antara belantika kehidupan manusia terselip makna yang jarang
terungkap. manusia sering terjebak dalam kerangka kehidupan kaku, tanpa
proses pemaknaan.
kehidupan duniawi menjadi sesuatu yang bebal, tidak bisa diganggu
gugat. hanya terjebak setidaknya dapat menikmati segala macam label
hedonisme. bukan menjadi sebuah kebutuhan untuk bertahan hidup, lebih
diutamakan mencari gaya hidup dan menjadi yang paling baik diantara yang
terbaik. dalam persepsi keunggulan material.
proses pencarian makna yang sulit terjamah oleh “duniaman” hanya
menjadi selintas pandang semata. bukan untuk digugah, agar dapat
tercapai pelepasan belenggu kegelapan ruang dan waktu.
manusia selama menjadi “duniaman” akan tetap menjadi objek kehampaan.
selalu terusak oleh obsesinya sendiri. lingkaran-lingkaran yang tidak
berujung pangkal akan selalu mengintari setiap sendi lika-liku manusia,
baik dari segi sosial, material, psikologis, biologis dan sebagainya.
mengaca terhadap proses pewahyuan pertama muhammad, akan perintah
tuhannya untuk membaca. yang terulang hingga tiga kali. setidaknya
merupakan suatu anjuran yang patut dapat kita cerna hikmahnya. perintah
pertama, mungkin ada keraguan atas apa yang diperintahkan. perintah
kedua, ada sisi kebingungan atas diri sendiri dengan apa yang
diperintahkan. dan perintah ketiga menjadi suatu penetapan terakhir,
agar tidak terpaku terhadap apa yang mesti dibaca. sebab pemaknaan “baca” secara universal dapat diartikan sebagai proses komunikasi dari penterjemahan atas apa yang dilihat, diraba dan dirasa.
aktualisasi dari kebingungan atas suatu perintah tersebut dapat
terwujud setelah penjelasan secara menyeluruh. yakni “bacalah atas nama
tuhanmu yang telah menciptakan langit serta isinya termasuk manusia
sebagai penghuninya. dan bacalah atas apa yang telah tuhan muliakan bagi
manusia. yang telah dicontohkan dengan media-media kehidupan, seperti
berbagai kejadian, ketetapan kehidupan (etc; mati dan hidup) dan dengan
proses pengalamannya dapat menjadi suatu pengetahuan bagi manusia itu
sendiri.
setelah pengejawantahan tersebut dapat terungkap, bahwa tuhan telah
menulis berbagai skenarionya, sekaligus menjadi sutradara tunggal bagi
keberlangsungan hidup manusia. manusia menjadi objek pemain utama dalam
mengarungi kehidupan dunia.
teringat akan sebuah lagu yang menggambarkan bahwa dunia ini adalah
panggung sandiwara, dengan berbagai sendi-sendi artistik ketegangan,
keharmonisan, kesejukan dan lain sebagainya.
lalu apakah kita selaku pemain tidak bisa menggugah ataupun
berekspresi terhadap peran yang kita lakoni, setidaknya kita dapat
menjadi bumbu sebuah lakonan yang menarik. dan kita juga yang menjadi
objek penderita dan kebahagiaan. semua itu merupakan hukum sebab akibat,
yang telah diagendakan dalam skenario-Nya.
lalu apakah akan ada suatu keberujungan dari sebuah cerita? tentu
ada, salah satunya adalah sebuah kematian. tetapi cerita akan tetap
berlanjut dan akan terus berulang-ulang. baik dari kejadian, detail
setiap kejadian terus menerus.
itulah ruang dan waktu yang tak berujung menjadi cikal bakal akan
suatu kehampaan tanpa makna. tapi tak ada satupun yang tak bermakna,
segalanya dapat mengandung suatu makna apabila kita mendengar, melihat
dan merasakan atas apa yang telah tuhan anjurkan. ketiga hal itu tidak
juga akan dapat menemukan makna jika tanpa pendorongan aspek intuisi
yang terdalam, atas apa yang memang sebagai naluri manusia sebagai bekal
untuk mengarungi kehidupan.
tetaplah ada kehampaan, dan terus menerus kehampaan. lalu apakah akan
berujung kehampaan tersebut? salah satunya adalah jika kita mengintari
lingkaran dan berhenti dalam satu titik tertentu tanpa melangkah dan
juga bergerak baik dari segi fisik maupun non-fisik. itulah yang disebut
dengan kematian. kematian dalam arti yang sebenarnya maupun kematian
lainya, seperti pemikiran dan hasrat.
jadi selama ada dalam hidup selalu ada ruang dan waktu. tapi bagi
para non-atheis, menjadi sebuah keyakinan tersendiri dan sekaligus
motivasi tersendiri baginya bahwa, setelah perjuangan tanpa lelah dalam
mengarungi kehampaan ruang dan waktu akan ada suatu anugrah tuhan bahwa
segala kesengsaraan akan dibalas dengan kebahagiaan kelak, atas
ketabahan dan kesabaran dan tetap mengingat akan diri-Nya.
seiring dengan hal itu bukanlah suatu kemunafikan bahwa manusia
membutuhkan suatu materi sebagai penunjang kehidupan. jadi pembukaan
mata, telinga dan hati, merupakan kunci utama dalam mengarungi
kehidupan. agar tetap terjaga dari ketidaksadaran dan ketidaksabaran,
atas suatu masalah hidup yang tidak berujung. mediasi atas
pengejawantahan penyesalan dan kesedihan, dapat diperoleh berbagai cara
baik itu dengan menuangkannya dalam bentuk karya seni, religi maupun
hobi. tapi dibalik itu semua hanya sebuah hegemoni yang mengakar hingga
ujung hidup manusia.
kerangka ini dibuat atas keluh kesah dari kejenuhan yang tiada akhir,
tetapi jalan kematian bukanlah jalan terakhir, maupun jalan pintas.
sebab jalur tersebut hanya berbentuk sebuah alternatif solusi.
Di usia 12 tahun, Lilyana Natsir
meninggalkan bangku sekolah, demi menekuni bulutangkis. Kini dia
salah-satu pemain terbaik dunia yang dimiliki Indonesia.
Menjelang siang, di antara bunyi pukulan raket
dan teriakan para pemain pelatnas bulutangkis yang tengah berlatih di
Cipayung, Jakarta Timur, Lilyana Natsir baru saja menyudahi latihan
fisik.Di luar hari libur, seperti itulah kegiatan sehari-hari Liliyana Natsir, salah-seorang pemain ganda campuran terbaik dunia yang dimiliki Indonesia.
Torehan prestasi Lilyana (bersama pasangannya terdahulu Nova Widianto dan sekarang Tantowi Ahmad) di dunia bulutangkis, membuatnya dinominasikan sebagai pemain terbaik dunia 2011 versi Federasi Bulutangkis Dunia, bersama enam pebulutangkis putri dunia lainnya, pada Desember 2011 lalu
Perempuan kelahiran 9 September 1985 ini merupakan satu-satunya pemain Indonesia yang masuk nominasi tersebut, diantara lima pemain Cina dan seorang pemain Denmark.
"Hidup itu pilihan. Jadi, kita harus menerima resiko. Kita memilih olahraga, maka kita harus fokus, harus benar-benar serius, apapun hasilnya."
Lilyana Natsir
"(Nominasi itu) sekaligus menjadi pacuan buat saya untuk memberi yang terbaik buat Indonesia," tambah perempuan kelahiran Menado, Sulawesi Utara ini.
Tentu saja, predikat nominator pemain terbaik dunia 2011 itu tidak begitu saja datang-datang tiba.
Sampai Desember 2011 lalu, Lilyana berada pada ranking empat pemain ganda putri terbaik dunia.
Sebuah proses panjang, tidak gampang, berliku, dan bahkan menuntut pengorbanan (“... Itu pilihan berat buat orang tua, (dan) buat saya sendiri,”ungkap Lilyana, ketika memutuskan berhenti sekolah pada usia 12 tahun, demi terjun total pada dunia bulutangkis) telah dilalui sosok Lilyana Natsir.
Berawal dari halaman rumah
Berawal dari halaman rumahnya di Menado, Sulawesi Utara, Butet mulai berkenalan bulutangkis.Dia memang tumbuh dalam keluarga yang mencintai bulutangkis.
Bersama kakak serta sang ibu, sejak umur 9 tahun, Lilyana kemudian belajar mengayunkan raket.
Dalam perjalanannya, kalimat “anak ibu berbakat” akhirnya dilontarkan sang pelatih kepada ibunya, melihat penampilan Lilyana kala itu.
Sejak saat itulah, hidupnya berubah total. Latihan dan latihan, adalah kegiatan yang paling banyak menghiasai aktivitas kesehariannya.
“Tidak jarang setiap hari latihan,” kata Lilyana, suatu saat, mengenang perjalanan hidupnya.
Bisa ditebak, gabungan bakat dan latihan keras itu pada akhirnya membuahkan prestasi.
"Tidak jarang saya setiap hari latihan."
Lilyana Natsir
Dan, seperti menapaki tangga prestasi yang lebih tinggi, ketika usianya memasuki 12 tahun, Lilyana – atas keinginan pribadi dan dorongan keluarganya – akhirnya bergabung dengan klub bulutangkis Tangkas Alfamart, di Jakarta.
Jauh dari orang tua, pengalaman mandiri pada usia muda yang dilaluinya, kelak diakui oleh Lilyana ikut membentuk karakternya dalam bertanding.
“Di situlah yang bikin mental saya jadi kuat,” katanya, mengenang masa-masa yang digambarkannya begitu berat.
Pernah menangis
Pergulatan meyakinkan diri untuk tetap menekuni bulutangkis (di Jakarta) serta tekanan untuk kembali ke pangkuan ibunya di Menado, adalah masa-masa berat yang mesti dilalui Lilyana.Semenjak 1997, dia memang tinggal di asrama klub Tangkas, Jakarta. Hanya sekali sepekan, sang paman mengajaknya menginap di rumahnya.
“Itu beban berat buat saya,” akunya terus-terang, mengingat kembali pengalamannya saat itu.
Padahal, saat masih tinggal bersama keluarganya di Menado, Lilyana mengaku “tidak pernah pisah dengan orang tua.. di mana ada orang tua, di situ ada saya”.
Karena itulah, ketika rasa kangen terhadap orang tuanya begitu memuncak, dan di sisi lain dihadapkan persoalan hidup, Lilyana mengaku pernah menangis.
Bahkan, seperti diutarakannya pada sebuah wawancara, ketika suatu saat ada kesempatan pulang ke Menado, Lilyana menolak kembali ke Jakarta.
"Ketika saya memutuskan berhenti sekolah, Itu beban berat buat saya."
Lilyana Natsir
Seiring dengan perjalanan waktu, Butet – panggilan akrab ini mulai disematkan teman-temannya (yang sebagian besar dari suku Batak) di PB Tangkas -- pelan-pelan akhirnya mampu mengubah problem 'rindu orang tua' itu menjadi semacam “tantangan” yang harus dihadapi sekaligus “motivasi” untuk meraih prestasi.
(Selama menggeluti latihan di klub itu, Lilyana juga menemukan alasan kuat untuk bermain di sektor ganda, ketimbang tunggal, yang akhirnya berlanjut sampai kini).
Bertumpu pada pijakan seperti itu, diselingi raihan prestasi, Lilyana akhirnya terpilih masuk pelatnas bulutangkis di Cipayung, Jakarta Timur, pada 2002.
Berhenti sekolah
Tetapi bagaimana dengan sekolah Lilyana, ketika dia pindah ke Jakarta, dan sepenuhnya menyerahkan hidupnya pada bulutangkis?Lilyana membenarkan dia berhenti sekolah – dan menganggap keputusan itu sebagai “pilihan berat” buat orang tuanya dan dirinya sendiri.
“Tapi, ya itulah, kayak banyak orang ngomong, nggak bisa (dalam mengerjakan sesuatu) kita jalan dua-duanya,” katanya, menjelaskan latar belakang keputusannya itu.
“Kita harus fokus salah-satu,” katanya, dengan nada tegas.
Tentu saja, menurutnya, pilihan itu dibuat didasarkan pertimbangan matang.
Pertama, dia merujuk nilai olahraga pada buku rapor sekolahnya. “Tidak hanya bulutangkis, basket, lari, dan olahraga lainnya, semua nilainya 9,” ungkapnya.
Lainnya, tentu saja bakat dan prestasi di luar sekolah yang diraihnya pada cabang olahraga bulutangkis. “Menurut saya, inilah dunia saya,” aku putri pasangan Beno Natsir dan Olly Maramis ini.
Dan ketika dia (dan kemudian didukung sepenuhnya oleh keluarganya) memutuskan berhenti sekolah, ada sebagian keluarga besarnya menyesalkan keputusan itu.
"Hidup itu pilihan. Jadi, kita harus menerima resiko."
Lilyana Natsir
Tetapi Lilyana bertekad untuk seratus persen menekuni dunia bulutangkis. Dan itu artinya dia harus berhenti sekolah.
“Hidup itu pilihan,” katanya, berfilosofi. “Jadi, kita harus menerima resiko.”
“Kita memilih di olahraga, (maka) kita harus fokus, kita harus benar-benar serius, apapun hasilnya,” papar pemain bertinggi badan 168cm ini, lebih lanjut.
Spesialis ganda campuran
Sejarah kemudian mencatat, Lilyana tumbuh menjadi pemain spesialis ganda – yang disegani.Sempat bermain di ganda putri dengan berpasangan dengan Vita Marissa, namun sang pelatih Richard Mainaky menawarinya bermain di ganda campuran.
Dia lantas dipasangkan dengan Nova Widianto, semenjak 2004.
Rupanya, pilihan sang pelatih itu tidak salah. Buktinya, setahun kemudian, mereka meraih juara ganda campuran pada kejuaraan dunia di Amerika Serikat (2005).
Secara khusus, pada ajang ini, Lilyana mengaku puas.
“Karena kami bisa mengalahkan pasangan Cina, Zheng Bo/Gao Ling,” ungkapnya, mengomentari lawannya yang dianggapnya sebagai 'paling tangguh', pada awal karirnya di berbagai turnamen internasional.
Di ajang SEA Games, pasangan ini tidak terkalahkan, semenjak SEA Games di Thailand (2007) hingga Laos (2009).
Dan setelah Nova menggantung raket, Lilyana mempersembahkan emas pada SEA Games 2011 di Indonesia. Kali ini dia berpasangan dengan Tontowi Ahmad.
Di berbagai ajang super series atau grand prix, kehadiran Lilyana dan pasangannya juga terus diperhitungkan.
Terakhir pada Grand Prix Macau Gold 2011 lalu, Lilyana/Tontowi Ahmad menjadi juara ganda campuran.
Target olimpiade
Ambisi Lilyana untuk lebih memacu prestasi, kini dia arahkan sepenuhnya pada turnamen All England dan Olimpiade 2012 di London.Dia menyebut All England -- salah-satu turnamen bulutangkis tertua di dunia -- sebagai impian lama yang dia idamkan.
"Karena, saat berpartner dengan Nova, (kami masuk) final sudah dua kali, semi final sudah dua atau tiga kali," katanya, bersemangat.
"Masa' saya nggak bisa juara..."
"Mudah-mudahan dengan motivasi saya yang lebih, dengan terakhir juara Macau Open 2011, dan saya masuk nominasi, ini tantangan buat saya, untuk tahun ada olimpiade, kasih medali emas untuk Indonesia."
Lilyana Natsir
Dalam Olimpiade 2008 di Beijing, Lilyana-Nova Widianto meraih perak, setelah ditaklukan ganda campuran Korsel, Lee Yongdae-Lee Hyojung.
Keberhasilan senior serta rekan-rekannya meraih emas pada ajang olahraga terbesar di dunia itu, pada tahun-tahun sebelumnya, juga menjadi motivasi tersendiri buat Lilyana.
"Karena selama ini tradisi emas olimpiade itu selalu dari bulutangkis, dari jaman Susi Susanti (tunggal putri), (ganda putra) Rexi Mainaky-Ricky Subagya, (tunggal putra) Taufik Hidayat, dan terakhir (ganda putra) Markus Kido-Hendra Setiawan," paparnya.
Sejauh ini hanya sektor ganda campuran yang belum menyumbangkan emas olimpiade untuk Indonesia.
"Mudah-mudahan dengan motivasi saya yang lebih, dengan terakhir juara Macau Open 2011, dan saya masuk nominasi (pemain terbaik 2011 versi Federasi Bulutangkis Dunia), ini tantangan buat saya, untuk tahun ada olimpiade, kasih medali emas untuk Indonesia".
Prestasi tidak menurun
“Saya merasa, (prestasi saya) nggak dibilang menurun kok,” tegas Butet, ketika saya menanyakan sikap sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap prestasi bulutangkis Indonesia sekarang tidak sebagus para pendahulunya.“Karena, dulu saya dan Nova, kasih banyak juara,” tandasnya. “(Dan) itu nggak gampang.”
“Padahal, saya baru berpasangan setahun,” tegasnya, seraya menambahkan, raihan prestasi mereka terbilang luar biasa dalam waktu relatif pendek itu.
Dia kemudian menyebut beberapa turnamen internasional bergengsi yang mereka taklukkan, belakangan.
“Itu satu prestasi yang nggak muda diraih seorang atlit,” tambahnya lagi.
Lagipula, menurutnya, setiap atlit telah berupaya semaksimal mungkin untuk meraih kemenangan tertinggi.
Karena itulah, “kita membutuhkan dukungan masyarakat.”
“Jangan di atas saja, baru dielu-elukan. Nanti pas jatuh, tambah dijatuhin,” kata Lilyana, dengan nada prihatin. “Kita butuh motivasi dari masyarakat.”
Menonjol tapi tidak merata
Meskipun demikian, Lilyana mengaku bahwa pada masanya Indonesia pernah merajai bulutangkis dunia – sehingga kehadirannya selalu dielu-elukan masyarakat Indonesia.“Kita tidak pungkiri, senior-senior kita sangat berprestasi,” katanya.
Namun, imbuhnya cepat-cepat, sekarang situasinya berbeda.
"Kita tidak pungkiri, senior-senior kita sangat berprestasi. Tapi sekarang ini, persaingan lebih ketat. Jadi, secara nggak sadar, (prestasi bulutangkis) sudah merata."
Lilyana Natsir
Dia mencontohkan, negara Polandia, yang dulu tidak masuk 'peta bulutangkis dunia', “kini sudah bagus.”
“Jadi, secara nggak sadar, (prestasi bulutangkis) sudah merata,” tambahnya.
Menurut Lilyana, salah-satu faktor yang membuat kekuataan bulutangkis dunia kini relatif merata adalah: “... pelatih-pelatih kita (juga Cina dan Korea Selatan) banyak yang ke luar negeri.”
Tetapi, Lilyana menolak jika disebut pebulutangkis nasional Indonesia kini sepi dari prestasi.
“Sekarang ini mungkin ada yang menonjol, tapi satu atau tiga orang saja,” katanya. “Nggak menyeluruh”.
Mengapa Cina superior
Dalam wawancara yang berlangsung sekitar 40 menit itu, saya mengajukan pertanyaan khusus kepada Lilyana Natsir, yaitu “kenapa pebulutangkis kini Cina sulit dikalahkan...”Jawaban meyakinkan pun muncul dari mulutnya. “Sebenarnya, faktor teknis, skill, Indonesia itu di atas.”
Karena itu, menurutnya, ketika pemain Indonesia mengedepankan skill, “(kita) kalah cepat, atau kalah kuat...”
Namun demikian, Lidya menerangkan, setelah ada perubahan pola penilaian dan perhitungan skor, faktor tenaga dan kecepatan Cina relatif tidak lagi dapat ditonjolkan.
“Nah, sekarang game 21, agak merata. Karena, game-nya singkat, dan jika (pemain) sana berbuat salah, kita (dapat) poin kan...”
“Jadi, kita adu skill, masih bisa,” jelasnya. “Tapi, kita harus tetap diimbangi power dan speed-nya.”
Resep taklukkan Cina
Selain keharusan menambah porsi latihan power dan speed, Lilyana menyebut faktor “mental bertanding” sangat dibutuhkan ketika menghadapi para pemain Cina.Hal ini dia tekankan, karena mental sebagian pemain langsung jatuh ketika mengetahui calon lawannya berasal dari negara tirai bambu.
Butet mengaku, saat yunior dulu, nyalinya menjadi ciut setiap akan menghadapi pemain-pemain Cina.
"Tapi sekarang, mungkin karena pengalaman, dengan prestasi yang saya dapat, (setiap) saya ketemu Cina, malah saya harus lebih percaya diri."
Lilyana Natsir
Selain itu, yang lebih penting lagi, menurutnya, adalah menyiapkan generasi penerus pebulutangkis Indonesia yang “bisa mendekati (prestasi) seniornya”.
Kehadiran pemain yunior yang mumpuni, lanjut Lilyana, dibutuhkan saat ini. “(Kehadiran mereka) bisa membantu.”
Selama ini, tambahnya, pemain-pemain yunior itu sudah kalah di tingkat awal.
Akibatnya, di babak berikutnya, para pemain Cina atau Korsel lebih tampil mendominasi.
“Jadi ibaratnya, (Cina atau Korsel) main kepung. Jadi, kita hari ini amin-amin bisa ngalahin Cina, besok ketemu Cina lagi. Ya, kita babak belur. Gitu loh...”
Pensiun untuk atlit
Ketika wawancara menyinggung masa depan atlit olahraga, Lilyana berulang-ulang meminta agar pemerintah memberikan pensiun seumur hidup kepada atlit berprestasi.“Seperti di negara-negara maju,” ungkapnya, terus-terang. “Jadi, atlit (dapat) lebih tenang.”
Sekarang ini, lanjutnya, para atlit bulutangkis -- juga barangkali atlit cabang olahraga lainnya -- dipaksa memikirkan masa depannya setelah menggantungkan raketnya.
Dia kemudian mencontohkan dirinya sendiri. “Sekarang banyak (orang) kenal saya... Setelah saya stop (main) bulutangkis: siapa elo, siapa kamu, dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang. Orang nggak peduli...”
Lilyana lantas teringat nasib beberapa bekas atlit yang jatuh miskin, setelah pensiun dari dunia olahraga.
“Miris melihatnya,” katanya, lirih. “Padahal, dia pernah membawa harum nama Indonesia...”
Bulutangkis jalan hidup
Lalu apa yang Anda lakukan bila kelak menggantungkan raket?“Saya harus pintar-pintar berinvestasi, pintar-pintar memenej keuangan saya, untuk masa depan,” kata Yana, panggilan akrabnya – selain Butet, tentu saja.
Dia membayangkan nantinya membuka usaha dari tabungan miliknya.
"Saya harus pintar-pintar berinvestasi, pintar-pintar memenej keuangan saya, untuk masa depan."
Lilyana Natsir
Jadi, saat ini, Anda memandang bulutangkis itu seperti apa?
“Bulutangkis itu jalan hidup saya,” kata Lilyana, dengan nada tegas.
Itu dia tekankan, karena dengan menekuni bulutangkis, dia dapat berinvestasi di dunia properti, membeli mobil, serta dikenal banyak orang.
“Dan, ada kebanggaan saya bisa mengibarkan bendera Merah-Putih,” paparnya.
Karena itulah, demi menjalani hidup di dunia bulutangkis, Lilyana kini sepenuhnya berlatih serius dan mencetak prestasi sebanyak mungkin.
“Yang materi (hadiah atau bonus) itu mengikuti,” katanya, agak berdiplomasi, sekaligus menutup wawancara siang itu.