DEFINISI KASTA
Kasta dari bahasa Portugis adalah pembagian masyarakat.
Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: वर्ण;
varṇa). Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti
“memilih (sebuah kelompok)”. Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang
didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan
bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun
Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga
menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan).
Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan
didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang
tertentu.
Dalam tradisi Hindu, Jika seseorang ahli dalam bidang kerohanian maka ia
menyandang status Brāhmana. Jika seseorang ahli atau menekuni bidang
administrasi pemerintahan ataupun menyandang gelar sebagai pegawai atau
prajurit negara, maka ia menyandang status Ksatriya. Apabila seseorang
ahli dalam perdagangan, pertanian, serta profesi lainnya yang
berhubungan dengan niaga, uang dan harta benda, maka ia menyandang
status Waisya. Apabila seseorang menekuni profesi sebagai pembantu dari
ketiga status tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya), maka ia menyandang
gelar sebagai Sudra.
Namun sejarah mulai mengukir jalan kasta, di mana tatanan masyarakat
diubah dari warna ke kasta, untuk menguatkan status quo seseorang. Kasta
memberikan seseorang sebuah status dalam masyarakat semenjak ia lahir
dan menimbulkan perbedaan kedudukan seseorang. Kadangkala seseorang
lahir dalam keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi dan membuat
anaknya lebih bangga dengan status sosial daripada pelaksanaan
kewajibannya. Pembagian kasta ini ada sepanjang zaman sampai menimbulkan
penghinaan, kesusahan, dan menjadi korban pemerasan kaum yang lebih
tinggi.
Kasta menimbulkan Pembagian manusia dalam masyarakat agama Hindu menjadi :
• Brahmana, kelompok masyarakat bidang spiritual ; sulinggih, pandita dan rohaniawan.
• Ksatria, kelompok masyarakat lembaga pemerintahan.
• Waisya, kelompok masyarakat pekerja di bidang ekonomi
• Sudra, kelompok masyarakat yang melayani/membantu ketiga warna di atas.
Sedangkan di luar sistem Catur Warna tersebut, ada pula istilah :
• Kaum Paria, Golongan orang terbuang yang dianggap hina karena telah melakukan suatu kesalahan besar
• Kaum Candala, Golongan orang yang berasal dari Perkawinan Antar Warna
TIDAK ADA KASTA DALAM ISLAM
Ukhuwah (persaudaraan) dalam Islam meliputi seluruh golongan masyarakat,
maka di sana tidak ada segolongan manusia lebih tinggi daripada
segolongan yang lainnya. Tidak boleh harta, kedudukan, nasab atau status
sosial atau apa pun menjadi penyebab sombongnya sebagian manusia atas
sebagian yang lain.
Seorang hakim (pemerintah) adalah saudara rakyat, sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik para pemimpin kamu adalah orang-orang yang kamu sukai dan
mereka menyukai kamu, kamu selalu mendoakan mereka dan mereka pun selalu
mendoakanmu, dan seburuk-buruk para pemimpinmu adalah orangorang yang
kamu benci dan mereka juga membencimu, yang kamu laknat dan mereka
melaknat kamu.” (HR. Muslim)
Sayyid (juragan) adalah saudara bagi hamba sahayanya, meskipun kondisi
khusus kadang memaksa sahayanya untuk berada di bawah kekuasaannya.
Dalam hadits shahih Nabi bersabda:
“Saudara-saudara kamu (para pembantumu), Allah telah menjadikan mereka
berada di bawah kekuasaanmu, jika Allah berkehendak maka akan menjadikan
kamu di bawah kekuasaan mereka, maka barang siapa saudaranya berada di
bawah kekuasaannya maka hendaklah memberi makan kepadanya sebagaimana ia
makan, memberi pakaian kepadanya sebagaimana ia berpakaian, dan
janganlah kamu memaksa mereka untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang
mereka tidak mampu, dan jika kamu memaksa mereka juga, maka bantulah
mereka itu.” (HR.Muttafaqun ‘Alaih)
Para aghniya’, fuqara’, buruh, karyawan, orang-orang yang disewa
semuanya adalah bersaudara antara sebagian dengan sebagian yang lainnya.
Maka tidak ada peluang (kesempatan) bagi mereka dalam naungan ajaran
Islam- untuk terjadinya konflik sosial atau dendam golongan.
Tidak ada di dalam masyarakat Islam kasta-kasta, sebagaimana hal itu
dikenal dalam masyarakat Barat pada abad pertengahan. Di mana dikenal
bahwa golongan cendikiawan dan para penunggang kuda, para uskup dan
lainnya itulah yang berhak mewarisi untuk menentukan nilai, tradisi dan
hukum yang berlaku.
Sampai hari ini masih ada sebagian bangsa di mana kelompok tertentu
berhak untuk menentukan dan mengendalikan garis ideologi bangsa
tersebut, hukum-hukumnya serta sistem sosial dalam kehidupan
masyarakatnya. Misalnya negara India.
Di dalam Islam memang ada orang-orang kaya, akan tetapi mereka itu tidak
membentuk kelompok tersendiri yang mewariskan kekayaannya Mereka adalah
individu-individu yang biasa seperti lainnya, karena si kaya setiap
saat bisa saja menjadi miskin, dan si miskin bisa juga tiba-tiba menjadi
kaya. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan.” (Al Insyirah:5)
Di dalam Islam memang ada ulama, tetapi mereka itu tidak membentuk
golongan yang mewariskan tugas tersebut. Melainkan bahwa tugas itu
terbuka untuk siapa saja yang berhasil memperoleh keahlian di bidang
keilmuan dan studi. Dia bukan merupakan tugas kependetaan seperti yang
dilakukan oleh para pendeta dan uskup dalam agama lain, tetapi merupakan
tugas mengajar, dakwah dan memberi fatwa. Mereka adalah ulama bukan
pendeta.
Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya SAW sebagai berikut:
“Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Al Ghasyiyah: 21-22)
Dalam Al quran surah Qaaf: 45 disebutkan:
“Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu
sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri
peringatanlah dengan Al Qur’an orang yang takut kepada ancaman-Ku.”
Maka bagaimana dengan pewarisnya para ulama. Sesungguhnya mereka itu
bukanlah yang menguasai atau memaksa manusia, tetapi mereka adalah
pengajar dan pemberi peringatan.
Nabi Muhammad saw bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya ayahmu satu dan
sesungguhnya ayahmu satu. Ketahuilah, tidak ada keunggulan orang Arab
atas non-Arab, tidak pula non-Arab atas orang Arab, serta tidak pula
orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah. Yang membedakan
adalah taqwanya.” (HR. Ahmad).
Hadits ini (Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Jilid V, h. 411)
secara tegas menerangkan bahwa pada dasarnya dalam Islam semua manusia
itu sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar apa pun,
kecuali taqwanya kepada Allah swt. Islam secara tegas menolak adanya
dominasi manusia terhadap manusia lain. Karena hal tersebut merupakan
akar penyebab dari semua kejahatan dan keburukan di dunia, baik secara
langsung maupun tidak.
Menurut Al-Mawdudi (1993:153), diskriminasi inilah yang menjadi
cikal-bakal semua bencana dalam kehidupan umat manusia, dan bahkan
sampai hari ini tetap menjadi penyebab utama semua bencana dan
malapetaka yang dialami manusia.
Dalam hadits lain disebutkan pula:
Abu Hurayrah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah tidak memandang kepada bentuk atau rupa kamu, juga tidak kepada
harta benda kamu. Akan tetapi, Allah swt memandang kepada hati dan amal
perbuatanmu semata.” (HR. Ibn Majah).
Hadits yang terdapat dalam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Jilid II, h. 153)
di atas menerangkan bahwa semua manusia sama di hadapan Allah. Manusia,
dengan merujuk hadits ini, tidak layak membanggakan bentuk dan rupa
lahiriah mereka, sereta harta benda yang mereka miliki karena semua itu
tidak ada artinya bagi Allah swt. Dia hanya memerhatikan niat dan amal
perbuatan manusia.
Oleh Husein Haikal, ajaran ini persamaan ini perlu ditonjolkan,
mengingat masyarakat Arab sebelum Islam adalah masyarakat yang terdiri
dari berbagai kabilah (suku bangsa). Setiap kabilah selalu membanggakan
‘ashabiyah (fanatisme yang tinggi terhadap keluarga, kesukuan, dan
golongan) dan nasab (asal keturunan) mereka masing-masing sehingga tidak
mengherankan jika kehidupan komunitas tersebut selalu diwarnai dengan
pertentangan, pertikaian politik, dan konflik social.
Masyarakat Arab yang berdasarkan ‘Ashabiyah ini tidak mengenal prinsip
persamaan di antara sesama manusia, sebagaimana diajarkan oleh Islam.
Setiap kabilah merasa kabilahnya paling tinggi dan lebih terhormat
daripada kabilah lain. Setiap kabilah juga memandang kabilah lain
sebagai musuh yang harus dimusnahkan sehingga peperangan di antara
mereka pun tidak dapat dihindarkan.
Tidak ada kepedulian social di antara kabilah-kabilah tersebut, karena
setiap kabilah sibuk dengan urusan dan kepentingan mereka masing-masing.
Kondisi inilah yang dilukiskan oleh al-Qur’an sebagai kondisi
jahiliyah, serbuah zaman yang oleh para ahli sering diterjemahkan dengan
“zaman kepicikan” (time of ignorance) atau “zaman kebiadaban” (time of
barbarism).
Kondisi yang demikian itulah yang hendak diperbaiki Nabi melalui dakwah
islamiyahnya. Nabi melihat bahwa system kehidupan bermasyarakat yang
dijalani oleh bangsa Arab itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Karena itu, ketika Nabi Muhammad saw telah memiliki kedudukan yang
mantap sebagai pemimpin masyarakat di Madinah, beliau segera membuat
perjanjian tertulis yang dikenal dengan nama “Piagam Madinah” yang di
dalamnya, antara lain, dinyatakan bahwa seluruh penduduk Madinah
memperoleh status dan perlakuan sama dalam kehidupan masyarakat.
http://indonesiagotofaith.wordpress.com/2012/01/30/islam-tidak-mengenal-kasta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com