Kamis, 17 Oktober 2013

Menjalankan Perintah Tuhan itu Tidak Sulit, Asalkan?

13818811441301623209
foto :koleksi pribadi

by: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/10/16/menjalankan-perintah-tuhan-itu-tidak-sulit-asalkan--601892.html

Setiap musim haji dan hari raya qurban, selalu saja ada kisah-kisah inspiratif dari orang-orang “kecil” yang punya tekad besar, mengalahkan orang-orang “besar” yang bernyali kecil. Sahatiwati misalnya, nenek renta asal Sukabumi, yang sehari-hari menopang hidup dengan memulung botol plastik bekas, tahun ini bisa berkurban seekor kambing. Sejak 7 tahun lalu, nenek Sahati menyisihkan penghasilannya dari hasil memulung dalam sebuah amplop yang kini sudah sangat kumal. Amplop itu disimpan dibawah bantal di rumah gubuknya. Dalam seminggu, nenek Sahati bisa mengumpulkan uang rata-rata Rp. 8.000,00 – Rp. 12.000,00, tergantung berapa uang yang didapatnya dari menjual botol bekas kepada pengepul. Kalau sudah terkumpul 50 atau 100 ribu, nenek Sahati menitipkan uangnya pada Ketua RT di lingkungan tempat tinggalnya, karena khawatir hilang. Kini, setelah 7 tahun menabung, nenek Sahati bisa membeli kambing dan berkurban serta membagikan daging kurban pada tetangganya yang membutuhkan.
Lain lagi dengan Nurlia, seorang ibu yang sehari-hari menjadi penyapu jalan di Makasar ini 2 tahun lalu mendengar perihal besarnya pahala yang dijanjikan bagi orang yang berkurban. Hatinya pun tergetar, ingin sekali meraih pahala itu. Dengan penghasilan yang tak seberapa, Nurlia bertekad menyisihkan penghasilannya setiap bulan Rp. 100.000,00. Kini, setelah 2 tahun, Nurlia bersama 6 rekannya sesama penyapu jalan dan seorang sopir truk sampah, bisa patungan membeli seekor sapi. Bahkan beritanya di Makasar ada 3 ekor sapi hasil patungan para penyapu jalan.
Tak hanya cerita dibalik upaya luar biasa dari orang-orang kecil yang sebetulnya tidak diwajibkan atas mereka untuk berkurban, sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja masih sangat pas-pasan. Ada lagi yang lebih menakjubkan : ketekunan mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk bisa berhaji ke tanah suci, yang butuh biaya setidaknya 35 jutaan. Dan itu dilakukan oleh mereka yang penghasilannya sangat minim dan secara hitung-hitungan akal manusia, tak mungkin pergi haji.
Adalah nenek Karyati, perempuan 69 tahun yang sehari-harinya menjadi pemulung sampah di sekitar pabrik kertas Leces, Probolinggo–Jawa Timur, tahun ini berhasil mewujudkan niat sucinya pergi ke baitullah dan menunaikan rukun Islam ke-5, setelah menabung selama 15 tahun. Demi mendapatkan hasil yang lebih banyak, nenek Karyati hanya pulang seminggu sekali ke rumahnya. Sehari-harinya ia menginap di masjid di dekat lokasinya memulung. Alasannya karena sejak pagi sudah banyak sampah yang bisa dikumpulkan dan nenek Karyati tak ingin melewatkan kesempatan itu. Dari hasilnya memulung sampah, nenek Karyati bisa menyisihkan setidaknya Rp. 20.000,00 seminggu. Tak selamanya lancar, ia bahkan pernah 3x kehilangan uangnya karena lupa, meletakkan sembarangan lalu diambil orang. Bahkan sepeda onthel – satu-satunya sarananya memulung – pernah dicuri orang.
Beberapa tahun lalu, ada pula orang yang tega menipu nenek Karyati. Dengan modus bisa membantu mempercepat keberangkatannya menjadi tahun 2011, penipu itu meminta uang Rp. 10 juta. Nenek polos ini percaya begitu saja karena orang itu tampak sangat meyakinkan. Alhasil, uang 10 juta raib bersama menghilangnya si penipu. Tapi Alhamdulillah, tahun ini nenek Karyati benar-benar bisa menjadi tamu Allah. Di usianya yang sudah renta, nenek Karyati mampu menuntaskan kewajiban sebagi ummat Islam yang belum tentu bisa dilakukan oleh orang yang berpenghasilan tetap lebih besar dari nenek Karyati.
Tak kalah gigih dengan nenek Karyati, pak Abdullah, penarik becak dari Ajung, Jember, tahun ini bisa berhaji setelah menabung selama 22 tahun. Pria paruh baya ini memupuk mimpinya sejak ia masih muda, bahkan semula ia berniat mengajak serta istrinya ke baitullah. Sayangnya, beberapa tahun lalu istrinya berpulang ke rahmatullah. Awalnya, mimpi itu jadi bahan tertawaan rekan-rekannya sesama penarik becak. Mereka meragukan Abdullah bakal bisa berhaji. Namun kini pak Abdullah telah menepis semua keraguan itu dan mereka yang dulu menertawakannya kini berbalik meminta doa darinya agar bisa sampai juga ke tanah suci.
Penghasilan sebagai penarik becak–apalagi di sebuah kecamatan–yang tak seberapa membuat Pak Abdullah harus mencari cara agar tetap ada uang yang bisa disisihkan. Ia pun nyambi jadi kuli angkut di pasar Mangli. Meski terobsesi untuk bisa berhaji, Pak Abdullah tak lupa memprioritaskan kebutuhan dana bagi sekolah anak-anaknya. Itu sebabnya ia butuh waktu 22 tahun sampai tabungannya cukup. Meski harus bekerja keras menarik becak dan menjadi kuli angkut sekalgus, Pak Abdullah tak pernah melewatkan kewajiban sholat 5 waktu saat adzan terdengar.
Seorang loper koran asal Jombang, pak Anwar, tahun ini pun bisa berhaji setelah menabung selama 5 tahun. Awalnya pak Anwar ikut program dana talangan haji dari sebuah bank syariah untuk bisa mendapatkan dana setoran awal ONH. Sepeda motor satu-satunya yang sekaligus jadi sarana mengantarkan koran kepada para pelanggan ia jadikan jaminan untuk bisa mendapatkan kredit dana talangan tersebut. Sebuah upaya yang cukup nekad. Pak Anwar mengaku terkadang ia terpaksa telat membayar angsuran. Namun, tekad kuatnya itu telah mengantarkannya bersujud di depan Ka’bah.
Subhanallah…! Sungguh mengharukan mendengar kisah perjuangan panjang dan tak mudah yang dilakukan nenek Karyati, pak Abdullah dan pak Anwar demi menunaikan ibadah haji, yang sesungguhnya hanya diwajibkan bagi mereka yang “mampu”. Begitu pula keinginan kuat nenek Sahati, ibu Nurlia dan kawan-kawannya untuk bisa ikut berkurban, meski sebenarnya tak ada kewajiban bagi mereka untuk memotong hewan kurban. Bahkan mereka bisa saja ikut mengantri pembagian daging kurban, karena mereka termasuk orang yang berhak mendapat bagian. Tapi mereka menolak untuk jadi penerima bagian, mereka memilih menjadi orang yang memberikan/ membagikan daging kurban. Sungguh luar biasa!
138188129120975397
foto : koleksi pribadi
Mereka bukan orang-orang yang mempersoalkan apakah ibadah itu wajib atau tidak bagi mereka. Ketaatan yang didasari ketaqwaan pada Tuhan-lah yang membuat mereka punya tekad besar, menyingkirkan segala ego dan keinginan konsumtif, demi menyempurnakan ibadahnya. Kalau saja mau berdalih “ah…, itu tidak wajib buat saya, itu kan hanya kewajiban bagi yang mampu, sedang saya ini kan tergolong yang belum mampu” – tentu bisa saja mereka lakukan. Tapi tidak, tak terpikir untuk berdalih apalagi mencari-cari alasan, mereka fokus mencari cara mewujudkan niatnya tanpa minta bantuan orang lain.
Ah…, sungguh malu saya pada mereka! Betapa tidak, untuk kewajiban yang sudah jelas dan tergolong “sepele” saja saya masih sering menunda-nunda dan kebanyakan berdalih. Setiap hari untuk menjalankan sholat 5 waktu saja, jarang sekali saya bisa melakukannya tepat waktu. Selalu saja ada alasan ketika suara panggilan sholat sudah terdengar. Terlalu sering saya mengentengkan waktu sholat. Padahal, dibanding upaya mereka yang harus menabung bertahun-tahun demi membeli hewan kurban atau berhaji, bersegera sholat saat kumandang adzan terdengar, sama sekali tak ada apa-apanya. Hanya butuh kemauan untuk segera bangkit, berwudhu dan sholat.
Sering saya matikan alarm ponsel lalu kembali lelap dan membiarkan sepertiga malam lewat begitu saja. Ah…, toh sholat tahajjud itu bukan wajib kok, hanya sunnah saja! Kerap dalih seperti itu jadi ‘pembenar’ tindakan saya. Sering pula, saya justru merapatkan selimut saat terdengar seruan “sholat itu lebih baik dari pada tidur”. Waktu subuh kan sampai sebelum matahari terbit, setengah jam lagi juga masih bisa! Itu juga dalih yang saya pikir bisa ‘membenarkan’ kemalasan saya.
Lebih memalukan lagi, ketidaktaatan saya itu kadang saya tularkan pada orang lain. Ibaratnya saya cari teman untuk diajak barengan menunda menjalankan perintah Allah. Misalnya saat sedang meeting lalu terdengar adzan Ashar, saya menawarkan : “Kita break sholat apa dilanjutkan dulu pembahasannya?”. Biasanya, pilihan untuk mengakhirkan sholat lebih populer. Jadilah saya punya “pendukung” untuk membenarkan ketidakmampuan saya untuk taat. Kalau meeting-nya siang dan ada agenda makan siang, saya akan menawarkan :”Kita makan dulu atau sholat dulu?”. Biasanya, kalau ada yang berpendapat “dari pada sholat tapi ingat makan, ‘kan mendingan makan tapi ingat sholat” cukup untuk membuat saya memutuskan menunda sholat dan mendahulukan makan. Ya, saya cari teman dalam ketidaktaatan, saya cari pembenar untuk melegitimasi ego saya menunda menjalankan perintah Allah. Yang wajib saya kadang saya “tawar”, apalagi yang tidak wajib.
Seringkali kita lebih sibuk mempersoalkan perintah Allah apakah itu wajib atau sekedar himbauan saja. Kalau mau mengerjakan silakan, tidak juga tak apa-apa. Parahnya lagi, kalau kita enggan melakukan atau belum mampu melakukan, seolah tak ingin sendiri, kita akan cari teman untuk diajak dalam ketidaktaatan. Lalu bersama-sama kita mencari ‘pembenaran’, BUKAN ‘kebenaran’. Mulailah kita cari dalil yang bisa membenarkan pendapat sendiri. Kalau perlu, dikutiplah pernyataan orang yang kita anggap cocok dengan selera kita dan kita singkirkan pendapat yang tak sesuai dengan apa yang kita mau. Logika kerap kita kedepankan, maka keluarlah argumen berbusa-busa hanya untuk bersembunyi dari ketidakmampuan kita mentaati perintah Allah. Ah…, alangkah pengecutnya saya…
1381881402680939758
foto : koleksi pribadi
Sungguh beruntung orang-orang seperti nenek Karyati, pak Abdullah, pak Anwar, nenek Sahati, ibu Nurlia dan teman-temannya. Mereka bukan orang pandai dan berpendidikan tinggi yang pintar mencari alasan. Mereka hanya berbekal takwa! Ya, cukuplah takwa kepada Tuhannya, yang membuat mereka tak lagi mempertanyakan apakah ibadah itu wajib bagi mereka atau tidak. Ketakwaan itu membawa mereka pada ketaatan, tanpa banyak protes, tanpa perlu cari-cari alasan pembenar apalagi ajak-ajak orang lain untuk mempersoalkan perintah Allah. Mereka bukan orang yang menuhankan logika, tapi mengedepankan nurani yang masih bersih dan suci. Kepolosannya dalam berpikir justru membuat mereka terpelihara dari kesombongan untuk mendebat atau mempersoalkan perintah Tuhannya.
Kalau perintah Allah yang tidak diwajibkan atas diri mereka saja mampu ditunaikannya, apalagi perintah yang jelas wajib. Pak Abdullah tak lupa bersegera sholat di tengah kesibukannya mencari nafkah, ibu Nurlia, nenek Karyati dan nenek Sahati, dalam keterbatasannya yang harus bekerja di jalanan, juga berusaha konsisten menutup aurat. Mereka semua bukan orang yang banyak dalih hanya untuk menghindar dari keharusan mentaati perintah Tuhannya. Hanya butuh kemauan dan keikhlasan.
Terima kasih nenek Karyati, pak Abdullah, pak Anwar, nenek Sahati dan ibu Nurlia. Kalian semua membuat saya malu, karena kerap banyak cari alasan untuk taat pada Allah, meski untuk hal-hal sepele sekalipun. Terima kasih karena telah mengajari saya bercermin, bahwa saya masih kerap kali banyak alasan untuk mempersoalkan perintah Allah, padahal kenikmatan dan rizki yang Allah limpahkan untuk saya mungkin lebih besar dari pada mereka. Terima kasih karena sudah menyadarkan saya, bahwa kesombongan karena merasa diri “mampu berpikir” telah membuat diri lebih pintar mencari alasan ketimbang mendahulukan ketaatan sebagai wujud kesyukuran.
Sebenarnya, untuk menjalankan perintah Tuhan itu tidaklah sulit, asal ada kemauan, pasti ada jalan. Asalkan ikhlas dan bukannya malah menggugat dan mempersoalkan perintah Allah dengan mengedepankan logika. Manusia hanya makhluk, sepintar apapun kita, logika manusia itu terbatas. Sedangkah Allah adalah Sang Khalik, Maha Pencipta, Dia Maha Tahu, lalu kenapa pula kita merasa “gagah” untuk mempersoalkan perintahNYA? Ampuni hamba Ya Allah, yang selama ini selalu banyak berdalih hanya untuk lari dari perintahmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com