Oleh: Asy Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Soal:
Saya adalah seorang pemuda yang ingin bertaubat, kembali ke jalan Allah.
Apa yang harus saya lakukan agar bisa menjauh dari perbuatan maksiat?
Jawab:
Bertaubat kepada Allah adalah perkara yang wajib, demikian juga
bersegera dalam taubat adalah perkara yang wajib. Tidak boleh
mengakhirkan taubat sampai terlambat, karena seseorang tidak tahu kapan
maut menjemputnya.
Allah ta’ala berfirman,
{إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوَءَ
بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُوْلَـئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ}
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang
yang mengerjakan kejahatan lantaran kebodohan, yang kemudian mereka
bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang taubatnya diterima
Allah.” (An Nisa: 17)
Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
(أتبِعِ السَّيِّئة الحسنة تَمحُها)
“Ikutilah kejelekan dengan kebaikan, dia akan menghapuskan kejelekan
itu.” (HR. At Tirmidzi dalam Sunannya [6/204], dari hadits Abu Dzar
radhiyallahu ‘anhu)
Mengikuti kebaikan di sini maknanya adalah bersegera, karena termasuk
dari adab taubat adalah bersegera dan tidak mengakhirkannya.
Demikian juga jika Anda bertaubat kepada Allah, hendaknya Anda
menjauhi sebab-sebab yang dapat menjerumuskan diri Anda ke dalam
perbuatan dosa. Jauhilah teman yang jelek, jauhi teman duduk yang jelek,
karena merekalah yang menyebabkan Anda terjerumus ke dalam dosa-dosa.
Pergilah Anda kepada orang-orang yang shalih, duduklah bersama
mereka, hadirlah di majelis-majelis ilmu, bersegera datang ke masjid,
memperbanyak membaca Al Qur’an dan berzikir kepada Allah subhanahu
wata’ala. Inilah yang sepantasnya diperbuat oleh seseorang yang
bertaubat kepada Allah: menjauhi segala sebab kemaksiatan, dan
mendekatkan diri dengan perkara-perkara yang baik serta sebab-sebab
keta’atan.
(Sumber: Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Al Fauzan, Jilid I, no 168)
https://ulamasunnah.wordpress.com/
Minggu, 20 Agustus 2017
Muhasabah : Menggenggam Bara Api “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
.
“Kamu keluar dari pekerjaanmu hanya karena ada yang bilang kerjaanmu haram?”
“Bukan ada yang bilang, tapi memang benar haram.”
“Gajimu besar banget loh, kamu bodoh banget keluar dari sana.”
“Besar tapi jelas keharamannya. Hidup jadi tidak berkah.”
“Ah, sok alim kamu. Hidup kita nggak cuma di akhirat, tapi di dunia juga. Kita butuh makan, bodoh!”
.
“Apa alasan kamu tadi? Memilih karena agamanya? Tapi jelas-jelas dia nggak setara sama kamu. Dan belum punya pekerjaan tetap. Kamu lihat darimananya sih? Cinta? Mau makan cinta hari gini?”
“Aku sudah bilang, aku lihat agamanya. Karena jika seseorang memilih agama Allah, maka Allah akan menolongnya.”
“Ya tetap aja, kita hidup di dunia juga. Pikirin juga bahwa hidup berumah tangga nggak mudah, mesti ada penghasilan yang cukup. Bukan cuma agama.”
“Aku percaya bahwa rezeki sudah diatur sama Allah.”
“Ya percaya sih, percaya, tapi walau udah diatur, rezeki juga harus dicari, bodoh!”
.
“Kenapa, kenapa kamu berubah secepat ini. Impianmu dulu nggak gini kan. Kenapa kamu minta nikah muda. Itu urusan belakangan, yang penting kamu sekolah dulu.”
“Menikah nggak berarti menghancurkan impian, menikah nggak berarti aku gak sekolah.”
“Tetap saja, orang yang menikah itu nanti jadi ga fokus sama sekolah. Jadi mikirin suami, keluarga, belum nanti kalau kamu hamil. Hamil itu berat.”
“Kalau Allah sudah berkehendak, berarti aku sanggup menjalani pernikahan sambil kuliah, juga kehamilan.”
“Jangan cuma gara-gara kamu gak pernah pacaran, kamu mau rasain pacaran terus harus buru-buru nikah.”
“Lantas, solusi apa yang bisa dilakukan selain menikah?”
.
“Besok mau ikut jalan nggak? Kita mau karokean nih, asik-asikan hilangin penat.”
“Maaf, aku nggak bisa.”
“Kenapa sih, katanya kamu nggak denger musik ya? Emang katanya musik haram?”
“Iya.”
“Ah, nggak asik. Haram darimananya sih, hidup nggak berwarna banget kalo gaada musik.”
“Hem nggak juga, aku ngerasa lebih tenang pas gak denger musik.”
“Iya udah deh kalo gak mau karoke, gimana kalo kita nonton bioskop?”
“Wah, maaf juga, aku nggak bisa.”
“Kenapa? Haram lagi? Semuanya aja haram.”
“Bukan, ngerasa gak bermanfaat aja.”
“Ya dibawa asik aja, namanya juga refreshing. Hidup serius banget.”
“Ya gitu deh, soalnya mati juga serius sih.”
“Aish, yaudah gini deh, besok sebenernya mau ikut jalan nggak, soal kemananya diusahain deh cari yang bermanfaat.”
“Sama siapa aja? Ada cowoknya ya?”
“Iya ada.”
“Wah kalo gitu, aku gak ikut.”
“Ah ga ngerti lagi sama kamu deh.”
“Maaf.”
.
“Dek kerudungnya gak bisa ya kalo gak sepanjang ini? Duh, kamu juga Dik, kenapa pake celana cingkrang kayak kebanjiran, jenggotan pula”
“Tapi, syariatnya seperti ini.” Anak kembar laki-laki dan perempuan itu menjawab berbarengan.
“Ah gausah sesuai syariat banget, ini kan Indonesia, bukan Arab Saudi, kita bukan negara Islam.”
“Lantas kalau bukan negara Islam, kita nggak boleh berpakaian sesuai syariat? Bukankah Islam mencakup seluruh alam ini karena Allahlah yang memiliki seluruh alam ini, dan kita sebagai hambaNya patut bertakwa kepada Allah dimanapun kita berada dan kapanpun itu.” Jawab kakak-beradik itu berbarengan lagi.
.
Percakapan di atas hanyalah sebagian contoh nyata orang-orang yang berusaha memilih agama Allah lalu mengalami penolakan serta cemoohan. Ada banyak sekali orang-orang yang merasakan kepahitan lebih dari itu, hinaan lebih dari itu. tetapi mereka tetap bertahan, karena mereka berpegang teguh kepada hadits ini;
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dan zaman itu, adalah zaman sekarang. Semuanya telah terjadi. Orang-orang yang berpegang teguh kepada agamanya benar-benar merasakan pedihnya menggenggam bara api. Dia panas, tetapi tak bisa dilepas, karena ketika dilepas, neraka sudah menunggu, dan neraka lebih panas daripada bara api. Pedih, perih, sakit. Semuanya diterima dengan lapang dada. Karena mereka percaya bahwa mereka memilih jalan yang benar, jalan yang lurus, jalan yang diridhoi oleh Allah.
Ketika seseorang sudah mencintai dan memilih Allah serta RasulNya melebihi apapun di dunia ini, maka dunia akan datang dalam keadaan hina dina. Rasa manis yang menyesaki dada adalah surga yang tak tergantikan. Rasa tenang, damainya hati layaknya melihat taman-taman surga.
Tetaplah tegak di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena Surga menantimu. Karena Surga menantimu, karena Surga menantimu. Keep istiqomah!
Jakarta, 7 Januari 2016
Penulis: Ummu A’ishaa Fathia Rissa
https://moslemdoctors.wordpress.com
“Kamu keluar dari pekerjaanmu hanya karena ada yang bilang kerjaanmu haram?”
“Bukan ada yang bilang, tapi memang benar haram.”
“Gajimu besar banget loh, kamu bodoh banget keluar dari sana.”
“Besar tapi jelas keharamannya. Hidup jadi tidak berkah.”
“Ah, sok alim kamu. Hidup kita nggak cuma di akhirat, tapi di dunia juga. Kita butuh makan, bodoh!”
.
“Apa alasan kamu tadi? Memilih karena agamanya? Tapi jelas-jelas dia nggak setara sama kamu. Dan belum punya pekerjaan tetap. Kamu lihat darimananya sih? Cinta? Mau makan cinta hari gini?”
“Aku sudah bilang, aku lihat agamanya. Karena jika seseorang memilih agama Allah, maka Allah akan menolongnya.”
“Ya tetap aja, kita hidup di dunia juga. Pikirin juga bahwa hidup berumah tangga nggak mudah, mesti ada penghasilan yang cukup. Bukan cuma agama.”
“Aku percaya bahwa rezeki sudah diatur sama Allah.”
“Ya percaya sih, percaya, tapi walau udah diatur, rezeki juga harus dicari, bodoh!”
.
“Kenapa, kenapa kamu berubah secepat ini. Impianmu dulu nggak gini kan. Kenapa kamu minta nikah muda. Itu urusan belakangan, yang penting kamu sekolah dulu.”
“Menikah nggak berarti menghancurkan impian, menikah nggak berarti aku gak sekolah.”
“Tetap saja, orang yang menikah itu nanti jadi ga fokus sama sekolah. Jadi mikirin suami, keluarga, belum nanti kalau kamu hamil. Hamil itu berat.”
“Kalau Allah sudah berkehendak, berarti aku sanggup menjalani pernikahan sambil kuliah, juga kehamilan.”
“Jangan cuma gara-gara kamu gak pernah pacaran, kamu mau rasain pacaran terus harus buru-buru nikah.”
“Lantas, solusi apa yang bisa dilakukan selain menikah?”
.
“Besok mau ikut jalan nggak? Kita mau karokean nih, asik-asikan hilangin penat.”
“Maaf, aku nggak bisa.”
“Kenapa sih, katanya kamu nggak denger musik ya? Emang katanya musik haram?”
“Iya.”
“Ah, nggak asik. Haram darimananya sih, hidup nggak berwarna banget kalo gaada musik.”
“Hem nggak juga, aku ngerasa lebih tenang pas gak denger musik.”
“Iya udah deh kalo gak mau karoke, gimana kalo kita nonton bioskop?”
“Wah, maaf juga, aku nggak bisa.”
“Kenapa? Haram lagi? Semuanya aja haram.”
“Bukan, ngerasa gak bermanfaat aja.”
“Ya dibawa asik aja, namanya juga refreshing. Hidup serius banget.”
“Ya gitu deh, soalnya mati juga serius sih.”
“Aish, yaudah gini deh, besok sebenernya mau ikut jalan nggak, soal kemananya diusahain deh cari yang bermanfaat.”
“Sama siapa aja? Ada cowoknya ya?”
“Iya ada.”
“Wah kalo gitu, aku gak ikut.”
“Ah ga ngerti lagi sama kamu deh.”
“Maaf.”
.
“Dek kerudungnya gak bisa ya kalo gak sepanjang ini? Duh, kamu juga Dik, kenapa pake celana cingkrang kayak kebanjiran, jenggotan pula”
“Tapi, syariatnya seperti ini.” Anak kembar laki-laki dan perempuan itu menjawab berbarengan.
“Ah gausah sesuai syariat banget, ini kan Indonesia, bukan Arab Saudi, kita bukan negara Islam.”
“Lantas kalau bukan negara Islam, kita nggak boleh berpakaian sesuai syariat? Bukankah Islam mencakup seluruh alam ini karena Allahlah yang memiliki seluruh alam ini, dan kita sebagai hambaNya patut bertakwa kepada Allah dimanapun kita berada dan kapanpun itu.” Jawab kakak-beradik itu berbarengan lagi.
.
Percakapan di atas hanyalah sebagian contoh nyata orang-orang yang berusaha memilih agama Allah lalu mengalami penolakan serta cemoohan. Ada banyak sekali orang-orang yang merasakan kepahitan lebih dari itu, hinaan lebih dari itu. tetapi mereka tetap bertahan, karena mereka berpegang teguh kepada hadits ini;
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dan zaman itu, adalah zaman sekarang. Semuanya telah terjadi. Orang-orang yang berpegang teguh kepada agamanya benar-benar merasakan pedihnya menggenggam bara api. Dia panas, tetapi tak bisa dilepas, karena ketika dilepas, neraka sudah menunggu, dan neraka lebih panas daripada bara api. Pedih, perih, sakit. Semuanya diterima dengan lapang dada. Karena mereka percaya bahwa mereka memilih jalan yang benar, jalan yang lurus, jalan yang diridhoi oleh Allah.
Ketika seseorang sudah mencintai dan memilih Allah serta RasulNya melebihi apapun di dunia ini, maka dunia akan datang dalam keadaan hina dina. Rasa manis yang menyesaki dada adalah surga yang tak tergantikan. Rasa tenang, damainya hati layaknya melihat taman-taman surga.
Tetaplah tegak di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena Surga menantimu. Karena Surga menantimu, karena Surga menantimu. Keep istiqomah!
Jakarta, 7 Januari 2016
Penulis: Ummu A’ishaa Fathia Rissa
https://moslemdoctors.wordpress.com
Meneruskan Sebuah Pesan Sayiyyidina Ali
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib berpesan pada umat baginda Nabi
Muhammad SAW, "Aku sudah pernah pernah merasakan semua kepahitan hidup,
dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia". Ada dalam satu masa
dimana Tuhan terasa begitu dekat dengan kita. Terasa memeluk erat
sembari berkata, sejauh apapun kah pergi, aku itu tidak pernah
beranjak.. tetap di sini, menunggumu pulang dan meminta pelukanku. Dalam
sujud yang panjang, dalam hati yang lembut, didekap keyakinan yang
begitu tinggi, aku seraya merasakan bahwa Dia Sang Maha Penyayang
tersenyum, lalu berkata lagi " aku bahagia,akhirnya kamu kembali".
Banyak yang terlewati Tuhan, aku ke sana kemari seperti kehilangan arah, tiada tempat yang ku tuju namun aku terus berlari kencang. Banyak yang kulalui Tuhan, aku tidak pernah lupa denganmu tapi aku menaruh Isi dunia di kepalaku, aku tidak lalai dengan syariatmu tapi itu hanya rangkaian kewajiban ceremonial belaka. Aku percaya kepadamu namun akau menduakanmu dengan berharap kepada selainmu. Masih dalam sujud yang panjang sekarang ditemani cucuran air Mata, mungkinkah ujian demi ujian ini adalah bentuk rasa cemburumu padaku? akankah Kau memaafkanku, memaafkan manusia yang berbau penuh dosa ini yang telah khilaf menduakanmu ... Kini, Aku hanya ingin kembali, hanya kepadaMu saja hanya kepadaMu saja karena Kau adalah sebaik-baik tempat kembali, tempat menggantungkan segala asa dan tempat mencari ridho, penentu kemudahan langkahku.
https://www.inspirasi.co/
Banyak yang terlewati Tuhan, aku ke sana kemari seperti kehilangan arah, tiada tempat yang ku tuju namun aku terus berlari kencang. Banyak yang kulalui Tuhan, aku tidak pernah lupa denganmu tapi aku menaruh Isi dunia di kepalaku, aku tidak lalai dengan syariatmu tapi itu hanya rangkaian kewajiban ceremonial belaka. Aku percaya kepadamu namun akau menduakanmu dengan berharap kepada selainmu. Masih dalam sujud yang panjang sekarang ditemani cucuran air Mata, mungkinkah ujian demi ujian ini adalah bentuk rasa cemburumu padaku? akankah Kau memaafkanku, memaafkan manusia yang berbau penuh dosa ini yang telah khilaf menduakanmu ... Kini, Aku hanya ingin kembali, hanya kepadaMu saja hanya kepadaMu saja karena Kau adalah sebaik-baik tempat kembali, tempat menggantungkan segala asa dan tempat mencari ridho, penentu kemudahan langkahku.
https://www.inspirasi.co/
Muhasabah : Cukup DIA Saja (Paling Pahit ialah berharap kepada Manusia)
Memanglah benar, cukup Dia saja dalam hidupku. Hanya Dia saja yang seharusnya memenuhi relung hati.
Dia terduduk lama. Terdiam. Memandangi langit senja di teras rumah. Tetes-tetes hujan tadi siang masih berjatuhan dari dahan dan dedaunan. Desir angin sejuk menjamahnya perlahan. Dia menghela napas, menutup mata. Seketika, potongan memori berputar layaknya roll film. Seluruh ingatannya akan hal itu masih sangat jelas. Belum ada satu tahun. Seharusnya dia sadar bahwa kenikmatan dan kebahagiaan lambat laun akan tergantikan dengan rasa sakit dan kesedihan, tapi ternyata dia terlalu terbuai oleh angan-angan. Angan-angan yang melebihi ajalnya. Bukankah manusia memang seperti itu? Dan ya, dia masih manusia—dan juga perempuan.
Dua minggu terakhir dalam hidupnya, dia mengalami badai. Badai perasaan di dalam hatinya. Remuk terasa, pahit tercecap. Bukankah dia tahu bahwa dunia ini memang getir? Bukankah dia sudah sering mencecap rasa pahit? Kali ini berbeda. Pahit yang ia cecap belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Rasa pahit yang digambarkan oleh salah seorang sahabat sekaligus menantu Rasulullah shallallahu alaihi wa salam—Ali bin Abi Thalib; berharap kepada manusia.
“Aku sudah mencecap semua kepahitan di dunia dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia.” (Ali bin Abi Thalib).
Benar sekali, dia pun kini telah merasakannya. Getirnya, perihnya, pahitnya. Ah, tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Cukup lama ia tersungkur dalam lubang bernama kesedihan, cukup lama ia terpekur dalam seraya berpikir macam-macam. Syetan sangat menyukai orang yang sedang bersedih. Syetan menghembuskan bisikan-bisikan mengerikan. Menjadikannya bulan-bulanan rasa sesal, rasa marah, kecewa, seluruh perasaan negatif terkumpul di dalam satu relung jiwa—hingga jiwa itu terasa mati, hitam, gelap, pekat. Beruntungnya dia tetap tak bergeming. Seluruh perasaannya dia biarkan menetap tanpa ia keluarkan. Ia berusaha untuk menahan segalanya. Dia berusaha berpikir jernih meski pada akhirnya, tetes-tetes bening itu mulai bertumpuk dan memilih untuk membasahi pipinya. Segala perasaannya tumpah. Perempuan tegar itu menangis sejadi-jadinya. Ada dua hal yang ia sesali ketika tangisan merangsek untuk keluar; satu, untuk apa ia menangisi makhluk? Dan yang kedua, ia bersyuur syetan tak berhasil membuatnya menyakiti orang lain, karena baginya, cukup ia saja yang tersakiti.
.xxx.
Seseorang yang telah mencecap kepahitan itu tak akan pernah lagi menjadi orang yang sama. Dia akan menjadi seseorang yang lebih kuat dari sebelumnya, seseorang yang lebih ikhlas, lebih ridho terhadap hidupnya. Mungkin ini juga cara Allah untuk mengingatkan bahwa hambaNya yang satu ini telah jelas melanggar batas-batas syariat, telah terperangkap dalam hal buruk, lalu Allah datang untuk menyelamatkannya. Bukankah ini hal yang sangat luar biasa?
Padahal, sudah begitu banyak dosa yang ia lakukan, begitu banyak kesalahan-kesalahannya. Tapi sekali lagi Allah mengangkat derajatnya dan menghapus kesalahan-kesalahannya. Allah menegurnya, Allah menginginkan kebaikan untuknya, Allah ingin ia kembali. Allah mencemburuinya, kenapa ada seorang makhluk di relung hati seorang hambaNya? Meskipun makhluk itu seorang yang shalih, meskipun mereka berkilah bahwa mereka saling mencintai karena Allah, Allah tahu hal itu tidaklah benar. Karena itu relung hatinya dihancurkan sehancur-hancurnya. Lebur dalam tangis. Allah seakan berbisik ke dalam jiwa;
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’du:28).
Sungguh sangat besar cintaNya kepada hambaNya yang sangat lemah, dia merasa malu. Malu untuk tidak memperhatikan cinta sejati yang sesungguhnya—Allah. Malu karena sudah banyak maksiat yang ia lakukan tapi rahmatNya selalu luas dan tak tertandingi. Sungguh tak ada yang patut disesali akan setiap kejadian yang menimpanya. Sungguh dia adalah orang yang sangat merugi jika ia membenci takdir yang datang menghampirinya. Karena pada hakikatnya;
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah:30)
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 216).
Dia lebih mengetahui apa-apa yang terbaik untuk hambaNya, hanya saja terkadang hambaNya ini tidak tahu diri dan merasa sok tahu terhadap apa yang terjadi. Merasa was-was dan sering berandai-andai, padahal “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah” (Q.S. Annisa; 28).
Seharusnya dia ridho, ridho terhadap dirinya yang bukanlah miliknya dan tak akan pernah menjadi miliknya. Jiwa yang berada ditangan Allah, yang mana hati, pikiran, tubuh, dan kehendak selalu dibawah naungan dan karuniaNya.
Karena itu saat ini dan untuk seumur hidupnya kelak, cukuplah… cukuplah Dia saja yang selalu ada dalam relung hati. Cukuplah dia menerima semua yang diberikan dari Allah Yang Maha Mengetahui. Cukup Dia saja.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak (pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Q.S. Al-Hadid:22)
Jangan pernah menggantungkan setitik pun harap kepada makhluk, berharaplah hanya kepada Allah. Karena Allah tak akan pernah mengecewakanmu sedikitpun.
Jakarta, 26 Januari 2016
Penulis: Ummu A’ishaa Fathia Rissa
Referensi : Al-Qur’an
https://moslemdoctors.wordpress.com
Dia terduduk lama. Terdiam. Memandangi langit senja di teras rumah. Tetes-tetes hujan tadi siang masih berjatuhan dari dahan dan dedaunan. Desir angin sejuk menjamahnya perlahan. Dia menghela napas, menutup mata. Seketika, potongan memori berputar layaknya roll film. Seluruh ingatannya akan hal itu masih sangat jelas. Belum ada satu tahun. Seharusnya dia sadar bahwa kenikmatan dan kebahagiaan lambat laun akan tergantikan dengan rasa sakit dan kesedihan, tapi ternyata dia terlalu terbuai oleh angan-angan. Angan-angan yang melebihi ajalnya. Bukankah manusia memang seperti itu? Dan ya, dia masih manusia—dan juga perempuan.
Dua minggu terakhir dalam hidupnya, dia mengalami badai. Badai perasaan di dalam hatinya. Remuk terasa, pahit tercecap. Bukankah dia tahu bahwa dunia ini memang getir? Bukankah dia sudah sering mencecap rasa pahit? Kali ini berbeda. Pahit yang ia cecap belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Rasa pahit yang digambarkan oleh salah seorang sahabat sekaligus menantu Rasulullah shallallahu alaihi wa salam—Ali bin Abi Thalib; berharap kepada manusia.
“Aku sudah mencecap semua kepahitan di dunia dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia.” (Ali bin Abi Thalib).
Benar sekali, dia pun kini telah merasakannya. Getirnya, perihnya, pahitnya. Ah, tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Cukup lama ia tersungkur dalam lubang bernama kesedihan, cukup lama ia terpekur dalam seraya berpikir macam-macam. Syetan sangat menyukai orang yang sedang bersedih. Syetan menghembuskan bisikan-bisikan mengerikan. Menjadikannya bulan-bulanan rasa sesal, rasa marah, kecewa, seluruh perasaan negatif terkumpul di dalam satu relung jiwa—hingga jiwa itu terasa mati, hitam, gelap, pekat. Beruntungnya dia tetap tak bergeming. Seluruh perasaannya dia biarkan menetap tanpa ia keluarkan. Ia berusaha untuk menahan segalanya. Dia berusaha berpikir jernih meski pada akhirnya, tetes-tetes bening itu mulai bertumpuk dan memilih untuk membasahi pipinya. Segala perasaannya tumpah. Perempuan tegar itu menangis sejadi-jadinya. Ada dua hal yang ia sesali ketika tangisan merangsek untuk keluar; satu, untuk apa ia menangisi makhluk? Dan yang kedua, ia bersyuur syetan tak berhasil membuatnya menyakiti orang lain, karena baginya, cukup ia saja yang tersakiti.
.xxx.
Seseorang yang telah mencecap kepahitan itu tak akan pernah lagi menjadi orang yang sama. Dia akan menjadi seseorang yang lebih kuat dari sebelumnya, seseorang yang lebih ikhlas, lebih ridho terhadap hidupnya. Mungkin ini juga cara Allah untuk mengingatkan bahwa hambaNya yang satu ini telah jelas melanggar batas-batas syariat, telah terperangkap dalam hal buruk, lalu Allah datang untuk menyelamatkannya. Bukankah ini hal yang sangat luar biasa?
Padahal, sudah begitu banyak dosa yang ia lakukan, begitu banyak kesalahan-kesalahannya. Tapi sekali lagi Allah mengangkat derajatnya dan menghapus kesalahan-kesalahannya. Allah menegurnya, Allah menginginkan kebaikan untuknya, Allah ingin ia kembali. Allah mencemburuinya, kenapa ada seorang makhluk di relung hati seorang hambaNya? Meskipun makhluk itu seorang yang shalih, meskipun mereka berkilah bahwa mereka saling mencintai karena Allah, Allah tahu hal itu tidaklah benar. Karena itu relung hatinya dihancurkan sehancur-hancurnya. Lebur dalam tangis. Allah seakan berbisik ke dalam jiwa;
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’du:28).
Sungguh sangat besar cintaNya kepada hambaNya yang sangat lemah, dia merasa malu. Malu untuk tidak memperhatikan cinta sejati yang sesungguhnya—Allah. Malu karena sudah banyak maksiat yang ia lakukan tapi rahmatNya selalu luas dan tak tertandingi. Sungguh tak ada yang patut disesali akan setiap kejadian yang menimpanya. Sungguh dia adalah orang yang sangat merugi jika ia membenci takdir yang datang menghampirinya. Karena pada hakikatnya;
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah:30)
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 216).
Dia lebih mengetahui apa-apa yang terbaik untuk hambaNya, hanya saja terkadang hambaNya ini tidak tahu diri dan merasa sok tahu terhadap apa yang terjadi. Merasa was-was dan sering berandai-andai, padahal “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah” (Q.S. Annisa; 28).
Seharusnya dia ridho, ridho terhadap dirinya yang bukanlah miliknya dan tak akan pernah menjadi miliknya. Jiwa yang berada ditangan Allah, yang mana hati, pikiran, tubuh, dan kehendak selalu dibawah naungan dan karuniaNya.
Karena itu saat ini dan untuk seumur hidupnya kelak, cukuplah… cukuplah Dia saja yang selalu ada dalam relung hati. Cukuplah dia menerima semua yang diberikan dari Allah Yang Maha Mengetahui. Cukup Dia saja.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak (pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Q.S. Al-Hadid:22)
Jangan pernah menggantungkan setitik pun harap kepada makhluk, berharaplah hanya kepada Allah. Karena Allah tak akan pernah mengecewakanmu sedikitpun.
Jakarta, 26 Januari 2016
Penulis: Ummu A’ishaa Fathia Rissa
Referensi : Al-Qur’an
https://moslemdoctors.wordpress.com