Sabtu, 24 Agustus 2013

KEHEBATAN JENDRAL SOEHARTO= Kisah Jenderal Soeharto Tak Mempan Ditembak & Serangan Umum 1 Maret



Serangan Umum 1 Maret 1949 tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi salah satu catatan penting saat Republik ini baru mulai berdiri setelah lepas dari penjajahan Belanda.

Banyak versi seputar Serangan Umum 1 Maret tersebut. Namun demikian, peran Letkol Soeharto tentu tidak bisa dipisahkan dalam perang untuk merebut kembali Ibu Kota Republik Indonesia, Yogyakarta.

Tujuan utama tentu untuk menaklukkan pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Alhasil Serangan Umum 1 Maret bisa menunjukkan kepada dunia internasional bahwa tNI masih ada.

Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II, yaitu Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi melakukan serangan balik terhadap tentara Belanda yang telah mengambil alih Yogyakarta. Serangan dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang rombongan konvoi Belanda, serta tindakan perebutan lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar di pos-pos kecil di seluruh daerah.

Ketika pasukan Belanda sudah terpencar-pencar, barulah TNI melakukan serangan. Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta terjadi pada tanggal 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto.

Tepat pukul 6 pagi, serangan mulai dilancarkan ke seluruh penjuru Yogyakarta. Serangan itu telah mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam buku 'Pak Harto Untold Stories' karya Mahpudi Cs, Soerjono yang saat itu menjadi staf Letkol Soeharto menyebut bahwa serangan umum 1 Maret sudah sangat dipersiapkan secara matang. Sejak sore hari para prajurit TNI telah memasuki Kota Yogyakarta dengan menyusup. Pos komando ditempatkan di desa Muto. Malam hari, menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota.

"Sebelum serangan dilakukan, Pak Harto sering mengirim telik sandi (mata-mata) ke Kota Yogyakarta dan Keraton. Para komandan pun sering dipanggil untuk mematangkan strategi perang gerilya," ujar Soejono.

Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene tanda jam malam berakhir berdering, serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro.

Wilayah barat dipimpin Ventje Sumual, Selatan dan Timur dipimpin Mayor Sardjono, Utara oleh Mayor Kusno . Di wilayah kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, pasukan TNI mengundurkan diri.

"Saya merasakan langsung kepemimpinan Pak Harto sejak perencanaan hingga pelaksanaan Serangan Umum 1 Maret," terang Soerjono.

Soerjono juga mengaku jauh sebelum peristiwa Serangan Umum Satu Maret, dirinya sudah lama ikut Soeharto bergerilya di hutan-hutan. Soeharto pun selalu tampil di depan saat bertempur melawan Belanda.

"Pada saat itu, Pak Harto seolah-olah memiliki kekuatan mental yang luar biasa. Boleh percaya atau tidak, tetapi Pak Harto seperti tidak mempan ditembak. Pak Harto selalu di barisan depan jika menyerang atau diserang Belanda. Saya sering diminta menempatkan posisi diri di belakang beliau," ujar Soerjono di halaman 99 buku tersebut.

"Saya ingat kata-kata Pak Harto, kalau takut mati tidak usah ikut perang," terangnya.

Sebelum meninggal pada tahun 2008 lalu, Soerjono pun sempat menyayangkan beberapa orang yang meragukan peranan Soeharto dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Menurutnya mereka yang mempersoalkan tersebut karena tidak menyukai Soeharto.

"Saya sendiri merasakan keikhlasan Pak Harto pada saat perang dan terus berjuang membangun Indonesia ini. kelak generasi penerus akan melihat nilai-nilai positif yang sudah pasti di Lakukan Soeharto untuk Indonesia," terangnya.
by: http://www.kaskus.co.id/thread/51345b1fdb92485007000006/kisah-jenderal-soeharto-tak-mempan-ditembak--amp--serangan-umum-1-maret

Informasi tentang Jenderal Suharto tentulah cukup melimpah, Menilik Jejak Hitam Soeharto Karya Harsono Sutedjo


MENILIK JEJAK HITAM SOEHARTO DAN PERISTIWA MALARI
Informasi tentang Jenderal Suharto tentulah cukup melimpah, baik sumber klasik seperti karya OG Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, Prof Dr Donald W Wilson, The Long Journey From Turmoil To Self-Sufficiency, tentu saja juga otobiografinya yang dituliskan oleh Brigjen G Dwipayana dan Ramadhan KH dan masih banyak lagi, tentu termasuk buku yang dicetak luks, Jejak Langkah Pak Harto. Belakangan terdapat cukup banyak sumber posmo seperti Soeharto, Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat, berisi kajian kepribadian dan tingkah laku politik, dan masih banyak lagi seputar Suharto dalam hubungannya dengan pembahasan rezim Orba dengan segala macam aspek dan tetek bengeknya (lihat Daftar Pustaka). Dan yang mutakhir
adalah karya akademisi Australia Robert E Elson, Suharto, A Political Biography (Oktober 2001) yang diluncurkan di Jakarta pada 21 Januari 2002 di CSIS. Hal ini amat berbeda bila kita hendak mencari informasi tentang DN Aidit, Syam Kamaruzaman, Letkol Untung dan yang lain. Apalagi bahan-bahan tentang mereka ini telah diringkus oleh penguasa Orba, selama 32 tahun bagi mereka yang mencoba-coba hendak menyentuhnya serta merta terkena palu subversi. Tentulah daya tarik Suharto jauh lebih hebat, juga setelah tumbang, dengan bahan bertebaran di seluruh media massa selama 32 tahun kekuasaan dan sesudahnya.
Hal itu tidak berarti bahwa segala sesuatu tentang Jenderal Suharto lalu menjadi terang benderang. Masih sederet masalah yang buram, atau barangkali sebagian akan tetap buram di sepanjang sejarah sampai ia meningggalkan kita semua. Mungkin menarik untuk dianalisis dari segi ilmu psikologi seperti yang dicontohkan oleh Laboratorium Psikologi Sosial Universitas Indonesia terhadap Suharto berupa analisis psikobiografi dan analisis kualitatif terhadap pidatopidato nonteksnya (Bagus Takwin cs 2001:8). Mungkin saja Suharto menikmati timbulnya keburaman sejarah seputar dirinya seperti soal Surat Perintah 11 Maret.
Sedang keburaman tentang soal Serangan Umum 1 Maret 1949, belakangan dengan telak telah dibuktikan bahwa dengan sengaja telah disebarkan oleh Suharto. Pembengkokan dan pemalsuan sejarah yang dilakukannya sekedar untuk memberikan tambahan legitimasi terhadap dirinya. Tidak berlebihan kalau sosok Suharto disebut sebagai manusia langka.
Selanjutnya muncul berbagai macam spekulasi akan latar belakang keluarga, budaya, pendidikan, serta strategi dan taktiknya untuk mendapatkan kekuasaan (Bagus Takwin cs 2001:11). Mungkin sekali hal ini berhubungan dengan berbagai keburaman yang sengaja atau tidak sengaja ditebar sekitar dirinya sebagaimana riwayat Ken Arok pun penuh misteri, yang melalui pundak kambing hitam Kebo Ijo telah melakukan kudeta terhadap raja Jayakatwang dari Tumapel pada abad ke 13, bahkan sekaligus mempersunting permaisuri cantik jelita Ken Dedes. Buku asli OG Roeder berjudul The Smiling General, President Soeharto of Indonesia (Gunung Agung,1969).
Seperti kita ketahui di depan publik Suharto memang boleh dibilang selalu tersenyum. Dalam kata pendahuluan ditulis, Dengan senyum khas menyelubungi segala emosi yang sanggup membikin para diplomat kehilangan akal… (Roeder, 1977:xiii). Dalam buku lain yang ditulisnya, Indonesia, A Personal Introduction (1987), Roeder mengartikan senyum orang Indonesia dapat juga be ironical, cunning and tricky (berarti kebalikannya, licik dan penuh tipu daya), kita tidak tahu yang mana mungkin hendak diterapkan oleh Roeder untuk senyum Suharto.
Suharto memulai karier militernya sebagai kopral KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) alias tentara penjajah Belanda pada 1940-an di Batalion Main Menu XIII di Rampal, Malang. Karena prestasinya ia segera naik pangkat menjadi sersan. Kariernya menjadi buah pembicaraan kawan-kawan sesama tentara, oleh karena umumnya orang-orang dari Jawa mengalami diskriminasi dalam KNIL jika dibandingkan dengan orang Maluku dan Sulawesi Utara yang dianggap lebih setia (Roeder 1977:171).
Perjalanan karier yang cemerlang ini di samping karena ketekunan Kopral KNIL Suharto tentunya juga kesetiaannya menjadi pertimbangan penting. Pada saat yang sama Bung Karno dan banyak pemimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda sedang mengalami pembuangan; bahkan seorang jurnalis perintis, pemimpin Sarekat Islam sekaligus sastrawan komunis Mas Marco telah beberapa tahun meninggal di pembuangan Boven Digul*.
Kemudian Yang Kedua
PERTAMA-TAMA perlu kita simak bagaimana hubungan Mayjen Suharto dengan ketujuh jenderal rekannya yang kemudian menjadi target pembunuhan G30S. Menurut Letkol Untung mereka tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno.
Jenderal Nasution luput dari percobaan penculikan dan pembunuhan, sedang enam jenderal yang lain yang terbunuh, Letjen Ahmad Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen S Parman, Mayjen Haryono MT, Brigjen Sutoyo, Brigjen Panjaitan. Ketika Kolonel Suharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal sebagai sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan dalih untuk kesejahteraan anak buahnya. Suharto membentuk geng dengan sejumlah .: Pengumuman :. pengusaha seperti Lim Siu Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Suharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani.
Komplotan bisnis ini telah bertindak jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.
Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD membentuk suatu tim pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput Kolonel Suharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai Panglima Diponegoro dan digantikan oleh Pranoto.
Kasus Suharto tersebut akhirnya dibekukan karena kebesaran hati Presiden Sukarno (D&R, 3 Oktober 1998:18). Nasution mengusulkan agar Suharto diseret ke pengadilan militer, tetapi tidak disetujui oleh Mayjen Gatot Subroto. Kemudian ia dikirim ke Seskoad di Bandung. Suharto sendiri dalam otobiografinya mencatat persoalan itu sebagai menolong rakyat Jawa Tengah dari kelaparan, maka ia mengambil prakarsa untuk melakukan barter gula dengan beras dari Singapura (Soeharto 1989:92). Ia tidak menyinggung sama sekali adanya tim penyelidik dari MBAD.
Selanjutnya ketika Suharto hendak ditunjuk sebagai Ketua Senat Seskoad, hal itu ditentang keras oleh Brigjen Panjaitan dengan alasan moralitas (Detak, 5 Oktober 1998:5), artinya moral Suharto sebagai manusia, apalagi sebagai prajurit, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Silang pendapat dengan Jenderal Yani lebih serius, hal itu bersangkutan dengan bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah Kostrad (Crouch 1999:104).
Demikianlah sedikit banyak Suharto memiliki pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan dengan ke tujuh rekannya tersebut dalam perjalanan kariernya. Selama 32 tahun kekuasaannya para anggota geng Suharto mendapatkan tempat terhormat yang setimpal, sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk Jenderal Nasution setelah dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen Pranoto yang kemudian ditahan bertahun-tahun tanpa proses.
Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa Suharto benar-benar tidak “sebodoh” yang diperkirakan Jenderal Nasution, juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung Karno. Jenderal Suharto dan Jenderal Suwarto Di Bandung Kolonel Suharto bertemu dengan Kolonel Suwarto, Wadan Seskoad, hal ini sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup Suharto selanjutnya.
Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung yang telah berdiri sejak 1951 ini merupakan sebuah think tank AD, pendidikan militer Indonesia tertua, terbesar dan paling berpengaruh. Seskoad telah menjadi tempat penggodogan perkembangan doktrin militer di Indonesia. Sampai 1989 telah meluluskan 3500 perwira. Para alumninya menjadi tokoh terkemuka dalam pemerintahan. Hampir 100 orang menjadi sekretaris jenderal, gubernur, pimpinan lembaga-lembaga nasional atau badan-badan non departemental.
Presiden, Wakil Presiden, dan lebih 30 menteri merupakan alumni Seskoad. Suwarto sendiri pernah menempuh pendidikan Infantry Advance Course di Fort Benning pada 1954 dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, AS pada 1958. Ia bersahabat dengan Prof Guy Pauker, konsultan RAND (Research and Development Corporation) yang dikunjunginya pada 1963 dan 1966. Suwartolah yang menjadikan Seskoad sebagai think tank politik MBAD, mengarahkan para perwira AD menjadi pemimpin politik potensial (Sundhaussen 1988:245). Seskoad memancarkan pamornya sebagian besar karena jasa Suwarto, sangat besar perannya dalam perkembangan politik. Karena jasanya pula maka Seskoad menjadi pusat pemikiran politik serta
menghadapi perkembangan PKI (Hidayat Mukmin 1991:125).
Guy Pauker adalah pengamat masalah Asia, orang penting dalam Rand Corporation, kelompok pemikir (think tank) CIA*. Sejak itu Seskoad biasa disebut sebagai negara dalam negara, membuat garis politiknya sendiri, bahkan mempunyai perjanjian kerjasama dan bantuan dari AS terlepas dari politik pemerintah RI. Suharto, murid baru yang masuk pada Oktober 1959 ini telah mendapatkan perhatian besar dari sang guru. Pada awal 1960-an Suharto dilibatkan dalam penyusunan Doktrin Perang Wilayah serta dalam kebijaksanaan AD dalam segala segi kegiatan pemerintah dan tugas kepemerintahan.
Peran Suharto dalam civic mission menempatkan dirinya dan sejumlah opsir yang condong pada PSI dalam pusat pendidikan dan pelatihan yang disokong oleh CIA lewat pemerintah AS, suatu program bersifat politik (Scott 1999:81). Pada masa Bandung Kolonel Suharto inilah agaknya hubungan Suwarto-Syam-Suharto-CIA mendapatkan dimensi baru (Hanafi 1998:20-25). Penyempurnaan Doktrin Perang Wilayah dan civic mission menjadi suatu doktrin strategis intervensi politik AD menjelang 1965, suatu proses ideologis mempersiapkan dan mematangkan AD dalam melakukan pengoperan kekuasaan.
Perkembangan selanjutnya, Jenderal Suwarto menjadi orang penting sebagai penasehat politik Jenderal Suharto. Doktrin tersebut yang mewarnai pernyataan Jenderal Suharto pada 16 Agustus 1966 untuk memenuhi desakan Pauker bahwa AD harus memainkan peran kepeloporan di semua bidang (Scott 1999:82).
Dalam sambutannya ketika melantik Letjen Panggabean menjadi Wapangad pada hari tersebut, Jenderal Suharto mengatakan bahwa pengesahan Supersemar oleh MPRS berarti penugasan pemerintahan dengan ruang lingkup luas. Hal itu merupakan penghargaan dan kepercayaan kepada ABRI umumnya dan AD khususnya. Doktrin Tri Ubaya Cakti yang telah menegaskan tuntutan AD untuk memiliki peran politik mandiri disusun kembali oleh Jenderal Suwarto dan mengenai peran AD ditegaskan lebih lanjut seperti penekanan Pauker dalam peran kontra revolusionernya (Scott 1999:82- 83). Dengan belajar dari Rand Corporation kemudian Ali Murtopo cs dengan restu Suharto mendirikan lembaga kajian yang disebut CSIS (Centre for Strategic and International Studies) sebagai think tank Orde Baru.
* Rand Corporation didirikan pada 1948, mula-mula sebagai think tank AU Amerika (USAF) kemudian meluas bagi pemerintah AS. Kajian yang dilakukannya di samping masalah-masalah militer juga meliputi masalah politik, sosial, ekonomi, budaya, hubungan internasional, kekuatan-kekuatan lokal-regional global. Kaki mereka berpijak pada pemerintah AS (CIA), lembaga pendidikan tinggi, dan perusahaan perusahaan industri raksasa. Badan ini melakukan kontak dan hubungan informal termasuk dengan The comments are owned by the poster. We aren’t responsible for their content. Seskoad di Bandung (Lihat Harry Tjan Silalahi ‘Think Tank’ dalam CSIS Sekar Semerbak, Kenangan Untuk Ali Moertopo, Yayasan Proklamasi CSIS, Jakarta, 1985:334-341).
Sumber : Rakyat Merdeka, Rabu, 17 Mei 2006,
19:55:23
Penulis : Harsono Sutedjo
Biografi Presiden Soeharto
Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah. Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah.
Semula disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes, lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri tani.
Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong,
Jawa Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober
1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak
pegawai Mangkunegaran. Perkawinan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel. Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).
The smailing jendral, menarik mencermati jejak hitam soeharto dulu, dan di bulan januari ini karya bapak Harsono Sutedjo saya bukukkan kembali di jendela profil kompasiana, sekaligus menilik kejadian di bulan januari 1974 tepatnya di 15 januari 1974 silam,mungkin tidak asing ditelinga kita,peristiwa Malari atau biasa dikenal Malapetaka Lima Belas Januari Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara, peristiwa itu dikenal dengan istilah masyarakat Malari, sebuah demonstrasi hebat kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta puncaknya Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Soegomo. (Wikipedia)
Jejak hitam negeri Indonesia ditangan smailing jendral,walau sang jendral memberikan dampak luar biasa dikenyataan republic tercinta ini, tapi tetap birokrasi indepent’nya membuat nasib Indonesia di masa lengsernya bak di ujung tanduk.walau begitu beliau sang jendral menjadi orang kedua setelah Ir soekarno seorang tokoh hebat yang saya kagumi hingga detik ini
Semoga beliau tenang di sisi-Nya
1358496185950042037
kolom-biografi.blogspot.com
Amin
Salam Indonesia Satu
by: http://sejarah.kompasiana.com/2013/01/18/menilik-jejak-hitam-soeharto-karya-harsono-sutedjo-520823.html

Fakta yang Menarik= Kisah Pengabdian sang Asisten Pribadi

by: http://dibuangsayangamat.blogspot.com/2009/10/kisah-pengabdian-sang-asisten-pribadi.html
Judul: Pengabdian kepada Bangsaku: Memoar Letkol (Tituler) Soeparto
Pengantar: M. Achadi
Penulis: M. Abriyanto, Hari Nugroho, Biko Sabri
Editor: Imran Hasibuan
Penerbit: Q Communication, 2008

Memoar asisten pribadi Bung Karno, Letkol (Tituler) Soeparto diterbitkan atas prakarsa anaknya. Ada banyak hal menarik seputar interaksinya dengan Proklmator yang kharismatis itu. Sayangnya, masih banyak pula yang belum tergali dengan dalam.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqOLuxnDv-xMmuiSG6DhlDgkFaumto1FpY3-OddGn2XyMHhPEwwV6Mc5OURoYf_1KxTs4Jj-Hz79wRA-bLh-b8XHBzw0aF8zucOIW1m5hdVrRpkRGMq-BrAMnnNctT7te4XLd66rcxGPw/s400/gestapu.jpg

Tak banyak orang yang mengetahui apa yang dilakukan Bung Karno ketika terjadi Gerakan 30 September 1965 atau 1 Oktober 1965 dini hari. Tak mengherankan jika kemudian muncul banyak tafsir tentang peran Soekarno dalam gerakan tersebut, yang tak jarang malah mengesankan sebagai opini ketimbang tafsir atas fakta-fakta sejarah, sehingga menimbulkan kontroversi. Bahkan, seorang profesor sejarah dari Belanda, Antonie C.A. Dake, dalam bukunya, Sukarno File: Berkas-Berkas Soekarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan (2005), menafsir bahwa Soekarno-lah yang menjadi dalang gerakan politik yang memakan korban luar biasa itu.

Menurut Dake, ia telah mewawancarai banyak orang dan dari hasil wawancara itu dapat terlihat bahwa Presiden Soekarno bukan hanya mengetahui akan terjadinya aksi pembersihan terhadap sejumlah jenderal Angkatan Darat, tapi juga pernah mengeluh dan meminta tolong Letnan Kolonel Untung untuk menertibkan para jenderal yang ia nilai tidak loyal dan antikomunis. Dake juga menelaah berkas kesaksian Kolonel Bambang Widjanarko, ajudan Soekarno, yang sebenarnya telah ditarik kembali oleh Bambang Widjanarko karena kesaksian itu dibuat di bawah tekanan penguasa Orde Baru.

Tentu saja, apa yang diutarakan Dake itu membuat berang keluarga Soekarno dan juga para pengagumnya (soekarnois). Bagi mereka, sungguh tidak logis bila Bung Karno mengudeta kekuasaannya sendiri. “Orang yang berkuasa mempertahankan kekuasaannya merupakan hal biasa, bukan melakukan kudeta yang membuatnya kehilangan kekuasaan,” ujar salah seorang putri Bung Karno, Sukmawati, dalam sebuah acara beberapa tahun lampau. Mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel (Purn.) Maulwi Saelan, yang pada masa itu merupakan salah satu tokoh yang berada di lingkaran dekat Soekarno, juga membantah kalau Bung Karno mengetahui—apalagi mendalangi—gerakan tersebut.

Sempat terbetik kabar bahwa keluarga Proklamotor itu akan melakukan gugatan hukum kepada Profesor Dake tersebut, meski sampai sekarang tak jelas lagi perkembangannya. Yang pasti, dalam buku Pengabdian kepada Bangsa: Memoar Letkol (Tituler) Soeparto ini sedikit terungkap di mana Bung Karno ketika tragedi itu terjadi. Karena, Soeparto adalah orang yang sangat sering berada di samping Presiden Soekarno.

Memang, ia tak ada dalam struktur kekuasaan. Soeparto bukan ajudan yang ditunjuk negara guna mendampingi Presiden Soekarno. Soeparto adalah asisten pribadi Soekarno yang dipilih langsung oleh Putra sang Fajar itu. Namun, justru karena itulah Soeparto mendapat kepercayaan penuh dari Bung Karno.

Di luar keluarga, mungkin dialah satu-satunya orang yang dapat masuk ke kamar pribadi Bung Karno untuk membangunkan sang presiden agar melakukan salat subuh. Dia juga orang yang mencicipi makanan Bung Karno terlebih dulu untuk memastikan bahwa makanan itu tak akan membahayakan nyawa tokoh yang ia sangat kagumi itu. Soeparto pula yang kerap mendampingi Soekarno ketika melakukan perjalanan ingcognito.

Wajar saja jika banyak tokoh yang ingin bertemu Soekarno kadang menghubungi Soeparto dulu, termasuk Soeharto semasa menjadi Panglima Kostrad dan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara Laksamana Omar Dani. Yang belakangan ini dalam wawancara dengan majalah Tempo beberapa tahu lalu mengatakan bahwa Letkol Soeparto pada 1 Oktober 1965 pagi meneleponnya. Isinya, Letkol Soeparto memberi tahu Omar Dani bahwa ia akan membawa Soekarno ke Halim Perdanakusuma.

Soeparto sendiri mengetahui adanya gerakan politik yang membuahkan situasi darurat lewat telepon di waktu subuh, yang berasal dari anggota pasukan Detasemen Kawal Pribadi (DKP): telah terjadi penembakan di sejumlah rumah jenderal TNI Angkatan Darat. Karena itu, Soeparto diminta segera kembali ke posnya, yaitu mendampingi Presiden Soekarno (halaman 61).

Soeparto pun segera bergegas ke Wisma Yaso. Karena, di sanalah Bung Karno berada, di kediaman Dewi Soekarno, setelah malamnya menghadiri acara "Muswarah Tehnisi" di Istora, Senayan. Pada acara itu, yang bertugas mengawal Bung Karno adalah Maulwi Saelan, karena komandannya, Brigadir Jenderal M. Sabur, sedang ada tugas di luar kota, sedangkan Letkol Untung bertugas menjaga keamanan di sekitar Istora Senayan. Akan halnya yang menjadi sopir mobil Bung Karno adalah Soeparto. Ia pula yang mengantar Bung Karno menjemput Dewi Soekarno di Hotel Indonesia dan membawa mereka ke Wisma Yaso.

Sesampai di Wisma Yaso pada 1 Oktober 1965 pagi itu, Soeparto langsung menemui Komandan DKP Komisaris Besar Mangil H. Martowidjojo. Begitu mendengar adanya penculikan dan penembakan atas beberapa pejabat tinggi pemerintahan, para pengawal Presiden Soekarno itu segera berunding untuk mencari cara terbaik dalam upaya menyelamatkan Bung Karno. Namun, belum lagi mereka menemukan solusinya, Bung Karno sudah keluar dari Wisma Yaso menuju mobil Chrysler Imperial berpelat nomor B 4747 untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala negara. Menurut jadwal, hari itu Presiden Soekarno akan bertemu dengan Men./Pangad Letnan Jenderal A. Yani dan Ketua Umum Nadhlatul Ulama Idham Chalid pada pukul 07.00 di Istana Merdeka.

Soeparto buru-buru mendampingi Bung Karno dan menyetiri mobilnya. Ketika itulah Soeparto melaporkan apa yang baru terjadi tadi malam (atau dini hari). Mendengar laporan itu, Bung Karno serta-merta meminta Soeparto untuk menghentikan mobil, yang baru berjalan beberapa meter. Setelah itu, Soekarno memanggil Mangil, untuk mencari informasi tambahan tentang peristiwa berdarah yang dilaporkan Soeparto. Jadi, Bung Karno mendapat informasi tentang adanya Gerakan 30 September 1965 pertama kali dari asisten pribadinya, Soeparto.

Setelah itu, Bung Karno meminta Soeparto untuk melanjutkan perjalanan ke Istana Merdeka, tapi kemudian dibelokkan ke arah Grogol, ke rumah kediaman Haryatie Soekarno, karena ada info bahwa Istana Merdeka dijaga oleh pasukan TNI Angkatan Darat. Di tempat inilah terbersit ide Soeparto untuk ”menyelamatkan” Bung Karno ke Halim Perdanakusumo, setelah sebelumnya Mangil menawarkan gagasan untuk ”menyembunyikan” Bung Karno ke rumah salah seorang kerabatnya di Jalan Wijaya, Kebayoran.

Buku ini sendiri, seperti diinginkan oleh putra Soeparto, Supartono Soeparto, dalam pengantarnya, tidak dimaksudkan sebagai buku tentang politik, meski di dalamya dipaparkan banyak peristiwa politik. Buku ini diterbitkan lebih untuk mengenang pengabdian Letnan Kolonel (Tituler) Soeparto kepada sosok Proklamator kharismatis yang begitu ia kagumi, Soekarno. Tapi, justru karena itu, buku ini menjadi terasa sekali kekurangannya. Ada banyak episode dalam masa pengabdian Soeparto kepada Soekarno selama lebih dari 15 tahun yang belum tergali dengan maksimal, terutama sisi-sisi kemanusiaan Soeparto selama menemani Bung Karno di tengah situasi genting dan di saat-saat terakhir menjadi presiden. Juga sisi lain Bung Karno di mata ajudan pribadinya, yang tak pernah diungkapkan ke publik dan bagaimana Soeparto mengalami masa-masa pahit di dalam penjara setelah Soekarno turun dari kursi kekuasaannya. Sayangnya, memang, Soeparto sendiri telah pergi menghadap Ilahi lima tahun lalu, sehingga para penulis buku ini pastilah mengalami kesulitan untuk menggali lebih jauh sisi-sisi humanis yang niscaya menarik itu.

Namun, terlepas dari segala kekurangannya, kehadiran buku ini patut disambut gembira. Karena, buku ini semakin melengkapi khazanah literatur sejarah Indonesia, terutama yang berkaitan dengan Bung Karno dalam masa kepemimpinannya sebagai presiden dan seputar Gerakan 30 September 1965. Di samping itu, lewat buku setebal 146 ini juga kita dapat melihat pantulan yang lebih konkret dari makna pengabdian dan ketulusan seseorang kepada pemimpin yang ia cintai, yang mungkin semakin sulit kita temui di masa-masa sekarang ini. (Pedje)

KISAH SPESIAL PEJUANG INDONESIA= Sejarah Hidup Perjuangan Jendral Ahmad Yani

by: http://www.kumpulansejarah.com/2012/10/sejarah-hidup-perjuangan-jendral-ahmad.html
Jenderal Achmad Yani terkenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) atau yang sekarang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.
Jenderal Achmad Yani
Jenderal Achmad Yani
Karenanya, dengan fitnah bahwa sejumlah TNI AD telah bekerja sama dengan sebuah negara asing untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI lewat Gerakan Tiga Puluh September (G 30/S) menjadikan dirinya salah satu target yang akan diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI AD lainnya.

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu akhirnya menewaskan enam dari tujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat yang sebelumnya direncanakan PKI. Lubang Buaya, lokasi dimana sumur tempat menyembunyikan jenazah para Pahlwawan Revolusi itu berada menjadi saksi bisu atas kekejaman komunis tersebut.

Jenderal yang sangat dekat dengan Presiden Soekarno, ini merupakan salah satu tangan kanan dan kepercayaan Sang Proklamator. Ia sangat cinta dan setia terhadap Bung Karno. Karena kecintaan dan kesetiaannya, ia bahkan pernah mengatakan, “Siapa yang berani menginjak bayang-bayang Bung Karno, harus terlebih dahulu melangkahi mayat saya.” Bahkan ada isu terdengar, bahwa Achmad Yani telah dipersiapkan oleh Bung Karno sebagai calon penggantinya sebagai presiden. Namun dirinya begitu dekat dengan Presiden Pertama RI itu, Achmad Yani tidak setuju dengan konsep Nasakom dari Soekarno. Isu dan prinsipnya itu akhirnya membuat PKI semakin benci terhadap dirinya.

Achmad Yani
yang lahir di Jenar, Purworejo pada tanggal 19 Juni 1922, ini adalah putra dari Sarjo bin Suharyo (ayah) dan Murtini (ibu). Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Ia kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif lagi di Bogor. Dari sana ia mengawali karier militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.

Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan, antara lain berhasil melucuti senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, dirinya diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Selanjutnya karier militernya pun semakin cepat menanjak.

Prestasi lain diraihnya ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi. Pasukannya yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu.

Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk menghancurkan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang mengacau di daerah Jawa Tengah. Ketika itu dibentuklah pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus. Alhasil, pasukan DI/TII pun berhasil ditumpasnya.

Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia ditarik ke Staf Angkatan Darat. Pada tahun 1955, ia disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Dan pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris.

Pada tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus, untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI tersebut. Ia juga berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Sejak itu namanya pun semakin cemerlang. Hingga pada tahun 1962, ia yang waktu itu berpangkat Letnan Jenderal diangkat menjadi Men/Pangad menggantikan Jenderal A.H. Nasution yang naik jabatan menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab).

Saat menjabat Men/Pangad itulah kejadian naas terjadi. Jenderal yang terkenal sangat anti pada ajaran komunis itu pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 4:35 WIB, di kala subuh, diculik dan ditembak oleh PKI di depan kamar tidurnya hingga gugur. Dalam pencarian yang dipimpin oleh Soeharto (mantan Presiden RI) yang ketika itu masih menjabat sebagai Pangkostrad, jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya terkubur di salah satu sumur tua bersama enam jenazah lainnya. Jenazah Achmad Yani dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, ia gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkatnya yang sebelumnya Letnan Jenderal dinaikkan satu tingkat sebagai penghargaan menjadi Jenderal.

Dia gugur karena mempertahankan kesucian Dasar dan Falsafah Negara, Pancasila, yang coba hendak diselewengkan komunis. Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, maka di Lubang Buaya, dekat sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh pahlawan Revolusi yakni enam Perwira Tinggi: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani, Letjen. TNI Anumerta Suprapto, Letjen. TNI Anumerta S.Parman, Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono, Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan, Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S, dan ditambah satu Perwira Pertama Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.

Peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut kemudian telah melahirkan suatu orde dalam sejarah pasca kemerdekaan republik ini. Orde yang kemudian lebih dikenal dengan Orde Baru itu menetapkan tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Penetapan itu didasari oleh peristiwa yang terjadi pada hari dan bulan itu, dimana telah terjadi suatu usaha perongrongan Pancasila, namun berhasil digagalkan.

Belakangan setelah orde baru jatuh dan digantikan oleh orde yang disebut Orde Reformasi, peringatan hari Kesaktian Pancasila ini sepertinya mulai dilupakan. Terbukti tanggal 1 Oktober tersebut tidak lagi ditetapkan sebagai hari libur nasional sebagaimana sebelumnya.

Dalam pidato Bung Karno yang dikenal dengan “Jasmerah”, Bapak Bangsa itu menyebut agar jangan sekali-kali melupakan sejarah. Lebih tegas disebutkan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat dan menghargai sejarahnya. Hendaknya begitulah yang terdapat pada bangsa ini, khususnya pada para pemimpinnya.

ARTIKEL SPESIAL SEJARAH= Cerita Anak Jenderal D.I. Panjaitan Soal G30S/PKI

TEMPO.CO, Jakarta–Masih ingat dengan film Pengkhianatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI? Selama masa kepresidenan Soeharto, film berkisah penculikan serta pembunuhan tujuh jenderal revolusi itu selalu diputar pada 30 September oleh Televisi Republik Indonesia atau TVRI. Satu korban yang menjadi sasaran pembantaian adalah Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan atau D.I. Panjaitan. Dan putrinya, Catherine Panjaitan, menjadi saksi mata penculikan itu.

Pada majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984, Catherine menceritakan kejadian malam berdarah itu. Ingatan itu tertuang dalam tulisan berjudul, Kisah-kisah Oktober 1965. Bagi Anda yang sempat menonton filmnya pasti melihat adegan putri D.I Panjaitan membasuhkan darah sang ayah ke mukanya. Tapi benarkah Chaterine melakukan hal itu?

Cerita Anak Jenderal D.I. Panjaitan Soal G30S/PKI

“Saya melihat kepala Papi ditembak dua kali,” Catherine mengisahkan. “Dengan air mata meleleh, saya berteriak, "Papi..., Papi...." Saya ambil darah Papi, saya usapkan ke wajah turun sampai ke dada.”

Kata Catherine, penculikan terjadi sekitar pukul 04.30, pada 1 Oktober 1965. Kala itu, ia tengah tidur di kamar lantai dua. Kemudian terbangun karena teriakan dan tembakan. Catherine mengintip ke jendela. Ternyata telah banyak tentara berseragam lengkap di perkarangan rumah. “Beberapa di antaranya melompati pagar, sambil membawa senapan,” kata Catherine.

Panik, ia lari ke kamar ayahnya. Yang dicari sudah terbangun dari tidur. Mereka pun berkumpul di ruang tengah lantai atas. Kata Catherine, almarhum papinya terus mondar-mandir, dari balkon ke kamar. Dia sempat mengotak-atik senjatanya, semacam senapan pendek.

Catherine sendiri sempat bertanya pada ayahnya soal apa yang terjadi. Tapi sang jenderal bergeming. Sedangkan di lantai bawah, bunyi tembakan terus terdengar. Televisi, koleksi kristal Ibu Panjaitan, dan barang lainnya hancur. Bahkan meja ikut terjungkal. “Tiarap…tiarap,” kata Catherine menirukan ayahnya.

Sebelum menyerahkan diri ke tentara, mendiang Panjaitan sempat meminta Catherine menelepon Samosir, asisten Jenderal S. Parman. Usai itu, Catherine menghubungi Bambang, pacar sahabatnya. Tapi belum selesai pembicaraan, kabel telepon diputus.

Berseragam lengkap, kemudian D.I. Panjaitan turun ke ruang tamu. Seorang berseragam hijau dan topi baja berseru, "Siap. Beri hormat," Tapi Panjaitan hanya mengambil topi, mengapitnya di ketiak kiri. Tak diacuhkan begitu, si tentara memukul Panjaitan dengan gagang senapan, hingga ia tersungkur. Setelah itu, kejadian bergulir cepat. Dor! Dor! “Darah menyembur dari kepala Papi,” kata Catherine.

ARTIKEL SPESIAL PEJUANG INDONESIA= Sejarah Hidup Perjuangan Jenderal Abdul Harris Nasution

by: http://www.kumpulansejarah.com/2012/10/sejarah-hidup-perjuangan-jenderal-abdul.html
Jenderal Abdul Harris Nasution adalah tokoh penting di kalangan militer yang telah menghidangkan dukungan terkuat –suatu peran yang kerap dinilai secara dubious– yang pernah diterima Soekarno dari kalangan militer sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Ini terjadi saat Nasution mendukung Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tetapi hubungan antara Jenderal Nasution dengan Soekarno terlebih dulu melalui suatu perjalanan panjang yang penuh lekuk-liku taktis. Dari lawan menjadi kawan, untuk akhirnya kembali menjadi lawan sejak tahun 1966, saat Nasution berperan besar membentangkan jalan ‘konstitusional’ bagi proses mengakhiri kekuasaan Soekarno dan pada waktu bersamaan menghamparkan karpet merah kekuasaan selama 32 tahun ke depan bagi Jenderal Soeharto. Jenderal Nasution adalah tokoh yang tercatat amat banyak ‘meminjam’ dan mengoptimalkan simbol maupun pemikiran Jenderal Soedirman, meskipun tak bisa dikatakan bahwa ia sepenuhnya memiliki sikap dan jalan pikiran yang sama dengan sang jenderal besar.
Jenderal Abdul Harris Nasution
Jenderal Abdul Harris Nasution
Surut tujuh tahun ke belakang dari 1959. Pada tahun 1952 semakin mencuat perbedaan pandangan antara tentara (terutama Angkatan Darat) yang dipimpin oleh KSAD Kolonel Abdul Harris Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang di satu pihak dengan Soekarno dan politisi sipil pada pihak yang lain. Tentara menganggap ada upaya-upaya politis dari pihak partai-partai untuk menguasai dan mengekang tentara serta menempatkan tentara sekedar sebagai alat (politik) sipil. Banyak politisi sipil yang kala itu tak henti-hentinya melontarkan kecaman ke tubuh Angkatan Perang, khususnya terhadap Angkatan Darat. Kecaman-kecaman itu dianggap tentara tak terlepas dari hasrat dan kepentingan para politisi sipil untuk mendominasi kekuasaan negara, padahal di mata para perwira militer itu, partai-partai dan politisi sipil tak cukup punya kontribusi berharga dalam perjuangan mati-hidup merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Tentara merasa punya peran dan posisi historis yang lebih kuat dalam perjuangan menuju dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu. Pada sisi yang lain, partai-partai yang ada kala itu relatif tidak punya pengalaman dan kesempatan selama penjajahan Belanda untuk memperoleh kematangan melalui sejarah perjuangan dan proses konsolidasi yang cukup. Kemudian, pada masa kemerdekaan partai-partai tak pernah membuktikan kemampuannya untuk memerintah sendiri. Bahkan, dengan berkoalisi sekalipun tak pernah ada partai-partai yang pernah membuktikan diri berhasil memerintah secara langgeng. Proses perpecahan terus menerus melanda internal partai yang ada. Partai Sosialis pecah menjadi PKI dan PSI. Partai Masjumi lama juga sempat mengalami keretakan, antara lain dengan pemisahan diri NU. Hal yang sama dengan PNI, yang secara berkala dirundung perselisihan intenal. Koalisi PSI-Masjumi-PNI yang selama waktu yang cukup lama mampu memberikan kepemimpinan politik yang relatif stabil, pada suatu ketika akhirnya pecah juga, diantaranya karena adanya perbedaan persepsi mengenai dasar-dasar negara. Bahkan dwitunggal Soekarno-Hatta yang menjadi salah satu harapan utama kepemimpinan politik dan negara kemudian juga retak –sebelum pada akhirnya bubar– dan mulai juga menjalar ke dalam tubuh Angkatan Perang. Suatu situasi yang banyak dimanfaatkan PKI sebagai benefit politik. Harus diakui PKI berhasil menjadi satu diantara sedikit partai yang berhasil mengkonsolidasi organisasinya dengan baik dan mempunyai strategi jangka panjang yang jelas karena terencana baik.

Namun pada sisi lain, dalam realitas objektif kala itu memang Angkatan Perang sejak beberapa lama juga sedang dirundung berbagai masalah internal, termasuk penataan ulang tubuh militer, tak terkecuali masalah penempatan eks KNIL (Koninklijk Nederland-Indisch Leger) sesuai perjanjian Konperensi Meja Bundar (KMB). Bahkan internal AD, sejumlah perwira –Kolonel Bambang Supeno dan kawan-kawan– pernah mengecam sejumlah kebijakan KSAD Kolonel Nasution. Mereka meminta Presiden Soekarno mengganti KSAD Kolonel Nasution dan bersamaan dengan itu, 13 Juli, menyurati KSAP dan Parlemen, menyampaikan ketidakpuasan mereka. Permasalahan Angkatan Perang itu menjadi bahan pembahasan di parlemen, dan parlemen melalui suatu proses perdebatan panjang menerima salah satu mosi (Manai Sophian dan kawan-kawan) di antara beberapa mosi, mengenai Angkatan Perang dan Kementerian Pertahanan, dan mengajukan usulan penyelesaian kepada pemerintah.

Tentara menganggap parlemen terlalu jauh mencampuri masalah internal militer dan memperkuat dugaan mereka tentang konspirasi untuk memojokkan dan menjadikan militer sekedar alat sipil. Militer mengungkit betapa tidak relevannya parlemen mencampuri masalah internal Angkatan Perang, apalagi menurut mereka dalam parlemen itu tercampur baur unsur-unsur yang tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan dan sebagian lagi merupakan perpanjangan dari mereka yang dianggap federalis yang memecah negara kesatuan Republik Indonesia.

Para pimpinan militer sampai pada kesimpulan bahwa harus ada sesuatu yang dilakukan untuk menghentikan manuver para politisi sipil tersebut –yang miskin konsep namun banyak kemauan. Militer menghendaki pembubaran parlemen. Ini suatu sikap politik. Dengan menampilkan sikap politik seperti ini, dan bergerak untuk memperjuangkannya, tentara telah memasuki wilayah pergulatan politik dan kekuasaan. Kelak dengan keterlibatan dalam politik seperti itu, yang senantiasa dianggap sebagai hak sejarah terkait dengan riwayat perjuangan dan kelahiran Angkatan Bersenjata dari rakyat pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, tentara pada akhirnya semakin nyata mewujud sebagai ‘politician in uniform’. Dalam dimensi militer, 17 Oktober 1952 pasukan-pasukan tentara mengepung Istana Merdeka dan mengarahkan moncong meriam ke istana. Tentara sekaligus juga tampil dengan dimensi politik tatkala menggerakkan kelompok-kelompok dalam masyarakat melakukan demonstrasi menuntut pembubaran parlemen.

KSAP TB Simatupang bersama pimpinan-pimpinan AD menemui Soekarno di istana dan mengajukan permintaan agar Soekarno membubarkan parlemen. Soekarno menolak. Kendati moncong meriam sudah diarahkan ke istana, para pimpinan militer ini tampaknya ragu untuk menekan Soekarno lebih keras –padahal Soekarno sendiri kala itu sudah pula hampir tiba pada batas penghabisan keberaniannya. Namun menurut Simatupang, waktu itu para pimpinan militer dihadapkan pada dua alternatif, atau menerobos terus dan mengambil alih pimpinan negara seperti yang dituduhkan para politisi sipil pada waktu itu, atau menahan diri dan memilih untuk menaruh harapan pada suatu pemilihan umum yang akan melahirkan suatu stabilitas yang kokoh-kuat dasarnya.

Para pemimpin militer memilih jalan terakhir tersebut. Mereka mundur, tapi sadar atau tidak, sekaligus mencipta satu titik balik. Sejumlah perwira militer di beberapa daerah melakukan pengambilalihan komando teritorium dari tangan panglima-panglima yang pada Peristiwa 17 Oktober 1952 mendukung pernyataan Pimpinan Angkatan Perang dan Angkatan Darat.  Setelah peristiwa tanggal 17, selama berhari-hari Kolonel Nasution diperiksa Kejaksaan Agung. Dengan terjadinya pergolakan di beberapa teritorium, KSAD Kolonel AH Nasution menyatakan diri bertanggungjawab sepenuhnya dan mengajukan pengunduran diri. Dengan serta merta Presiden Soekarno menerima pengunduran diri tersebut. Nasution meletakkan jabatan sebagai KSAD, dan berada di luar kepemimpinan Angkatan Darat selama beberapa tahun.

Dalam masa ‘istirahat’ tanpa jabatan militer –bahkan juga di posisi di luar itu, karena tempatnya di lembaga non militer tidak dijalaninya– yang berlangsung kurang lebih 4 tahun itu, Abdul Haris Nasution menggunakan waktunya untuk menyusun banyak tulisan dan konsep, meskipun belum sempurna benar, mengenai peranan militer sebagai kekuatan pertahanan maupun sebagai kekuatan sosial politik. Kelak pemikiran-pemikiran yang dituangkan Abdul Harris Nasution dalam kumpulan tulisan itu menjadi cikal bakal dan landasan bagi konsep Dwifungsi ABRI yang dilaksanakan secara konkret. Bersamaan dengan tersisihnya Nasution itu, KSAP Tahi Bonar Simatupang juga mengundurkan diri, dan itulah pula sebenarnya akhir dari karir militernya, meskipun secara formal baru pada tahun 1959 ia meninggalkan dinas aktif militernya. Sebagai KSAD baru diangkat Kolonel Bambang Sugeng. Tak ada pengganti untuk Simatupang, karena jabatan KSAP untuk selanjutnya ditiadakan. Tapi Simatupang –bersama dengan konsep dan buah pikiran Nasution– melalui penyampaian uraian dan tulisan-tulisannya ikut mewariskan pemikiran yang memberi ilham bagi konsep Dwifungsi ABRI dikemudian hari.

DALAM uraian TB Simatupang –saat memberi ceramah di depan Group Diskusi UI, Agustus 1973– disampaikan bahwa kedudukan Angkatan Perang yang agak berdiri sendiri sebetulnya telah merupakan kenyataan sebelum Republik Indonesia ada. Unsur-unsur yang kemudian menjadi pendiri dan pimpinan Angkatan Perang adalah orang-orang yang mengambil peran mendorong agar kemerdekaan segera diproklamasikan. Menurutnya, setelah Angkatan Perang dibentuk secara resmi, selama tahun-tahun perjuangan eksistensi dan pengembangan dirinya, Angkatan Perang itu tidak pernah dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah. “Angkatan Perang tidak menganggap dirinya pertama-tama sebagai alat teknis di tangan Pemerintah, melainkan sebagai pendukung dan pembela kemerdekaan dan dasar-dasar negara”. Sejarah juga memang mencatat fakta bahwa ketika Presiden Soekarno dan sejumlah anggota kabinet dan pemimpin pemerintahan yang lain ditawan Belanda setelah serangan militer bulan Desember 1948, secara de facto Angkatan Perang mengambil peran meneruskan perjuangan melalui perang gerilya melawan tentara Belanda seraya mengambil fungsi-fungsi sebagai pimpinan aparat pemerintahan hingga tingkat desa dalam rangka menjaga kedaulatan negara dan eksistensi teritorial pemerintahan negara.


Pergolakan internal AD pasca Peristiwa 17 Oktober 1952 ternyata tak selesai begitu saja. Dalam masa kepemimpinan Kolonel Bambang Soegeng, gejolak perpecahan internal terus berlangsung hingga bulan pertama, bahkan sebenarnya sampai pertengahan tahun 1955. Para perwira militer ini mengadakan Rapat Collegiaal (Raco) pada 21 hingga 25 Februari di Yogyakarta. Rapat ini menghasilkan ‘Piagam Keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia’. 29 perwira senior dan berpengaruh dalam Angkatan Darat ikut menandatangani piagam tersebut. Dengan piagam tersebut, secara internal dianggap pertentangan di tubuh Angkatan Darat berkaitan dengan Peristiwa 17 Oktober 1952 telah selesai. Namun perbedaan pendapat antara para perwira itu dengan pemerintah tidak serta merta ikut berakhir, sehingga tak tercapai kesepakatan tentang penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952. Merasa terjepit, KSAD Jenderal Mayor Bambang Soegeng memilih untuk mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan Angkatan Darat kepada Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Kolonel bermarga Lubis ini masih terbilang sepupu Kolonel Nasution, namun kerapkali bersilang jalan dalam beberapa peristiwa karena berbeda pendapat dan sikap.

Pemerintah mengisi kekosongan jabatan KSAD itu dengan mengangkat Kolonel Bambang Utojo pada 27 Juni 1955, yang tadinya adalah Panglima Tentara dan Teritorium II/Sriwijaya. Namun ketika Kolonel Bambang Utojo dilantik oleh Presiden Soekarno, tak seorangpun perwira teras dan pimpinan Angkatan Darat yang hadir, mengikuti apa yang diinstruksikan Wakil KSAD Zulkifli Lubis, untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka –yang tadinya tidak digubris oleh pemerintah. Zulkifli Lubis sekaligus menolak melakukan serah terima jabatan KSAD dengan Bambang Utojo yang telah berpangkat Jenderal Mayor. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa 27 Juni, yang mengakibatkan jatuhnya pemerintahan sipil Kabinet Ali-Wongso. Kabinet yang dipimpin oleh Mr Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagai Perdana Menteri dan Mr Wongsonegoro dari PIR (Persatuan Indonesia Raya) sebagai wakilnya, kala itu belum genap berusia dua tahun sejak dibentuk 1 Agustus 1953. Ali baru saja menjadi penyelenggara Konperensi Asia Afrika di Bandung pada bulan April yang dianggap suatu keberhasilan internasional.

Masalah penggantian pimpinan Angkatan Darat ini akhirnya diselesaikan oleh kabinet baru –koalisi Masjumi dengan beberapa partai, dengan PNI sebagai partai oposisi– yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap yang dilantik 12 Agustus 1955, hanya 38 hari sebelum Pemilihan Umum 1955 untuk DPR. Pada penyelesaian akhir, berdasarkan musyawarah para perwira senior dan pimpinan Angkatan Darat, diajukan enam calon KSAD, salah satunya adalah Kolonel Abdul Harris Nasution. Kabinet memilih Nasution. Soekarno ‘terpaksa’ mengangkat kembali Nasution sebagai KSAD dan melantiknya 7 Nopember 1955 dengan kenaikan pangkat dua tingkat menjadi Jenderal Mayor. Pelantikan Nasution dengan demikian berlangsung di antara dua hari pemungutan suara dalam Pemilihan Umum 1955 –yakni pemilihan 272 anggota DPR 29 September dan pemilihan 542 anggota Konstituante 15 Desember 1955. Anggota-anggota angkatan bersenjata turut serta dan memiliki hak suara dalam pemilihan umum yang diikuti puluhan partai berskala nasional maupun berskala lokal itu. Militer tidak ikut untuk dipilih, namun ada Partai IPKI yang dibentuk Nasution dan kawan-kawan yang dianggap membawakan aspirasi militer. IPKI dan kelompok sefraksinya di DPR hanya memperoleh 11 kursi (untuk IPKI sendiri hanya 4 kursi), suatu posisi yang secara kuantitatif amat minor. Sementara Fraksi Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia berada di DPR dengan 2 kursi perwakilan.

Dalam masa jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta. Pemilihan Umum 1955 di satu pihak memang menjadi contoh keberhasilan demokrasi, karena dilangsungkan dalam suasana bebas. Namun jumlah peserta pemilihan umum yang terlalu banyak, agaknya bagaimanapun pada sisi lain menjadi satu masalah tersendiri. Tapi bagaimanapun itu berkaitan pula dengan tingkat kematangan dan kesiapan rakyat dari suatu negara yang baru merdeka 8 tahun namun penuh pergolakan. Rakyat Indonesia dianggap pandai bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung dalam puluhan partai besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk berkoalisi.

Meneruskan pola jatuh bangun kabinet, sesudah pemilihan umum kebiasaan jatuh bangun juga berlanjut. Tetapi sebagai proses politik, semua itu selalu ada penjelasannya, dalam satu rangkaian pola sebab dan akibat, yang akarnya ada dalam budaya bangsa. Pemilihan Umum 1955, tidak menghasilkan –dan memang takkan mungkin dalam satu pola ideologis di negara yang plural seperti Indonesia– partai pemenang yang mayoritas yang dapat memerintah sendirian dalam suatu stabilitas politik. Kendati misalnya dikatakan bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam, mencapai 90 persen, nyatanya partai-partai Islam secara bersama-sama bahkan tak mencapai separuh dari perolehan suara. Menempatkan Islam sebagai ideologi tidak relevan, karena tak semua rakyat yang beragama Islam menganggap agamanya sekaligus juga adalah ideologi politik dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penggunaan agama sebagai ideologi politik untuk mengejar kekuasaan duniawi, bagi sebagian pemuka umat dianggap sebagai degradasi keluhuran Islam. Selain itu, pada pihak lain sebagian dari rakyat Indonesia yang resmi memeluk agama Islam, sesuai penelitian Clifford Geertz, sesungguhnya adalah kaum abangan. Pembagian masyarakat di pulau Jawa atas kaum santri di satu pihak dan kaum abangan di pihak lain yang dilontarkan Clifford Geertz ini paling banyak dirujuk dalam berbagai uraian sosiologis hingga kini. Penelitian Geertz itu sendiri dilakukan di Pulau Jawa, tetapi dianggap berlaku untuk Indonesia.

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia juga punya kenyataan dan catatan tersendiri, tentang keanekaragaman persepsi, penafsiran dan realitas dalam masyarakat yang berhubungan erat dengan kultur Hindu dan kultur animistis yang telah berakar berabad-abad lamanya, sebelum Wali Songo menyebarluaskan Islam di Indonesia. Masjumi sebagai partai modern berbasis Islam hanya memperoleh 60 kursi DPR dari 272 kursi yang ada. NU memperoleh 47 kursi, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) memperoleh 8 kursi dan Perti (Persatuan Tarbiyah Indonesia) 4 kursi. Bersama Masjumi jumlahnya hanyalah 119 yang tidak mencapai separuh dari 272. Sementara itu, harus pula dicatat fakta tentang rivalitas berkepanjangan yang terjadi antara Masjumi dan NU dengan suatu latar belakang historis dan perbedaan persepsi secara kualitatif di awal kelahiran mereka, termasuk dalam menyikapi masalah kekuasaan. Dan karena itulah para politisi Islam ini tak pernah padu dalam sepakterjang mereka sebagai satu kekuatan politik. Itulah pula sebabnya sebagian dari politisi Islam ini dalam menjalani political game, dalam perseteruannya dengan kekuatan politik lainnya kerapkali menggunakan faktor emosional yang terkait dengan agama sebagai senjata politik, tatkala kehabisan argumentasi rasional.

( Biar sejarah yang bicara ) Jenderal Soedirman= Kisah Panglima Besar Pejuang Bersahaja

Ia mungkin telah jadi ikon: sepotong jalan utama dan sebuah universitas negeri telah menggunakan namanya. Raut lelaki tirus itu pernah tertera pada sehelai uang kertas.
Di Jakarta, tubuhnya yang ringkih diabadikan dalam bentuk patung setinggi 6,5 meter di atas penyangga 5,5 meter. Menghadap utara, dibalut jas yang kedodoran, ia memberi hormat–entah kepada siapa.
Barangkali, hanya sedikit cerita yang kita ingat dari Soedirman–sejumput kenangan dari buku sejarah sekolah menengah. Ia panglima tentara yang pertama, orang yang keras hati. Ia pernah bergerilya dalam gering yang akut–tuberkulosis menggerogoti paru-parunya.
Sejak ia remaja, orang segan kepadanya: karena alim, dia dijuluki kaji. Ia aktif dalam gerakan Hizbul Wathan–kepanduan di bawah payung Muhammadiyah.
Dipilih melalui pemungutan suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/Angkatan Perang Republik Indonesia pada 12 November 1945, Soedirman figur yang sulit dilewatkan begitu saja. Ia mungkin sudah ditakdirkan memimpin tentara.
Dengan banyak pengalaman, tak sulit baginya terpilih sebagai panglima dalam tiga tahap pengumpulan suara. Dia menyisihkan calon-calon lain, termasuk Oerip Soemohardjo–kandidat lain yang mengenyam pendidikan militer Belanda.

Kisah Seorang Perokok Berat 

Soedirman adalah seorang perokok kelas berat. Ia merokok sejak remaja. Rokok kreteknya tak bermerek, tingwe alias nglinthing deweartinya meramu sendiri. Sepulang bergerilya, kondisi kesehatan Soedirman memburuk. Ia masuk Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ingat cerita ibunya, Siti Alfiah, bagaimana saat sakit bapaknya tetap ingin merokok.”Bapak dipaksa berhenti merokok oleh dokter. Karena perokok berat, Bapak tak bisa benar-benar meninggalkan rokok. Bapak meminta Ibu merokok dan meniupkan asap ke mukanya.”
Menurut Teguh, belakangan ibunya menjadi perokok. “Barangkali terdengar konyol, tapi Ibu berprinsip menaati perintah Bapak,” katanya.
Pada Ahad pagi, 29 Januari 1950, setelah lama terkulai lemas sejak Oktober di rumah peristirahatan tentara di Magelang, mendadak wajah Soedirman tampak cerah. Pagi itu, Ahmad Yani, Gatot Soebroto, serta beberapa petinggi militer dan sipil hadir. Tidak diketahui apa yang dibicarakan.
“Waktu itu, menurut Ibu, tiba-tiba terdengar suara kaleng dan botol pecah mendadak. Bersamaan dengan itu, bendera di halaman melorot setengah tiang. Sampai Ibu bilang ke beberapa pengawal, ’Ah, itu hanya angin’.”
Setelah salat magrib, sebagaimana didengar dari Alfiah, Soedirman memanggil istrinya ke kamar. Di dalam, dia berkata, “Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.” Alfiah menuntunnya mengucap Laa Ilaha Illallah, dan Soedirman mengembuskan napas terakhir.

Asal-usul Keluarga Jenderal Soedirman

Soedirman lahir pada Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Purbalingga. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita asal Purwokerto, istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula. Soedirman diurus dan tinggal di rumah asisten wedana di Rembang, Raden Tjokrosoenarjo dan istri Toeridowati. Bayi laki-laki itu diberi nama Soedirman.
Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang, Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati. Data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya itu.
Setelah Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya. Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluarganya, termasuk Soedirman dan orang tuanya, pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah selatan pusat Kota Cilacap, Jawa Tengah. “Jadi, Bapak cuma numpang lahir di Purbalingga, lalu kehidupannya berlanjut di Cilacap,” kata Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, anak bungsu Soedirman, saat ditemui Tempo awal Oktober lalu.
Teguh bercerita, selama ini banyak buku dan literatur digital di dunia maya menulis ngawur soal asal-usul keluarganya. Dari sekian banyak buku tentang ayahnya, Teguh hanya percaya pada buku berjudul Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer karya wartawan senior Julius Pour terbitan 2005.
“Walau bukan buku biografi Bapak, ceritanya cocok semua dengan cerita Ibu,” ujar bungsu dari sembilan putra-putri pasangan Soedirman dan Siti Alfiah itu.
Soal asal-usul keluarga sang Panglima Besar, Teguh mengatakan, berdasarkan pernyataan keluarga, Soedirman merupakan anak kandung Tjokrosoenarjo, Asisten Wedana Rembang, bukan anak angkat seperti yang selama ini tertulis di berbagai buku sejarah. “Belum ada satu pun buku yang menulis soal ini (versi keluarga),” katanya.
Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di Cilacap pada sekitar 1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.
Siti Alfiah, istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data sejarah ini, tapi selalu kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya meluruskannya pada 1960-1970-an. Namun, pihak Pusat Sejarah ABRI kala itu malah mengesahkan secara resmi sejarah orang tua Soedirman yang masih kontroversial tersebut lewat pengadilan. “Tapi aneh karena tak ada satu pun anggota keluarga yang diundang,” ujar Teguh.
Bagi Teguh, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal riwayat sang Jenderal Besar. Sebab, semua dokumen yang berkaitan dengan Soedirman telah dilenyapkan demi kepentingan keamanan sebelum ia berangkat bergerilya.
Menurut Teguh, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran agar ia menuliskan semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan pengakuan keluarga. Namun, hingga kini dia belum pernah mencoba melaksanakan saran Anhar itu.
“Yang jelas, Bapak itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi teladan bangsa ini. Itu saja cukup,” ucap Teguh.

Bintang Lapangan Sepak Bola 

Soedirman memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh pendidikan formal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh tahun. Di sekolah milik pemerintah ini, ia dikenal sebagai murid yang sangat rajin, berdisiplin, dan pandai.
Di sekolah inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olahraga kegemarannya: sepak bola. Menurut Teguh, saking piawainya memainkan si kulit bundar, Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang dijuluki si bintang lapangan.Pria 62 tahun itu mengatakan ayahnya juga menguasai betul aturan dan tata cara permainan bola sepak. Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur, Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit. “Kebiasaan sepak bola ini terbawa terus sampai Bapak remaja menuju dewasa,” kata Teguh.

Di Sekolah, Jenderal Soedirman Dijuluki Kaji

Seperti ditulis Majalah Tempo Senin 12 November 2012, Soedirman dikenal sebagai sosok yang tak segan membantu teman-temannya dalam hal apa pun, termasuk pelajaran. Ia sangat antusias mengikuti pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan agama Islam. “Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Cara bergaul ayahnya pun luwes, kata anak bungsunya, Mohammad Teguh. Dia bisa memastikan hal itu berdasarkan cerita ibunya. Soedirman bisa berkawan dan menempatkan diri di antara senior ataupun juniornya. “Bapak biasa berada di tengah banyak orang. Soalnya Bapak sangat piawai berpidato,” ujarnya. Terutama saat ayahnya getol mengurus organisasi intrasekolah Putra-Putri Wiworotomo.
Soedirman lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun setelahnya dan lulus pada 1935.
Bersekolah di MULO merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.



Kisah Asmara di Wiworo Tomo 

Soedirman memang begitu sayang kepada istrinya. Menurut Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ibunya pernah bercerita bagaimana bapaknya tergolong teliti untuk urusan kosmetik dan busana. “Bapak selalu memilihkan bedak dan busana untuk Ibu. Ibu tinggal mengenakan,” ujar Teguh. Bapaknya ternyata juga suka menjaga penampilan agar rapi dan berwibawa, terutama saat berpidato.
Ibunya sekali waktu bercerita, pernah saat Soedirman berpidato, ia merasa cemburu. Soedirman saat itu berpidato di hadapan putri-putri Keraton Solo. Mereka terlihat kagum pada penampilannya yang besus atau selalu rapi. Selesai pidato, Alfiah berseloroh, “Kamu senang, ya? Kalau begitu mau lagi?” Soedirman langsung menjawab, “Ya tidak, kan aku sudah punya kamu.”
Kisah asmara Soedirman dan Alfiah dimulai di Perkumpulan Wiworo Tomo, Cilacap. Soedirman tersohor sebagai pemain sepak bola dan pemain tonil atau teater. Dia dijuluki Kajine karena alim. Tatkala menjadi ketua, Soedirman memilih Alfiah sebagai bendahara Perkumpulan. Salah seorang teman Soedirman, menurut Teguh, bercerita, banyak pemuda naksir kepada ibunya tapi tak berani mendekati karena segan kepada sang ayah.
Gosip Soedirman menaksir Alfiah, kata Teguh, bermula dari kebiasaan Soedirman berkunjung ke rumah Sastroatmodjo, orang tua Alfiah. Silaturahmi itu berkedok koordinasi internal Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Adapun orang tua Alfiah pengurus Muhammadiyah.
Saat menjadi guru HIS Muhammadiyah, Soedirman dikenal dermawan. Gajinya kerap dipakai membantu tetangga. Tatkala menjadi anggota Badan Penyediaan Pangan, lembaga penarik upeti di bawah Jepang, Soedirman bahkan tidak memaksa warga menyetor upeti jika kekurangan.
“Nenek tahu betul Soedirman muda naksir Alfiah. Nenek merestui karena kagum pada kealimannya. Nenek membujuk Kakek mau menerima Soedirman menjadi menantu. Saat itu, usia Bapak 20 tahun, Ibu 16 tahun.”
Menurut Teguh, paman ibunya yang bernama Haji Mukmin, saudagar pemilik hotel, sesungguhnya tidak setuju terhadap perkawinan Alfiah dan Soedirman. Mukmin berkeras Alfiah harus mendapatkan suami dari kalangan orang kaya. Adapun Soedirman anak ajudan wedana, yang bergaji kecil. “Akhirnya, menurut Ibu, semua ongkos pernikahan diam-diam disiapkan Nenek. Strategi itu agar Bapak tidak disepelekan keluarga besar Kakek.”
Dari ibunya, Teguh mendengar, pada saat makan bersama keluarga besar, Haji Mukmin menyingkirkan hidangan paling enak dari hadapan bapaknya. Sang ibu tersinggung, tapi bapaknya memilih mengalah. Sikap Haji Mukmin berubah setelah Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar. Ketika diarak ke Cilacap, dia melihat pamannya itu berdiri di pinggir jalan. Soedirman menghentikan mobil, lalu mengajaknya masuk ke mobil.


Soedirman Mengajar dari Kisah Pewayangan

Soedirman, Panglima Besar TNI itu adalah seorang pengajar. Sebagai pendidik, ia tak hanya sekedar memandu murid dari depan kelas. Dia juga menggunakan aneka metode yang membuat murid tertarik belajar.
Soedirman tak tamat HIK. Dia kembali ke Cilacap setahun kemudian. Soedirman lantas bertemu R. Mohammad Kholil, tokoh Muhammadiyah Cilacap. Berkat guru pribadinya itu, dia diangkat menjadi guru sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Cilacap.
Bangunan HIS Muhammadiyah, tempat Soedirman dulu mengajar, kini tak berbekas. Sejak 1993, bangunan tua di tepi Jalan Jenderal Soedirman, Cilacap, itu dirobohkan. Sebagai gantinya, tepat di lokasi tersebut berdiri Taman Kanak-kanak Aisyiah 1.
Sekolah usia dini yang terdiri dari dua kelas dan satu ruang guru tersebut bersembunyi di balik Gedung Dakwah Soedirman, bangunan dua lantai markas Pengurus Daerah Muhammadiyah Cilacap. “Ini untuk mengenang sekaligus tak mengubah fungsi lokasi tersebut sebagai tempat pendidikan,” kata Arif Romadlon, Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Cilacap, Ahad lalu.
Sardiman, dosen sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, dalam bukunya Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Soedirman (2008), menuturkan bahwa Soedirman berhasil menarik perhatian murid-muridnya saat mengajar.
Marsidik, salah satu murid HIS Muhammadiyah yang diwawancarai Sardiman pada 1997, menuturkan cara mengajar Soedirman tak monoton, terkadang sambil bercanda dan acap diselingi pesan agama dan nasionalisme. “Soedirman juga sering mengambil kisah-kisah pewayangan,” kata Sardiman kepada Tempo pada Ahad lalu.


Soedirman Berhenti Mengajar Demi Berjuang

Nama Soedirman di mata para pejuang kemerdekaan tak sekadar panglima. Dia juga simbol untuk terus melawan penjajah. Soedirman, yang seorang pendidik, memutuskan untuk berhenti mengajar dan memilih turun ke medan perang. Dalam edisi khusus tentang Soedirman di majalah TEMPO, Senin, 12 November 2012, tergambarkan keputusan Soedirman membangkitkan semangat para muridnya.
Dua lelaki tegap memasuki sebuah kelas di Sekolah Rakyat Kepatihan, Cilacap, Jawa Tengah. Pelajaran aljabar di dalam kelas langsung berhenti. Kalender saat itu menunjuk akhir 1943. Bersama wali kelas Sukarno, keduanya berdiri di depan 30-an murid kelas lima.
Seorang di antaranya maju mendekati meja paling depan. Sosok itu kemudian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas, mengucap salam, lalu memperkenalkan diri. “Saya Soedirman dan ini Pak Isdiman.”
Seorang murid yang duduk di bagian belakang kelas, Soedirman Taufik, setengah kaget. Namanya sama dengan pria di depan kelas itu. Seperti teman-temannya, bocah sepuluh tahun itu hanya tertegun.
“Saya mau pamit akan berjuang bersama Dai Nipon,” ujar pria di depan kelas. Pria berpeci hitam, berkemeja putih kusam, dan celana krem panjang sedikit di bawah lutut itu melanjutkan kalimatnya. “Saya minta pangestu, semoga berhasil. Anak-anak yang sudah besar nanti juga harus berjuang. Membela negara.”
Serentak murid-murid menjawab, “Nggih, Pak!” Kunjungan berakhir. Soedirman menyalami para murid sebelum meninggalkan ruangan sambil melambaikan tangan. Isdiman, yang tak berujar sepatah kata pun, mengikuti di belakangnya.
Berselang 69 tahun, Taufik–Juni lalu genap 79 tahun–masih ingat betapa gaduh kelasnya ketika dia bersama kawan-kawan memekikkan salam perpisahan sekaligus doa. “Selamat berjuang, Pak! Semoga berhasil!” katanya kepada Tempo, Ahad lalu. Beberapa tahun setelah kejadian itu, nama kedua pria yang berpamitan tadi muncul sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Soedirman kelak menjadi jenderal, Panglima Besar TNI, diangkat pada Juni 1947. Adapun Letnan Kolonel Isdiman gugur sebagai Komandan Resimen 16/II Purwokerto, dua tahun sebelumnya, dalam pertempuran melawan tentara sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah.
Dari cerita kawan seangkatannya, Taufik, yang kini menjadi Dewan Penasihat Organisasi Angkatan ’45 Cilacap, mengetahui bahwa Soedirman dan Isdiman juga berpamitan ke beberapa sekolah lainnya sebelum bergabung dengan tentara sukarela bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). “Pak Dirman memang guru,” katanya.


Cacat Kaki, Soedirman Sempat Pesimis Jadi Tentara

Kebesaran nama Panglima Jenderal TNI Soedirman bisa dilihat dari kisahnya yang terungkap di buku-buku sejarah. Namun sebenarnya di balik perjuangannya dengan bertandu, Seodirman sempat ketakutan menjadi tentara karena kondisi kakinya.
Ditinggal Soedirman dalam usia satu tahun, Muhammad Teguh Bambang Cahyadi mendengar cerita tentang ayahnya itu dari sang ibu, Siti Alfiah. Termasuk kisah tentang Soedirman ketika mengawali karier militernya. Menurut Teguh, ayahnya sempat ragu masuk dunia militer. “Saya cacat, tak layak masuk tentara,” kata Soedirman, seperti yang didengar Teguh dari ibunya.
Bukan tanpa alasan jika Soedirman tak percaya diri menjadi tentara. Kakinya pernah terkilir pada saat main sepak bola. Hal itu membuat sambungan tulang lutut kirinya bergeser. Siti Alfiah juga menyatakan sangat mengkhawatirkan kondisi suaminya.
Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, Soekanto menuliskan dialog pasangan suami-istri ini pada saat Soedirman ingin menjadi tentara. Menjelang tengah malam satu hari pada 1944, Soedirman menyampaikan rencana bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (Peta). “Jadi, Mas mau jadi tentara?” kata Siti Alfiah. Soedirman mengangguk, seolah meminta pengertian dari sang istri.
Tak langsung mengiyakan, Siti mencecar Soedirman. Dia menanyakan soal mata kiri Soedirman yang kurang terang. “Lalu, kaki Mas yang terkilir sewaktu main bola itu….”
“Tidak apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya,” katanya. “Saya harap Ibu berhati mantap.” Soedirman lalu pergi mengambil wudhu dan berjalan ke kamar untuk salat tahajud.
Pilihan menjadi prajurit diambil setelah sekolah Muhammadiyah, tempat Soedirman mengajar, ditutup tentara Jepang. Sekolah itu dianggap bentukan kolonial Belanda. Achmad Dimyati, rekan sesama guru, menyampaikan ketertarikan penguasa militer Kabupaten Cilacap merekrut Soedirman. “Mungkin Dik Dirman akan diangkat menjadi sangikai Karesidenan Banyumas, semacam perwakilan rakyat,” kata Dimyati.
Dimyati berusaha meyakinkan bahwa Soedirman bisa menjadi penghubung antara tentara Jepang dan penduduk Karesidenan Banyumas. Dia berpendapat Jepang lebih baik daripada Belanda.
Nyatanya, Soedirman tak langsung tertarik. Dia menilai Belanda dan Jepang sama-sama orang asing yang menjajah. Jepang dinilainya memerlukan tenaga pribumi hanya karena beberapa jabatan penting kosong ditinggal orang-orang Belanda.
Toh, Soedirman diterima di kesatuan militer. Ia mendapat jabatan sangikai, yang bertugas mendampingi tentara Jepang mengambil hati penduduk agar mau menyerahkan padi. Namun, dengan bahasa Jawa, Soedirman meminta rakyat agar mendahulukan kebutuhan mereka sebelum menyetorkan padi ke tentara Jepang.


Usia 26, Soedirman Tumpas Pemberontakan Pertama

Soedirman mendapatkan pendidikan militer pertamanya dari Jepang. Ia direkrut pemerintah negeri matahari terbit itu pada usia 25 tahun. Setahun menempa pendidikan kemiliteran, Soedirman pun mendapatkan tugas besar pertamanya.
Pada 3 Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun 2603 (1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa. Penguasa Karesidenan Banyumas mengusulkan Soedirman ikut bergabung. Nugroho Notosusanto dalam buku Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, mengatakan hampir semua daidancho dan chudancho dibujuk secara pribadi oleh Beppan.
Daidancho kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru, tokoh agama Islam, dan pegawai pemerintah. “Karena itu, umurnya tak muda lagi,” kata Nina Lubis, penulis buku PETA Cikal Bakal TNI. Daidancho adalah jabatan setingkat komandan batalion.
Soedirman kemudian masuk Peta angkatan kedua sebagai calon daidancho. Muhammad Teguh mengenang cerita ibunya bahwa tentara Jepang sebenarnya tidak suka dengan masuknya Soedirman. Sebab, ketika menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat, ia sering menentang instruksi tentara Jepang. “Namun, saat itu Jepang berkepentingan membentuk pasukan bersenjata untuk menghadapi serangan tentara Sekutu,” katanya.
Sebelum membentuk Peta, Jepang telah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan pasukan pribumi Heiho pada 22 April 1943. Pasukan Heiho terutama bertugas di satuan artileri pertahanan udara, tank, artileri medan, mortir parit, dan sebagai pengemudi angkutan perang. Namun, Heiho ternyata tak memuaskan Jepang, yang ingin pasukan sepenuhnya terdiri dari orang pribumi, terpisah dari tentara Jepang.
Pemuda Heiho hanya menjadi pembantu prajurit Jepang. Tak satu pun di antara mereka menjadi perwira. Tangerang Seinen Dojo (pusat latihan pemuda Tangerang), yang mulai berlatih sejak Januari 1943, malah dianggap lebih berhasil.
Pemisahan tentara pribumi dengan tentara Jepang kemudian dilaksanakan di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa dengan nama Giyu-gun. Pengerahan rakyat pribumi untuk masuk tentara sukarela akhirnya terlaksana dengan pembentukan Peta.
Untuk menjadi calon perwira tentara Peta, Jepang mensyaratkan bakat kepemimpinan, jiwa dan fisik sehat, serta stabilitas mental. Seleksi dilakukan di ibu kota kabupaten (ken) atau kota madya (shi), yang kemudian dilanjutkan di ibu kota karesidenan (shu) untuk pemeriksaan kesehatan.
Seleksi dilakukan pada awal bulan Oktober 1943 dan hasilnya diumumkan dua minggu kemudian.
Angkatan kedua pendidikan Peta dimulai pada April 1944. Pendidikan untuk daidancho, kata Nina dalam bukunya, hanya dua bulan. Sedangkan untuk chudancho dan shudancho latihannya 3-4 bulan. Mereka berlatih di kompleks militer eks Belanda, 700 meter dari istana presiden di Bogor. Pusat latihan itu diberi nama Jawa Bo-ei Giyugyun Kanbu Renseitai, dibuka resmi pada 15 Oktober 1943.
Angkatan kedua pendidikan perwira Peta dilantik pada 10 Agustus 1944. Mereka diberi samurai dan disebar ke 55 daidan di daerah pantai selatan Jawa. Sebagai daidancho, Soedirman ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah, didampingi shoko shidokan, perwira Jepang yang bertugas sebagai pengawas dan penasihat teknis kemiliteran, Letnan Fujita.
Setelah diangkat menjadi daidancho pada usia 26 tahun, Soedirman pulang ke rumah dan menceritakan kepada Alfiah ihwal penempatannya di Kroya. “Saya menjadi daidancho di sini (Cilacap),” kata Soedirman. Ujian pertama Soedirman dilalui pada 21 April 1945, saat pasukan Peta di bawah komando bundancho Kusaeri memberontak di Desa Gumilir, Cilacap.
Peristiwa itu berlangsung lima hari setelah vonis tentara Jepang terhadap pemberontakan Peta Blitar. Soedirman diperintahkan memadamkan pemberontakan Gumilir.
Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, daidancho itu sebenarnya tahu gerakan Kusaeri. Sebab, beberapa hari sebelum bergerak, Kusaeri menemuinya di Cilacap. Soedirman meminta koleganya itu menunda gerakan. Kata dia, “Kita harus bergerak pada waktu yang tepat.”


Soedirman dan Keris Penolak Mortir 

Desing pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap, suatu hari di awal Januari 1949. Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Tengah, yang tengah berada di sawah, halaman, dan jalanan, itu panik masuk ke rumah atau bersembunyi ke sebalik pohonan.Warga Nganjuk tahu itu pesawat Belanda yang sedang mencari para gerilyawan dan bisa tiba-tiba memuntahkan bom atau peluru. Tak kecuali Jirah. Perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur seraya membayangkan gubuknya dihujani peluru.Di rumahnya ada sembilan laki-laki asing tamu ayah angkatnya, Pak Kedah, yang ia layani makan dan minum. Meski tak paham siapa orang-orang ini, Jirah menduga mereka yang sedang dicari tentara Belanda. Sewaktu pesawat mendekat, dia melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan pintu dikelilingi delapan lainnya. “Saya mengintip dan menguping apa yang akan terjadi dari dapur,” kata Jirah, September lalu.
Lelaki pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil ”Kiaine” atau Pak Kiai itu mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu ia taruh di depannya. Tangannya merapat dan mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib. Keris itu berdiri dengan ujung lancipnya menghadap ke langit-langit. Kian dekat suara pesawat, kian nyaring doa mereka.
Keris itu perlahan miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine menyarungkan keris itu lagi dan para pendoa meminta undur diri dari ruang tamu. Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita bahwa keris dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan tentara Belanda.
Dari curi-dengar obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar tahu, orang yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, dan pendiam dengan napas tercekat yang dipanggil Kiaine tersebut adalah Jenderal Soedirman. “Saya mendapat kepastian itu Pak Dirman justru setelah beliau meninggalkan desa ini,” ujarnya.
Waktu itu Panglima Tentara Indonesia ini sedang bergerilya melawan Belanda, yang secara resmi menginvasi kembali Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun setelah Proklamasi. Jirah ingat, rombongan itu–yang berjumlah 77 orang–datang ke Bajulan pada Jumat Kliwon Januari 1949. Di rumahnya, Soedirman ditemani delapan orang, antara lain Dr Moestopo, Tjokropranolo, dan Soepardjo Roestam. Yang lain menginap di rumah tetangga.
Selama lima hari di Bajulan, tak sekali pun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki penduduk. “Itu berkat keris dan doa-doa,” kata Jirah. Soedirman seolah-olah tahu tiap kali Belanda akan datang mencarinya. Karena itu, operasi Belanda mencari buron nomor wahid tersebut selalu gagal.


Cerita Kesaktian Soedirman 

Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, mendengar banyak cerita ”kesaktian” ayahnya. Teguh lahir pada 1949 ketika ibunya bersembunyi di Keraton Yogyakarta saat ayahnya bergerilya. Dia tak sempat bertemu dengan ayahnya, yang meninggal dua bulan setelah ia lahir, dan hanya mendengar kisah Soedirman dari sang ibu, Siti Alfiah.
Inilah kesaktian sang Jenderal yang merupakan perokok berat ini.
Ceritanya ketika Soedirman sampai di Gunung kidul. Ia tak mengizinkan pasukannya beristirahat lama-lama. Benar saja, beberapa saat kemudian, pasukan Belanda tiba di lokasi peristirahatan pasukannya. Jika Soedirman, yang dalam sakit bengek dan tubuh rapuh, tak segera meminta mereka jalan lagi, pertempuran tak akan bisa dihindari. “Dan bisa jadi pasukan Bapak kalah,” kata Teguh.
Soedirman, yang selalu menyamar sepanjang gerilya, juga kerap diminta mengobati orang sakit. Di sebuah desa di Pacitan, Teguh bercerita, Soedirman dan pasukannya kelaparan karena tak menemukan makanan berhari-hari. Mau meminta kepada warga desa, takut ada mata-mata Belanda. Saat rombongan ini beristirahat, seorang penduduk menghampiri mereka dan meminta air mantra untuk kesembuhan istri lurah di situ.
Sang Panglima mengambil air dari sumur, lalu meniupkan doa. Ajaib, istri lurah yang terbaring payah itu bisa bangun setelah minum. Pak Lurah pun menyilakan Soedirman dan anak buahnya beristirahat. Ia menjamunya dengan pelbagai makanan. “Baru setelah itu Bapak mengenalkan diri,” kata Teguh.


Sang Jenderal Klenik 

Kepercayaan dan kegemaran Soedirman pada supranatural tak hanya terjadi saat gerilya, tapi juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Muhammad Roem punya kisah menarik tentang klenik Soedirman. Syahdan, suatu pagi beberapa hari menjelang perundingan Renville di Yogyakarta pada 17 Januari 1948, Roem dipanggil Presiden Sukarno.
Presiden meminta Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan itu menemui Soedirman di rumahnya. “Sebagai ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat,” kata Presiden. “Temuilah segera Panglima Soedirman.” Meski awalnya menolak, Roem, yang tak mengerti urusan klenik, menuruti saran itu.
Di rumahnya, Soedirman sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang ia kenalkan kepada Roem sebagai “orang pintar”. Rupanya, anak muda yang dikenal Roem tak punya pekerjaan tetap itu yang akan “memperkuat jiwa” Menteri Dalam Negeri ini. Dukun itu kemudian memberinya secarik kertas. “Jimat ini tak boleh terpisah dari Saudara,” kata Soedirman. “Kalau hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik-baiknya.”
Jimat itu menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau hengkang dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi penengah rundingan itu memuji Roem dan delegasi Indonesia. “Saya sudah kesal karena Belanda begitu legalistik, tapi kalian bisa melawannya dengan legalistik juga. You are wonderful,” katanya, seperti ditulis Roem dalam Jimat Diplomat. Roem, lulusan Rechts School (Sekolah Hukum) di Jakarta, hanya mesem sambil meraba jimat itu di saku celananya.
Akan tetapi, cerita paling absurd yang pernah didengar anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, adalah kisah seorang santri dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kepadanya, santri itu menceritakan kisah gurunya yang ikut bergerilya bersama Soedirman. Dalam sebuah pertempuran sengit, menurut santri itu, Soedirman menjatuhkan pesawat Belanda dengan meniupkan bubuk merica. Teguh berkomentar, “Gila, ini tak masuk nalar.”


Soedirman Penganut Kejawen Sumarah

Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Jenderal dari Banyumas dan percaya klenik ini dikabarkan memiliki bermacam kesaktian.
Soedirman disebut sebagai penganut aliran kejawen Sumarah. Ia gemar mengoleksi keris. Ia juga percaya benda pusaka itu punya tuah yang bisa melindunginya.
Anak bungsu Soedirman, Mohamad Teguh Sudirman, bercerita sewaktu ayahnya terpojok di lereng Gunung Wilis, Tulungagung, keris ayahnya bisa menyelamatkan pasukannya. Padahal ketika itu tentara gerilyawan tak punya celah meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda.
Soedirman tiba-tiba mencabut cundrik, keris kecil pemberian seorang kiai di Pacitan, dan mengarahkannya ke langit. Tak berapa lama, awan hitam bergulung-gulung, petir dan angin menghantam-hantam. Hujan lebat pun turun dan membuyarkan kesolidan pengepungan Belanda. Lagi-lagi pasukan Soedirman selamat.
Cundrik itu ia tinggalkan di rumah penduduk. Beberapa tahun setelah Soedirman meninggal pada 1950, Panglima Kodam V Brawijaya Kolonel Sarbini datang ke rumahnya di Kota Baru, Yogyakarta, ditemani seorang petani.
Menurut Teguh, Sarbini bercerita kepada ibunya, Siti Alfiah, petani itu hendak mengembalikan cundrik Soedirman yang dititipkan kepadanya sewaktu gerilya. “Cundrik itu kami titipkan di Museum Soedirman di Bintaran Timur, Yogya,” ujar Teguh. “Tapi sekarang hilang.


Soedirman Ternyata Hanya Bernapas dengan Satu Paru

Sejak remaja, Soedirman doyan merokok. Bahkan, ia masuk dalam golongan perokok berat. Rokok Soedirman kretek tak bermerek. Disebutnya tingwe alias nglinthing dewe, yang artinya ”meramu sendiri”. Kebiasaan mengisap tembakau membuat Soedirman mengalami gangguan pernapasan. Kondisi kesehatannya pun semakin menurun sejak pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Jawa Timur.
Diceritakan bila Letnan Jenderal Soedirman berjalan tertatih-tatih memasuki rumah dinasnya di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Di depan pintu, sang istri, Siti Alfiah, menyambutnya.
“Bapak pulang setelah dua pekan memimpin operasi penumpasan pemberontakan PKI,” kata Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, putra bungsu Soedirman, yang mendapat cerita itu dari ibunya.
Pada akhir September 1948, Soedirman mengeluh ke Alfiah bila dia tak bisa tidur selama di Madiun. Soedirman begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah di antara rakyat Indonesia itu. Peristiwa Madiun membuat batin Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia ini nelangsa. “Selain kelelahan berat, Bapak tertekan batinnya karena peristiwa itu,” ujar Teguh.
Malam itu, kondisi kesehatan Soedirman turun. Namun, ia tetap mandi dengan air dingin. Saran sang istri agar mandi air hangat tak ia indahkan. “Inilah awal petaka bagi Bapak,” kata Teguh. “Esoknya, Bapak terkapar di tempat tidur.”
Kendati sakit, kegemarannya merokok tetap tak bisa ia hilangkan. Sesekali, sembari terbaring, Soedirman mengisap rokok kretek. Melihat itu, istrinya hanya diam, tak berani melarang.
Karena bandel, Soedirman tidak juga pulih. Bahkan, tim dokter tentara mendiagnosis ia menderita tuberkulosis, infeksi paru-paru. Tak percaya akan hasilnya, keluarga meminta pemeriksaan ulang oleh dua dokter tentara senior, Asikin Wijayakusuma serta Sim Ki Ay. Dan jawabannya sama dengan observasi pertama. Soedirman pun dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Menurut Soegiri, bekas ajudan Soedirman, obat yang dibutuhkan atasannya hanya ada di Jakarta. Untuk sampai Yogyakarta, obat itu harus diboyong melalui jalur penyelundupan. Di lain pihak, Soedirman butuh penanganan cepat.
“Akhirnya tim dokter memutuskan operasi penyelamatan dengan membuat satu paru-parunya tak berfungsi,” kata Soegiri.
Pasca-operasi, menurut Soegiri, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang menghambat saluran pernapasan. Sedangkan kata Teguh, dokter memberitahukan ibunya perihal operasi itu. “Sejak itu, Bapak bernapas dengan separuh paru-paru,” katanya.


Soedirman Jual Perhiasan Istri Demi Ransum Tentara
Usai menjalani operasi paru-paru pada November 1948, Soedirman hidup dengan sebelah paru. Ia pun harus mengonsumsi banyak obat. Seperti codeine untuk mengobati gangguan pernapasan dan kinine bagi penyakit malarianya.
Kata pesuruh Soedirman, Jamaluddin, bentuk obat-obatan itu kecil, serupa kedelai. Warnanya ada yang biru untuk pencegahan malaria dan merah bila sakitnya parah. “Semua itu Pak Dirman minum dengan air teh tiyung atau teh merek Sruni,” ujar Jamaluddin.
Meski sakit, sang Jenderal tidak sulit makan. Bahkan, ia tak pernah memilih-milih menu. Semua makanan yang disediakan dapur umum dia santap. Pilihan makanannya pun tidak beda dengan dengan jatah seluruh prajurit. Apalagi waktu itu masa gerilya, semua serba seadanya. Kadang nasi berteman rebusan daun lembayung, kadang-kadang tempe. “Dikasih apa saja Pak Dirman mau,” ujar Jamal.
Ransum untuk Soedirman diantar dalam rantang. Satu rantang untuk sekali makan, diantar sampai pintu kamar, setiap pagi, siang, dan sore. Tapi sering kali, dari tiga rantang yang dikirim, hanya satu yang habis. “Pak Dirman kerap berpuasa. Karena itu, hanya habis satu rantang. Sisanya dimakan ramai-ramai oleh teman-teman,” kata Jamal.
Sumber makanan tidak hanya dari dapur umum. Penduduk sekitar tempat persembunyian juga sering mengirimkan ransum. Menunya kadang tiwul dan ketela. Jarang sekali mereka mendapatkan nasi. “Ya, seadanya makanan kampung,” ujar Jamal.
Kala itu, tak jarang juga mereka kekurangan makanan. Untuk menutupinya, Soedirman mengirim sang adik ipar, Hanung Faeni, kembali ke Yogyakarta. Ditemani sopir pribadi Soedirman, Hainun Suhada, Hanung berjalan kaki untuk menyampaikan pesan sang Jenderal ke istrinya, Siti Alfiah.
Dalam amanat itu, Soedirman meminta perhiasan Alfiah untuk membiayai perang. Kata anak bungsu Soedirman, Teguh Bambang Tjahjadi, ayahnya sudah berpesan bila ia akan meminta perhiasan itu jika dibutuhkan. “Perhiasan dibarter ayam dan beras,” kata Teguh.
Sumber Tempo