Ada cerita menarik di balik siaran langsung televisiberita dalam ajang Pilpres 2014. Dukungan berbeda antara pemilik kedua stasiun televisi berita tvOne dan MetroTV tampak pada pemberitaan.
Kemarin, MetroTV menayangkan pendaftaran duet capres-cawapres Joko Widodo dan Jusuf Kalla , tvOne memilih menyiarkan langsung deklarasi Prabowo-Hatta Rajasa, Senin (19/5).
Perbedaan ini tak bisa dipisahkan dari sikap politik para pemilik kedua stasiun televisi. Pemilik MetroTV, Surya Paloh dikenal sebagai ketua umum Partai NasDem yang mendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Sementara pemilik tvOne, Aburizal Bakrie memberikan dukungan kepada Prabowo. Bahkan ada juga pemilik televisi yang mendukung Prabowo yaitu Hary Tanoesoedibjo yang dikenal menguasai tiga televisi RCTI, GlobalTV, dan MNC TV.
Hari ini, tvOne juga sudah menyiarkan langsung agenda duet Prabowo-Hatta ke TMP Kalibata, sementara MetroTV tidak menayangkan agenda tersebut.
Apakah dukungan dari pemilik televisi ini akan bisa mempengaruhi opini publik? Mantan komisioner KPI Dadang Rahmat menyatakan sudah menjadi rahasia umum soal independensi media di saat pemiliknya berafiliasi ke dunia politik. Bahkan, konten yang ditayangkan kerap kali hanya menampilkan salah satu partai atau sosok yang didukung.
"Masyarakat sendiri melihat bahwa media yang punya afiliasi dengan pemilik afiliasi politik cenderung secara kuantitatif paling tidak memberi kesempatan lebih kepada partai yang bersangkutan," ungkap Dadang, Selasa (20/5).
Merujuk aktivitas politik yang tengah terjadi saat ini, Dadang yakin apa yang pernah terjadi pada Pemilu Legislatif (Pileg) lalu akan kembali terjadi. Beberapa media di mana para pemilik mendukung salah satu calon, maka porsi yang akan disampaikan cenderung berat sebelah.(MDK)
http://www.okuoke.com/berita-pemilik-metro-ke-jokowi-tvone-dan-mnc-ke-prabowo.html
Kamis, 29 Mei 2014
Sisi Lain Politik: Saat TV Berita, Memberitakan Capres Dari Mitra Koalisi Juragannya
Tak dapat dibantah lagi,televisi berita
di negeri ini yang paling banyak dikenal adalah Metro Tv dan juga Tv
One,kedua stasiun tivi ini memang begitu beradu cepat dalam menangkap
berita,persaingan kedua stasiun tivi yang memiliki kesamaan segemen ini
memang sudah lama memiliki aroma persaingan,dan kedua juragannya pun
mempunyai partai yang berbeda,dalam pemberitaannya pun mereka kerap
saling sindir,saling sentil,silih berganti dan ini merupakan warna unik
dari jurnalisme layar kaca di bumi pertiwi.
Namun yang perlu di catat adalah
persaingan menjelang pilpres,kita tidak usah susah payah merekam jejak
pertarungan dua stasiun berita di masa masa yang telah lewat,kita tahu
memang kedua stasiun berita ini telah lama bersing dalam segala hal.
Kini media dengan bobot tv berita telah
melakukan strategi head to head dalam ajang pilpres ini,dan seorang
Kompasianer pun memotret persaingan ini dengan cerdas,iya dia adalah
Kompasianer yang bernama Samandayu yang menuliskan postingannya dan
menjadi trending artikel,sumber.
Tadi pagi pun ‘perang udara’ di antara
TVOne dan Metro berlangsung dengan sengit,pagi pagi sekali Metro
melakukan acara talkshow,pembahasannya pun jelas,keunggulan Jokowi dalam
mengelola Jakarta selama hampir dua tahun masa baktinya di DKI
Jakarta,selanjutnya bedah editorial pun memasukan unsur unsur berkaitan
dengan black campaign dan sudah barang tentu pihak yang di dukung
Metro,tak ada kendala di black campaign,karena mereka main cantik.
Namun di TVOne pagi ini pun ada talkshow
tentang gestur capres,ada yang mendukung Prabowo dan ada juga yang
menjadi pendukung Jokowi serta pengamat,dalam hal ini TVOne mungkin
memilih berimbang,namun bukan berarti stasiun ini memiliki
kenetralan,tidak juga,kita tahu bahwa TVOne lebih banyak meberitakan
porsi Prabowo lebih dibanding capres Jokowi,ini bisa dimengerti karena
bos mereka adalah Aburizal Bakrie yang menjadi mitra koalisi Prabowo.
Di titik ini kita bisa menyimpulkan
juga,Metro TV pada akhirnya melabuhkan berita baik dengan porsi lebih ke
capres Jokowi karena pemilik media adalah Surya Paloh yang berada di
kubu moncong merah,di kutub lainnya TVOne pun sering memberitakan
tentang hebatnya pasangan Prabowo-Hata Rajasa.
Lalu saya pun membuka buku dari acara
Nangkring Kompasiana saat peluncuran buku Ahok Untuk Indonesia,buku yang
ditulis oleh praktisi jurnalistik asal Surabaya,Sirikit Syah,di Bab II
dengan judul Pers dan Kepala Negara,ada sebuah artikel yang di tulis di
halaman 75,sub judulnya adalah’Pengaruh Media dalam Pemilu’.Ini menjadi
sebuah relevansi dengan pilpres kali ini.
Di artikel ini Sirikit Syah mengupas
alam demokrasi Amerika Serikat dari kaca mata media televisi,dan juga
mengapa media pun akhirnya berpihak,digambarkan bagaimana debat antara
Josep Biden dengan Sarah Palin yang berdebat secara elegant tanpa harus
mengupas’borok borok’lawan bicaranya,atau bagaimana keberpihakan Fox
atau Oprah Winfrey dalam pemilihan presiden Amerika Serikat.
Artikel ini memang di rilis 4 Oktober
2008,namun tulisan Sirikit Syah mampu meneropong keberpihakan media
walau kita berada di tahun 2014,inilah yang kita alami,mau tidak mau
akhirnya kita tahu memang kedua TV berita ini memiliki keberpihakannya
karena juragan mereka adalah mitra koalisi capres,dan untuk waktu hingga
pilpres nanti kita akan mengalami berita keberpihakan dari tivi tivi
ini karena sang juragannya adalah koalisi dari capres,ya sudahlah kita
nonton dan tuliskan di Kompasiana saja.
http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2014/05/28/saat-tv-beritamemberitakan-capres-dari-mitra-koalisi-juragannya-658198.html
Antara Metro TV dan TV One: Jokowi Didukung Metro TV, Prabowo Didukung TV One
KALAU diperhatikan, TV One lebih rajin mempublikasi kabar mengenai
Prabowo ketimbang Jokowi. Sebaliknya, Metro TV rajin memberitakan Jokowi
bahkan cenderung “menyentil” kubu Prabowo.
Contohnya pada tayangan “News Maker” di Metro TV minggu malam kemarin (25/5). Di tayangan yang mengupas apa yang terjadi selama sepekan terakhir itu, ada bagian yang membahas kubu Prabowo. Dengan jenaka (atau nyinyir?), naratornya “meledek” Prabowo yang katanya pernah bermasalah dengan “pemecatan”. Hatta Rajasa yang meninggalkan jabatan menteri demi jadi cawapres, atau menyentil ARB/Ical.
Semisal narasi sentilan untuk Hatta Rajasa seperti ini: “Kalau nanti terpilih jadi wapres, jangan tinggalkan jabatan ya Pak, seperti Bapak pernah meninggalkan jabatan menteri.” Tidak mengherankan karena program tersebut bernada “santai dan jenaka”.
Di malam yang sama (25/5) lebih tepatnya petang hari, TV One mengabarkan tentang “bocornya” wawancara Jusuf Kalla saat mengkritik Jokowi. Menurut JK, wawancara itu terjadi pada satu setengah tahun lalu. Sementara ada yang mengatakan kalau wawancara TV tersebut dilakukan Maret 2014.
Media mainstream memang sering terlibat “dilema besar”. Antara menjaga independensi dan digodam kepentingan tertentu. Dan ini bukan tak lagi jadi rahasia umum untuk orang-orang yang “melek”, terutama netizen. Sebagaimana yang diketahui pengguna internet muda misalnya, mereka cenderung kritis dan tahu apa yang dinamakan konspirasi. Bagaimanapun sebagian besar dari mereka suka terhadap katakanlah mister-misteri besar di dunia, taruhlah isu freemason dan illuminati.
Tidak mengherankan jika pencitraan kurang punya efek kuat pada netizen. Kecuali untuk masyarakat “awam”, taruhlah pemilih lama, semisal bekas zaman orba yang tidak melek internet.
Kubu Prabowo Lebih Banyak Didukung Media?
Keberpihakan media televisi ini semakin jelas setelah arah koalisi (kubu politik) diketahui publik.
Keberpihakan yang dimaksud adalah pemberitaan tentang capres tertentu yang diberitakan dalam porsi yang cukup “panjang”. Coba saja perhatikan TV One. Seperti “tiada hari tanpa pemberitaan Prabowo”. Tapi uniknya, mereka juga tidak bersikap “sentilan-sentilun” terhadap lawan capres Prabowo. Soal porsi penayangan Jokowi, memang akan selalu ada tapi sepertinya sedikit. Maklumlah, stasiun televisi juga punya program lain sehingga bagaimanapun segala penayangan harus dibuat rasional.
Sementara itu kita pun tahu kalau TV One adalah milik Aburizal Bakrie. Dia adalah bos Viva Group yang memiliki TV One, Anteve, dan juga Vivanews.com. Sementara itu Hary Tanosoedibjo yang saat ini berbelok pada kubu Prabowo, tak lain tak bukan adalah bos MNC Group yang menaungi Global TV, RCTI, MNC TV, Sindo TV, Koran Sindo, Okezone.com, dan Trijaya FM. Sementara Metro TV milik Surya Paloh (Nasdem).
Nah, otomatis secara kasat, pemberitaan untuk meningkatkan elektabilitas Prabowo akan tayang di media-media tersebut. Soal seberapa gencar, sepertinya belum terlihat. Karena TV One adalah stasiun TV news, maka perhatikan saja, pemberitaan Prabowo setelah Partai Golkar (ARB) bergabung dengan Gerindra, ditayangkan cukup banyak.
Bagaimana dengan kubu Jokowi? Sepertinya timses Jokowi masih konsisten mengerahkan kampanye via social media, media mainstream, dan “relawan lapangan”. Kalau mau jadi pengamat amatiran, mudah saja. Like saja fanpage Tempo, kompas, okezone, liputan6.com, dan lain-lain. Perhatikan apa yang akan kita temui di wall FB kita dan lihat apa bedanya.
Salah satu contohnya adalah getolnya Tempo.co membahas urusan kewarganegaraan “dobel” Prabowo. Begitupun okezone atau republika yang tak ragu “mengkritik” Jokowi. Tentunya dalam tulisan feature, tanpa opini, tapi porsi pemberitaan tentang kedua capres tersebut terlihat “sangat selektif”.
Hal yang menarik adalah bagaimana Jokowi juga sering wara-wiri di Indosiar. Beberapa kali tampil di acaranya Tina Talisa. Jokowi juga “terlihat menghindari” Tv One. Apakah karena host TV One dianggap pernah menjengkelkan? Mengingat Ahok juga pernah marah-marah saat diwawancara wartawan TV One dalam siaran langsung, dan tidak hanya sekali. Sejak saat itu Ahok dan Jokowi “tak terlihat lagi” di TV One.
Tapi mungkin akan “lain ceritanya” kalau HT dan ARB mendukung Jokowi. Bisa jadi pemberitaan tentang Jokowi yang sudah 4 tahun terakhir dianggap jadi media darling, akan diberitakan gencar sehingga menimbulkan hype masyarakat. Namun yang terjadi, Prabowo pada akhirnya lebih diekspos RCTI (lihat keberadaannya pada ajang Indonesian Idol kemarin), juga acara tim kampanye pemenangannya disiarkan langsung oleh TV One sing ini (27/5).
Yang jelas kita harus percaya bahwa media mainstream itu berusaha “sekuat tenaga” untuk menjaga netralitas dan independensi. Kalaupun ada “kepentingan” itu pun ada, tapi dilakukan implisit. Orang-orang yang bekerja di dunia jurnalistik “pasti” paham akan “dilema” ini.
http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2014/05/27/jokowi-didukung-metro-tv-prabowo-didukung-tv-one-655127.html
Contohnya pada tayangan “News Maker” di Metro TV minggu malam kemarin (25/5). Di tayangan yang mengupas apa yang terjadi selama sepekan terakhir itu, ada bagian yang membahas kubu Prabowo. Dengan jenaka (atau nyinyir?), naratornya “meledek” Prabowo yang katanya pernah bermasalah dengan “pemecatan”. Hatta Rajasa yang meninggalkan jabatan menteri demi jadi cawapres, atau menyentil ARB/Ical.
Semisal narasi sentilan untuk Hatta Rajasa seperti ini: “Kalau nanti terpilih jadi wapres, jangan tinggalkan jabatan ya Pak, seperti Bapak pernah meninggalkan jabatan menteri.” Tidak mengherankan karena program tersebut bernada “santai dan jenaka”.
Di malam yang sama (25/5) lebih tepatnya petang hari, TV One mengabarkan tentang “bocornya” wawancara Jusuf Kalla saat mengkritik Jokowi. Menurut JK, wawancara itu terjadi pada satu setengah tahun lalu. Sementara ada yang mengatakan kalau wawancara TV tersebut dilakukan Maret 2014.
Media mainstream memang sering terlibat “dilema besar”. Antara menjaga independensi dan digodam kepentingan tertentu. Dan ini bukan tak lagi jadi rahasia umum untuk orang-orang yang “melek”, terutama netizen. Sebagaimana yang diketahui pengguna internet muda misalnya, mereka cenderung kritis dan tahu apa yang dinamakan konspirasi. Bagaimanapun sebagian besar dari mereka suka terhadap katakanlah mister-misteri besar di dunia, taruhlah isu freemason dan illuminati.
Tidak mengherankan jika pencitraan kurang punya efek kuat pada netizen. Kecuali untuk masyarakat “awam”, taruhlah pemilih lama, semisal bekas zaman orba yang tidak melek internet.
Kubu Prabowo Lebih Banyak Didukung Media?
Keberpihakan media televisi ini semakin jelas setelah arah koalisi (kubu politik) diketahui publik.
Keberpihakan yang dimaksud adalah pemberitaan tentang capres tertentu yang diberitakan dalam porsi yang cukup “panjang”. Coba saja perhatikan TV One. Seperti “tiada hari tanpa pemberitaan Prabowo”. Tapi uniknya, mereka juga tidak bersikap “sentilan-sentilun” terhadap lawan capres Prabowo. Soal porsi penayangan Jokowi, memang akan selalu ada tapi sepertinya sedikit. Maklumlah, stasiun televisi juga punya program lain sehingga bagaimanapun segala penayangan harus dibuat rasional.
Sementara itu kita pun tahu kalau TV One adalah milik Aburizal Bakrie. Dia adalah bos Viva Group yang memiliki TV One, Anteve, dan juga Vivanews.com. Sementara itu Hary Tanosoedibjo yang saat ini berbelok pada kubu Prabowo, tak lain tak bukan adalah bos MNC Group yang menaungi Global TV, RCTI, MNC TV, Sindo TV, Koran Sindo, Okezone.com, dan Trijaya FM. Sementara Metro TV milik Surya Paloh (Nasdem).
Nah, otomatis secara kasat, pemberitaan untuk meningkatkan elektabilitas Prabowo akan tayang di media-media tersebut. Soal seberapa gencar, sepertinya belum terlihat. Karena TV One adalah stasiun TV news, maka perhatikan saja, pemberitaan Prabowo setelah Partai Golkar (ARB) bergabung dengan Gerindra, ditayangkan cukup banyak.
Bagaimana dengan kubu Jokowi? Sepertinya timses Jokowi masih konsisten mengerahkan kampanye via social media, media mainstream, dan “relawan lapangan”. Kalau mau jadi pengamat amatiran, mudah saja. Like saja fanpage Tempo, kompas, okezone, liputan6.com, dan lain-lain. Perhatikan apa yang akan kita temui di wall FB kita dan lihat apa bedanya.
Salah satu contohnya adalah getolnya Tempo.co membahas urusan kewarganegaraan “dobel” Prabowo. Begitupun okezone atau republika yang tak ragu “mengkritik” Jokowi. Tentunya dalam tulisan feature, tanpa opini, tapi porsi pemberitaan tentang kedua capres tersebut terlihat “sangat selektif”.
Hal yang menarik adalah bagaimana Jokowi juga sering wara-wiri di Indosiar. Beberapa kali tampil di acaranya Tina Talisa. Jokowi juga “terlihat menghindari” Tv One. Apakah karena host TV One dianggap pernah menjengkelkan? Mengingat Ahok juga pernah marah-marah saat diwawancara wartawan TV One dalam siaran langsung, dan tidak hanya sekali. Sejak saat itu Ahok dan Jokowi “tak terlihat lagi” di TV One.
Tapi mungkin akan “lain ceritanya” kalau HT dan ARB mendukung Jokowi. Bisa jadi pemberitaan tentang Jokowi yang sudah 4 tahun terakhir dianggap jadi media darling, akan diberitakan gencar sehingga menimbulkan hype masyarakat. Namun yang terjadi, Prabowo pada akhirnya lebih diekspos RCTI (lihat keberadaannya pada ajang Indonesian Idol kemarin), juga acara tim kampanye pemenangannya disiarkan langsung oleh TV One sing ini (27/5).
Yang jelas kita harus percaya bahwa media mainstream itu berusaha “sekuat tenaga” untuk menjaga netralitas dan independensi. Kalaupun ada “kepentingan” itu pun ada, tapi dilakukan implisit. Orang-orang yang bekerja di dunia jurnalistik “pasti” paham akan “dilema” ini.
http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2014/05/27/jokowi-didukung-metro-tv-prabowo-didukung-tv-one-655127.html