua jumlah titik iklan ini, tidak ada yang
memenuhi peraturan Komisi Penyiaran Indonesia yang membolehkan maksimal
hanya 10 spot iklan politik setiap harinya.
SCTV dan Indosiar nasibnya
mengenaskan, karena harus rela iklan-iklan politik lari ke
televisi-televisi yang dimiliki tiap-tiap tokoh. Bahkan hadirnya aroma anchor akrab
politik seperti Tina Talisa dan Rosiana Silalahi tidak membuat SCTV dan
Indosiar lebih wangi bagi para pemasang iklan politik.
Pada pemilu 2009 lalu, sewaktu
SCTV masih bernama Surya Citra Media, pendapatan iklannya di masa
kampanye politik bisa meningkat sampai 30%, dan naik lagi sampai 95%
atau sekira 712 miliar rupiah di kuartal kedua. Mereka bersaing dengan
pendapatan MNC yang waktu itu mencapai 1,86 triliun.
Jadi, mengapa televisi gagal jadi media kampanye politik yang jitu?
Ada beberapa faktor eksternal
dan internal yang membentuk argumentasi mengapa televisi, sebagai media
dengan kondisi keuangan paling likuid, tidak berhasil menarik perhatian
pemirsanya. Khususnya dalam preferensi politik pasca-pileg 9 April, yang
membuktikan bahwa efek televisi tak ubahnya papan reklame di
jalan-jalan.
Terlalu vulgar
Dari sisi pemirsa, iklan-iklan politik ini terlalu vulgar. Ini bisa jadi temuan pertama.
Pasangan calon presiden-calon
wakil presiden Wiranto-Hary Tanoesoedibjo yang membawa lambang partai
Hanura gencar membuat iklan “penokohan”, kuis, bahkan program-program
bernuansa sosial di tiga stasiun televisinya. Program Mewujudkan Mimpi Indonesia (yang berkali-kali ditegur KPI) sampai Kuis Kebangsaan (yang
sempat dihentikan penayangannya –tapi tanpa alasan jelas ternyata tetap
tayang) mungkin di mata Hanura adalah alat jitu mengenalkan tokoh
politik baru seperti Hary Tanoe, tapi pemirsa bisa saja menganggapnya
lain.
Di benak pemirsa, televisi adalah media hiburan. Ini diperkuat lagi dengan capaian rating-share yang memasang program-program hiburan komedi dan variety show di
jajaran paling laris. Di saat masa kampanye dan tiba-tiba
tayangan-tayangan hiburan ini diselingi iklan politik, kemungkinan besar
penonton akan mengganti saluran. Mengapa? Karena preferensi pemirsa
terhadap televisi masih berbatas pada pengertian media yang menghibur.
Ekses yang lebih parah justru
membalikkan pengertian publik tersebut. Alih-alih mengira iklan-iklan
atau program berbau politik ini akan membuat pikiran pemirsa lebih
serius jelang pemilu, yang terjadi adalah justru tayangan-tayangan iklan
politik ini dimaknai sebagai “hiburan baru”. Hanya saja lebih absurd, kalimat-kalimatnya lebih gamblang, dan menimbulkan kesan persaingan uang.
Faktor eksternal kedua adalah, partai-partai politik tidak menghitung demografi kalangan pemirsa televisi.
Kala di mata pemirsa kalangan
ekonomi bawah iklan-iklan aksi sosial Hary Tanoe terdengar menghibur
sekaligus utopis, di mata kalangan menengah ke atas iklan-iklan ini
justru bak sinetron yang mendayu-dayu. Orang-orang miskin mengira mereka
suatu hari akan ikut disamperi HT pakai becak, sementara taipan-taipan
di Jabodetabek tahu persis apa dan bagaimana cerdiknya seorang miliuner
memasarkan dirinya.
Partai-partai politik rupanya
luput menghitung-hitung, kelompok pemirsa televisi juga dibagi
berdasarkan kondisi ekonomi dan sosial, bahwa kalangan menengah
Indonesia sudah mencapai 75 juta jiwa. Kalangan ini, dalam praktiknya,
adalah kalangan yang melihat televisi tak lebih baik ketimbang Twitter
dan Instagram, penuh rekayasa dan tidak berbobot.
Padahal, kalangan menengah yang
tumbuh 5% per tahun ini jadi wilayah penting kampanye, karena mereka
mencakup pemilih-pemilih pemula, dan suara-suara di luar negeri.
Partai-partai politik luput memasukkan faktor-faktor “siapa kamu-siapa
kami” di dalam prospek keberhasilan iklan.
Jika diingat-ingat sejenak,
tidak sulit menemukan celah sosial dari beberapa tokoh politik yang
gencar beriklan di televisi. Aburizal Bakrie tidak akan berhasil meraup
suara kelas bawah di Jawa Timur karena tersangkut krisis Lapindo,
padahal TVOne adalah stasiun televisi yang sangat akrab di mata kalangan
bawah di pulau Jawa. Dibanding, katakanlah, rival mereka MetroTV yang
kemasannya lebih cerdas dan eksklusif.
Prabowo dan Wiranto juga punya
titik cela di kalangan menengah dan juga kalangan bawah dengan masa lalu
mereka semasa berkarir di militer di bawah rezim Orde Baru. Di Twitter
yang menampung suara-suara kelas menengah, tidak sulit menemukan tagar
#penculikan atau #wijithukul yang menampar keras Gerindra dan beberapa
politikus terasnya.
Surya Paloh beruntung bisa
menggunakan MetroTV untuk memperkenalkan Partai NasDem, yang merupakan
pemain baru di pemilu kali ini. Capaian suara NasDem yang berkisar hanya
5,7% bisa jadi tidak begitu penting bagi kelangsungan bisnis MetroTV,
tapi ini juga jadi refleksi betapa penambahan durasi berita “berbau
iklan” yang isinya pidato-pidato kampanye Surya Paloh tidak berdampak
pada publik menengah ke bawah.
Kampanye NasDem lewat televisi
bisa jadi lebih banyak dibantu oleh kemampuan persuasif Surya Paloh.
Sungguhpun, kalimat-kalimat melankolis seperti “Kita sudah lama
menderita, saudara-saudara…” atau “Itulah kenapa bangsa ini memerlukan
restorasi” tetap akan dianggap sebagai retorika semata.
Sementara Hary Tanoe, hanya bisa
meraup untung dari sisi publisitas, bukan menyumbang suara ke partai
Hanura. Televisi jadi media membangun public awareness yang jitu, tapi tidak keputusan politik.
Ini jadi masuk akal kenapa
raihan suara Hanura ada di paling bawah, berbanding terbalik dengan
nilai belanja iklan televisi mereka yang menurut data Sigi Kaca Pariwara mencapai 70,50 miliar rupiah, tertinggi dari total belanja politik partai sejumlah 340 miliar.
Partai Demokrat sebagai penguasa
suara jatuh karena bukti, bukan iklan. Meski Demokrat membelanjakan
iklan televisi terbanyak kedua (56,8 miliar), toh citra korup
tokoh-tokoh seperti Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan Andi Mallarangeng
tetap jadi catatan hitam di mata kalangan pemirsa. Secara tidak
langsung, berita-berita korupsi di tubuh Demokrat jadi santapan iklan
negatif yang bisa ditelan mentah-mentah oleh pemirsa yang cenderung
mudah menghakimi.
Faktor eksternal ketiga adalah
hadirnya daya tarik baru bagi pemirsa televisi. Keputusan PDI-P yang
mengusung Gubernur Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden
(definitif?) rupanya lebih menarik suara pemirsa di media. Di berbagai
poling citra Joko Widodo berhasil mengalahkan calon-calon “seksi”
lainnya seperti Jusuf Kalla dan Mahfud Md.
PDI-P rupa-rupanya menyadari
bahwa iklan politik yang paling jitu bukanlah yang sengaja dibuat dengan
embel-embel visi-misi jelang pemilu, tetapi justru cakupan berita dari
tokoh-tokoh mereka. Selain cakupan peliputan PDI- Joko Widodo yang ramai
sejak kemenangan di DKI Jakarta, juga beberapa tanggapan elitis
petinggi mereka seperti Tjahjo Kumolo dan Puan yang memang lebih sering
terkesan hati-hati.
PDI-P juga dikesankan tidak mau mengganggu preferensi pribadi Joko Widodo yang sejatinya “alergi publisitas”.
Mengingat pernyataan Jokowi yang
menegaskan ketidaksukaan jika wajahnya dipasang di spanduk dan baliho,
PDI-P menghargai itu dengan hanya menampilkan Joko Widodo di dua iklan
televisi, sehari jelang minggu tenang. Selebihnya, jargon “Indonesi
Hebat” hanya menampilkan Megawati bersama Puan yang, secara kasat mata
lebih baik dari iklan-iklan vulgar yang diramu partai-partai pesaing.
Dengan citra ketokohan yang
relatif baik, PDIP menyerahkan dirinya dipeluk erat-erat oleh media,
termasuk stasiun-stasiun televisi yang dimiliki rival mereka. Lagipula,
tidak sulit bagi pemirsa untuk mengagumi sosok atau partai baru,
mengingat capaian partai penguasa yang mengecewakan.
Faktor-faktor Internal
Internal media televisi juga
tidak bisa diremehkan. Independensi yang ditunjukkan MetroTV sangat
terasa ketika mereka mengundang hampir semua tokoh kunci partai politik
dalam program Live Event 48 Jam tanggal 9 April lalu. Najwa Shihab yang akrab sebagai nyonya rumah program berpredikat baik Mata Najwa rupanya menarik bagi tokoh-tokoh partai untuk mereka hadiri.
Di acara yang diikuti hasil Quick Count
itu, Najwa tampak sangat akrab melemparkan candaan dan pembahasan
serius sekaligus kepada Basuki Tjahaja Purnama, Jusuf Kalla, bahkan
Muhaimin Iskandar. MetroTV memang banyak dipuji atas kemampuan mereka
mengemas acara dan menghadirkan diskusi berbobot, jauh dari sensasi.
Media televisi juga tetap
melibatkan independensi mereka. Faktor ini, dari segi politik, tidak
begitu menguntungkan. Najwa lebih sering terlibat diskusi live dengan
tokoh-tokoh partai lain ketimbang dengan presiden direktur mereka Surya
Paloh. Dengan standar independensi yang dinaikkan, nampak kelihatan
mana-mana stasiun televisi yang getol mengampanyekan tokoh
bisnis-politikus mereka, mana yang tidak.
Meski belum ada stasiun televisi
yang berhasil dengan sempurna menjauhkan meja redaksi mereka dari
pengaruh petinggi partai, setidaknya jendela pilihan politik pemirsa
dicerdaskan dengan sajian-sajian program yang seru, adil, dan lepas dari
kesan kampanye negatif.
Faktor internal kedua
berhubungan dengan takdir perusahaan media yang sifatnya terbuka (Tbk.).
Saat ini tidak ada stasiun televisi swasta yang sahamnya tidak dimiliki
oleh publik. Dalam hukum bisnis, bentuk perusahaan terbuka memungkinkan
banyak pihak untuk berlomba menanam kapital besar dan menguasai media.
Merger SCTV dengan Indosiar yang
akhirnya disetujui pada Maret Lalu di bawah bendera Elang Citra
Teknologi (EMTK) bisa jadi angin segar baru bagi investor media di
lantai bursa per 1 Mei nanti, meski raihan share pasar pemirsa
kedua stasiun televisi ini belum tentu meningkat drastis. Mau tidak mau,
tidak ada optimisme lebih bagi SDM di kedua televisi ini.
Aksi korporasi tidak serta merta memengaruhi pendapatan. Buktinya bisa dilihat lewat larisanya program-program hiburan dan variety show milik Trans TV memperkaya mereka, meski beberapa waktu lalu stasiun ini didera masalah “bedol desa”. Puluhan karyawannya mengundurkan diri dan pindah ke stasiun televisi berbayar Net TV.
Stasiun-stasiun televisi masih
bertumpu pada program-program hiburan, yang menyumbang pendapatan mereka
lebih dari 80%. Memanfaatkan preferensi pemirsa yang jenuh dengan
program-program serius, Trans TV memelopori hampir semua stasiun
televisi untuk menayangkan program-program yang cenderung disukai, bukan yang dibutuhkan.
Industri program hiburan yang
masif ini justru jadi sebab utama mengapa stasiun televisi tidak punya
kekuatan kolektif untuk membangun minat pemirsa terhadap politik.
Metro TV dan TV One mungkin bisa
bernapas lega karena pendapatan iklan mereka meningkat tajam di masa
pemilu, tapi di luar waktu itu kedigdayaan rating-share tetap
rela mereka serahkan ke televisi-televisi seperti RCTI, SCTV, dan
TransMedia yang lebih plong menayangkan program-program ringan nan
menghibur, yang jadi santapan lebih banyak di kelas bawah.
Otomatis, di mata politik pemirsa, hanya ada dua stasiun televisi pemilu. Selebihnya adalah penghibur.
Dalam sejarahnya, iklan politik
ketokohan muncul pertama kali di layar kaca Indonesia pada November
1998. Waktu itu, Partai Kebangkitan Bangsa menampilkan Abrurrahman Wahid
alias Gusdur dengan pose mbeling-nya dibubuhi jargon “Saya
mendengar Indonesia Bernyanyi”. Iklan ini digarap oleh konsultan
kehumasan Soedarto dan Noeradi, tim kreatif dari biro iklan Matari Inc.
(Akhmad Danial dalam Iklan Politik Televisi: Modernisasi Kampanye Politik Pasca-Orde Baru)
Kalimat Gusdur yang terkenal waktu itu:
“Saya boleh saja dianggap tidak bisa melihat dengan baik, akan tetapi saya dapat mendengar, mendengar dengan baik Indonesia kita menyanyi. Menyanyi lagu harapan, pengabdian, dan perjuangan”.
Waktu itu, MNCTV yang masih
bernama Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) jadi stasiun televisi
pertama menayangkan iklan partai dan tokoh politik. Gusdur yang tampil
sebagai juru bicara (mungkin setara juru kampanye di masa kini) berhasil
menarik minat pemirsa pada dua lembaga sekaligus: PKB dan Nahdatul
Ulama (NU).
Sekarang, peta politik di
televisi kuat tapi tidak kuat. Kegamangan stasiun televisi pada periode
1997-1999 mungkin terjadi karena trauma masa lalu saat mereka baru lepas
dari kekangan pembatasan di masa Suharto. Peta politik media televisi
saat ini kemudian menjadi sumir, karena publik memahami independensi
mereka yang getol, sekaligus memahami posisi sulit mereka menghadapi
politikus yang menggerogoti area bisnis produksi.
Dengan peta kekuatan dan
kelemahan seperti ini, mulai masuk akal kenapa raihan suara
partai-partai penguasa media tidak lebih baik dari partai non-media.
Juga mengapa televisi nampak kewalahan menjaga independensinya di depan
iming-iming keuntungan dan tekanan “ewuh-pekewuh” pemilik media.
Kemudian jadi terdengar agak satire saat
Joko Widodo berucap, “Kami ini tidak punya media, tapi punya relawan
bergerak.” Perkataan Joko Widodo tersebut sangat bisa diterima, saat
televisi tidak lagi digdaya sebagai media kampanye politik paling jitu.
http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2014/04/22/pemilu-kenapa-televisi-gagal-650850.html
————————
Referensi:
-
http://www.indotelko.com/kanal_indepth?it=Iklan-Kampanye-Belum-Bikin-Omzet-Media-Mewangi
-
http://www.lensaindonesia.com/2014/03/18/partai-golkar-obral-iklan-politik-sehari-45-spot-di-frekuensi-publik.html
-
http://theglobejournal.com/ekonomi/biaya-iklan-hanura-tertinggi-namun-perolehan-suara-tak-signifikan/index.php
-
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/06/03/15343647/Karyawan.Dikabarkan.Bedol.Desa..Ini.Jawaban.Trans.Corp
-
http://m.kompasiana.com/post/read/627395/2/tpi-dan-iklan-politik.html
MetroTV telah berkali-kali melakukan serangan verbal pada pihak-pihak yang dianggap lawan politik bagi partai Nasdem [ Jangan Nonton Stasiun Televisi Ini! (Era Politik Artifisial) ]
MetroTV telah berkali-kali melakukan serangan
verbal pada pihak-pihak yang dianggap lawan politik bagi partai Nasdem ,
hal ini telah sangat jelas terjadi kala Partai Nasdem resmi berdiri dan
menjadi peserta pemilu.
MetroTV dan Editorial Media Indonesia
merupakan dua media elektronik dan cetak yang digunakan Nasdem sebagai
alat propaganda. Hal ini wajar-wajar saja jika memang Nasdem yakin bahwa
mereka mampu membawa perubahan yang lebih baik sesuai janji Politik
mereka.
Namun apa jadinya bila propaganda mereka juga mendiskreditkan berbagai pihak yang dianggap saingan bagi Partai Nasdem.
MetroTV adalah stasiun televisi yang paling
‘ganas’ dalam melumpuhkan kerdibilitas pemerintahan SBY di mata rakyat
Indonesia. Namun anehnya menjelang pemilu raya nanti MetroTV melakukan
serangan membabibuta pada setiap parpol. Tak ada parpol yang baik di
mata MetroTV semua dianggap buruk dan tak punya sisi positif sama
sekali.
Mulai dari kritik tentang pelanggaran
kampanye sampai pada janji-janji politik. Semua dikritik, padahal Nasdem
sendiri juga melakukan pelanggaran yang sama dan janji-janji absurd dan
terkesan transeden.
MetroTV benar-benar tidak mengajarkan arti
politik pada masyarakat. Media yang satu ini justru mengajarkan sebuah
ideologi politik artifisial yang berlandaskan pada kepentingan partai
Nasdem yang menjadi objek propagandanya.
Nasdem sendiri sama sekali tidak dianggap
lawan berat oleh parpol lain , bahkan Surya Paloh sama sekali tidak
dianggap sebagai capres potensial yang patut diwaspadai seperti Jokowi
,Prabowo atau ARB. Hal ini mengisyaratkan bahwa Nasdem memang bukan
partai yang punya daya tarik dalam segi pencapaian di masa yang akan
datang.
http://politik.kompasiana.com/2014/03/28/jangan-nonton-stasiun-televisi-ini-era-politik-artifisial-643016.html
Misteri Kampanye Hitam: Kampanye Hitam Itu Telah Tiba di Masyarakat Lugu
VISI para pencela capres, sungguh telah
mendarat di pikiran orang awam, manusia lugu. Bukti itu usai kuterima
semalam, seorang menulis bbm seperti ini: “Ternyata Jokowi antek-antek
Amerika ya pak dan Jokowi itu pembohong besar. Mengerikan pak. Jokowi akan hancurkan Islam.
Saya tidak akan pilih Jokowi”. Dan, saya jadikan judul se-bombastis ini
dari kalimat sang pengirim pesan, berharap banyak dikunjungi pembaca.
Karena, saya teramat terkesan dengan kalimat: Jokowi akan hancurkan
Islam. (tanpa tanda tanya). Bila saja Admin ingin merevisi judul artikel
ini, saya sudah siapkan serepnya: “Kampanye Hitam Itu Telah Tiba di
Masyarakat Lugu”
Saya sembari merenung-renung; sebuah
agama takkan bisa dihancurkan kecuali penghancurnya dari pemeluk agama
itu sendiri, artinya Islam ataupun Nasrani takkan luluh lantak kecuali
‘berantakan dari dalam’
Seorang lagi menghantar pesan: “Prabowo
itu tukang emosi, buktinya cerai dengan istrinya, tidak sabaran urus
keluarga. Saya tidak mau pilih dia. Prabowo itu bekas mantunya Pak
Harto, pasti cara memimpinnya mirip bekas mertuanya”.
Saya tak komentari kedua pesan itu, tapi saya paham karakter dan strata
pengirim pesan itu. Keduanya telah dilahap kampanye hitam yang
digencarkan oleh orang-orang yang rendah respek kepada kedua capres itu.
Pengirim-pengirim pesan ini terkategori latah menerima issue sakral nan sarkastik, tak miliki waktu untuk memikirkan apa tirai di balik penjelek-jelekan para capres.
Mereka ini manusia-manusia awam, bahkan
kampanye hitam pun, mereka tak mengerti. Mereka cumalah mengolah
informasi seadanya, sederhana sekali (kalau tak mau disebut latah, red).
Dan, sesungguhnya ini kesuksesan para pelaku yang memburuk-burukkan
capres secara keji, sadis dan tidak edukatif sama sekali dalam khazanah
politik.
Komunikasi Primitif
Tunggal penilaianku terhadap orang yang
gemar mengais-ngais keburukan capres dengan gaya komunikasi rendahan,
yakni komunikasi primitif. Aktor-aktor ini sukses merayu opini
masyarakat awam, celakanya; setelah masyarakat awam terperangkap dengan
style komunikasi seburuk ini, masyarakat bukan hanya terpengaruh tetapi
turut pula mempengaruhi masyarakat lainnya. Maka, Indonesia kian
terbelakang dalam segala hal. Apesnya lagi, kandidat capres pun kerap
menyerang capres lain karena dianggap kompetitornya. Padahal dalam soal
capres, tak elok disebut kompetitor melainkan bahasa yang lebih enak
didengar yakni: “Maju Bersama di Capres”. Simpulannya:
Baik capres, media, maupun calon pemilih, 11-12 dalam perkara
komunikasinya. Sabda komunikasi itu, tidak menganjurkan
memburuk-burukkan pihak lain untuk membaik-baikkan diri sendiri.
Berikutnya, bahasa-bahasa di media pun
telah sangat berkontribusi dalam menggerah-gerahkan ajang pilpres (yang
seharusnya adem) dengan kalimat-kalimat seperti ini: Prabowo duel Jokowi
(emangnya petinju), Jokowi dan Prabowo bertarung di pilpres (seperti
mau berkelahi saja dan saling memukul), dan lain-lain.
Cina dan Non Kristen
Ini pun issue primitif, membuatkan
nomenklatur kesukuan dan keyakinan, adalah tindakan ‘brutal’. Bila kita
adopsi nasehat Gus Dur maka kita bisa konversi menjadi begini: “Jika ada
orang Indonesia berbuat baik maka jangan lihat Cinanya, Jawanya,
Minangnya, Bataknya atau Sundanya”. Apa salah ibuku melahirkanku jika
memang saya Cina, Bugis atau Toraja? Mestikah saya meraung-raung kepada
Tuhan dan ikut ‘memurkai’ Tuhan karena saya diciptakan dengan etnik
’seburuk’ ini ?
Lantas kenapa jika saya Non-Kristen,
Non-Muslim, Non-Hindu, Non-Budha? Apakah agamaku salah? Oh tidak! Agama
takkan pernah salah, kitalah pemeluk agama yang kerap khilaf, tak berat
hati melakukan tindakan asusila, amoral, pro-korupsi, dan sebagainya.
Uniknya karena kita menyembah Tuhan sekaligus menyembah-mengabdi kepada
keburukan bicara, kejahatan tangan, kebusukan orasi dan kekotoran batin.
Sungguh rendah budi pekerti orang-orang
yang menohok-nohok pribadi dan identitas capres secara miring, negatif
dan dijadikan ajang pembusukan. Bukankah lebih bijak bila kita
mendiskusikan program-program yang ditawarkan capres-cawapres? Tarulah
kita berdialog dengan kawan-kawan akan adanya upaya perbaikan
transportasi, peningkatan taraf hidup para buruh, guru, dokter, pedagang
kecil, pembatasan kekayaan pribadi, dan adanya ‘wacana’ capres untuk
meningkatkan kesejahteraan Admin Kompasiana dan seluruh Kompasianer atas
jasa-jasa mereka yang setiap menit berbagi kebaikan lewat
tulisan…Hahaha
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/05/23/jokowi-akan-hancurkan-islam-659149.html
Artikel Terbaru Tentang Aburizal Bakrie: Petualangan Aburizal Bakrie Dua Tahun Berburu Capres Berakhir Camen
Sejak awal memang Ical panggilan akrab Aburizal Bakrie sudah berambisi menjadi Presiden.Selama ini ARB sudah berpengalaman menjadi Menteri.Tidak mengherankan jika dalam Rapat Pimpinan Nasional III Partai Golongan Karya pada hari Jumat, 29 Juni 2012 yang berlangsung di Bogor memutuskan Aburizal Bakrie menjadi Capres Golkar pada pemilu 2014.
Setelah keputusan rapat itu,Ical langsung mempersiapkan dirinya untuk menjadi Presiden.Untuk mempopulerkan nama Aburizal Bakrie ,dirubah yang tadinya akrab dipanggil Ical, menjadi ARB.mendomplang nama SBY.Foto dan wajah ARB mulai sering muncul dalam bentuk kampanye politik di media elektronik dan cetak.Hal ini tentu tidak begitu sulit buat ARB yang memiliki media cetak dan elletronik.ARB sebagai pemilik media massa cetak dan elektronik dengan leluasa bisa menggencarkan serangan.ARB telah berkampanye disaat yang lain belum memikirkan Capresnya.
Setelah itu baru ada nama Prabowo muncul sebagai Capres Gerindra dan mendekati pemilu bermunculan nama-nama lainnya.Nama Jokowi walaupun telah dijagokan,namun justru nama Jokowi baru muncul jelang pelaksanaan pemilu Legislatif 2014. Dari hasil survei yang beredar selama ini nama Jokowi selalu berada pada urutan teratas dan disusul Prabowo dan ARB nomer tiga.ARB selalu percaya diri bisa mencalonkan diri menjadi Capres ,meskipun elektabilitas dirinya jauh dibawah Jokowi dan Prabowo.
Banyaknya kritikan dan desakan dari dalam partai sendiri yang minta ARB untuk mundur dari pencalonan Capres,karena nama ARB tidak layak jual dan tidak diminati,tetap tidak membuat ARB goyah dan berubah pikiran.Aburizal Bakrie masih menyimpan mimpi dan harapan besar jika dirinya masih mampu untuk menjadi Presiden dari Golkar.ARB dengan pedenya sempat berkata ” Jokowi kalau mau jadi Cawapres saya boleh “.
Setelah pelaksanaan pemilu legislatif,ternyata tidak ada satu partaipun yang memperoleh suara dominan yang mampu untuk mengusung Capres dan Cawapres sendiri.PDIP yang keluar sebagai pemenang pemilu,diluar dugaan suaranya hanya 18,95 %. Fakta ini membuat seluruh partai peserta pemilu wajib berkoalisi untuk mengusung Capres dan Cawapres.Pada posisi ini Aburizal masih tetap bertahan dan tidak bergeming untuk meurunkan targetnya jadi Cawapres.Sementara waktu berjalan terus.
Pada saat Nasdem menyatakan bergabung dengan PDIP tanpa syarat,barulah ARB mulai kelabakan,dilain pihak saat itu,Gerindra juga berusaha meraih simpati PPP lewat ketua Umumnya Suryadharma Ali.Kemudian ARB mengadakan pertemuan dengan Prabowo dan pada saat itu ARB sudah mau menurunkan keinginannya dari Capres menjadi Cawapres,masih ada peluang.Pertemuan yang tadinya hampir melahirkan kesepatan itu ,secara tiba-tiba batal dan bubar begitu saja.Kemudian diketahui tidak ada kecocokan harga soal uang mahar. ARB mulai panik dan menyadari namanya memang tidak diminati.Kemudian secara tiba-tiba ARB menemui Jokowi di Pasar gembrong Jakarta.
ARB masih belum putus asa, ada wacana membentuk poros ketiga dengan Demokrat yang masih sama-sama jomblo,tapi dengan syarat bukan ARB calonnya. Menyadari ARB masih belum laku sementra koalisi partai lain sudah pada terbentuk,memaksa Golkar mengadakan Rapat Pimpinan Nasional VI pada hari Minggu tanggal 18-5-2014.Dalam rapim diputuskan ARB diberikan wewenang tak terbatas untuk mengambil keputusan tentang arah koalisi Golkar. ARB juga diberikan kebebasan untuk menjadi Capres atau Cawapres. Setelah itu ARB bergerak menemui SBY yang juga sedang memimpin rapat partainya di hotel Sultan Jakarta.
Tidak ada hasil pada pertemuan itu ARB kembali mendatangi Megawati dirumahnya jalan Teuku Umar Jakarta. Ternyata Megawati sudah menutup pintu rapat-rapat buat ARB,dan tidak mau menerima semua syarat yang diajukan oleh ARB.Kembali ARB pulang dengan tangan hampa dan putus sudah harapan untuk menjadi Capres yang sudah dipupuk selama dua tahun lamanya. Walaupun kemudian sudah mau melepaskan egonya menurunkan target menjadi Cawapres,tetap tidak ada partai yang mau dan berminat berkoalisi dengan ARB dan Golkar.Nama ARB seakan-akan menjadi sebuah alergi yang menakutkan bagi partai lain untuk berdampingan dengannya.Mungkin ini yang menjadi trik bagi Prabowo untuk membatalkan pencalonan ARB berdampingan dengan dirinya yaitu: dengan menawarkan harga tinggi,yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh ARB. Prabowo tentu merasa kwatir jika berpasangan nanti dengan ARB,namanya akan tambah terpuruk.
ARB merasa sudah kepalang basah,biar basah sekalian,maka kembali mendatangi kediaman Prabowo di Hambalang untuk menyatakan kesetian dan dukungannya bagi Prabowo,sambil berharap masih ada secuil berkas cahaya disitu,walaupun tidak bersinar terang laksana matahari terbit. Melihat perjuangan ARB yang tampa lelah itu,Prabowo tentunya perlu menghargainya.Prabowo pun berjanji nanti jika terpilih nanti menjadi Presiden berjanji akan menawarkan jabatan strategis membawahi seluruh menteri kabinet.posisi ini disebut Prabowo Menteri Utama. Melihat posisinya berarti ARB nanti orang ketiga penguasa Istana setelah Presiden dan Wakil Presiden.Ternyata ARB menerima tawaran ini.Dua tahun petualangan Aburizal Bakrie mengincer kursi Presiden berakhir dan berhenti sampai Camen yaitu: calon Menteri.
http://politik.kompasiana.com/2014/05/20/petualangan-tragis-politik-aburizal-bakrie-dari-capres-menjadi-camen--653788.html
Artikel Terbaru Tentang Jokowi, Prabowo, Megawati: Mengungkap Rahasia: Jokowi, Prabowo, Megawati
Courtesy: Edited by Eltc from 4.bp.blogspot and viva.co.id
Baiklah kita mulai.
(Imaginer)
Setelah beberapa hari pasca pengumuman resmi hasil PILEG 2014:
Jokowi, Prabowo, Megawati mengadakan Konferensi Pers.
Megawati: (membisiki Jokowi) Dik, kamu ngomong ke media. Strategi kita sekarang kamu ungkap secara jelas ke publik, biar musuh-musuh kita tau selama ini sudah kecolongan dan salah sasaran.
Jokowi: tes.. tes.. mohon perhatiannya semua, pertama saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan terharu sekali atas dukungan yang diberikan oleh Rakyat Indonesia selama ini kepada saya. Pada kesempatan yang bersejarah ini saya ingin menyampaikan bahwa saya akan tetap menepati janji saya untuk memimpin DKI Jakarta selama 5 tahun, dan selanjutnya berdasarkan kesepakatan bersama diantara koalisi (PDIP-GERINDRA) saya mengajak seluruh komponen Rakyat Indonesia ikut mendukung pencalonan bapak Prabowo Subianto dan xxxxx sebagai CAPRES dan CAWAPRES 2014 dari PDIP-GERINDRA.
Saya Jokowi, menegaskan dukungan mutlak dan kepercayaan penuh kepada pasangan ini untuk membawa perubahan bagi Indonesia menuju kejayaannya kembali. Saya himbau kepada semua pendukung partai dan pendukung saya khususnya untuk menyalurkan suaranya mendukung pasangan ini. Demikianlah yang dapat saya sampaikan semoga kita menuju kemenangan besar di PILPRES 2014.
Prabowo: (Pegang tangan Jokowi, diangkat bersama-sama) Indonesia Macan Asia.
http://politik.kompasiana.com/2013/11/12/mengungkap-rahasia-jokowi-prabowo-megawati-608750.html
Artikel Tentang Jokowi - Prabowo Terbaru: Jokowi - Prabowo, Mengapa Harus Dipilih?
SAYA setuju penilaian pengamat kalau Jokowi dan Prabowo adalah dua sosok calon presiden (capres) yang memiliki nilai ‘lebih dan kurang’. Melalui layar kaca televisi swasta, pagi Kamis (22/ 05) ini pengamat itu –tidak usahlah saya sebut namanya– mengatakan bahwa kedua-duanya memang layak untuk menjadi presiden. Dan dengan pernyataan ini saya semakin jengkel mendengar dan atau membaca komentar pro Jokowi yang menyebut Prabowo tak layak menjadi RI-1 atau sebaliknya. Saya juga tambah tak simpati pada ‘kampanye hitam’ yang dilayangkan kedua kubu dalam beberapa hari pasca deklarasi presiden dan wakil presiden itu.
Sisa waktu menjelang 9 Juli 2014 seharusnya adalah sisa waktu yang sejatinya bukan untuk membuka ‘borok’ lawan. Benar, manusia pasti ada kebobrokannya. Siapa manusia yang tidak bersalah di dunia ini? Umat beragama diajarkan dan sangat percaya hal ini. Maka tidak pantas menyebut-nyebut dosa masa lalu hanya sekedar ingin menjatuhkan lawan. Naiklah tinggi-tinggi tapi tidak berdiri di kepala lawan. Pasang dan hidupkanlah lampu masing-masing hingga terang tanpa mematikan lampu lawan. Ah, saya malah jadi sok tahu dan sintimentil. Lebay, ah.
Tapi saya sependapat dengan pakar yang diundang salah satu televisi itu bahwa seharusnya rakyat diberi tahu dulu kebutuhan Indonesia terhadap dua sosok itu. Karena keduanya sebenarnya layak memimpin Indonesia dengan segala ‘lebih-kurang’-nya maka rakyat diberi tahu dulu sosok yang mana saat ini yang dibutuhkan Indonesia. Jika brand Jokowi adalah capres yang merakyat dan mendeso, lemah-lembut dan suka senyum, apakah sosok seperti itu yang dibutuhkan Indonesia yang besar dan luas ini? Ini harus dicerdaskan masyarakat sebelum membuat keputusan.
Atau jika pengamat mengatakan Prabowo adalah sosok dengan brand tegas dan keras, benci Asing yang dianggapnya masih ‘menjajah’, apakah pula itu yang dibutuhkan Indonesia? Dua karakter asli yang berbeda inilah yang seharusnya dipahami rakyat. Dan rakyat diberi tahu kalau negara Indonesia memang sedang membutuhkan atau lebih membutuhkan salah satunya. Kan tidak bisa kedua sekaligus menjadi presiden. Jikapun kedua karakter itu diperlukan tetap saja tidak bisa karena keduanya adalah capres terpisah dalam dua koalisi yang berbeda. Jika pun dipaksa tentu saja tidak bisa lagi. Mereka sepakat untuk maju sebagai calon presiden.
Makanya ke depan, pro Jokowi tidak perlu mengulang-ulang menyebut dosa Prabowo dan atau sebaliknya yang pro Prabowo pun tidak harus mencari-cari kesalahan Jokowi. Tentang Jokowi yang diragukan keislamannya, tentang pendukung PKB yang tidak akan mendukung Jokowi karena benci ke Muhaimin, tentang Jokowi yang tidak ‘tepat janji’ karena dengan entengf meninggalkan Solo atau DKI selagi berkuasa dan entah apa lagi. Itu semua tidak harus dijadikan kampanye ‘perusak’. Itu tidak mendidik.
Sebaliknya tidak perlu juga menyebut-nyebut kasus ‘trisakti’ yang seolah-olah adalah dosa Prabowo, kasus Lapindo yang akan merusak Prabowo karena didukung Golkarnya ARB, atau kasus Haji yang menjerat orang-orang partai pendukung Prabowo, dan mungkin banyak lagi. Itu semua juga tidak akan mendidik masyarakat. Hanya akan membuat kita akan saling bermusuhan. Padahal kita butuh persatuan yang kokoh.
Jadi, sebenarnya mengapa kita harus memilih Jokowi atau Prabowo itulah yang penting dibantujelaskan oleh para pakar ke masyarakat. Perihal kampaney negatif akan menmabah onggok permusuhan. Mari memilih dengan hati yang benar, bukan emosi yang terbakar.***
http://politik.kompasiana.com/2014/05/23/1-658764.html