Minggu, 20 Oktober 2013
Si Miskin Tidak Dilarang Sekolah, Tetapi ?.....
by: http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/20/si-miskin-tidak-dilarang-sekolah-tapi-600630.html
Baiklah, si miskin tidak dilarang sekolah. Pemerintah pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah mengucurkan bantuan dana pendidikan melalui Program Bantuan Siswa Miskin (BSM). Program BSM bahkan menjadi satu dari enam program prioritas Kemendikbud pada 2014 nanti (Kompas.com, 16/10/2013).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengatakan, tidak boleh ada alasan faktor ekonomi menjadi penghalang anak mendapatkan layanan pendidikan.
“Karena itu, harus dipastikan semua anak dari keluarga miskin bisa bersekolah dan jangan sampai putus sekolah,” tegasnya.
Kesulitan ekonomi yang dialami keluarga miskin tidak boleh menjadi penghalang bagi anak-anak untuk tidak sekolah. Bagi pemerintah kendala faktor ekonomi harus terselesaikan dan program BSM diharapkan menjadi solusi bagi anak keluarga miskin agar bisa bersekolah.
Upaya pemerintah layak diapresiasi positif mengingat pendidikan menjadi kebutuhan dasar setiap warga negara. Namun, mengapa program bantuan dana pendidikan itu bernama Bantuan Siswa Miskin? Bagi si miskin sendiri, apakah kemiskinan yang mendera hidupnya belum tuntas sehingga pemerintah merasa perlu menuntaskan dan mengukuhkannya sebagai keluarga miskin?
Sebenarnya yang miskin itu perolehan ekonomi ayah-ibu sehingga tidak bisa membiayai anaknya sekolah ataukah si anak yang belum memiliki kewajiban secara ekonomi tapi di sekolah dinyatakan dengan tegas sebagai siswa miskin yang perlu dibantu? Mengapa siswa harus menyangga “karma” kemiskinan yang belum sepenuhnya dia mengerti karena kompleksitas permasalahannya yang rumit? Mengapa pula harus siswa yang menanggung malu atas bobroknya kinerja pemerintah yang tidak kunjung menghadirkan keadilan ekonomi bagi rakyatnya?
Bagaimana jika keluarga miskin itu memang berkubang dengan segenap kekurangan ekonomi namun di saat yang sama mereka menerapkan kemandirian hidup misalnya tidak tergiur untuk mencuri? Padahal sering kita jumpai keluarga yang terkesan “miskin” tapi memiliki penghasilan ekonomi yang cukup besar. Kesan miskin itu sengaja dipelihara agar mereka aman menjalankan aksi mengemisnya.
Saya punya sahabat di pesisir selatan dusun terpencil kota Malang Jawa Timur. Namanya Kang Wagianto. Punya dua putri yang masih kecil. Putri pertama sekolah di TK Tunas Harapan Goa Cina Sumbermanjing Wetan. Putri keduanya berumur satu tahun. Rumahnya gedhek (bambu) dan belum genap lima bulan sukses me-nyemen lantai rumah.
Dalam situasi hidup yang menurut saya dalam kategori miskin, saya pernah mengajukan pertanyaan pada mereka. “Bagaimana Kang Wagianto bekerja untuk menghidupi keluarga?”
Dengan santainya bapak yang murah senyum ini menjawab, “Setiap pagi saya membantu pendidikan di TK Tunas Harapan Goa Cina. Sebelum berangkat, saya meladang terlebih dahulu. Kira-kira satu jam di ladang dan hasilnya cukup untuk beli beras dan lauk sederhana hari itu, saya kembali ke rumah lalu berangkat ke TK.”
Mendengar jawaban di luar dugaan itu otak saya buntu seketika. Bagaimana tidak? Di tengah jaman ketika satu-satunya kesanggupan banyak orang adalah cerdas mengambil peluang untuk dijadikan uang, cara berpikir dan gaya hidup Kang Wagianto sungguh bodoh. Dia bersama istrinya, Ibu Mimah, guru di TK ndeso dengan bangunan sekolah nyaris seperti kandang ayam, adalah profil keluarga yang bukan hanya miskin tapi juga naif di saat banyak keluarga yang sebenarnya tidak miskin tapi mengaku miskin.
Tentu saja kita dapat menatap profil keluarga Kang Wagianto dari sudut pandang berbeda. Misalnya, dengan mengajukan pertanyaan: siapa yang sesungguhnya merasakan bahagia, Kang Wagianto atau seorang pejabat yang rajin menumpuk pundi-pundi hartanya dengan korupsi? Sesungguhnya siapa yang menemukan rasa kaya sejati, Kang Wagianto yang kaya dalam kemiskinan atau Akil Mochtar yang miskin dalam kekayaan?
Yang saya tahu Kang Wagianto tidak diribeti oleh pertanyaan-pertanyaan mbulet yang sok filosofis itu. Dijalaninya hidup dengan tersenyum bermental syukur melimpah. Ada BSM atau tidak, ada kepedulian dari pemerintah terhadap keluarga miskin atau tidak, ada pejuang rakyat yang mengajukan proposal bantuan kemiskinan untuk orang macam Kang Wagianto lalu memperoleh sekian persen dari puluhan milyar bantuan untuk dibelikan perkakas rumah dan mobil mewah, atau tidak ada sama sekali kepedulian dari orang yang mengaku pejuang kemiskinan - Kang Wagiyanto tetap menjani hidup dan memberdayakan diri dengan caranya sendiri tanpa bikin susah orang lain.
Si miskin tidak dilarang sekolah, tapi mengapa dalam kondisi hidup yang sudah sangat miskin masih harus diteriaki dan dilabeli sebagai anak atau siswa miskin? Jangan-jangan nanti ada Bantuan Siswa Bodoh (BSB), Bantuan Siswa Stres (BSS)…[]
Pong Sahidy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com