Setiap musim haji dan hari raya qurban, selalu saja
ada kisah-kisah inspiratif dari orang-orang “kecil” yang punya tekad
besar, mengalahkan orang-orang “besar” yang bernyali kecil. Sahatiwati
misalnya, nenek renta asal Sukabumi, yang sehari-hari menopang hidup
dengan memulung botol plastik bekas, tahun ini bisa berkurban seekor
kambing. Sejak 7 tahun lalu, nenek Sahati menyisihkan penghasilannya
dari hasil memulung dalam sebuah amplop yang kini sudah sangat kumal.
Amplop itu disimpan dibawah bantal di rumah gubuknya. Dalam seminggu,
nenek Sahati bisa mengumpulkan uang rata-rata Rp. 8.000,00 – Rp.
12.000,00, tergantung berapa uang yang didapatnya dari menjual botol
bekas kepada pengepul. Kalau sudah terkumpul 50 atau 100 ribu, nenek
Sahati menitipkan uangnya pada Ketua RT di lingkungan tempat tinggalnya,
karena khawatir hilang. Kini, setelah 7 tahun menabung, nenek Sahati
bisa membeli kambing dan berkurban serta membagikan daging kurban pada
tetangganya yang membutuhkan.
Lain lagi dengan Nurlia, seorang ibu yang
sehari-hari menjadi penyapu jalan di Makasar ini 2 tahun lalu mendengar
perihal besarnya pahala yang dijanjikan bagi orang yang berkurban.
Hatinya pun tergetar, ingin sekali meraih pahala itu. Dengan penghasilan
yang tak seberapa, Nurlia bertekad menyisihkan penghasilannya setiap
bulan Rp. 100.000,00. Kini, setelah 2 tahun, Nurlia bersama 6 rekannya
sesama penyapu jalan dan seorang sopir truk sampah, bisa patungan
membeli seekor sapi. Bahkan beritanya di Makasar ada 3 ekor sapi hasil
patungan para penyapu jalan.
Tak hanya cerita dibalik upaya luar biasa dari
orang-orang kecil yang sebetulnya tidak diwajibkan atas mereka untuk
berkurban, sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja masih sangat
pas-pasan. Ada lagi yang lebih menakjubkan : ketekunan mengumpulkan
rupiah demi rupiah untuk bisa berhaji ke tanah suci, yang butuh biaya
setidaknya 35 jutaan. Dan itu dilakukan oleh mereka yang penghasilannya
sangat minim dan secara hitung-hitungan akal manusia, tak mungkin pergi
haji.
Adalah nenek Karyati, perempuan 69 tahun yang
sehari-harinya menjadi pemulung sampah di sekitar pabrik kertas Leces,
Probolinggo–Jawa Timur, tahun ini berhasil mewujudkan niat sucinya pergi
ke baitullah dan menunaikan rukun Islam ke-5, setelah menabung selama
15 tahun. Demi mendapatkan hasil yang lebih banyak, nenek Karyati hanya
pulang seminggu sekali ke rumahnya. Sehari-harinya ia menginap di masjid
di dekat lokasinya memulung. Alasannya karena sejak pagi sudah banyak
sampah yang bisa dikumpulkan dan nenek Karyati tak ingin melewatkan
kesempatan itu. Dari hasilnya memulung sampah, nenek Karyati bisa
menyisihkan setidaknya Rp. 20.000,00 seminggu. Tak selamanya lancar, ia
bahkan pernah 3x kehilangan uangnya karena lupa, meletakkan sembarangan
lalu diambil orang. Bahkan sepeda onthel – satu-satunya sarananya
memulung – pernah dicuri orang.
Beberapa tahun lalu, ada pula orang yang tega
menipu nenek Karyati. Dengan modus bisa membantu mempercepat
keberangkatannya menjadi tahun 2011, penipu itu meminta uang Rp. 10
juta. Nenek polos ini percaya begitu saja karena orang itu tampak sangat
meyakinkan. Alhasil, uang 10 juta raib bersama menghilangnya si penipu.
Tapi Alhamdulillah, tahun ini nenek Karyati benar-benar bisa menjadi
tamu Allah. Di usianya yang sudah renta, nenek Karyati mampu menuntaskan
kewajiban sebagi ummat Islam yang belum tentu bisa dilakukan oleh orang
yang berpenghasilan tetap lebih besar dari nenek Karyati.
Tak kalah gigih dengan nenek Karyati, pak
Abdullah, penarik becak dari Ajung, Jember, tahun ini bisa berhaji
setelah menabung selama 22 tahun. Pria paruh baya ini memupuk mimpinya
sejak ia masih muda, bahkan semula ia berniat mengajak serta istrinya ke
baitullah. Sayangnya, beberapa tahun lalu istrinya berpulang ke
rahmatullah. Awalnya, mimpi itu jadi bahan tertawaan rekan-rekannya
sesama penarik becak. Mereka meragukan Abdullah bakal bisa berhaji.
Namun kini pak Abdullah telah menepis semua keraguan itu dan mereka yang
dulu menertawakannya kini berbalik meminta doa darinya agar bisa sampai
juga ke tanah suci.
Penghasilan sebagai penarik becak–apalagi di
sebuah kecamatan–yang tak seberapa membuat Pak Abdullah harus mencari
cara agar tetap ada uang yang bisa disisihkan. Ia pun nyambi jadi kuli angkut di pasar Mangli.
Meski terobsesi untuk bisa berhaji, Pak Abdullah tak lupa
memprioritaskan kebutuhan dana bagi sekolah anak-anaknya. Itu sebabnya
ia butuh waktu 22 tahun sampai tabungannya cukup. Meski harus bekerja
keras menarik becak dan menjadi kuli angkut sekalgus, Pak Abdullah tak
pernah melewatkan kewajiban sholat 5 waktu saat adzan terdengar.
Seorang loper koran asal Jombang, pak Anwar,
tahun ini pun bisa berhaji setelah menabung selama 5 tahun. Awalnya pak
Anwar ikut program dana talangan haji dari sebuah bank syariah untuk
bisa mendapatkan dana setoran awal ONH. Sepeda motor satu-satunya yang
sekaligus jadi sarana mengantarkan koran kepada para pelanggan ia
jadikan jaminan untuk bisa mendapatkan kredit dana talangan tersebut.
Sebuah upaya yang cukup nekad. Pak Anwar mengaku terkadang ia terpaksa
telat membayar angsuran. Namun, tekad kuatnya itu telah mengantarkannya
bersujud di depan Ka’bah.
Subhanallah…! Sungguh mengharukan mendengar
kisah perjuangan panjang dan tak mudah yang dilakukan nenek Karyati, pak
Abdullah dan pak Anwar demi menunaikan ibadah haji, yang sesungguhnya
hanya diwajibkan bagi mereka yang “mampu”. Begitu pula keinginan kuat
nenek Sahati, ibu Nurlia dan kawan-kawannya untuk bisa ikut berkurban,
meski sebenarnya tak ada kewajiban bagi mereka untuk memotong hewan
kurban. Bahkan mereka bisa saja ikut mengantri pembagian daging kurban,
karena mereka termasuk orang yang berhak mendapat bagian. Tapi mereka menolak untuk jadi penerima bagian, mereka memilih menjadi orang yang memberikan/ membagikan daging kurban. Sungguh luar biasa!
Mereka bukan orang-orang yang mempersoalkan apakah ibadah itu wajib atau tidak
bagi mereka. Ketaatan yang didasari ketaqwaan pada Tuhan-lah yang
membuat mereka punya tekad besar, menyingkirkan segala ego dan keinginan
konsumtif, demi menyempurnakan ibadahnya. Kalau saja mau berdalih “ah…,
itu tidak wajib buat saya, itu kan hanya kewajiban bagi yang mampu,
sedang saya ini kan tergolong yang belum mampu” – tentu bisa saja mereka
lakukan. Tapi tidak, tak terpikir untuk berdalih apalagi
mencari-cari alasan, mereka fokus mencari cara mewujudkan niatnya tanpa
minta bantuan orang lain.
Ah…, sungguh malu saya pada mereka! Betapa
tidak, untuk kewajiban yang sudah jelas dan tergolong “sepele” saja saya
masih sering menunda-nunda dan kebanyakan berdalih. Setiap hari untuk
menjalankan sholat 5 waktu saja, jarang sekali saya bisa melakukannya
tepat waktu. Selalu saja ada alasan ketika suara panggilan sholat sudah
terdengar. Terlalu sering saya mengentengkan waktu sholat.
Padahal, dibanding upaya mereka yang harus menabung bertahun-tahun demi
membeli hewan kurban atau berhaji, bersegera sholat saat kumandang adzan
terdengar, sama sekali tak ada apa-apanya. Hanya butuh kemauan untuk
segera bangkit, berwudhu dan sholat.
Sering saya matikan alarm ponsel lalu kembali lelap dan membiarkan sepertiga malam lewat begitu saja. Ah…, toh sholat tahajjud itu bukan wajib kok, hanya sunnah saja!
Kerap dalih seperti itu jadi ‘pembenar’ tindakan saya. Sering pula,
saya justru merapatkan selimut saat terdengar seruan “sholat itu lebih
baik dari pada tidur”. Waktu subuh kan sampai sebelum matahari terbit, setengah jam lagi juga masih bisa! Itu juga dalih yang saya pikir bisa ‘membenarkan’ kemalasan saya.
Lebih memalukan lagi, ketidaktaatan saya itu kadang saya tularkan pada orang lain. Ibaratnya saya cari teman untuk diajak barengan menunda menjalankan perintah Allah. Misalnya saat sedang meeting lalu terdengar adzan Ashar, saya menawarkan : “Kita break
sholat apa dilanjutkan dulu pembahasannya?”. Biasanya, pilihan untuk
mengakhirkan sholat lebih populer. Jadilah saya punya “pendukung” untuk
membenarkan ketidakmampuan saya untuk taat. Kalau meeting-nya
siang dan ada agenda makan siang, saya akan menawarkan :”Kita makan dulu
atau sholat dulu?”. Biasanya, kalau ada yang berpendapat “dari pada sholat tapi ingat makan, ‘kan mendingan makan tapi ingat sholat”
cukup untuk membuat saya memutuskan menunda sholat dan mendahulukan
makan. Ya, saya cari teman dalam ketidaktaatan, saya cari pembenar untuk
melegitimasi ego saya menunda menjalankan perintah Allah. Yang wajib
saya kadang saya “tawar”, apalagi yang tidak wajib.
Seringkali kita lebih sibuk mempersoalkan perintah Allah apakah itu wajib atau sekedar himbauan saja.
Kalau mau mengerjakan silakan, tidak juga tak apa-apa. Parahnya lagi,
kalau kita enggan melakukan atau belum mampu melakukan, seolah tak ingin
sendiri, kita akan cari teman untuk diajak dalam ketidaktaatan. Lalu bersama-sama kita mencari ‘pembenaran’, BUKAN ‘kebenaran’.
Mulailah kita cari dalil yang bisa membenarkan pendapat sendiri. Kalau
perlu, dikutiplah pernyataan orang yang kita anggap cocok dengan selera
kita dan kita singkirkan pendapat yang tak sesuai dengan apa yang kita
mau. Logika kerap kita kedepankan, maka keluarlah argumen berbusa-busa hanya untuk bersembunyi dari ketidakmampuan kita mentaati perintah Allah. Ah…, alangkah pengecutnya saya…
Sungguh beruntung orang-orang seperti nenek
Karyati, pak Abdullah, pak Anwar, nenek Sahati, ibu Nurlia dan
teman-temannya. Mereka bukan orang pandai dan berpendidikan tinggi yang
pintar mencari alasan. Mereka hanya berbekal takwa! Ya, cukuplah
takwa kepada Tuhannya, yang membuat mereka tak lagi mempertanyakan
apakah ibadah itu wajib bagi mereka atau tidak. Ketakwaan itu membawa
mereka pada ketaatan, tanpa banyak protes, tanpa perlu cari-cari alasan
pembenar apalagi ajak-ajak orang lain untuk mempersoalkan perintah
Allah. Mereka bukan orang yang menuhankan logika, tapi mengedepankan nurani yang masih bersih dan suci. Kepolosannya
dalam berpikir justru membuat mereka terpelihara dari kesombongan untuk
mendebat atau mempersoalkan perintah Tuhannya.
Kalau perintah Allah yang tidak diwajibkan atas
diri mereka saja mampu ditunaikannya, apalagi perintah yang jelas
wajib. Pak Abdullah tak lupa bersegera sholat di tengah kesibukannya
mencari nafkah, ibu Nurlia, nenek Karyati dan nenek Sahati, dalam
keterbatasannya yang harus bekerja di jalanan, juga berusaha konsisten
menutup aurat. Mereka semua bukan orang yang banyak dalih hanya untuk
menghindar dari keharusan mentaati perintah Tuhannya. Hanya butuh kemauan dan keikhlasan.
Terima kasih nenek Karyati, pak Abdullah, pak
Anwar, nenek Sahati dan ibu Nurlia. Kalian semua membuat saya malu,
karena kerap banyak cari alasan untuk taat pada Allah, meski untuk
hal-hal sepele sekalipun. Terima kasih karena telah mengajari saya
bercermin, bahwa saya masih kerap kali banyak alasan untuk mempersoalkan
perintah Allah, padahal kenikmatan dan rizki yang Allah limpahkan untuk
saya mungkin lebih besar dari pada mereka. Terima kasih karena sudah
menyadarkan saya, bahwa kesombongan karena merasa diri “mampu berpikir”
telah membuat diri lebih pintar mencari alasan ketimbang mendahulukan
ketaatan sebagai wujud kesyukuran.
Sebenarnya, untuk menjalankan perintah
Tuhan itu tidaklah sulit, asal ada kemauan, pasti ada jalan. Asalkan
ikhlas dan bukannya malah menggugat dan mempersoalkan perintah Allah
dengan mengedepankan logika. Manusia hanya makhluk, sepintar
apapun kita, logika manusia itu terbatas. Sedangkah Allah adalah Sang
Khalik, Maha Pencipta, Dia Maha Tahu, lalu kenapa pula kita merasa
“gagah” untuk mempersoalkan perintahNYA? Ampuni hamba Ya Allah, yang
selama ini selalu banyak berdalih hanya untuk lari dari perintahmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com