CITIZEN JOURNALISM: SIAPA SAJA, MENULIS APA SAJA
Akhir Kisah Cintaku
Dear Zev,Aku gak tau ke mana harus menceritakan hal ini. Aku tak ingin seorangpun tahu, tapi aku juga tak kuasa menyimpannya untuk diriku sendiri. Ini terlalu menyesakkan buatku. Numpang di sini, ya Zev, untuk aku bercerita.
Akhirnya, beginilah yang harus kualami. Aku tidak pernah menyangka akan berakhir seperti ini. Walaupun memang ada sebagian diriku yang menginginkan ini berakhir.
Aku mengenalnya dalam sebuah perjalanan. Aku dan dia duduk bersebelahan dalam perjalanan kereta siang ke Jakarta. Tak pernah kuharapkan, aku bakal bertemu dengan seorang yang begitu mempesonaku. Aku awalnya hanya tertarik dengan fisiknya dan penampilannya yang nyaris sempurna menurut typeku. Aku menjadi lebih tertarik lagi setelah kami bicara. Ternyata dia suka membaca dan menyukai buku yang sama denganku. Aku memang suka sekali paradoks ini: seorang lelaki yang berpenampilan seperti anak band, cuek, pakai anting, tapi ternyata suka buku, bahkan suka menulis, bahkan matanya minus (tapi karena dia pakai softlens, jadi aku tidak mengetahuinya di awal). Apalagi ditambah pengakuannya kalau dia pernah kecanduan sabu2 dan sudah berhasil mengatasinya. Semakin aku terpesona padanya.
Sebelum kereta kami sampai di Jakarta, kami sempat bertukar nomor handphone. Tetapi setelah itu dia tidak pernah menghubungiku lagi. Padahal dia sudah tahu kalau aku sedang tidak punya pacar. Kupikir ya sudahlah, berarti dia tidak tertarik padaku. Atau mungkin dia masih punya pacar. Padahal, dalam hatiku aku tidak pernah mempermasalahkan seandainya dia punya pacar. Aku juga tidak pernah ingin menjalin hubungan serius dengannya. Karena dia memang seorang petualang, sebagaimana pengakuannya. Dia ikut kapal, dan bercita-cita untuk ikut kapal pesiar asing, berkeliling dunia. Aku tahu, seorang pelaut bisa selalu menemukan cinta di setiap dermaga. Dalam hati aku hanya berharap bisa menjadi salah satu cinta itu. Sudah cukup buatku. Tapi ternyata dia tidak pernah menghubungi aku lagi. Dan aku tetap menjalani hidupku sebagaimana biasa.
Sekitar dua bulan setelah pertemuan itu, aku melakukan perjalanan dengan kereta malam ke Jogja. Dan aku terkejut sekali ketika sedang mencari tempat duduk di kereta, ternyata dia juga ada di gerbong yang sama denganku. Aku sempat menyapanya, dan diapun menoleh padaku. Cuma saat itu aku tidak yakin dia masih mengingatku. Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa bisa terjadi kebetulan seperti itu. Berapa persen probabilitas kejadian seperti itu? Dan aku semakin terkejut lagi ketika keesokan harinya di Jogja aku kembali secara tak sengaja melihatnya. Kami memasuki sebuah supermarket di saat yang hampir bersamaan. Dia cuma beberapa langkah di depanku. Kali ini dia bersama seorang perempuan. Kali ini aku tidak menyapanya. Aku semakin tidak habis pikir, berapa persen probabilatas kejadian seperti ini?
Hampir sebulan setelah itu, ketika aku juga sudah di Jakarta lagi, pagi-pagi aku mendapat SMS dari dia. Ucapan selamat ulang tahun, tapi hari itu aku tidak berulang tahun. Salah kirim atau pura-pura salah kirim? Aku gak peduli. Aku hanya senang dia menghubungi aku lagi. Dia mengajak bertemu. Karena saat itu aku memang sedang akan keluar rumah, hari Sabtu, kubilang kalau mau ketemu sekalian saja. Tapi dia tidak mau karena dia masih belum bangkit dari ranjangnya. Ah, rupanya dia tidak serius mengajak bertemu.
Tetapi sejak itu, dia kadang-kadang mengirim sms. Lebih sering kalau dia sedang di Jakarta. Dia juga menelpon ke tempat kost. Dan pernah mengajakku untuk bertemu di suatu malam minggu. Aku tentu saja senang sekali diajak pergi. Tapi waktu itu kami tidak jadi bertemu, karena aku tidak mau diajaknya menginap, dan dia sendiri yang membatalkannya. Itu terjadi karena aku bilang hari Minggu pagi aku harus ikut pengajian. Dia rupanya masih menghormati keyakinanku yang berbeda dengannya. Kejadian itu membuatku kecewa karena tak jadi bertemu, tapi di sisi lain juga membuatku yakin bahwa aku bisa mempercayainya, bahwa dia tidak akan memanfaatkan tubuhku.
Satu-satunya pertemuanku dengannya terjadi ketika dia sedang di Jakarta untuk ikut suatu training. Dan saat itu menjelang long weekend. Aku mendadak memutuskan untuk pulang kampung, setelah dari sekian banyak SMS, dia tak juga mengajakku bertemu. Namun ketika aku sudah di stasiun, rupanya dia mendadak menemuiku di sana. It was the sweetest moment ever. Dia memelukku sebentar, atau tepatnya menarik kepalaku ke dadanya untuk sekitar dua detik saja, dan setelah itu kami hanya bergandengan tangan dan duduk di bangku tunggu stasiun sambil ngobrol. Dia katakan kalau dia sebenarnya sudah berencana untuk ke kost menjemputku besok malamnya. Dan dia katakan, itu akan menjadi hutang kami berdua, to spend a whole night long, just the two of us.
Setelah aku kembali lagi ke Jakarta, tak ada lagi kontak dengannya. Dia sudah tidak di Jakarta lagi. Aku tidak ingat persisnya, dia ada antara Balikpapan dan Surabaya. Sewaktu aku berkesempatan ke Balikpapan, dia justru tidak di sana, kalau tidak di Jakarta ya Surabaya. Aku memang tidak pernah bertemu dia lagi. Dia hanya mengirim sms kalau pas tahun baru. Dua kali tahun baru. Dan akupun sudah punya pacar ketika itu. Tahun baru yang kedua, bahkan aku sudah menikah dengan pacarku itu. Dan setiap kali dia sms, aku selalu berbunga-bunga. Senang sekali. Dan selalu aku terima sms itu saat sedang bersama pacar/suamiku. Dan dia selalu marah melihatku ber-sms dengannya. Sms itu memang selalu membuatku senang. Bahkan aku tidak pernah menghapus semua sms darinya dan kusimpan di folder tersendiri di ponselku. Sayang, ponsel itu kemudian hilang.
Selain SMS, komunikasi dengannya juga kulakukan lewat email. Ini agak jarang di awal-awal, tapi kemudian menjadi semakin sering justru setelah aku menikah. Awalnya tidak pernah ada kata-kata cinta antara kami, tetapi semakin hari kata itu muncul juga. Awalnya hanya dari dia. Aku tak pernah mengungkapkannya langsung. Karena aku punya suami. Tapi hatiku memang tak bisa dibohongi, aku memang mencintainya. Mungkin aku telah mencintainya sejak pertama bertemu dengannya.
Pengakuanku bahwa aku memang mencintainya baru terjadi justru ketika aku harus mengakhiri hubungan kami. Hubungan itu harus berakhir karena sebuah SMS darinya dibaca suamiku, gara-gara ponselku ketinggalan di rumah. Suamiku marah besar dan meminta aku memutuskan hubunganku dengannya. Dan aku mengirim sebuah email perpisahan yang kututup dengan sebuah pengakuan bahwa aku mencintainya.
Tetapi dia memohon untuk tak kutinggalkan. Aku pun sesungguhnya berat sekali meninggalkannya. Kami memang tidak pernah bertemu, tetapi kami telah berbagi banyak hal. Dari mulai cerita sehari-hari, sampai strugglenya menghadapi kecanduannya yang baru.
Dari mulai dia masih di tanah air, sampai dia mengelilingi separuh dunia, dan terakhir mendarat dan tinggal di pantai timur Amerika, dia masih selalu kontak aku. Meskipun tidak terlalu intens. Tapi diantaranya, dia pernah menelponku di hari ulang tahunku, padahal dia tidak tahu kalau hari itu adalah hari ulang tahunku. Sebuah kebetulan lagi, yang entah berapa persen probabilitasnya. Dan kebetulan juga hari itu suamiku lupa memberikan ucapan selamat ulang tahun.
Aku memang tahu hubungan ini salah. Dan sesungguhnya pernah berketetapan dalam hati untuk mengakhirinya jauh sebelum suamiku mengetahuinya. Tapi aku selalu tak kuasa berkata tidak. Tak kuasa untuk memintanya. Dan bahkan ketika aku sudah ketahuan dan sempat mengirimkan email perpisahan itu, aku tetap bisa luluh oleh permohonannya. Dan hubungan terlarang itupun tetap berlanjut. Bahkan lebih menjadi, karena sekarang sudah tidak ada lagi yang kutahan. Aku sudah mengatakan cintaku padanya.
Kami bahkan pernah bercinta, walaupun hanya melalui telpon. Waktu itu aku sedang dinas luar kota. Dia menelpon sekitar dua jam, sejak jam setengah dua belas malam sampai hampir jam 2 pagi. Di situ kami tumpahkan semua perasaan yang terpendam selama ini. Dan aku merasakan sesuatu yang aku yakin tak pernah kualami sebelumnya. Ini pasti cinta. Dan bercinta dengannya meskipun hanya melalui telpon, bisa memberikan sensasi yang tak kusangka. Aku merasakan penyerahan diri yang total, seluruh perasaan dan seluruh tubuhku kupasrahkan hanya untuknya. Dan berat sekali ketika aku harus kembali kepada kenyataan. Pulang lagi dari luar kota. Kembali kepada keluarga, suami dan anakku.
Dan di luar dugaanku, ternyata kejadian itu juga mempengaruhinya. Menurut pengakuannya, saat itu dia benar-benar jatuh cinta. Dia tidak ingat lagi kapan terakhir kali merasakannya. Dan itu membuatku semakin mencintai, merindukan, dan menginginkannya.
Dan email serta telpon menjadi lebih sering lagi. Bahkan hampir tiap hari aku mengirim email. Dia sering sekali menelpon, mungkin seminggu tiga kali. Dan itu semua di hari kerja. Aku merasakannya seperti bulan madu saja. Meskipun di email atau telpon kami tak pernah bercinta lagi, hanya berbagi cerita saja. Tetapi di sana sangat terasa adanya cinta antara kami. Aku merasa, he is my soulmate. Hanya dengannyalah aku mendapatkan perasaan saling mencintai.
Tetapi hanya sekitar satu setengah bulan setelah itu, dia seolah menghilang. Tak pernah lagi menelpon, tak pernah membalas email. Aku bertanya apa yang terjadi, takut kalau ada sesuatu yang salah yang sudah kulakukan sehingga dia marah dan meninggalkanku. Tetapi dia balas dengan sebaris email yang mengatakan semuanya baik-baik saja. Aku mencoba menelpon tapi sambungannya tidak bagus, dan aku justru jadi curiga kalau dia sudah punya kekasih lagi. Aku kirimkan email tentang itu, dan dia jawab tidak ada yang salah dengan kami. Tetapi aku masih tetap bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi.
Akhirnya sekitar dua minggu sejak pertama dia menghilang itu, dia katakan kalau dia belakangan ini pakai crack lagi, tapi sekarang sudah tidak lagi. Kembali ke ganja aja. Dia memang masih tak pernah lepas dari narkoba. Hanya berpindah dari yang satu ke yang lain. Yang sudah benar-benar dia tinggal cuma sabu. Tiap hari selain alkohol yang pasti adalah ganja, kadang ditambah inex. Aku benar-benar benci dengan drugs yang namanya crack ini. Setiap kali dia memakainya, dia sama sekali tak dapat berhubungan dengan dunia luar. Kalau dia pakai ganja saja, dia masih bisa berdiri tegak, masih bisa menelponku, dan masih runtut pembicaraannya. Aku tidak tahu apa pengaruh ganja itu karena aku tak pernah memakainya. Merokok pun tidak pernah.
Tetapi semua itu tak pernah membuatku meninggalkannya. Justru aku merasakan empati kepadanya. Dia memang berbeda denganku yang seorang muslim, dia tidak percaya adanya surga. Dia percaya surga itu ya di sini. Maka dia menikmatinya. Tetapi kami tidak pernah mempermasalahkan perbedaan kami. Kami tak pernah menyentuh perkara itu dalam pembicaraan kami. Kami tak pernah saling mempengaruhi pandangan masing-masing. Kami saling menghormati.
Dan setelah dua minggu dia menghilang itu, dia kembali seperti semula, seperti tidak terjadi apa-apa. Bahkan di antara istirahat kerjanya dia sempatkan untuk menelponku. Tentu saja aku senang sekali dia sudah kembali lagi. Dan aku mulai mengirim email lagi seperti biasanya. Kali ini meminta pendapatnya tentang sebuah perjalanan yang akan kulakukan tahun ini. Sebelum aku sempat membaca balasannya, dia menelponku di sebuah sore hari ketika aku akan pulang kantor. Pulang kantor kali itu tidak seperti biasa, karena aku tidak pulang ke rumah melainkan ke tempat saudara. Dan aku akan menumpang seorang rekan kerja senior.
Pada saat dia sedang menelponku, mencoba menjelaskan apa yang dia tulis dalam emailnya, aku harus masuk mobil rekanku itu. Karena aku tidak enak dengan rekanku yang kutumpangi. Tidak enak karena sudah numpang tapi di mobil malah bicara di telpon. Dia jauh lebih senior dari aku. Dan aku juga takut hubunganku ini akan ketahuan atau menimbulkan kecurigaan dari rekanku ini, jika dia mendengar apa yang kubicarakan. Maka aku dengan tiba-tiba memintanya untuk menutup telpon.
Dan itu membuatnya marah sekali. Sungguh-sungguh marah. Sehingga dia tidak pernah lagi mau mengangkat telponku. Dia beberapa kali membalas emailku tapi dalam keadaan marah dan setengah sadar, istilah dia tinggi sekali. Dia katakan tidak mungkin bisa membalas semua emailku kalau dia dalam keadaan sepenuhnya sadar. Perlakuanku itu sama sekali tidak bisa diterimanya. Meskipun dia katakan dia telah mema'afkanku tanpa kuminta, tapi menurutku yang seperti itu bukan pemberian ma'af. Aku mencoba menelponnya seminggu setelah kejadian itu, setelah semua sms dan emailku tak ada yang berbalas. Dan dia tetap tidak mau mengangkat telponku.
Dan aku menarik kesimpulanku sendiri, bahwa dia sudah meninggalkanku. Rupanya memang harus seperti ini akhir dari perselingkuhanku. Menyakitkan buatku. Dan menyakitkan buat dia. Aku tidak pernah berharap seperti ini, tetapi inilah yang terjadi. Aku memang sering berdo'a agar aku diberi jalan untuk dapat berpisah dengan dia. Tapi, yang seperti ini benar-benar di luar perkiraanku.
Dan sekarang, sudah lebih dari sebulan sejak kejadian itu. Dia berulang tahun. Aku ucapkan selamat ulang tahun untuknya. Kukirim SMS. Dia membalas dengan sebaris email, dan sedikit chat di YM. Berterima kasih. Dan yakinlah aku bahwa dia memang sudah meninggalkanku. Karena tidak ada lagi kata cinta yang terucap. Semua hanya basa-basi belaka. I am no longer his baby.
Mungkin memang inilah jalan dari Tuhan. Sesuatu yang tak terpikirkan olehku. Karena selama ini memang sulit sekali untuk berpisah dengannya. Meskipun akal sehatku bilang aku harus mengakhirinya, tapi sebuah permohonan dia bisa membuatku luluh lagi. Dan sekarang, dia yang telah membuat keputusan, dan aku tak bisa mengubahnya.
******************************
Haruskah Aku Mencintai Suamiku?
Oke, sekarang aku fokus. Di dunia ini hanya ada anakku, suamiku, dan pekerjaanku. Tidak ada lagi kekasih gelap. Biarlah tinggal sejarah.
Aku tidak ada masalah dengan anak dan pekerjaanku. Tapi memperbaiki hubungan dengan suamiku, rasanya butuh waktu. Sebenarnya, tidak bisa dikatakan bahwa hubungan kami tidak baik. Kami baik-baik saja, dalam arti standar. Seperti keluarga pada umumnya, sejauh yang aku tahu. Bertengkar kadang-kadang. Tugas rumah diselesaikan bersama, dengan sedikit bantuan pembantu. Anak juga diasuh bersama. Mungkin yang tidak terlalu biasa adalah, akulah pencari nafkah utama. Tetapi itu sudah bukan menjadi masalah lagi, karena memang begitulah keadaannya sejak memulai rumah tangga dulu. Tapi masalahnya adalah, sampai sejauh ini, aku tidak pernah bisa mencintai suamiku.
Aku berfikir, mungkin, kalau aku membagi dengan suamiku hal-hal yang selama ini kubagi dengan kekasihku, aku akan lebih mudah belajar mencintainya. Mungkin, kalau aku melakukan apa yang selama ini hanya kulakukan dengan kekasihku, aku akan merasakan hal yang sama juga dengan suamiku.
Aku mulai mencoba. Aku kedinginan di kantor, mungkin karena AC centralnya rusak. Aku mengirim SMS ke suamiku, persis seperti biasanya aku kirim SMS untuk kekasihku jika aku kedingingan begini. Suamiku menjawab dengan SMS juga, ”Di sini hujan! Kamu entar pulang jam berapa?”. Lha kok kaga nyambung? Padahal aku menginginkan jawaban standar yang dikirim kekasihku untuk situasi seperti itu. ”I wish I was there, honey”. Atau sejenisnya. Dan setelah itu aku kami akan berbalas-balas SMS, yang akan menghangatkanku. Kadang sampai bikin merinding juga.
Kalau seperti ini kejadiannya, aku menjadi semakin merindukan kekasihku lagi. Merindukan apa yang kami bagi dulu. Berbagi kata-kata rayuan. Saling mengagumi satu sama lain. Saling merindukan pertemuan. Berkhayal tentang apa yang akan kami lakukan jika ada pertemuan lagi. Aku begitu nyaman menuangkan segala macam pemikiran yang kadang tidak konservatif. Aku bisa bicara (tepatnya menulis) tentang apa saja dengannya. Dan yang aku suka, dia tidak menghakimi, tidak normatif, dan pokoknya nyaman aja bertukar pikiran dengan dia. Aku juga merindukan cerita petualangan dia, masa lalu dia yang jauh berbeda dengan apa yang bisa diterima umum. Pandangan dia yang menabrak norma-norma, dan keputusan-keputusan dan tindakan dia, begitu menarik untuk kuketahui. Karena tidak biasa.
Dan semua itu jauh berbeda dengan suamiku, yang sangat normatif dan menghakimi. Aku tidak bebas bicara tentang apa saja, karena akan dinilai aneh oleh suamiku. Padahal aku kadang hanya ingin berfikir bebas. Itu saja. Mengeksploitasi logika sejauh mungkin. Dan kekasihku adalah tempat pertama dan terbaik yang kutuju untuk berbagi pikiran.
Haruskah aku mencoba untuk berbagi dengan suami tentang pemikiran-pemikiranku? Pengamatanku terhadap kejadian-kejadian kecil di sekitarku. Yang mungkin aneh menurut sebagian orang. Atau haruskah aku berkirim email kepada suamiku? Seperti halnya aku mengirim email untuk kekasihku dulu. Mungkin lebih mudah menuangkan gagasan dalam tulisan, daripada berbicara langsung dan sebelum selesai berbicara sudah disanggah. Patutkah dicoba?
Sudah benarkah semua upaya itu? Atau justru salah arah? Atau pertanyaan mendasarnya kembali dari awal, haruskah aku mencintai suamiku?
Sepertinya hati ini masih tidak rela, untuk menggantikan cinta kepada kekasihku menjadi cinta kepada suamiku. Jadi ingat lagu yang lumayan jadul punya Element, judulnya Rahasia Hati.
Bila aku harus mencintai dan berbagi hati
Itu hanya denganmu
Namun bila ku harus tanpamu
Akan tetap kulalui hidup tanpa bercinta
Iya, saat ini aku belum rela menggantikan cinta itu. Sepertinya kekasihku masih lebih berhak mendapatkan hatiku, dibanding suamiku. Cinta untuk kekasihku memang mungkin tak akan pernah tergantikan.
Kalau curhatku ini dimuat Zev di KoKiLove, pasti akan banyak yang nggak habis pikir, ”Violet, apa sih maumu?” Jujur, aku sendiri tidak tahu.
Salam
Violet - Jakarta
http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/9/29/akhir_kisah_cintaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com