by: http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/12/idul-adha-makna-kurban-dari-masa-kuno-hingga-modern-599899.html
Dalam waktu dekat ini, umat Islam di dunia dihadapkan kembali dengan hari raya Idul Adha. Bahkan, tidak sedikit tradisi di dunia atau di berbagai daerah khususnya di Indonesia menggelar acara tertentu untuk menyambut dan merayakan hari raya Idul Adha. Di Jakarta misalnya, kabar terbaru yang berkembang bahwa “Jakarta Night Religious Festival (JNRF) 2013″ akan digelar di sepanjang Jalan MH Thamrin untuk memeriahkan malam Idul Adha.
“kurban” Kuno
Dari sisi sejarah, Kurban dinilai sebagai suatu praktik yang banyak ditemukan dalam berbagai agama dan kebudayaan di dunia. Praktik kurban ini ditemukan juga dalam catatan-catatan manusia yang dianggap paling tua dan temuan-temuan arkeologis disinyalir telah mencatat tulang-belulang manusia dan binatang sebagai tanda kurban yang telah dipersembahkan oleh manusia pada masanya. Praktik ini tampaknya telah dilakukan lama sebelum manusia mulai meninggalkan catatan tertulis.
Dalam masyarakat kuno misalnya, praktik kurban dilakukan tidak hanya mempersembahkan hewan kepada kekuatan ghaib. Menurut Syaukani (2007), ironisnya persembahan itu dilakukan dalam bentuk manusia, khususnya perempuan dan anak-anak. Buktinya bisa dilihat pada peradaban di India tempo dulu, yakni penyembelihan anak-anak India sebelum diganti dengan hewan untuk dipersembahkan kepada kekuatan ghaib. Begitupun dengan peradaban Maya di Meksiko, upacara kurban dilakukan dengan cara menceburkan anak perawan ke sungai atau ke sumur tua.
Hal serupa dialami oleh agama-agama kuno di Mesir, Yunani, Suku Indian mulai dari Aztec, Maya, Inca, Orang Missipi dan suku Toltek, telah mengenal upacara kepercayaan dalam bentuk pengorbanan manusia sebagai salah satu ritualnya yang dipersembahkan kepada Tuhan atau Dewa yang mereka sembah.
Berdasarkan uraian diatas tampak jelas bahwa bagi peradaban kuno, inti dari kurban tidak tertuju pada pendistribusian obyek kurban kepada publik, karena obyek kurban itu justru dimusnahkan dengan cara dibakar atau dihanyutkan ke sungai. Tujuan kurban tersebut dinilai masih bersifat metafisis karena seluruhnya diberikan kepada kekuatan gaib.
“Kurban” Modern
Berbeda dengan konsep kuban yang dibawa Islam dibanding kurban pada peradaban kuno, inti dari kurban justru tertumpu pada pendistribusiannya terhadap publik dan tidak mengesampingkan ruh ketuhanan. Hal ini dinilai sebagai sebuah langkah besar dalam perubahan orientasi pengorbanan dari metafisis menjadi kegiatan bersifat sosial. Artinya, Islam mampu memberdayakan ritual keagamaan menjadi kegiatan sosial yang positif.
Jika kita cermati, konsep kurban dalam pemahaman Islam, kurban adalah hewan yang disembelih waktu dhuha atau saat matahari naik (makna bahasa dari udhiyyah). Secara terminologi, udhiyyah adalah hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hewan ini biasanya terdiri dari onta, sapi atau kambing. Secara teknis, Kurban dilakukan pada waktu tertentu, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah dan tiga hari setelahnya, biasa disebut hari tasyrik.
Dalam hari raya Idul Adha, paling tidak ada dua aspek penting yang terkandung dalam praktik kurban yang dilakukan umat muslim. Yaitu, ajang pendekatan diri kepada Allah melalui hewan yang dikurbankan dan dilihat pada aspek pendistribusian daging kurban yang tertuju pada publik, khususnya fakir-miskin.
Dalam terminologi sosial, kedua aspek tersebut tidak lantas terpisah. Pasalnya kendatipun ibadah kurban dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Namun, konsepnya tetap mengacu pada nilai-nilai sosial (solidaritas sosialnya). Bahkan, tidak sedikit orang menilai bahwa esensi dari ibadah kurban itu justru terletak pada distribusi hewan qurban kepada orang-orang yang tidak mampu agar mereka memiliki perbekalan makanan pada hari raya idul Adha dan hari tasyrik.
Berdasarkan uraian diatas, konsep kurban dalam Islam adalah salah satu bentuk protes dan kritik terhadap model pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat kuno. Sebuah konsep yang lebih maju dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun disisi lain, banyak orang yang mempertanyakan kembali konsep kurban dengan gaya yang lebih kritis. Maka boleh jadi, beberapa tahun kedepan konsep tersebut akan lebih dinamis dan mungkin tidak pernah terpikir oleh manusia pada masa kini.
Ciputat (11/10/2013)
Dalam waktu dekat ini, umat Islam di dunia dihadapkan kembali dengan hari raya Idul Adha. Bahkan, tidak sedikit tradisi di dunia atau di berbagai daerah khususnya di Indonesia menggelar acara tertentu untuk menyambut dan merayakan hari raya Idul Adha. Di Jakarta misalnya, kabar terbaru yang berkembang bahwa “Jakarta Night Religious Festival (JNRF) 2013″ akan digelar di sepanjang Jalan MH Thamrin untuk memeriahkan malam Idul Adha.
“kurban” Kuno
Dari sisi sejarah, Kurban dinilai sebagai suatu praktik yang banyak ditemukan dalam berbagai agama dan kebudayaan di dunia. Praktik kurban ini ditemukan juga dalam catatan-catatan manusia yang dianggap paling tua dan temuan-temuan arkeologis disinyalir telah mencatat tulang-belulang manusia dan binatang sebagai tanda kurban yang telah dipersembahkan oleh manusia pada masanya. Praktik ini tampaknya telah dilakukan lama sebelum manusia mulai meninggalkan catatan tertulis.
Dalam masyarakat kuno misalnya, praktik kurban dilakukan tidak hanya mempersembahkan hewan kepada kekuatan ghaib. Menurut Syaukani (2007), ironisnya persembahan itu dilakukan dalam bentuk manusia, khususnya perempuan dan anak-anak. Buktinya bisa dilihat pada peradaban di India tempo dulu, yakni penyembelihan anak-anak India sebelum diganti dengan hewan untuk dipersembahkan kepada kekuatan ghaib. Begitupun dengan peradaban Maya di Meksiko, upacara kurban dilakukan dengan cara menceburkan anak perawan ke sungai atau ke sumur tua.
Hal serupa dialami oleh agama-agama kuno di Mesir, Yunani, Suku Indian mulai dari Aztec, Maya, Inca, Orang Missipi dan suku Toltek, telah mengenal upacara kepercayaan dalam bentuk pengorbanan manusia sebagai salah satu ritualnya yang dipersembahkan kepada Tuhan atau Dewa yang mereka sembah.
Berdasarkan uraian diatas tampak jelas bahwa bagi peradaban kuno, inti dari kurban tidak tertuju pada pendistribusian obyek kurban kepada publik, karena obyek kurban itu justru dimusnahkan dengan cara dibakar atau dihanyutkan ke sungai. Tujuan kurban tersebut dinilai masih bersifat metafisis karena seluruhnya diberikan kepada kekuatan gaib.
“Kurban” Modern
Berbeda dengan konsep kuban yang dibawa Islam dibanding kurban pada peradaban kuno, inti dari kurban justru tertumpu pada pendistribusiannya terhadap publik dan tidak mengesampingkan ruh ketuhanan. Hal ini dinilai sebagai sebuah langkah besar dalam perubahan orientasi pengorbanan dari metafisis menjadi kegiatan bersifat sosial. Artinya, Islam mampu memberdayakan ritual keagamaan menjadi kegiatan sosial yang positif.
Jika kita cermati, konsep kurban dalam pemahaman Islam, kurban adalah hewan yang disembelih waktu dhuha atau saat matahari naik (makna bahasa dari udhiyyah). Secara terminologi, udhiyyah adalah hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hewan ini biasanya terdiri dari onta, sapi atau kambing. Secara teknis, Kurban dilakukan pada waktu tertentu, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah dan tiga hari setelahnya, biasa disebut hari tasyrik.
Dalam hari raya Idul Adha, paling tidak ada dua aspek penting yang terkandung dalam praktik kurban yang dilakukan umat muslim. Yaitu, ajang pendekatan diri kepada Allah melalui hewan yang dikurbankan dan dilihat pada aspek pendistribusian daging kurban yang tertuju pada publik, khususnya fakir-miskin.
Dalam terminologi sosial, kedua aspek tersebut tidak lantas terpisah. Pasalnya kendatipun ibadah kurban dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Namun, konsepnya tetap mengacu pada nilai-nilai sosial (solidaritas sosialnya). Bahkan, tidak sedikit orang menilai bahwa esensi dari ibadah kurban itu justru terletak pada distribusi hewan qurban kepada orang-orang yang tidak mampu agar mereka memiliki perbekalan makanan pada hari raya idul Adha dan hari tasyrik.
Berdasarkan uraian diatas, konsep kurban dalam Islam adalah salah satu bentuk protes dan kritik terhadap model pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat kuno. Sebuah konsep yang lebih maju dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun disisi lain, banyak orang yang mempertanyakan kembali konsep kurban dengan gaya yang lebih kritis. Maka boleh jadi, beberapa tahun kedepan konsep tersebut akan lebih dinamis dan mungkin tidak pernah terpikir oleh manusia pada masa kini.
Ciputat (11/10/2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com