Sabtu, 24 Agustus 2013

Fakta yang Menarik= Kisah Pengabdian sang Asisten Pribadi

by: http://dibuangsayangamat.blogspot.com/2009/10/kisah-pengabdian-sang-asisten-pribadi.html
Judul: Pengabdian kepada Bangsaku: Memoar Letkol (Tituler) Soeparto
Pengantar: M. Achadi
Penulis: M. Abriyanto, Hari Nugroho, Biko Sabri
Editor: Imran Hasibuan
Penerbit: Q Communication, 2008

Memoar asisten pribadi Bung Karno, Letkol (Tituler) Soeparto diterbitkan atas prakarsa anaknya. Ada banyak hal menarik seputar interaksinya dengan Proklmator yang kharismatis itu. Sayangnya, masih banyak pula yang belum tergali dengan dalam.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqOLuxnDv-xMmuiSG6DhlDgkFaumto1FpY3-OddGn2XyMHhPEwwV6Mc5OURoYf_1KxTs4Jj-Hz79wRA-bLh-b8XHBzw0aF8zucOIW1m5hdVrRpkRGMq-BrAMnnNctT7te4XLd66rcxGPw/s400/gestapu.jpg

Tak banyak orang yang mengetahui apa yang dilakukan Bung Karno ketika terjadi Gerakan 30 September 1965 atau 1 Oktober 1965 dini hari. Tak mengherankan jika kemudian muncul banyak tafsir tentang peran Soekarno dalam gerakan tersebut, yang tak jarang malah mengesankan sebagai opini ketimbang tafsir atas fakta-fakta sejarah, sehingga menimbulkan kontroversi. Bahkan, seorang profesor sejarah dari Belanda, Antonie C.A. Dake, dalam bukunya, Sukarno File: Berkas-Berkas Soekarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan (2005), menafsir bahwa Soekarno-lah yang menjadi dalang gerakan politik yang memakan korban luar biasa itu.

Menurut Dake, ia telah mewawancarai banyak orang dan dari hasil wawancara itu dapat terlihat bahwa Presiden Soekarno bukan hanya mengetahui akan terjadinya aksi pembersihan terhadap sejumlah jenderal Angkatan Darat, tapi juga pernah mengeluh dan meminta tolong Letnan Kolonel Untung untuk menertibkan para jenderal yang ia nilai tidak loyal dan antikomunis. Dake juga menelaah berkas kesaksian Kolonel Bambang Widjanarko, ajudan Soekarno, yang sebenarnya telah ditarik kembali oleh Bambang Widjanarko karena kesaksian itu dibuat di bawah tekanan penguasa Orde Baru.

Tentu saja, apa yang diutarakan Dake itu membuat berang keluarga Soekarno dan juga para pengagumnya (soekarnois). Bagi mereka, sungguh tidak logis bila Bung Karno mengudeta kekuasaannya sendiri. “Orang yang berkuasa mempertahankan kekuasaannya merupakan hal biasa, bukan melakukan kudeta yang membuatnya kehilangan kekuasaan,” ujar salah seorang putri Bung Karno, Sukmawati, dalam sebuah acara beberapa tahun lampau. Mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel (Purn.) Maulwi Saelan, yang pada masa itu merupakan salah satu tokoh yang berada di lingkaran dekat Soekarno, juga membantah kalau Bung Karno mengetahui—apalagi mendalangi—gerakan tersebut.

Sempat terbetik kabar bahwa keluarga Proklamotor itu akan melakukan gugatan hukum kepada Profesor Dake tersebut, meski sampai sekarang tak jelas lagi perkembangannya. Yang pasti, dalam buku Pengabdian kepada Bangsa: Memoar Letkol (Tituler) Soeparto ini sedikit terungkap di mana Bung Karno ketika tragedi itu terjadi. Karena, Soeparto adalah orang yang sangat sering berada di samping Presiden Soekarno.

Memang, ia tak ada dalam struktur kekuasaan. Soeparto bukan ajudan yang ditunjuk negara guna mendampingi Presiden Soekarno. Soeparto adalah asisten pribadi Soekarno yang dipilih langsung oleh Putra sang Fajar itu. Namun, justru karena itulah Soeparto mendapat kepercayaan penuh dari Bung Karno.

Di luar keluarga, mungkin dialah satu-satunya orang yang dapat masuk ke kamar pribadi Bung Karno untuk membangunkan sang presiden agar melakukan salat subuh. Dia juga orang yang mencicipi makanan Bung Karno terlebih dulu untuk memastikan bahwa makanan itu tak akan membahayakan nyawa tokoh yang ia sangat kagumi itu. Soeparto pula yang kerap mendampingi Soekarno ketika melakukan perjalanan ingcognito.

Wajar saja jika banyak tokoh yang ingin bertemu Soekarno kadang menghubungi Soeparto dulu, termasuk Soeharto semasa menjadi Panglima Kostrad dan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara Laksamana Omar Dani. Yang belakangan ini dalam wawancara dengan majalah Tempo beberapa tahu lalu mengatakan bahwa Letkol Soeparto pada 1 Oktober 1965 pagi meneleponnya. Isinya, Letkol Soeparto memberi tahu Omar Dani bahwa ia akan membawa Soekarno ke Halim Perdanakusuma.

Soeparto sendiri mengetahui adanya gerakan politik yang membuahkan situasi darurat lewat telepon di waktu subuh, yang berasal dari anggota pasukan Detasemen Kawal Pribadi (DKP): telah terjadi penembakan di sejumlah rumah jenderal TNI Angkatan Darat. Karena itu, Soeparto diminta segera kembali ke posnya, yaitu mendampingi Presiden Soekarno (halaman 61).

Soeparto pun segera bergegas ke Wisma Yaso. Karena, di sanalah Bung Karno berada, di kediaman Dewi Soekarno, setelah malamnya menghadiri acara "Muswarah Tehnisi" di Istora, Senayan. Pada acara itu, yang bertugas mengawal Bung Karno adalah Maulwi Saelan, karena komandannya, Brigadir Jenderal M. Sabur, sedang ada tugas di luar kota, sedangkan Letkol Untung bertugas menjaga keamanan di sekitar Istora Senayan. Akan halnya yang menjadi sopir mobil Bung Karno adalah Soeparto. Ia pula yang mengantar Bung Karno menjemput Dewi Soekarno di Hotel Indonesia dan membawa mereka ke Wisma Yaso.

Sesampai di Wisma Yaso pada 1 Oktober 1965 pagi itu, Soeparto langsung menemui Komandan DKP Komisaris Besar Mangil H. Martowidjojo. Begitu mendengar adanya penculikan dan penembakan atas beberapa pejabat tinggi pemerintahan, para pengawal Presiden Soekarno itu segera berunding untuk mencari cara terbaik dalam upaya menyelamatkan Bung Karno. Namun, belum lagi mereka menemukan solusinya, Bung Karno sudah keluar dari Wisma Yaso menuju mobil Chrysler Imperial berpelat nomor B 4747 untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala negara. Menurut jadwal, hari itu Presiden Soekarno akan bertemu dengan Men./Pangad Letnan Jenderal A. Yani dan Ketua Umum Nadhlatul Ulama Idham Chalid pada pukul 07.00 di Istana Merdeka.

Soeparto buru-buru mendampingi Bung Karno dan menyetiri mobilnya. Ketika itulah Soeparto melaporkan apa yang baru terjadi tadi malam (atau dini hari). Mendengar laporan itu, Bung Karno serta-merta meminta Soeparto untuk menghentikan mobil, yang baru berjalan beberapa meter. Setelah itu, Soekarno memanggil Mangil, untuk mencari informasi tambahan tentang peristiwa berdarah yang dilaporkan Soeparto. Jadi, Bung Karno mendapat informasi tentang adanya Gerakan 30 September 1965 pertama kali dari asisten pribadinya, Soeparto.

Setelah itu, Bung Karno meminta Soeparto untuk melanjutkan perjalanan ke Istana Merdeka, tapi kemudian dibelokkan ke arah Grogol, ke rumah kediaman Haryatie Soekarno, karena ada info bahwa Istana Merdeka dijaga oleh pasukan TNI Angkatan Darat. Di tempat inilah terbersit ide Soeparto untuk ”menyelamatkan” Bung Karno ke Halim Perdanakusumo, setelah sebelumnya Mangil menawarkan gagasan untuk ”menyembunyikan” Bung Karno ke rumah salah seorang kerabatnya di Jalan Wijaya, Kebayoran.

Buku ini sendiri, seperti diinginkan oleh putra Soeparto, Supartono Soeparto, dalam pengantarnya, tidak dimaksudkan sebagai buku tentang politik, meski di dalamya dipaparkan banyak peristiwa politik. Buku ini diterbitkan lebih untuk mengenang pengabdian Letnan Kolonel (Tituler) Soeparto kepada sosok Proklamator kharismatis yang begitu ia kagumi, Soekarno. Tapi, justru karena itu, buku ini menjadi terasa sekali kekurangannya. Ada banyak episode dalam masa pengabdian Soeparto kepada Soekarno selama lebih dari 15 tahun yang belum tergali dengan maksimal, terutama sisi-sisi kemanusiaan Soeparto selama menemani Bung Karno di tengah situasi genting dan di saat-saat terakhir menjadi presiden. Juga sisi lain Bung Karno di mata ajudan pribadinya, yang tak pernah diungkapkan ke publik dan bagaimana Soeparto mengalami masa-masa pahit di dalam penjara setelah Soekarno turun dari kursi kekuasaannya. Sayangnya, memang, Soeparto sendiri telah pergi menghadap Ilahi lima tahun lalu, sehingga para penulis buku ini pastilah mengalami kesulitan untuk menggali lebih jauh sisi-sisi humanis yang niscaya menarik itu.

Namun, terlepas dari segala kekurangannya, kehadiran buku ini patut disambut gembira. Karena, buku ini semakin melengkapi khazanah literatur sejarah Indonesia, terutama yang berkaitan dengan Bung Karno dalam masa kepemimpinannya sebagai presiden dan seputar Gerakan 30 September 1965. Di samping itu, lewat buku setebal 146 ini juga kita dapat melihat pantulan yang lebih konkret dari makna pengabdian dan ketulusan seseorang kepada pemimpin yang ia cintai, yang mungkin semakin sulit kita temui di masa-masa sekarang ini. (Pedje)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com