by: http://kisahsufi.wordpress.com/2009/11/01/orang-orang-pulau/
Manusia biasa (awam) menyesali dosa-dosanya, Manusia pilihan menyesali kelalaiannya. (Dzun-Nun al-Mishri)
Semua dongeng, paling tidak mengandung kebenaran tertentu dan
seringkali dongeng-dongeng itu memungkinkan masyarakat menyerap
gagasan-gagasan yang sulit dipahami atau bahkan tidak bisa dicerna jika
disampaikan dalam bentuk pemikiran yang wajar. Oleh karena itu, dongeng
digunakan para guru Sufi untuk memberikan suatu gambaran kehidupan yang
lebih sejalan dengan perasaan mereka dibandingkan melalui wahana
kegiatan intelektual.
Berikut ini ada sebuah dongeng Sufi yang telah dirangkum dan
biasanya disesuaikan dengan masa dongeng yang dikisahkan. Sementara
dongeng-dongeng “hiburan” biasa, dipandang oleh para penulis Sufi
sebagai suatu bentuk kesenian yang telah merosot atau lebih rendah
nilainya.
Pada suatu masa ada sebuah masyarakat yang hidup di sebuah pulau yang
sangat terpencil. Para anggota masyarakat ini tidak mempunyai rasa
takut seperti kita saat ini. Alih-alih ketidakpastian dan kegamangan,
mereka mempunyai tujuan yang pasti dan cara-cara yang lebih sempurna
dalam mengekspresikan diri. Meskipun tidak ada tekanan dan ketegangan
sebagai unsur penting kemajuan bagi manusia sekarang. Kehidupan mereka
lebih kaya, karena sebab-sebab lain, yakni unsur-unsur kehidupan yang
lebih baik daripada kehidupan saat ini. Oleh karena itu, kehidupan
mereka adalah suatu bentuk eksistensi yang agak berbeda. Kita hampir
bisa menyatakan bahwa persepsi kita saat ini adalah versi sementara dan
kasar dari persepsi masyarakat ini.
Mereka menjalani kehidupan sejati, bukan kehidupan semu. Kita dapat menyebut mereka masyarakat El Ar.
Masyarakat ini mempunyai seorang pemimpin yang menyadari bahwa negeri
mereka akan punah, katakanlah selama 20.000 (dua puluh ribu) tahun yang
akan datang. Ia merencanakan pengungsian dan menyadari bahwa keturunan
mereka hanya akan berhasil pulang kembali setelah melalui berbagai
ujian.
Ia menemukan sebuah tempat pengungsian bagi mereka, yaitu sebuah
pulau yang sepintas lalu bentuknya mirip dengan tanah air asal mereka.
Karena perbedaan udara dan situasi, para imigran itu harus melakukan
transformasi. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan fisik dan mental
mereka dengan lingkungan baru. Sebagai contoh, persepsi-persepsi kasar
diganti dengan persepsi yang lebih halus, seperti tangan seorang pekerja
kasar menjadi keras karena tuntutan pekerjaannya.
Untuk mengurangi penderitaan akibat perbedaan antara keadaan lama dan
baru itu, mereka dikondisikan untuk melupakan masa lalu secara hampir
menyeluruh. Hanya kenangan masa lalu yang paling kuat tetap tersisa.
Tetapi hal ini sudah memadai untuk digunakan bila diperlukan.
Sistem masyarakat ini sangat rumit namun tetap diatur dengan baik.
Alat-alat untuk bertahan hidup di pulau itu dibuat, demikian pula
sarana-sarana hiburan fisik dan mental. Alat-alat yang sangat berguna
dari tanah air lama disimpan di sebuah tempat khusus sebagai kenangan
lama dan persiapan untuk digunakan di kemudian hari.
Lambat laun dan dengan susah payah akhirnya para imigran menetap dan
menyesuaikan diri dengan kondisi lokal. Sumber daya di pulau itu
sedemikian rupa sehingga dengan upaya dan bimbingan tertentu, masyarakat
akhirnya bisa melanjutkan perjalanan ke pulau berikutnya untuk kembali
ke tanah asal mereka. Ini adalah pulau pertama dari kepulauan lainnya
yang masih membutuhkan penyesuaian secara bertahap.
Tanggung jawab atas “evolusi” ini dibebankan kepada pribadi-pribadi
yang mampu mengembannya. Tentu saja tanggung jawab ini hanya untuk
sebagian kecil orang, karena bagi kebanyakan orang, upaya menjaga kedua
bentuk pengetahuan itu dalam kesadaran mereka niscaya tidak mungkin. Di
antara mereka cenderung muncul pertentangan. Hanya para ahli yang dapat
menjaga “ilmu khusus” itu.
“Ilmu rahasia” ini, yaitu metode mengefektifkan peralihan, tidak lain
adalah pengetahuan dan ketrampilan maritim. Kebebasan atau pengungsian
membutuhkan seorang instruktur, bahan baku, masyarakat, usaha dan
pemahaman. Untuk itu masyarakat bisa belajar renang sekaligus membangun
kapal.
Orang-orang yang sejak semula bertanggung jawab atas operasi
pengungsian menjelaskan kepada setiap orang bahwa persiapan tertentu
diperlukan sebelum seseorang belajar renang atau bahkan ikut serta dalam
membangun kapal. Pada suatu masa, proses tersebut berlangsung secara
memuaskan.
Kemudian seorang laki-laki yang pada saat itu ternyata kurang
memenuhi persyaratan, menentang aturan main dan berusaha mengembangkan
suatu gagasan umum. Ia mengamati bahwa pengungsian itu adalah tugas yang
berat dan selalu disambut dingin oleh masyarakat. Pada saat yang sama
mereka juga diharapkan untuk mempercayai segala sesuatu tentang operasi
pengungsian. Ia menyadari bahwa dirinya mampu meraih kekuasaan dan dapat
membalas dendam kepada mereka yang menurutnya telah merendahkan dirinya
dengan mengeksploitasi dua kenyataan itu.
Ia sebenarnya hanya ingin meninggalkan beban itu dan menegaskan bahwa (sebenarnya) tidak ada beban yang perlu dipikul.
Kemudian ia mengeluarkan pernyataan berikut ini:
“Manusia sama sekali tidak perlu mengintegrasikan dan melatih
pikiran sesuai dengan cara yang telah dijelaskan kepada kalian. Pikiran
manusia adalah suatu unsur yang telah mantap, sinambung dan konsisten.
Kalian telah dianjurkan bahwa kalian harus menjadi seorang pengrajin
dalam membangun kapal. Saya katakan bahwa kalian tidak saja perlu
menjadi pengrajin, tapi kalian juga sama sekali tidak memerlukan kapal!
Penghuni pulau ini hanya perlu menjaga aturan sederhana untuk bertahan
hidup dan menyatu dengan masyarakat. Dengan mempergunakan akal sehat
yang diberikan kepada setiap orang, ia bisa meraih apa saja di pulau
ini, sebagai rumah kita, milik umum dan warisan bagi setiap orang!”
Setelah masyarakat sangat tertarik pada pernyataan ini, sang penghasut “membuktikan” pesannya itu dengan mengatakan:
“Jika memang ada realitas di dalam kapal dan renang itu,
tunjukkan kepada kami kapal-kapal yang telah melakukan perjalanan dan
para perenang yang telah kembali!”
Hal ini adalah tantangan berat bagi para instruktur. Perkataannya
didasarkan pada asumsi yang membingungkan masyarakat sehingga sekarang
mereka tidak bisa melihat kekeliruan asumsi itu. Anda tahu, tidak pernah
ada kapal yang kembali dari pulau lain. Jika memang para perenang
kembali, mereka telah menyesuaikan diri dengan keadaan baru sehingga
tidak bisa dilihat oleh orang kebanyakan.
Namun kerumunan ini menuntut bukti.
“Pembangunan kapal,” kata para pengungsi kepada para
pemberontak, “adalah sebuah seni dan ketrampilan. Pengajaran dan
pelatihan dalam ajaran ini membutuhkan teknik-teknik khusus. Semua ini
membentuk suatu aktivitas total yang tidak bisa diuji secara parsial
sesuai dengan tuntutan kalian. Aktivitas ini mempunyai unsur yang tak
terlihat, yakni apa yang disebut barakah. Inilah asal kata barque — artinya sebuah kapal. Makna kata ini adalah ‘Kepelikan’ dan tidak dapat ditunjukkan kepada kalian.”
“Seni, ketrampilan, totalitas, barakah, semua itu omong kosong!” teriak kalangan revolusioner.
Kemudian mereka menggantung setiap ahli pembuat kapal yang mereka temui.
Kitab suci baru itu disambut hangat oleh semua kalangan sebagai salah
satu sarana pembebasan. Manusia telah menyadari bahwa dirinya telah
dewasa! Setidaknya pada masa itu ia merasa telah terbebas dari tanggung
jawab.
Semua pola pemikiran yang berbeda segera dimusnahkan oleh konsep
revolusioner yang sederhana dan nyaman itu. Konsep ini segera dipandang
sebagai fakta dasar yang tidak pernah ditentang oleh manusia rasional.
Manusia rasional di sini maksudnya seseorang yang menyesuaikan dengan
teori umum itu. Berdasarkan teori umum inilah masyarakat dibangun.
Setiap gagasan yang menentang gagasan baru ini selalu disebut
irasional. Sesuatu yang irasional pasti jelek. Sejak itu, meskipun ada
berbagai keraguan, individu harus menekan dan membuangnya, sebab berapa
pun biayanya ia harus dianggap rasional.
Tidaklah terlalu sulit untuk bersikap rasional. Seseorang hanya perlu
mengikuti nilai-nilai masyarakat. Lebih jauh lagi bukti kebenaran
rasionalitas itu mudah ditemukan — dengan syarat bahwa seseorang tidak
berpikir di luar pola pemikiran pulau itu.
Maka untuk sementara, masyarakat telah menyesuaikan diri di pulau itu
dan tampaknya bisa memenuhi kebutuhan secara memadai jika dilihat dari
cara-cara yang mereka gunakan. Keadaan ini dicapai berkat akal dan emosi
yang seolah-olah masuk akal. Sebagai contoh, kanibalisme diperbolehkan
karena ada alasan rasional, yaitu bahwa tubuh manusia ternyata bisa
dimakan. Kondisi ini adalah salah satu ciri makanan. Oleh karena itu,
tubuh manusia adalah makanan. Untuk menutupi cacat dari cara berpikir
ini, maka dibuat dalih. Kanibalisme dikontrol demi kepentingan
masyarakat. Kompromi ini merupakan ciri keseimbangan sementara.
Berulangkali seseorang mengarah pada suatu kompromi baru dan perjuangan
antara akal, ambisi dan masyarakat yang menghasilkan norma sosial baru.
Lantaran ketrampilan membuat kapal tidak mempunyai cara penerapan
yang jelas dalam masyarakat ini, maka ia dengan mudah dipandang sebagai
sesuatu yang absurd. Perahu tidak diperlukan — tidak ada satu pun tempat
tujuan. Berbagai konsekuensi dari sebuah asumsi dapat dibuat untuk
“membuktikan” kebenaran asumsi tersebut. Inilah yang disebut kepastian
semu, sebagai pengganti dari kepastian sejati. Hal ini kita hadapi
sehari-hari. Tetapi orang-orang pulau menerapkannya kepada segala
sesuatu.
Dua entri dalam Island Universal Encyclopedia
(Ensiklopedia Universal Pulau) memaparkan cara kerja proses itu. Dengan
menyaring hikmah dari nutrisi mental mereka satu-satunya dan dengan
segala kejujuran, para cendekiawan pulau menghasilkan jenis kebenaran
berikut ini:
Ship (Kapal): Sesuatu yang tak menyenangkan.
Sebuah kendaraan imajiner yang diklaim oleh para pendusta dan
penyeleweng sebagai alat untuk “menyeberangi air”, namun kini secara
ilmiah terbukti sebagai suatu kerancuan. Setiap bahan di pulau tersebut
pasti tenggelam. Padahal sebuah “kapal” dibuat dari salah satu bahan di
pulau itu. Selain itu orang meragukan apakah memang ada tujuan di luar
pulau. Mengajarkan “pembangunan kapal” adalah kejahatan besar menurut
Undang-Undang XVII dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal J
tentang Perlindungan terhadap Orang-orang yang Mudah Terpedaya.
Shipbuilding mania adalah suatu bentuk ekstrim dari eskapisme mental,
suatu gejala ketidakmampuan masyarakat menyesuaikan diri. Setiap warga
negara wajib memberitahukan kepada pejabat berwenang jika mereka
mencurigai kondisi tragis ini menimpa seseorang.
Lihat: Swimming; Mental Aberrations; Crime (Major).
Bacaan: Smith, J., Why “Ships” Cannot be Built, Island University Monograph No. 1151.
Swimming (Renang): Sesuatu yang tak diakui.
Diyakini sebagai suatu cara menggerakkan tubuh melewati air agar tidak
tenggelam; secara umum bertujuan “mencapai sebuah tempat di luar pulau”.
“Murid” dari seni yang tak diakui ini harus mematuhi sebuah ritual
absurd. Dalam pelajaran pertama, ia harus menelungkupkan tubuhnya di
atas tanah dan menggerakkan tangan serta kaki sesuai dengan petunjuk
dari seorang “instruktur”. Semua konsep itu berdasar pada keinginan para
“instruktur” yang mempunyai gaya tersendiri untuk menguasai orang-orang
yang mudah terpedaya pada masa primitif. Akhir-akhir ini, cara pemujaan
itu telah menjelma sebuah wabah kegilaan yang menyebar.
Lihat: Ship; Heresies; Pseudoarts.
Bacaan: Brown, W, The Great “Swimming” Madness, 7 volume, Institute of Social Lucidity.
Kata “tidak menyenangkan” dan “tidak diakui” itu digunakan untuk
menunjukkan sesuatu yang bertentangan dengan kitab suci baru itu. Kitab
suci baru itu sendiri dikenal sebagai ajaran yang “Menyenangkan”.
Gagasan di baliknya adalah bahwa masyarakat sekarang bisa menyenangkan
dirinya sendiri, demi kepentingan umum dan menyenangkan negara. Lembaga
di sini dipahami sebagai lembaga yang mencakup semua masyarakat.
Tidaklah mengejutkan bila sejak awal niat meninggalkan pulau
menimbulkan rasa takut luar biasa bagi setiap orang. Demikian pula rasa
takut bisa terlihat pada tahanan yang telah lama di penjara dan akan
dibebaskan. Dunia “luar” penjara adalah suatu dunia yang samar, tidak
dikenal dan menakutkan.
Pulau
itu bukanlah sebuah penjara. Tetapi ia adalah sebuah sangkar dengan
jeruji-jeruji yang tak terlihat, namun lebih efektif dibandingkan
sangkar dengan jeruji-jeruji yang terlihat.
Masyarakat pulau kini semakin lebih kompleks. Kita hanya bisa melihat
hal itu melalui beberapa bentuknya yang mencolok. Kepustakaan mereka
sangat kaya. Disamping berbagai komposisi budaya, ada berbagai buku yang
menjelaskan nilai-nilai dan keberhasilan bangsa-bangsa. Demikian pula
ada sebuah sistem fiksi alegoris yang menggambarkan betapa kehidupan ini
akan sengsara bila masyarakat tidak mengatur diri dengan sistem yang
diyakini saat ini.
Dari waktu ke waktu para instruktur berusaha membantu seluruh
masyarakat untuk meloloskan diri. Para kapten kapal mengabdikan dirinya
untuk menciptakan kembali suatu iklim kondusif bagi para pembuat kapal
yang kini bersembunyi melanjutkan pekerjaannya. Semua upaya ini
ditafsirkan oleh para sejarawan dan sosiolog dengan merujuk pada
berbagai keadaan di pulau itu tanpa berniat untuk melakukan hubungan di
luar masyarakat yang tertutup ini. Berbagai penjelasan yang masuk akal
tentang hampir semua hal secara komparatif mudah diberikan. Tidak ada
prinsip etik, sebab para sarjana tetap mengkaji apa yang dipandang benar
dengan penuh ketulusan. “Apa lagi yang bisa kita kerjakan?” Kata “lagi”
mengimplikasikan bahwa alternatif itu mungkin merupakan suatu upaya
kuantitatif. Atau mereka saling bertanya, “Adakah hal lain yang
bisa kita kerjakan?” dengan asumsi bahwa jawabannya mungkin terletak
pada kata “lain” itu — sesuatu yang berbeda. Masalah mereka sebenarnya
adalah anggapan mereka bahwa dirinya mampu untuk merumuskan pertanyaan
dan mengabaikan fakta bahwa pertanyaan sepenting jawaban.
Para penghuni pulau niscaya mempunyai ruang lingkup pemikiran dan
tindakan yang luas dalam bidang mereka sendiri yang sempit. Berbagai
gagasan dan perbedaan pendapat yang muncul mengesankan kebebasan
berpikir. Pemikiran digalakkan dengan syarat tidak “absurd”.
Kebebasan berbicara diperbolehkan. Tetapi hal ini sedikit manfaatnya tanpa mengupayakan pengembangan pemahaman.
Kerja dan empati dari para navigator harus mengambil aspek lain
sesuai dengan berbagai perubahan di dalam masyarakat. Hal ini justru
membuat realitas mereka jauh lebih membingungkan bagi para murid yang
berusaha mengikuti mereka dari sudut pandang yang berlaku di pulau itu.
Di tengah-tengah semua kebingungan ini, kemampuan untuk menyadari
kemungkinan meloloskan diri pada masa-masa tertentu bahkan bisa menjadi
kendala. Kesadaran potensial yang mendorong untuk meloloskan diri
tidaklah begitu jelas. Yang lebih sering terjadi adalah para calon
pelarian yang bersemangat itu menerima suatu pengganti. Suatu konsep
navigasi yang kabur tidak akan berguna tanpa orientasi. Bahkan para
pembuat kapal yang paling bersemangat sekalipun dilatih untuk meyakini
bahwa mereka telah mempunyai orientasi itu. Mereka telah matang. Mereka
membenci setiap orang yang menunjukkan bahwa mereka mungkin memerlukan
persiapan.
Cara-cara berenang atau membuat kapal yang aneh itu seringkali tidak
memungkinkan untuk mencapai kemajuan yang sesungguhnya. Yang layak
dikecam adalah para pembela renang semu atau kapal-kapal alegoris.
Mereka hanyalah penipu yang menawarkan pelajaran kepada mereka yang
masih terlalu lemah untuk berenang atau menulis tentang kapal yang tidak
bisa mereka bangun.
Pada mulanya masyarakat membutuhkan pola-pola efisien dan pemikiran
tertentu yang berkembang menjadi apa yang dikenal dengan ilmu.
Pendekatan yang patut dipuji ini akhirnya melampaui arah yang sebenarnya
dengan pola penerapan yang begitu mendasar. Setelah revolusi
“menyenangkan”, pendekatan “ilmiah” itu cepat meluas sampai mempengaruhi
setiap pemikiran. Akhirnya segala sesuatu yang tidak bisa dimasukkan ke
dalam ikatannya dikenal dengan istilah “tidak ilmiah”, istilah sinonim
lain dari kata “buruk”. Tanpa disadari, kata-kata ini telah mengungkung
dan otomatis memperbudak masyarakat.
Lantaran tidak adanya sikap sejalan, seperti orang yang membuang
waktu dan kemampuannya di ruang tunggu dengan membaca-baca majalah,
orang-orang pulau itu menyibukkan diri untuk menemukan pengganti
pemuasan diri sebagai tujuan asal (dan sesungguhnya tujuan akhir) dari
masyarakat yang terbuang ini.
Sebagian relatif mampu dan berhasil mengalihkan perhatian pada
komitmen-komitmen yang secara mendasar bersifat emosional. Ada berbagai
tingkatan emosi, namun tidak ada cara yang memadai untuk mengukurnya.
Setiap emosi dianggap sebagai suatu yang “dalam” dan “kuat” — pada
tingkat apa pun lebih kuat dari tingkat lainnya. Emosi yang dipandang
bisa menggerakkan masyarakat secara fisik dan mental sampai pada titik
ekstrim, otomatis disebut sebagai kekuatan “dalam”.
Sebagian besar masyarakat menentukan target bagi dirinya sendiri atau membiarkan orang lain menentukannya sendiri.
Mereka mungkin mengejar suatu penghargaan, uang atau status sosial.
Sebagian menyembah sesuatu dan merasa dirinya lebih unggul dari lainnya.
Dengan menolak apa yang dianggap sebagai penyembahan, sebagian orang
mengira bahwa mereka tidak memiliki berhala. Karena itu mereka mencibir
setiap bentuk penyembahan.
Setelah berabad-abad lamanya, pulau itu dipenuhi dengan berbagai
kepingan cara pemujaan. Yang lebih buruk adalah kepingan-kepingan ini
ternyata mampu mempertahankan diri. Orang-orang yang bermaksud baik dan
bermaksud menggabungkan cara pemujaan ini serta memadukan
kepingan-kepingannya, ternyata menyebarkan suatu cara pemujaan baru.
Bagi kalangan amatir dan intelektual, hal ini adalah suatu tambang bagi
kajian akademis atau “bahan awal” yang menarik karena keanekaragamannya.
Fasilitas-fasilitas
megah untuk memanjakan “kepuasan” tertentu berkembang pesat. Istana dan
monumen, museum dan universitas, lembaga pendidikan, panggung teater,
dan arena olah raga hampir memenuhi pulau tersebut. Masyarakat biasanya
merasa bangga dengan kemakmuran ini. Biasanya kemakmuran ini dianggap
sebagai kebenaran terakhir, meskipun tentu saja kebenaran ini sama
sekali luput dari perhatian mereka semua.
Pembangunan kapal berkaitan dengan beberapa dimensi dari kegiatan itu, namun dengan cara yang hampir tidak dikenal semua orang.
Secara sembunyi-sembunyi, kapal-kapal memancangkan layar dan para perenang terus mengajarkan cara berenang …
Berbagai kondisi di pulau itu tidak sepenuhnya menimbulkan rasa takut
bagi orang-orang yang penuh pengabdian tersebut. Di atas segalanya,
mereka juga berasal dari masyarakat yang sama. Mereka mempunyai ikatan
yang tak terpisahkan dan nasib yang sama dengan pulau itu.
Namun mereka seringkali harus menjaga diri dari perhatian
saudara-saudaranya sesama penghuni pulau. Sebagian penghuni pulau yang
“normal” mencoba menyelamatkan diri dari situasi itu. Yang lain berusaha
membunuh mereka dengan alasan-alasan yang sulit dipahami. Sebagian
bahkan berusaha membantunya dengan penuh semangat, tetapi tidak bisa
menemukan mereka.
Setiap reaksi terhadap eksistensi para perenang ini adalah akibat
dari sebab yang sama. Penyebabnya adalah karena sekarang hampir tidak
ada orang yang mengetahui apa sesungguhnya perenang itu, apa yang
dilakukannya, di mana ia bisa dijumpai?
Ketika kehidupan di pulau itu semakin beradab, suatu industri aneh
tetapi logis berkembang pesat. Industri ini dicurahkan untuk menetapkan
keraguan atas keabsahan sistem dasar kehidupan masyarakat. Industri ini
berhasil menimbulkan keraguan atas nilal-nilai sosial dengan
menertawakan atau menyindirnya. Aktivitas ini bisa mendatangkan
kebahagiaan atau kesengsaraan, tetapi ia sebenarnya semacam ritual yang
diulang-ulang. Sementara sebuah industri potensial dan berharga
seringkali dirintangi untuk melaksanakan fungsi kreatifnya yang nyata.
Setelah keraguan untuk mengungkapkan diri sementara, masyarakat
merasa bahwa dengan cara tertentu mereka akan mengurangi, membuang dan
melarutkan keraguan itu. Satire diterima sebagai kiasan bermakna. Kiasan
ini diterima namun tidak dipahami. Drama, buku, film, puisi dan
plesetan adalah media umum bagi perkembangan itu, meskipun ada sebuah
bagian penting yang termasuk dalam bidang-bidang yang lebih akademis.
Bagi kebanyakan penghuni pulau, hal ini lebih membebaskan, lebih modern
atau lebih progresif dibandingkan cara-cara pemujaan yang lebih tua.
Di sana-sini, seorang calon masih menemui seorang instruktur renang
dan menyampaikan penawaran untuk ikut belajar renang. Biasanya penawaran
itu berakhir pada pembicaraan khas berikut ini:
“Saya ingin belajar renang.”
“Apakah engkau ingin menawarkan diri untuk itu?”
“Tidak, hanya saja saya harus membawa bekal seberat satu ton.”
“Bekal apa?”
“Makanan yang dibutuhkan di pulau lain.”
“Di sana ada makanan yang lebih baik.”
“Saya tidak mengerti apa yang engkau maksudkan. Saya tidak yakin. Saya harus membawa bekal.”
“Engkau tidak bisa berenang dengan membawa bekal satu ton di punggungmu.”
“Jika demikian saya tidak bisa pergi. Engkau menyebutnya beban. Saya menyebutnya bekal makanan yang sangat penting.”
“Sebagai sebuah kiasan, andaikata kita tidak menyebut ‘bekal makanan’, namun ‘asumsi’ atau ‘gagasan yang merusak’.”
“Saya akan membawa bekal ini kepada instruktur yang memahami kebutuhan saya.”
Buku ini
membicarakan tentang beberapa perenang dan pembuat kapal serta beberapa
orang yang berusaha mengikuti mereka dan relatif berhasil. Dongeng ini
belum berakhir, sebab masih ada masyarakat di pulau itu.
Para Sufi menggunakan berbagai simbol rahasia untuk menyampaikan
maksud mereka. Dengan menyusun kembali nama dari masyarakat asal itu — El Ar — maka akan terbaca Real (Sejati). Mungkin Anda telah mengamati bahwa nama yang digunakan oleh kalangan revolusioner itu — Please (Menyenangkan) — jika disusun kembali akan membentuk kata Asleep (Tertidur).
Kisah ini dikutip dari buku “Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi“, oleh Idries Shah. Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Shafar 1421H, Juni 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com