Selasa, 16 Juli 2013

Kupas Habis Tentang Pakaian (VERSI LENGKAP 1 - 3)

http://ww1.prweb.com/prfiles/2012/11/08/10104970/Clothing%20Black%20Friday%20Cyber%20Monday%202012%20Deals.jpg
Lebih kurang 8 tahun yang lalu, di bandara saya berjumpa dengan sahabat lama yang sudah lama tidak berjumpa. Dia pernah berguru kepada Guru saya walau tidak begitu aktif karena sebelumnya beliau sudah menekuni tarekat di tempat lain dan kabarnya sudah mendapat izin untuk membawa tawajuh, sebuah kedudukan yang terhormat di dalam tarekat. Dari dulu saya mengenalnya dengan pakaiannya yang khas, memakai jubah dan serban. Jarang saya jumpai orang yang begitu istiqamah dengan pakaian jubah dan surbannya sehingga dalam pandangan saya itu sudah seperti pakaian dinas bagi seorang prajurit militer. Bukan hanya ketika beribadah, dalam keseharian, menjalani profesi sebagai pedagang di pasar pun, jubah dan surban tidak pernah ditinggalkan.

Satu sisi saya kagum dengan sikapnya, dalam usia muda tanpa ragu memilih pakaian yang menurut dia mengikuti sunnah Rasul, tidak tergoda dengan pakaian-pakaian terkini yang lazim dipakai orang. Naik sepeda motor pun jubah dan serban tetap dipakai dan dia menolak untuk memakai helm yang menurutnya tidak sesuai dengan sunnah Rasul, dan polisi pun sepertinya sudah maklum karena setiap lewat depan polisi tidak pernah di berhentikan.

Di bandara saya melihat dia dengan kawan-kawan nya yang sama-sama memakai jubah dan surban, usia mereka sekitar 40-50 tahun dan kemudian saya tahu bahwa sahabat saya itu sudah menjadi pengurus salah satu ormas yang fokus kepada Nahi Munkar. Saya memakai pakaian biasa, celana jean dan baju kaos, layaknya anak muda, dengan agak sedikit ragu menghampiri dia. Dengan senyum dan rasa gembira dia berdiri menyambut saya dan memberikan tempat disampingnya. Saya berbincang dengan dia dalam suasana akrab sama seperti dulu ketika sering berjumpa di surau setiap malam selasa dan malam jum’at.

Dia memperkenalkan saya kepada teman-temanya, “Ini sahabat saya, walaupun pakaiannya seperti preman, tapi hatinya mulia, walaupun muda, dia ini orang yang paling mendalam pemahaman tentang hakikat, saya banyak belajar dari dia” sambil menepuk bahu saya. Saya merasa kurang nyaman diperkenalkan seperti itu, apalagi berada di antara orang-orang yang berbeda dengan saya. Tidak nyaman bukan karena pakaian saya disebut pakaian preman, tapi karena dia memperkenalkan saya sebagai orang yang ahli agama, sedangkan pakaian saya tidak seperti yang mereka harapkan sebagai orang yang ahli agama. Saya kemudian mohon izin kepada dia karena kebetulan jadwal penerbangan saya 1 jam lebih cepat dari penerbangan dia. Walaupun sudah 8 tahun tidak bertemu sejak pertemuan terakhir di bandara, saya tetap teringat dengan sahabat saya yang memakai jubah serta serban tersebut.

Ingatan kepada sahabat yang memakai jubah dan surban itu muncul ketika saya membaca sebuah buku yang baru saya beli 3 hari yang lalu berjudul “Bukan Bid’ah, Menimbang Jalan Pikiran Orang-orang Yang Bersikap Keras Dalam Beragama” terjemahan dari bahsaa Arab, judul aslinya “Al-Mutasyaddidun: Manhajum… wa Munaqasyad Ahamm Qadhayahum” karya Prof. Dr. Ali Jum’ah.

Karya Prof. Dr. Ali Jum’ah bagus untuk dijadikan rujukan ditengah kebingungan sebagian orang tentang pakaian Islami. Akhir-akhir ini banyak aturan aneh tentang pakaian khusus untuk daerah yang menerapkan syariat Islam, misalnya perempuan hanya boleh menggunakan rok tidak boleh menggunakan celana, perempuan tidak boleh duduk mengangkang di atas sepeda motor dan terakhir perempuan di larang menari walaupun dengan pakaian sopan sekalipun. Aturan-aturan yang dibuat dengan semangat beragama yang tinggi sementara ilmu agamanya rendah menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

Islam awal munculnya adalah agama yang membebaskan manusia dari keterikatan dan tekanan. Perempuan di zaman jahiliyah tidak mendapat hak sama sekali, kemudian Islam memberikan hak-hak kepada perempuan, sampai kepada hak menerima warisan, hal yang tidak pernah ada di zaman itu. Seiring berjalannya waktu, pemahaman Islam dari kaum ekstrimis di Arab Saudi di adopsi mentah-mentah oleh ummat Islam di beberapa tempat di seluruh dunia, kemudian lahirlah benturan-benturan di dalam masyarakat. Islam yang dianut oleh kelompok ekstrimis bukan lagi sebagai agama pembebas tapi justru menjadi agama yang mengekang. Islam disebarkan oleh pendahulu kita yang memahami agama bukan hanya tekstual, lebih jauh mereka sangat memahami hakikat dari ruh Islam. Para Ulama, Wali Songo dan pendakwah lain bisa memasukkan unsur Islam ke dalam budaya masyarakat yang sudah ada sehingga tidak terjadi benturan. Islam di terima dengan begitu indah, hal yang tidak ada dalam pemahaman kaum ekstrimis.

Mengambil mentah-mentah budaya Arab yang diyakini sebagian orang terutama kelompok ekstrim sebagai budaya Islam tanpa mau mengkaji lebih dalam hal yang cocok dan tidak cocok dengan budaya kita akan menimbulkan benturan di dalam masyarakat kita. Tentang pakaian, berikut saya kutip karya dari Prof. Dr. Ali Jum’ah :

Orang-orang yang bersikap ekstremis dalam beragama selalu berusaha untuk berpenampilan khusus, sehingga bisa dikenali begitu dilihat oleh orang lain. Mereka bersikeras mengenakan pakaian yang berbeda dengan yang biasa dipakai oleh umumnya kaum muslimin pada zaman ini. Mereka mengenakan pakaian yang mewakili masa lalu dan adat istiadat kelompok masyarakat lain, dan menyangka bahwa dengan berbuat seperti itu, telah mendekatkan diri kepada Allah.

Tentang pakaian, Allah swt telah berfirman dalam kitab suci-Nya :

“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf, 31).

Firman ini bersifat umum, yang ditujukan kepada seluruh anak cucu Adam, sehingga mencakup laki-laki dan perempuan, Muslim dan non-Muslim. Semuanya diperintahkan untuk berhias. Yakni mengenakan pakaian untuk menutup aurat dan hiasan di setiap tempat pertemuan seperti mesjid, sekolah, universitas, tempat kerja dan lain sebagainya.

Di sisi lain, ayat suci ini telah menetapkan sebuah prinsip dasar reformasi agama dan sosial. Hal ini tampak dari apa yang disebutkan oleh ahli tafsir tentang sebab nuzul ayat ini, yaitu bahwasanya orang Arab dulu biasa berthawaf di sekeliling Ka’bah tanpa busana, baik laki-laki maupun perempuan. Keadaan seperti ini, bahkan tidak terbatas pada masyarakat Arab saja, tetapi juga berlaku di banyak bangsa di muka bumi, di mana sisanya masih bisa disaksikan hingga kini, yaitu di negara-negara yang belum tersentuh dakwah Islam.

Namun yang perlu diperhatikan, ayat tersebut tidak menentukan jenis dan bentuk pakaian, karena Islam memang memberikan prinsip-prinsip dasar yang sesuai dengan setiap waktu dan tempat. Jadi, perintah umum itu adalah untuk memakai hiasan di setiap pertemuan dengan orang lain sesuai dengan kemampuan, serta sejalan dengan kecenderungan zaman dan kebiasaan masyarakatnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw tidak memiliki pakaian khusus yang selalu dikenakan, juga tidak memilih model tertentu, sehingga tidak menyulitkan ummat yang harus diteladaninya.



Bagian 2:

Sehubungan dengan ini, kitab-kitab hadis telah meriwayatkan bahwa suatu ketika beliau (Nabi) mengenakan pakaian sempit dan pada kesempatan lain memakai pakaian longgar. Demikian juga dengan para sahabat dan tabi’in. Tidak pernah dalam riwayat bahwa Nabi saw, serta para sahabat dan tabi’in, baik laki-laki maupun perempuan memilik pakaian dengan model atau bentuk tertentu.

Agama tidak menjelaskan bentuk dan potongan pakaian serta caranya menutupi tubuh, karena dianggap salah satu urusan dunia yang diketahui berdasarkan kebutuhan, pengalaman dan adat istiadat. Pada suatu hari, Imam Ahmad bin Hanbal melihat seseorang mengenakan pakaian bergaris-garis putih hitam, maka mengatakan, “Tinggalkan ini dan ganti dengan pakaian warga daerahmu.” Kemudian lanjutnya, “Ini bukan kerena haram. Seandainya kamu sedang berada di Mekkah atau Madinah, maka aku tidak akan mempermasalahkan.”

Apa yang disepakati oleh masyarakat terkait dengan jenis pakaian dan bentuk pakaian, selama masih dalam cakupan kaidah umum pakaian syariat, yakni : (Tidak menggambarkan bentuk tubuh, tidak tembus pandang, dan tidak menyingkap) serta tidak termasuk pakaian syuhrah (Kemasyuran; mengundang perhatian) maka hukumnya boleh.

Berusaha mengenakan model pakaian yang sesuai dengan zaman termasuk tatakrama asal bukan dosa, sedangkan berusaha untuk berpakaian beda termasuk salah satu jenis syuhrah  dan memisahkan diri.

Ada sejumlah hadis yang mencela pakaian syuhrah, yaitu yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi saw bahwasanya Beliau bersabda :

“Barangsiapa mengenakan baju syuhrah di dunia, Allah akan memakai baju kehinaan kepadanya pada hari Kiamat”.

Juga dalam riwayat lain dari Ibnu Umar juga, Nabi saw bersabda :

“Barangsiapa mengenakan baju syuhrah di dunia, Allah akan memakaikan baju kehinaan kepadanya pada hari Kiamat, kemudian dikobarkan padanya”.

Dan dari Abu Dzar, Nabi saw bersabda :

“Barangsiapa mengenakan baju syuhrah Allah akan berpaling darinya hingga menanggalkannya ketika dia menanggalkannya”.

Hadis-hadis ini menunjukkan keharaman mengenakan pakaian syuhrah, namun tidak menentukan jenis pakaian tertentu, tetapi bisa terjadi dengan dikenakannya pakaian yang berbeda dengan yang biasa dipakai oleh masyarakat sehingga mendapatkan celaan karena menyalahi adat istiadat setempat yang berlaku.

Pendapat Prof. Dr. Ali Jum’ah tentang pakaian di atas menarik untuk direnungi dan saya teringat dengan sahabat yang memakai jubah dan surban, di setiap tempat dan waktu sehingga sudah menjadi seperti pakaian dinas. Bagi dia itu sudah merupakan bagian dari sunnah Nabi, tapi ada hal yang dilupakan bahwa Nabi sendiri menganjurkan untuk berpakaian menurut adat istiadat setempat sehingga tidak menyolok pandangan mata. Memakai pakaian yang berbeda dengan masyarakt setempat justru itu bagian dari  apa yang disebut Nabi sebagai pakaian syuhrah yang mendapat ancaman neraka dan Allah berpaling darinya.

Bagi masyarakat yang tinggal di tanah Arab, tentu saja jubah dan surban itu merupakan pakaian yang dianggap sesuai dengan adat istiadat setempat, tapi bagi kita di Indonesia maka pakaiannya adalah yang cocok dengan budaya Indonesia. Indonesia mempunyai kelembaban tinggi, berbeda dengan Arab yang mempunyai kelembaban rendah.

Tentang pakaian, Guru saya adalah teladan yang bisa dijadikan contoh. Beliau juga memakai jubah, tapi itu dilakukan hanya dalam hal-hal bersifat ibadah, di dalam Mesjid, dalam acara suluk/I’tikaf atau acara-acara khusus. Kalau berpergian, naik pesawat misalnya, Beliau menggunakan pakaian yang umum di pakai, menggunakan celana dan baju kemeja. Beliau selalu ingin tampil seperti masyarakat umum, tidak mau berpenampilan mencolok sehingga dianggap asing oleh orang lain.



bagian 3:

Tentang pakaian, perlu kita simak pendapat para ulama dahulu yang saya akan kutip dari karya Prof. Dr. Ali Jum’ah:

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw melarang dua Syuhrah; pakaian bagus yang menarik pandangan orang lain sehingga melihatnya di dalam dirinya, dan pakaian jelek atau lusuh sehingga membuat orang lain memandang dirinya dalam pakaian itu.

Asy-Syaukani mengatakan, “Jika sebuah pakaian dimaksudkan untuk mengundang perhatian dari orang lain, maka tidak ada bedanya antara pakaian bagus dan pakaian jelek, juga pakaian yang sejalan dengan adat istiadat setempat dan yang berbeda dengannya. Keharaman di sini berputar pada keinginan untuk mengundang perhatian, dan yang dijadikan pegangan adalah tujuan, meskipun tidak sesuai dengan kenyataan”.

Petunjuk Nabi saw dalam berpakaian adalah hendaknya seseorang mengenakan pakaian yang mudah di dapat dari pakaian warga daerahnya dan agar sejalan dengan adat istiadat setempat.

Imam Malik ketika ditanya mengenai pakaian wol tebal, dia menjawab, “Tidak ada kebaikan dalam mengundang perhatian orang lain (syuhrah). Aku berharap dia mengenakannya pada waktu-waktu tertentu dan meninggalkannya pada lain kesempatan. Aku tidak suka dia mengenakan terus-menerus sehingga menjadi terkenal dengan pakaian itu”.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tuntunannuya dalam masalah itu (yakni keragaman berpakaian) menuntut seorang laki-laki untuk berpakaian dan makanan yang dimudahkan oleh Allah bagi daerahnya, sehingga akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan daerahnya”.

Abu al-Walid al-Baji mengatakan, “Nabi saw tidak menyukai pakaian yang tidak lazim, pakaian yang membuat pemakaiannya terkenal karena jelek, dan pakaian yang membuat pemakainya terkenal karena bagus”.

Syekh Abdul Qadir al-Jaelani berkata, “Pakaian yang seharusnya dihindari adalah: setiap pakaian yang menjadikan pemakainya terkenal, seperti tidak sejalan dengan kebiasaan daerah atau warganya. Dari sini, seseorang harus memakai pakaian yang sama dengan yang mereka pakai, supaya tidak mengundang perhatian dan menjadi bahan ghibah. Bila ini terjadi, maka dia akan ikut menanggung dosa ghibah-nya”.

Ibnu Abd al-Barr mengatakan, “Abdullah bin Umar ra pernah berkata, ‘Barangsiapa memakai pakaian yang mengundang perhatian (syuhrah), Allah akan berpaling darinya meskipun dia seorang Wali.” Juga mengatakan, “Dikatakan,’Makanlah dari makanan yang kamu sukai dan kenakanlah pakaian yang disukai oleh masyarakat.”

Nabi Muhammad saw sendiri dulu biasa memakai serban, tongkat dan lain-lain yang lazim digunakan oleh masyarakat pada waktu itu. Serban, misalnya, tidak semua kelompok masyarakat memakainya, bentuknya pun berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Maka, memakainya adalah boleh selama tidak menyalahi adat kebiasaan setempat. Jika menyalahi maka akan termasuk dalam kategori pakaian yang mengundang perhatian (syuhrah), sehingga apabila ada seorang laki-laki yang memakai serban di tengah masyarakat yang tidak biasa memakainya maka akan menjadi pakaian yang mengundang perhatian (syuhrah), akan menjadi bahan omongan, dan tidak termasuk sunnah.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam mushannaf-nya dari Abbad bin al-Awwam dari al-Husain, bahwasanya dia mengatakan, “Zubaid al-Yami dulu bisa memakai burnus (jubah bertudung kepala), lalu aku mendengar Ibrahim mencelanya, maka aku katakanya kepadanya, ‘Dulu orang-orang biasa memakainya’. Kemudian katanya, ‘benar, tapi orang-orang yang bisa memakai itu sekarang sudah tidak ada lagi, dan apabila pada hari ini ada orang yang memakainya maka akan menjadi bahan perhatian orang-orang, dan akan ditunjuk dengan jari”.

Dari situ, apa yang dipegang oleh sebagian orang awam terkait dengan kebiasaan memakai pakaian yang berbeda dengan adat kebiasaan warga setempat, dengan anggapan bahwa itu adalah tuntunan agama yang wajib diikuti, adalah tidak boleh. Barangkali yang menyebabkan mereka terjerumus ke dalam kesalahan ini (mewajibkan orang lain untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak wajib) adalah penggunaan istilah sunnah bukan pada tempatnya. Yakni mencampur adukkan antara penggunaaan istilah sunah di kalangan ahli hadis, ahli fiqih dan ahli ushul fiqih.

Menurut ahli ushul fiqih, sunnah adalah salah satu dasar hukum agama Islam yang menempati tingkatan kedua setelah al-Qur’an. Mereka mendefinisikannya dengan mengatakan, “Apa yang berasal dari Nabi saw selain al-Qur’an, baik berupa pekerjaan, perkataan maupun persetujuan”.

Sedangkan menurut ahli fiqih dalah lawan dari wajib, mubah dan lain sebagainya. Menurut mereka, sunah adalah hukum yang diambil dari dalil. Ia adalah pekerjaan yang apabila dilakukan akan mendatangkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan mendatangkan dosa. Maka sunah menurut ahli fiqih sinonim dengan: mandub, mustahabb, tathawwu’, tha’ah, nafl, qurbah, muraghghab fih fadhilah.

Adapun menurut ahli hadis, sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi saw berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat fisik dan mental, baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.

Ahli hadis memperluas cakupan istilah sunnah. Mereka tidak membatasinya pada hukum agama saja. Mereka ingin menjelaskan bahwa Rasulullah saw adalah penuntun kita, sehingga semua yang diberitakan oleh Allah tentang beliau adalah teladan bagi kita semua. Dari sini, mereka meriwayatkan segala sesuatu yang berkaitan dengan beliau berupa sejarah hidup, akhlak, sifat fisik, perkataan dan perbuatan, baik yang menetapkan hukum agama maupun yang tidak.

Berbeda dengan ahli ushul fiqih yang menghimpun sunah sebatas yang bisa dijadikan landasan hukum agama saja. Jadi, orang-orang itu telah meletakkan istilah sunah yang digunakan oleh ahli hadis tentang paparan keadaan Nabi saw yang mencakup cara berpakaian, dan gaya hidup kesehariannya di tempat istilah sunah yang digunakan oleh ahli fiqih berupa perkerjaan yang apabila dilakukan akan mendatangkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan mendatangkan siksa.

Kesimpulannya, orang-orang yang bersikap keras dalam beragama itu, karena kurang memahami agama, menganggap adat istiadat kebiasaan yang disebut sunah oleh ahli hadist dan ahli biografi Nabi termasuk sunah menurut ahli fiqih yang berupa salah satu hukum syara’.

Berasarkan dalil-dalil dan perkataan-perkataan para ulama yang otoritatif seperti tersebut di atas, kami memandang bahwa seorang Muslim tidak selayaknya berpenampilan berbeda dari kebiasaan warga daerahnya dalam berpakaian, sepanjang pakaian yang lazim digunakan oleh warga daerahnya itu tidak menyalahi aturan agama.

Kesimpulan dari Prof. DR. Ali Jum’ah di atas kiranya sudah mewakili tulisan tentang pakaian yang saya bagi dalam 3 tulisan. “Pakaian Preman” yang disebut oleh sahabat saya ketika memperkenalkan saya kepada teman-temannya menujukkan dia belum membaca sepenuhnya pendapat para ulama tentang pakaian sehingga menganggap pakaian yang dikenakanya yang paling sesuai dengan sunah Nabi dan lupa satu hal bahwa menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan adat istiadat setempat justru tidak disukai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Semoga tulisan ini bermanfaat, amin ya Rabbal ‘Alamin
( Tamat )

sumber tulisan : http://sufimuda.net/
gambar oleh: bagindaery.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com