Sabtu, 20 Juli 2013

Sufi Kaya (Antara Kesederhanaan dan Kekayaan)

Rasulullah saw dalam kehidupan Beliau tercatat sebagai orang yang hidup sederhana, bahkan cenderung kepada kehidupan kaum fakir. Beliau tidak menyukai kemewahan dan itulah jalan hidup yang dipilih oleh Rasul yang kemudian di contoh oleh para sahabat dan orang-orang shaleh pada generasi selanjutnya. Nabi dengan posisi sebagai kepala negara dan juga jenderal yang membawahi sekian banyak prajurit, akan sangat mudah bagi Beliau untuk hidup mewah dengan segala fasilitas yang bisa Beliau peroleh. Namun Beliau telah memilih kesederhanaan sebagai pilihan hidup, sesuai dengan doa Beliau ketika diberikan pilihan apakah menjadi seorang Nabi yang Raja atau sebagai Nabi yang hamba, Rasulullah memilih menjadi Nabi yang hamba.


Pilihan hidup Nabi tersebut menginspirasi kehidupan para sahabat, sejarah menceritakan kepada kita bagaimana luar biasa sederhana gaya hidup Umar bin Khatab, di saat kekuasaan Islam di zamannya sudah demikian besar, Umar tetap menjadi sosok yang sangat sederhana. Para sufi berasal dari Ahlul Suffah yaitu para sahabat yang tinggal dan mengabdi di mesjid Nabi, hidup dengan penuh kesederhanaan, ikhlas beribadah dan tidak memikirkan duniawi kemudian meneruskan gradisi ini kepada generasi selanjutnya.

Kalau para peneliti orientalis menyimpulkan bahwa kaum sufi muncul dan terbentuk akibat kekecewaan ummat terhadap gaya hidup mewah dari kekhalifahan Islam dinasti umayyah tidak sepenuhnya benar. Kondisi itu hanya menyuburkan komunitas sufi, orang-orang yang rindu akan kesederhaan hidup Rasul yang zuhud kemudian bergabung dalam komunitas sufi sehingga semakin lama semakin besar dan tersebar ke seluruh dunia. Jauh sebelum Bani Umayyah hidup dengan gaya kekaisaran, jauh dari nilai-nilai Islam, sejak zaman Nabi sufi sudah ada dan mendapat perhatian istimewa dari Nabi. Tradisi hidup dan mengabdi sahabat yang berjumlah lebih kurang 40 orang itu kemudian di teruskan sampai zaman sekarang, ada sekian orang yang mengabdikan hidupnya kepada Guru Mursyid, tinggal bersama Guru, membantu dan menimba ilmu langsung dari Guru dan kemudian mengaplikasikan dalam kehidupannya.

Ahlul Suffah mendapat perhatian istimewa dari Nabi, mereka mengetahui ilmu langsung dari Nabi karena kehidupan mereka sepenuhnya diberikan kepada Nabi. Anas bin Malik menceritakan kalau mereka dipanggil oleh Nabi, mereka berlari memenuhi panggilan Nabi. Ciri khas pengabdian dari Ahlul Suffah itu masih bisa kita temui sampai saat ini, di surau-surau, di alkah-alkah zikir, di zawiyah, di pasantren dan lain-lain. Lewat tulisan ini saya menitipkan salam penuh kasih kepada para sahabat yang masih tekun belajar, mengabdikan hidup untuk membesarkan nama-Nya, hanya dengan cara itu kita akan mengerti hakikat Ikhlas dan hakikat Ilmu.

Pertanyaan yang harus terjawab adalah, apakah untuk mengerti hakikat Tuhan dan untuk menjadi seorang sufi harus hidup fakir dan melarat?

BAGIAN KEDUA:
Kehidupan Nabi yang begitu sederhana, kehidupan sahabat yang begitu bersahaja dan kehidupan para sufi yang faqir tercatat dalam sejarah mengikuti gaya hidup Nabi dan para sahabat, lalu apakah menjadi seorang sufi harus fakir, miskin dan melarat?. Sufi adalah orang yang tidak akan pernah bisa dikenal di zamannya, tidak akan pernah diketahui identitasnya kecuali oleh orang sejenis dengan mereka.

Nabi memilih hidup sederhana, itu merupakan pilihan gaya hidup Nabi, dan itu tidak ada hubungan dengan kualitas ibadah dan hubungan Beliau dengan Tuhan. Andai Rasulullah SAW mengambil pilihan hidup seperti Nabi Sulaiman seorang Nabi yang menjadi Raja, maka Beliau akan tetap menjadi kekasih Allah yang istimewa.
Nabi Muhammad kondisi saat itu memungkinkan Beliau untuk hidup jauh lebih baik dari gaya hidup yang Beliau jalani. Kalau kita ingin mencontoh kehidupan Nabi, kita harus menjadi orang kaya raya terlebih dulu baru kemudian membuat pilihan hidup menjalani kehidupan yang sederhana misalnya. Jadi kita hidup sederhana bukan karena kondisi yang menuntut demikian. Saidina Abu Bakar Siddiq bernah mengatakan bahwa puasa yang baik adalah menahan diri disaat dia masih ada pilihan untuk tidak menahan diri. Berpuasa tidak makan dan minum disaat dia memiliki kehidupan yang baik, memiliki makanan dan minuman yang berlimpah tapi dia berpuasa sebagai wujud rasa syukur kepada Allah.
Kehidupan faqir Nabi erat hubungan dengan kondisi umat saat itu, dimana pengikut Beliau banyak dari kalangan miskin dan hidup di bawah garis kemiskinan. Beliau sangat ber empati kepada ummat sebagai wujud rasa cinta Beliau dan sampai di akhir hanyat pun tidak ada yang menjadi bahan pikiran Beliau selain dari ummat. Cinta demikian besar dari Nabi kepada ummat yang diwujudkan dengan gaya hidup sederhana menjadi kekuatan yang sangat besar yang membuat Islam bukan hanya menjadi sebuah agama tapi menjadi sebuah budaya baru yang mengubah peradaban dunia.
Seorang hamba Allah yang taat bisa saja dalam kehidupan duniawi begitu berlimpah namun dia tetap ingat kepada Allah, tetap menjadi hamba Allah yang baik, tidak melupakan kewajibannya kepada Allah. Kekayaan yang dimiliki tidak mempengaruhi kualitas hubungannya dengan Tuhan.
Tuhan memberikan kita pilihan dalam menjalani hidup seperti pilihan yang diberikan kepada Nabi, menjadi Hamba yang kaya atau menjadi hamba yang miskin. Di zaman sekarang, dengan kekayaan yang kita miliki akan lebih banyak kesempatan bagi kita untuk beramal membantu orang-orang yang memerlukan.
Di saat seorang murid menuntut ilmu, mengabdi kepada Guru Mursyid sebagai bagian dari pengabdian kepada Allah tentu saja harus menjalani kehidupan faqir, tidak mempunyai uang, makan apa yang ada, menanggalkan segala atribut duniawi dan menampilkan diri sebagai sosok hamba yang tiada berdaya sebagaimana yang dilakukan oleh para Ahlul Suffah. Kehidupan seorang pengabdi dengan segala kesusaha akan memudahkan kita dalam mengenal diri sebagai syarat utama mengenal Allah. Kehidupan yang keras dan susah itu akan memudahkan kita menemukan MutiaraHikmah berupa Makrifat yang di cari orang seluruh manusia di muka bumi.
Setelah mutiara itu di dapat, maka Tuhan memberikan pilihan kepada para pengabdi, apakah dia akan menyembunyikan Mutiara tersebut dalam Jubah Kefaqiran atau dia menyembunyikan dengan cara lebih tersembunyi lagi yaitu bersembunyi dalam jubah kekayaan sehingga tidak seorang pun di dunia ini mengetahui bahwa dia memiliki Mutiara yang begitu mahal dengan demikian tidak seorang pun bisa merampas darinya. Kalau ingin bersembunyi dalam jubah kekayaan maka kita harus memiliki ilmu yang cukup tentang bagaimana menjadi orang kaya tidak hanya mengandalkan ilmu dzikir saja.
Dalam sejarah, para sufi pada umumnya bekerja sendiri untuk mencari nafkahnya dalam berbagai bidang usaha, sehingga ada diantara mereka itu diberikan julukan-julukan sesuai bidang usahanya itu. Seperti Al Hallaaj (Pembersih kulit kapas), Al Qashar (Tukang Penatu), Al Waraak (Tukang Kertas), Al Kharraaz (Penjahit Kulit Hewan), Al Bazzaaz (Perajin Tikar Daun Kurma), Az Zujaaji (Pengrajin dari kaca) dan Al Farraa’ (Penyamak Kulit).
Hanya Orang Gila dan Bodoh Yang Tidak Ingin Kaya
Guru saya yang mulia mengatakan, “Hanya orang gila dan orang bodoh yang tidak ingin kaya”, ucapan ini untuk memberikan semangat kepada seluruh murid agar bersunguh-sungguh dalam bekerja dan berkarya. Ditempat lain Beliau mengatakan, “Ciptakan pensiun mu 5 tahun mendatang”. Beliau sangat menganjurkan para murid untuk memiliki penghasilan besar dan menciptakan sumber penghasilan sendiri yang bisa membuat pensiun dini. Dengan pensiun dini akan memudahkan kita untuk beribadah kepada-Nya.
 
Bagaimana cara menciptakan pensiun, berhenti bekerja dalam waktu 5 tahun dari sekarang tentu harus ada strategi dan ilmunya. Tidak bisa kekayaan itu datang hanya dengan dzikir siang malam, hanya dengan memperbanyak ibadah karena tidak ada hubungan antara rajin ibadah dengan kaya. Untuk bisa mewujudkan ucapan Guru “Ciptakan Pensiun mu 5 tahun mendatang” diperlukan strategi yang matang, perencanaan yang baik agar itu semua terwujud.
Seorang sufi yang sudah terbiasa istiqamah dalam dzikir dan ibadah, di siplin dalam amalan-amalan dan teguh memegang prinsip, mempunyai loyalitas yang tinggi kepada Guru, apabila sifat-sifat ini di arahkan kepada hal-hal bersifat duniawi, kemudian mau belajar ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kekayaan maka insya Allah dia akan menjadi seorang yang kaya raya.
Tuhan tidak melarang hamba-Nya untuk kaya, yang dilarang adalah mencintai dunia dan menempatkan hal-hal bersifat duniawi ke dalam hati. Miliki lah kekayaan sebanyak-banyaknya sebagai sarana untuk mengabdi kepada Tuhan, sebagai sarana untuk berbuat lebih banyak lagi kepada sesama dan dalam kekayaan yang berlimpah itu, hati tetap bersih dan tenang, disana hanya ada satu nama yaitu Tuhan.. 
sumber: http://sufimuda.net/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com