Sabtu, 20 Juli 2013

(KISAH PADA ZAMAN PARA SAHABAT NABI) Abu Bakar As-Siddiq yang lembut hati - sebuah biografi dan studi analisi tentang permulaan sejarah islam sepeninggalan Nabi s.a.w. oleh Muhammad Husain Haekal

PRAKATA
Semua peristiwa sejarah dunia Islam catatannya didasarkan pada hijrah Nabi dari Mekah ke Medinah. Rahasia diambilnya peristiwa  besar ini sebagai permulaan sejarah Islam, karena waktu itulah permulaan Allah memberikan kemenangan kepada Rasul-Nya dalam  menghadapi mereka yang mcmerangi risalahnya di tanah suci itu.  Kemudian mereka melakukan perbuatan-perbuatan makar hendak membunuhnya. Dalam hijrah itu hanya Abu Bakr sendiri saja yang menemani Rasulullah. Dalam sakitnya yang terakhir dan ketika  sudah  tidak kuat lagi mengimami salat, Rasulullah meminta Abu Bakr bertindak memimpin salat itu menggantikannya. la tidak ingin tempat ini dipegang oleh Umar bin Khattab.
http://img.carapedia.com/images/article/kisah-abu-bakar-siddiq.jpgNabi memilih Abu Bakr dalam hijrah dan salat
Dipilihnya Abu Bakr menemaninya ketika hijrah dan mengimami salat menggantikannya, karena Abu Bakr Muslim pertama yang beriman kepada Allah dan kepada Rasulullah, dan demi imannya itu  pula dialah yang paling banyak berkorban. Sejak masuk Islam besar  sekali hasratnya hendak membantu Nabi dalam berdakwah demi  agama  Allah dan membela kaum Muslimin. la lebih mencintai  Rasulullah daripada dirinya sendiri, mendampinginya selalu dalam  setiap peristiwa. Di samping itu, di samping iman yang begitu teguh  akhlaknya pun sudah mendekati kesempurnaan, cintanya begitu besar  kepada orang lain, paling dekat dan akrab kepada mereka.
Jika demikian halnya, tidak heran bila Muslimin kemudian mengangkatnya sebagai pengganti Rasulullah. Memang, tidak heranlah dengan sikapnya itu ia membela Islam dan menyebarkan agama Allah  di muka bumi ini. Dialah yang telah memulai sejarah lahirnya kedaulatan1  Islam, (1  Pengertian kedaulatan di sini dan di bagian-bagian lain dalam buku ini  merupakan terjemahan kata bahasa Arab imbaraturiyah, 'sebuah kedaulatan besar, luas  dan banyak jumlahnya, dengan kekuatan yang besar meliputi bcrbagai macam bangsa,  golongan, ras) yang kemudian menyebar di timur dan di barat, ke India dan  Tiongkok di Asia, ke Maroko dan Andalusia di Afrika dan Eropa,  dan  yang kemudian mengarahkan kebudayaan umat manusia ke  suatu  tujuan, yang pengaruhnya di seluruh dunia masih terasa sampai  sekarang.


Sebuah studi tentang kedaulatan Islam
Selesai menulis kedua buku saya,  Sejarah Hidup Muhammad  dan Fi Manzilil-Wahy ("Di Lembah Wahyu,") terlintas dalam pikiran  saya hendak mengadakan beberapa studi lagi mengenai sejarah  kedaulatan Islam sejagat ini, serta sebab-sebab kebesaran dan  kemundurannya. Tetapi dalam hal ini saya tergoda oleh suatu  pemikiran bahwa kedaulatan Islam ini adalah hasil ajaran-ajaran dan tuntunan Nabi juga. Dalam melakukan studi sejarah Nabi   Sallallahu    'alaihi wasallam dan melihat hasil studi ini yang memang indah,  yang  sudah sepatutnya akan mcngantarkan langkah umat manusia ke  arah kebudayaan yang selama ini didambakan, maka dalam  mengadakan studi kedaulatan ini serta perkembangannya, lebih besar  lagi hasrat kita hendak mengambil teladan dan ajaran-ajaran Rasulullah  sebagai pangkal bertolak. Hal ini akan mempermudah kita  memperolch  pengetahuan baru mengenai kehidupan yang begitu  cemcrlang dan agung. Para ahli rasanya akan lebih puas dengan apa yang pernah saya imbau agar kita lebih mendalami kenyataankenyataan  psikologis di samping rohani yang terkandung di dalamnya. Ilmu  pengetahuan dengan segala sarananya, dengan segala dalil yang pernah  dikemukakan, belum dapat membuktikan, juga tak dapat menafikan.  Padahal itu merupakan dasar kebahagiaan hidup umat manusia dan sekaligus menjadi juru kemudinya.
Terdorong oleh pemikiran semacam itu, saya yakin bahwa pengenalan kita pada masa lampau dengan sendirinya akan memberikan gambaran masa depan, dan sekaligus membimbing upaya kita ke arah tujuan  yang sesuai dengan kodrat kita sebagai manusia. Masa lampau, masa  sekarang dan masa depan merupakan satu kesatuan yang tak  tcrpisahkan. Mengenai masa lampau adalah suatu langkah untuk  mencntukan diagnosis yang tepat masa sekarang serta mengatur masa yang akan datang. Sama halnya dengan pengetahuan seorang dokter mengenai masa lampau penyakit penderitanya, yakni langkah paling  baik untuk membuat diagnosis serta cara pengobatannya.


dan kebudayaan yang beraneka warna',  (al-Mu'jam al-Kabir); imperium (Latin) atau empire (Inggris),  di Rumawi kuno, kedaulatan di tangan seorang pemimpin militer tertinggi; kekuasaan tertinggi, kedaulatan mutlak, absolut, kedaulatan kekaisaran'   Webster's New Twentienth Century Dictionary. Pnj.

Masa sekarang yang telah dilahirkan oleh kedaulatan Islam,  dalam arti khusus meliputi semua bangsa berbahasa Arab, dan mereka  yakin pula bahasa mereka mempunyai hubungan atau nasab dengan penduduk jazirah itu, dan Mesir merupakan pusat lingkaran  bangsa-bangsa itu: dikelilingi oleh Palestina, Suria dan Irak di sebelah timur; Tripoli, Tunis, Aljazair dan Maroko di sebelah barat.  Dalam  arti umum,  sekarang meliputi semua bangsa yang beragama Islam di  Asia, Afrika dan Eropa. Sudah tentu studi tentang masa lampau  kedaulatan Islam yang selalu mempersatukan bangsa-bangsa itu semua  akan menjadi pusat perhatian bersama dan masing-masing yang  melihat  wajahnya ke masa empat belas abad silam itu akan tampak  dalam studi ini. Dengan demikian akan kita ketahui pula faktor-faktor  yang telah menyebabkan wajah itu ternoda sampai menjadi rusak, dan  dengan pengetahuan itu kita akan mencarikan jalan bagaimana wajah  itu  hams kita kembalikan kepada keagungannya semula, kepada keindahannya yang memang begitu cemerlang.
Sementara saya sedang memikirkan hal ini dan segala sesuatunya yang berhubungan dengan itu, beberapa pihak yang pernah memperlihatkan rasa  simpatinya terhadap  buku  Hayat Muhammad  (Sejarah Hidup Muhammad) mendorong saya untuk membuat juga studi mengenai biografi pengganti-penggantinya yang mula-mula, dan secara khusus menulis biografi yang menyeluruh mengenai beberapa  pahlawan  Islam masa itu, untuk setiap orang ditulis sebuah biografi  tersendiri. Kalaupun keinginan teman-teman itu memang  mcnyenangkan saya dan juga berkenan di hati, saya sungguh prihatin  atas apa yang mereka harapkan itu; suatu hal yang tak akan cukup  upaya untuk menyelesaikannya, dan hanya akan menjadi beban yang  berat bagi mereka yang sama-sama membantu.

Kenapa dimulai dari biografi Abu Bakr
Biografi Umar bin Khattab misalnya, yang banyak dibicarakan  orang, karena mereka melihat bahwa sejarah Umar itu adalah titik  gemilang dalam wajah sejarah Islam. Dalam hal ini saya berkata  dalam  hati: kalau begitu kenapa tidak saya mulai dengan sejarah Abu  Bakr saja, dengan membuat studi dan mengemukakannya seperti yang  sudah saya lakukan dengan Sejarah Hidup Muhammad? Abu Bakr,  sahabat dekat Muhammad, orang yang paling banyak berhubungan dengan dia, di samping memang orang yang paling setia dan paling banyak mengikuti ajaranajarannya. Di samping itu ia memang orang  yang sangat ramah dan lembut hati, dan karena dia jugalah puluhan  dan ratusan ribu Muslimin tersebar ke segenap penjuru, Juga, dengan  segala kelembutannya itu dia adalah Khalifah pertama. Dialah yang telah memperkuat Islam  kcmbali tatkala orang-orang Arab yang murtad mencoba mau  menggoyahkan sendi-sendi Islam, di samping juga dialah yang telah  merintis penyebaran Islam ke luar dan merintis pula kedaulatannya.
Jika terlaksana maksud saya menulis sejarah hidupnya seperti  yang saya harapkan, kiranya saya sudah juga membuka jalan ke arah penulisan sejarah kedaulatan ini seluruhnya atau sebagiannya. Dengan  demikian, apa yang dikehendaki Allah agar tujuan yang agung ini  disampaikan, kiranya sudah saya penuhi, dan sekaligus memperlancar jalan buat mereka yang ingin meneruskan atau memulai dari pertama  ke  arah yang lebih sempurna.

Kebesarannya
Sekiranya usaha saya ini terhenti hanya pada sejarah hidup Abu  Bakr saja, rasanya itu pun sudah cukup memadai dan dengan itu hati  saya merasa senang juga. Untuk meyakinkan, cukup kiranya kita  mengikuti apa yang terjadi pada masa Khalifah pertama itu. Apa  yang  diceritakan oleh para ahli sejarah mengenai kejadian-kejadian  masa itu, dengan segala kebcsaran jiwanya yang kita lihat, sungguh  mengejutkan kita, bahkan mengagumkan sekali, atau lebih dari itu,  menimbulkan rasa hormat. Malah saya khawatir kalau sampai hal itu  dapat menjurus pada pemujaan. Kita memang tidak melihat jelas-jclas  pcngertian scmacam itu dalam buku-buku lama mana pun. Tetapi jalannya segala peristiwa dalam sumbcr-sumber itu, kalaupun tidak  sampai menerjemahkannya bulat-bulat, setidak-tidaknya sudah  memperlihatkan semua kcnyataan itu dengan jelas sekali.
Laki-laki yang begitu rendah hati itu, begitu mudah tcrharu,  begitu halus perasaannya, bergaul dengan ofang-orang papa, dengan  mereka yang lemah dalam dirinya terpendam suatu kekuatan yang  dahsyat sekali. Dengan kemampuan yang luar biasa dalam membina  tokoh-tokoh serta dalam menampilkan posisi dan bakat mereka, ia tak  kenal ragu, pantang mundur. Ia mendorong mereka terjun ke dalam  lapangan yang bcrmanfaat untuk kepentingan umum, menyalurkan  segala kekuatan dengan kemampuan yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka.
Di manakah terpendamnya sifat genius dalam diri Abu Bakr itu  selama masa Rasulullah dulu?
Kembali ingatan saya pada sejarah Abu Bakr sebelum menjadi  Khalifah. Bila saya tampilkan kembali peranannya di samping  Rasulullah, maka tampak ia dengan keagungannya itu dalam warna  baru sebagai lingkaran cahaya kebesaran yang seimbang ketika ia  berada di samping kebesaran dan keagungan Rasulullah. Tetapi semua itu baru tampak jelas di depan mata saya tatkala saya bandingkan dengan  sahabat-sahabat Rasulullah yang lain serta pengikut-pengikutnya dari  kalangan Muslimin. Betapa pula peranan mereka itu di sisi  kebesaran  dan keagungannya dengan peranannya pada masa  risalah,  dan ketika orang-orang Kuraisy begitu hebat memusuhi dan  mengganggu Rasulullah, ketika tcrjadi peristiwa Isra, kemudian waktu hijrah, lalu dalam mcnghadapi intrikintrik orang-orang Yahudi di  Yasrib (Medinah)?!
Peristiwa-peristiwa itu saja rasanya cukup sudah untuk dijadikan dasar penulisan sejarah hidupnya, untuk dicatatkan namanya dalam  sebuah catatan yang abadi. Sungguhpun begitu, kebesaran Abu Bakr adalah kebesaran yang tanpa suara, kebesaran yang tak mau berbicara tentang dirinya, sebab, itu  adalah  kebesaran jiwa,  kebesaran  iman  yang  sungguh-sungguh kepada Allah dan kepada wahyu yang disampaikan kepada. Rasulullah Sallallahu  'alaihi wasallam.

Pandangan yang jauh dan tepat
Kemudian apa lagi! Kemudian jalamrya peristiwa demi peristiwa pada masa Abu Bakr itu sudah menjadi saksi pula buat dia akan  pendapatnya yang tepat serta pandangannya yang jauh. Ketika terpikir  akan memasuki Persia dan Rumawi, setelah merasa lega melihat  keadaan kaum Muslimin sudah lepas dari Perang Riddah di kawasan  Arab, ia melihat prinsip persamaan dalam ajaran Islam itu sebagai  kekuatan baru yang tak akan dapat dilawan baik oleh Persia maupun  oleh Rumawi. Prinsip ini tentu akan menarik hati semua orang dalam  kedua imperium itu, yang selama ini berjalan atas dasar kekuasaan pribadi atau menurut sistem raja-raja kecil dan atas  perbedaan-perbedaan kelas. Betapapun besarnya  persediaan  dan  perlengkapan  manusia  dan  kekuatan  pada kedua imperium itu,  namun  konsep persamaan dan keadilan akan lebih kuat dari segala  kekuatan. Kedaulatan yang bcrlaku, yang didasarkan atas konsep ini,  dengan asas keadilan, akan lebih menarik hati rakyat. Meskipun antara  dia dengan sementara sahabat-sahabat terkemuka ada perbedaan  pcndapat, tetapi tidak sampai menghalangi maksudnya hendak menyerbu  Irak dan Syam.1 (1 Meliputi Suria, Libanon, Palestina dan Yordania sekarang. Pnj.)  Perintah untuk menyerbu itu dikeluarkan dengan keyakinan bahwa Allah akan memberikan bantuan dan pertolongan selalu. Oleh karena itu ia berpesan kepada sctiap pimpinan pasukan agar tetap berpegang teguh pada prinsip persamaan dan  keadilan dan jangan menyimpang sedikit pun.
Dari celah-celah peristiwa yang telah diungkapkan oleh para ahli sejarah dahulu itu perangai demikian ini tampak jelas sekali,  walaupun pemerintahan Abu Bakr itu waktunya sangat pendek.  Ditambah lagi dengan apa yang ditulis oleh kalangan Orientalis,  tampak lcbih jelas lagi, seperti beberapa ulasan yang dapat kita baca  dalam buku-buku mereka serta usahanya hendak menafsirkan beberapa peristiwa itu. Perangai inilah, yang dalam waktu begitu pendek itu ia memikul tanggung jawab Muslimin, patut mendapat catatan tersendiri, dengan jati dirinya serta pembentukan pribadinya yang dapat dilukiskan  secara lebih khas dan lengkap.

Ciri khas masa Abu Bakr
Memang saya sederhanakan tatkala saya sebutkan bahwa masa  (periode) pemerintahan Abu Bakr punya jati diri dan bentuknya  sendiri yang sempurna, yaitu dalam hubungannya dengan masa  Rasulullah sebelum itu dan dengan masa Umar sesudahnya, yang  ditandai dengan suatu ciri khas. Masa Rasulullah adalah masa wahyu  dari Allah. Allah telah menyempurnakan agama itu untuk umat  manusia, telah mclengkapinya dengan karunia-Nya dan dengan Islam  sebagai agama yang dipilihkan-Nya untuk mereka. Sedang masa Umar ialah masa pembentukan hukum yang dasardasarnya sudah ditertibkan dengan kedaulatan yang sudah mulai berjalan lancar. Sebaliknya masa Abu Bakr adalah masa pcralihan yang sungguh sulit dan rumit, yang bcrtalian dengan kedua masa itu;  namun berbeda dengan kedua masa itu. Bahkan berbeda dari setiap  masa  yang pernah dikcnal orang dalam sejarah hukum dan ketertibannya  serta dalam sejarah agama-agama dan penyebarannya.

Mengatasi kesulitan
Dalam masa transisi yang sangat kritis ini Abu Bakr dihadapkan pada kesulitan-kcsulitan yang begitu besar sehingga pada saat-saat  permulaan itu timbul kekhawatiran yang dirasakan oleh seluruh umat Muslimin.
Setelah semua itu dapat diatasi berkat kekuatan imannya, dan  untuk waktu berikutnya Allah telah memberikan sukses dan  kemenangan, datang Umar memegang tampuk pimpinan umat Islam. Ia memimpin mereka dengan berpegang pada keadilan yang sangat ketat  serta memperkuat pemerintahannya sehingga negara-negara lain tunduk  setia kepada kekuasaannya.
Memang, telah timbul kekhawatiran di kalangan umat melihat  kesulitan yang dihadapi Abu Bakr itu. Sebabnya ialah wilayah Arab  yang pada masa Rasulullah sudah tuntas kesatuannya, tiba-tiba jadi  goncang begitu RasuluUah wafat. Bahkan gejala-gejala kegoncangan  itu  memang sudah mulai mengancam sebelum RasuluUah berpulang. Musailimah bin Habib di Yamamah mendakwakan diri nabi dan mengirim delegasi kepada Nabi di Medinah dengan menyatakan  bahwa Musailimah juga nabi seperti Muhammad dan bahwa "Bumi ini  separuh buat kami dan separuh buat Kuraisy; tetapi Kuraisy adalah  golongan yang tidak suka berlaku adil." Juga Aswad Ansi di Yaman  mendakwakan diri nabi dan tukang sihir, mengajak orang dengan  sembunyi-sembunyi. Setelah merasa dirinya kuat ia pergi ke dacrah  selatan lalu mengusir wakil-wakil Muhammad, lalu terus ke Najran. Ia  hendak menyebarkan pengaruhnya di kawasan ini. Muhammad  mengutus orang kepada wakilnya di Yaman dengan perintah supaya  mengepung Aswad atau membunuhnya. Soalnya karena orang Arab  yang sudah beriman dengan ajaran tauhid dan sudah meninggalkan  penyembahan berhala, tak pernah membayangkan bahwa kesatuan  agama  mereka telah disusul oleh kesatuan politik. Malah banyak di  antara mereka yang masih rindu ingin kembali kepada kepercayaan  lamanya. Itu sebabnya, begitu mereka mendengar RasuluUah wafat mereka menjadi murtad, dan banyak di antara kabilah itu yang menyatakan tidak lagi tunduk pada kekuasaan Medinah. Mereka menganggap  membayar zakat itu sama dengan keharusan pajak. Oleh karena itu  mereka menolak.

Pemberontakan dan Perang Riddah
Seperti jilatan api, cepat sekali pemberontakan itu menjalar ke seluruh jazirah Arab begitu RasuluUah wafat. Berita pemberontakan ini sampai juga kepada penduduk Medinah, kepada mereka yang berada  di sekeliling Abu Bakr setelah mereka mcmbaiatnya. Mereka sangat  terkejut. Berselisih pendapat mereka apa yang hams diperbuat. Satu  golongan berpendapat, termasuk Umar bin Khattab, untuk tidak mcnindak mereka yang menolak membayar zakat selama mereka tetap  mcngakui, bahwa tak ada tuhan selain Allah dan Muhammad  RasuluUah. Dengan begitu barangkali mereka menghendaki agar tidak  banyak musuh yang akan dapat mengalahkan mereka. Allah tidak  memberikan janji kemenangan kepada mereka seperti yang diberikan  kepada RasuluUah. Juga vvahyu sudah tidak diturunkan kepada siapa  pun lagi setelah Nabi dan Rasul penutup itu berpulang ke rahmatullah.  Tetapi Abu Bakr tetap bersikeras, mereka yang menolak merabayar zakat dan murtad dari  agamanya harus diperangi. Dan itulah Perang Riddah1 (1  Riddah sebuah istilah dalam sejarah Islam, dari akar kata radda, irtadda, "bcrbalik ke bclakang", dalam istilah fikih "meninggalkan keyakinan, agama dsb." (Bd. Qur'an 3. 86-91; 16. 106 sqq). Orang yang melakukannya disebut murtadd seperti yang  dikcnal dalam bahasa Indonesia. Perang riddah berarti perang melawan kaum murtad.' —Pnj.) yang telah  menelan waktu sctahun lebih.
Perang Riddah itu tidak hanya melibatkan ratusan orang dari pasukan Khalifah dan ratusan lagi dari pihak lawan, bahkan di antaranya  sampai puluhan ribu dari masing-masing pihak yang terlibat langsung  dalam pertempuran yang cukup scngit itu. Ratusan, bahkan ribuan di  antara kedua belah pihak terbunuh. Pengaruhnya dalam sejarah Islam  cukup menentukan. Andaikata Abu Bakr ketika itu tunduk pada pihak  yang tidak menyetujui perang, sebagai akibatnya niscaya kekacauan  akan lebih meluas ke seluruh kawasan Arab, dan kedaulatan Islam  tentu tidak akan ada. Juga jika pasukan Abu Bakr bukan pihak yang  menang dalam perang itu, niscaya akibatnya akan lebih parah lagi.  Jalannya sejarah dunia pun akan sangat berlainan.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan ketika orang mengatakan, bahwa dcngan posisinya dalam menghadapi pihak Arab yang murtad discrtai kemenangannya dalam menghadapi mereka itu, Abu Bakr telah mengubah arah sejarah dunia. Tangan Tuhan jugalah yang telah  melahirkan kebudayaan umat manusia itu dalam bentuknya yang baru.

Pengaruh kemenangan Perang Riddah
Kalau tidak karena kemenangan Abu Bakr dalam Perang Riddah, penyerbuan ke Irak dan ke Syam tentu tidak akan dimulai, dan pasukan Muslimin pun tak akan berangkat dengan kemenangan  memasuki kedua imperium besar itu, Rumawi dan Persia, untuk kemudian digantikan oleh kedaulatan Islam di atas puing itu juga!  Kebudayaan Islam telah menggantikan kedua pola kebudayaan itu.  Lagi, kalau tidak karena Perang Riddah, dengan gugurnya  sahabat-sahabat sebagai syahid yang memastikan kemenangan itu,  niscaya tidak akan ccpat-cepat Umar menyarankan kepada Abu Bakr  agar Qur'an segera dikumpulkan. Karena pengumpulan inilah pula  yang  menyebabkan adanya penyatuan bacaan menurut dialek Mudar pada masa Usman. Dengan demikian, Qur'an adalah dasar yang kukuh  dalam menegakkan kebenaran, merupakan tonggak yang tak  tergoyahkan bagi kebudayaan Islam. Selanjutnya, kalau tidak karena  kemenangan yang diberikan Allah kepada kaum Muslimin dalam Perang Riddah itu, jangan-jangan Abu Bakr belum dapat menyusun suatu sistem pemerintahan di Medinah, yang di atas sendi itu pula kemudian Umar menggunakan asas musyawarah. Polanya keadilan dan kasih sayang, intinya kebajikan dan ketakwaan.
Inilah peristiwa-peristiwa agung yang telah dapat diselesaikan  dalam vvaktu singkat, tak sampai dua puluh tujuh bulan. Barangkali  karena waktu yang sesingkat itu pula yang menyebabkan sebagian  orang  sampai merentang jarak begitu panjang hingga pada masa  Umar,  dengan anggapan bahwa jika hanya dalam beberapa bulan  saja tidak akan cukup waktu orang melakukan pekerjaan-pekerjaan  besar yang sampai mengubah jalannya sejarah dunia itu.
Kalau saja mereka ingat, bahwa beberapa revolusi yang telah  membawa umat manusia dari suatu kcadaan kepada keadaan yang  lain  selesai dalam waktu seperti itu, dan bahwa hukum alam sedikit  demi scdikit tunduk pada prinsip-prinsip revolusi untuk meningkatkan  umat manusia mencapai kesempurnaannya, tidaklah akan cepat-cepat  mereka beralih dari masa revolusi rohani seperti yang dicetuskan olch  Rasulullah ke seluruh dunia itu, ke kedaulatan Islam yang sudah  tersebar ke scgenap penjuru dunia dan sudah juga menganut revolusi  itu.  Mereka tidak akan lama-lama berhcnti hanya sampai di situ, ketika  orang-orang Arab itu mencoba hendak mengadakan pcrlawanan  sebagai  reaksi atas ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Hal ini  sudah  menjadi bawaan manusia di mana dan kapan pun tatkala  mereka  hendak melawan setiap prinsip baru. Mereka mencoba  memadamkannya, tetapi Allah akan tetap menyempurnakan cahayanya walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.

Hubungan  kebesarannya  sebagai Khalifah  dengan   kebesarannya sebagai Sahabat
Bagaimana Abu Bakr dapat menghadapi scgala kcsulitan itu pada permulaan ia memegang pimpinan dan dia tetap bertahan, kemudian dapat mcngatasinya? Sesudah itu pula mulai ia merintis jalan  menyebarkan agama dan membuat sebuah kedaulatan sementara  kesulitan-kesulitan itu masih ada? Sudah tentu sifat pribadinya bcsar  sekali pcngaruhnya. Tetapi sifat-sifat itu saja tidak akan sampai ke  tingkat yang sudah dicapainya itu kalau tidak karena persahabatannya dengan Rasulullah selama dua puluh tahun penuh itu. Oleh karena itu  para ahli sejarah sepakat bahwa kebesaran Abu Bakr selama masa  menjadi Khalifah itu erat sekali hubungannya dengan  persahabatannya dengan Rasulullah. Selama dalam persahabatan itu ia  telah menghirup jiwa agama yang dibawa oleh Muhammad, ia  sepenuhnya mengerti maksud dan tujuannya, mengerti secara naluri, tidak dikacaukan oleh adanya kesalahan atau kcraguan. Apa yang telah dihirupkan dan dipaharainya dengan  nalurinya itu ialah bahwa iman adalah suatu kekuatan yang tak akan  dapat dikalahkan oleh siapa pun selama seorang mukmin dapat  menjauhkan diri dari maksudmaksud tertentu selain untuk mencari  kebenaran demi kebcnaran semata. Banyak memang orang yang  dapat memahami kebenaran rohani demikian ini pada setiap zaman,  tetapi mereka menangkapnya dengan akal, sedang Abu Bakr  menangkap semua itu dengan kalbunya, dengan matanya ia melihat  bulat-bulat hidup dalam diri Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dan dalam perbuatannya

Teladan yang telah mengilhaminya
Iman yang sungguh-sungguh demi kebenaran itulah yang  membuatnya menentang sahabat-sahabatnya dalam soal menghadapi  golongan murtad waktu itu, dan bersikeras hendak memerangi mereka  meskipun harus pergi seorang diri. Bctapa ia tak akan melakukan itu  padahal ia sudah menyaksikan sendiri Nabi berdiri seorang diri  mengajak orangorang di Mekah ke jalan Allah, tapi mereka ramai-ramai menentangnya. Lalu ia di bujuk dengan harta, dengan  kerajaan dan kedudukan tinggi. Kemudian ia pun diperangi dengan  maksud hendak membendungnya dari kebenaran yang dibawanya itu.  Tidak, malah ia menjawab: "Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan  matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan  maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah akan membuktikan kemenangan itu: di  tanganku, atau aku binasa karenanya, tidak akan kutinggalkan!"
Kenapa ia tidak juga berbuat demikian padahal ia sudah  menyaksikan Nabi akibat Perang Uhud, dan setelah kemenangan  pihak Kuraisy atas pasukan Muslimin? Nabi kembali bersama-sama  kaum Muslimin yang masih ada, yang pernah mcngalami Perang Uhud,  dan sambil menunggu kedatangan Kuraisy ia bcrmarkas di Hamra'ul  Asad dan tinggal di sana tiga hari, memasang api unggun sepanjang  malam, sehingga semangat Kuraisy menjadi goyah dan mereka kembali ke Mekah. Dengan demikian kaum Muslimin telah dapat mcngembalikan kedudukannya sesudah mengalami kegoncangan di Uhud.
Kenapa ia tidak berbuat serupa itu juga padahal ia pernah menyaksikan sendiri pagi itu Nabi di Hunain, dengan jumlah sahabat  yang sedikit ia memanggil-manggil anggota-anggota pasukan Muslimin  yang berlarian: "Hai orang-orang! Kamu mau ke mana!? Mau ke mana?!" Dan orang yang beribu-ribu itu sedang diliputi ketakutan.  Setelah mereka mengetahui posisi Nabi dan mendengar pula panggilan Abbas: "Saudara-saudara dari Ansar, yang tclah memberikan tempat dan pertolongan! Saudara-saudara dari Muhajirin yang telah membaiat di bawah pohon, Muhammad masih hidup, mari ke mari!" Dari scgenap penjuru terdengar jawaban yang menyerukan: "Ya, kami siap, kami siap!"  Kini  mereka semua kembali, dan bertempur lagi secara heroik sekali.
Alangkah indahnya teladan itu, teladan yang telah mengilhami  orang, bahwa iman adalah suatu kekuatan yang tak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun selama seorang mukmin itu dapat menjauhkan diri dari maksudmaksud tertentu selain untuk mencari kebenaran  demi kebenaran scmata! Siapakah orang yang memiliki iman seperti  pada Abu Bakr itu, yang mengambil teladan dari Rasulullah, schingga  ia menjadi salah satu unsur kehidupan yang sangat menentukan!?  Inilah  kekuatan rohani, yang dalam hidup ini tak ada yang dapat  menguasainya, tiada kenal lemah atau ragu, dan tak ada yang akan  dapat mengalahkannya.

Kekuatan rohani pada iman
Kekuatan rohani yang diperoleh Abu Bakr pada diri Rasulullah  itu dan yang telah membuat kaum Muslimin dapat mengalahkan orang-orang Arab murtad, telah memberikan semangat kepada scgenap  kaum Muslimin yang mengangkat mereka kepada keimanan, bahwa  mereka tak akan mendapat kemenangan tanpa pertolongan Allah.   Mereka mendambakan mati syahid, gugur demi kebenaran. Bagi  mereka mati syahid itu suatu kemenangan yang tak ada taranya. Kita  akan membaca dalam buku ini bukti-bukti demikian itu, yang dalam  sejarah scdikit sekali bandingannya. Kaum Muslimin pada masa  Rasulullah yakin sekali, bahwa mereka akan mendapat kemenangan,  scbab Allah sudah menjanjikan kepada Rasul-Nya akan memberi bala  bantuan dengan para malaikat. Tuhan telah mewahyukan kepadanya untuk membuktikan janji-Nya.
Tetapi pada masa Abu Bakr, dengan berpulangnya Rasulullah ke sisi Allah, wahyu sudah tak ada lagi. Hanya tinggal iman saja lagi, hanya tinggal berteladan saja lagi kepada Rasulullah dan kepada  penggantinya dalam meningkatkan iman ke taraf yang lebih tinggi  selama hidup di dunia ini. Mati syahid demi membela iman telah menjadi sumber dan rahasia kekuatan, rahasia kemenangan.  Itulah  rahasia keluhuran budi kita dalam arti kcmanusiaan dengan segala  martabatnya untuk mencapai kesempurnaan hidup insani yang terdapat  dalam diri kita.
Kenyataan rohani inilah yang telah memberi kekuatan batin  kepada Abu Bakr dengan berteladan kepada Rasulullah. Ini  diterjemahkan kepada kita dalam perbuatan Muslimin pada masa  kepemimpinannya sebagai Khalifah serta bimbingannya yang begitu jelas sehingga dapat  kita
raba seolah semua itu benda nyata yang dapat ditangkap dengan indera. Kenyataan rohani ini dapat kita rasakan dalam Perang Riddah dan  kemudian pada waktu memasuki Irak dan Syam. Kalau bukan  karena  keimanan ini, dengan jumlah kaum Muslimin yang masih  kecil pada masa Khalifah yang pertama itu, niscaya mereka tak akan  mampu menyelesaikan segala pekerjaan dan tugas raksasa itu  dengan  begitu baik, yang selanjutnya telah membukakan jalan ke  sebuah kedaulatan Islam yang besar.

Suatu kenyataan sosial setelah kenyataan rohani
Abu Bakr memperoleh kekuatan batinnya itu dengan berteladan kepada Rasulullah. Di samping kenyataan rohani ini, kenyataan sosial juga besar pengaruhnya dalam kehidupan setiap umat atau bangsa,  dan setiap umat merasa bangga terhadap dirinya, dengan percaya  kepada kekuatan sendiri. Mereka merasa, bahwa mereka mempunyai  kewajiban menyimpan suatu risalah, suatu pesan kepada dunia, dan  dunia pun wajib menyambut risalahnya itu. Seperti halnya dengan  umat  ini, tak ada  suatu  kekuasaan  dan  kekuatan betapapun besarnya  yang boleh merintangi jalannya.
Kedua kenyataan ini, rohani dan sosial, saling mengisi. Pada  setiap zaman dan umat ada suatu dasar untuk mengambil hati  bangsa-bangsa lain yang dengan penuh semangat menyambut kedua  kenyataan itu dan demi berhasilnya risalah yang mengajak  bangsa-bangsa itu.
Lebih-lebih yang demikian ini apabila dasar risalahnya bertujuan memberantas kezaliman, memelihara keadilan yang didasarkan pada persamaan antara sesama manusia. Berapa sering sudah sebuah  kedaulatan berdiri atas dasar itu juga dalam berbagai kurun sejarah  dan berapa sering pula imperium demikian itu mengalami kehancuran karena ia sudah menyimpang dari jalur yang sebenarnya. Oleh karena  itu  penyimpangan demikian ini oleh pihak lawan dijadikan senjata  untuk mengadakan perlawanan.

Ia sadar dan yakin, Islam agama persamaan
Persamaan adalah pola Islam dan olch karenanya ia merupakan  inti kedaulatannya. Kenyataan ini sekarang kita pahami dengan pikiran  kita seperti yang banyak dipahami orang dulu juga. Kemudian mereka  tidak dapat mempertahankan kedaulatan itu seperti juga kita sekarang,  karena hal-hal tertentu atau karena di luar kehendak kita. Tetapi Abu  Bakr, dengan nalurinya ia sudah dapat memahami dan benar-benar  yakin ia akan hal itu. Maka didorongnya umat Islam agar melaksanakan, dan mereka pun dapat membuktikan dan tetap berlangsung selama  beberapa abad dan generasi.
Dengan nalurinya Abu Bakr memahami benar bahwa pada  intinya yang paling dalam Islam adalah agama persamaan antar  sesama  umat manusia. Dakwah atau seruan itu tidak hanya ditujukan  kepada golongan tertentu saja, tetapi kepada umat manusia  seluruhnya. Pada masa hidupnya Rasulullah telah mengangkat  bekas-bekas budak kc suatu kedudukan yang tinggi. Begitu juga  orang-orang yang bukan Arab untuk memerintah di kalangan Arab.  Salman orang Persia adalah sahabat dekatnya, Zaid bin Harisah, bekas  budak yang pernah dibeli oleh Khadijah lalu diberikan kepada Nabi  yang kemudian oleh Nabi dimerdekakan dan dijadikan anak angkat.  Dia jugalah yang di angkat menjadi panglima dalam Perang Mu'tah,  dan  sebelum itu pun banyak pekerjaan lain yang berada di bawah  pimpinannya. Sesudah itu, sebelum Rasulullah menderita sakit yang  terakhir, Usamah anak Zaid itu diserahi pimpinan pasukan, yang  anggota-anggotanya terdiri dari pemuka-pemuka Muhajirin dan Ansar,  di antaranya Abu Bakr dan Umar. Rasulullah  Sallallahu
'alaihi wasallam telah mengangkat Bazan orang Persia itu memegang pimpinan di Yaman.
Rasulullah tidak membeda-bedakan kedudukan orang karena kearabannya atau karena posisinya dalam kabilah. Yang membedakan orang hanyalah amal perbuatannya. Sahabat-sahabat Rasulullah yang diajaknya bermusyawarah dan pendapatnya dihargai di kalangan Muslimin adalah pemuda-pemuda, yang karena keimanannya yang sungguh serta pengorbanannya di jalan Allah, mereka berada di barisan pertama.  Sikap Rasulullah ini sesuai dengan perintah Allah di dalam Qur'an,  bahwa tak ada perbedaan pada manusia itu selain takwanya, dan  balasan yang akan diperoleh sesuai dengan amal perbuatannya.  Perbedaan derajat yang satu dengan yang lain, hanya oleh perbuatan  dan ketakwaan itu juga.
Sudah tentu, cara yang dilakukan oleh Rasulullah itu banyak  sekali mengurangi kecongkakan orang-orang Arab karena fanatisma  rasialnya, kalaupun mereka hendak membangga-banggakannya juga,  apalagi karena Allah telah memilih Nabi-Nya dari kalangan mereka  sendiri, yang akan mereka jadikan alasan akan tingginya kedudukan  mereka. Juga Abu Bakr, sudah tentu yang dijadikan pegangannya  ialah  persamaan dalam Islam antara sesama manusia dan bangsa itu.  Inilah yang telah menjadi kekuatannya, sehingga pasukan Persia dan  pasukan Rumawi bertekuk lutut.
Pada dasarnya Islam kedaulatan sejagat
Abu Bakr dengan nalurinya sudah menyadari benar bahwa dasar Islam adalah kedaulatan sejagat. Seruannya tidak tcrbatas hanya pada golongan Arab, tetapi ajakan kepada kebenaran itu ditujukan kepada seluruh umat manusia. Karena memang sudah demikian keadaannya, Nabi telah mengirimkan para utusannya kepada raja-raja dan  pcnguasa, mengajak mereka sama-sama menerima agama Allah. Sudah  menjadi kewajiban setiap orang yang beriman kepada agama ini  untuk berdakwah, menyampaikan ajaran-Nya sebagai petunjuk dan  rahmat.  Dalam diri Rasulullah sudah ada teladan yang baik bagi  setiap  Muslim. Rasulullah telah menyerukan dakwahnya kepada  segenap umat manusia yang terdiri dari berbagai warna kulit. Para  penggantinya hendaknya juga menyebarkan seruan itu ke segenap belahan bumi ini.
Biarlah mereka berjuang demi kebebasan berdakwah. Jangan memaksa siapa pun dan jangan juga mau dirintangi dalam menyampaikan kebenaran yang sudah mereka peroleh itu. Hendaklah seluruh jagat  ini menjadi arena dakwah kepada kebenaran, apa pun risiko yang  akan menimpa diri mereka demi perjuangan di jalan Allah itu. Bila  sampai mereka mati syahid, Allah jugalah yang akan memberi balasan.
Prinsip-prinsip inilah yang menjadi dasar dakwah Rasulullah,  yang telah dipahami benar oleh Abu Bakr dengan nalurinya, berkat  persahabatannya selama itu serta pelajaran-pelajaran yang diterimanya  dari Rasulullah. Itulah yang menyebabkan Abu Bakr begitu menerima tugas, segala kesulitan itu buat dia tidak berarti lagi dan ia tetap  berusaha mengatasinya, dan itu juga yang membuat kedaulatan Islam  cepat berkembang ke segenap penjuru dunia dan kemudian banyak  bangsa yang bernaung di bawah panji Islam.
Generasi demi generasi kebudayaan bangsa-bangsa itu terus menyebar di dunia. Kemudian menjadi tua, seperti biasanya semua  bangsa dan imperium itu harus berangsur tua. Kemudian jatuh tertidur,  nyenyak, lama sekali tidurnya, yang selanjutnya disambung oleh  kematian seorang demi seorang.

Apa penyebab jatuhnya kedaulatan Islam?
Adakah yang menyebabkan ketuaan dan kemudian tidur nyenyak yang panjang itu karena prinsip dasar tadi yang terbukti rapuh,  ataukah karena bangsa-bangsa yang sudah lepas dari kedaulatan Islam  karena sudah menolak prinsip-prinsip itu, lalu menganut yang  sebaliknya lalu menjadi lumpuh dan akhirnya lenyap karena perbuatannya sendiri? Begitulah sejarah semua kedaulatan Islam itu,  sejak berdirinya, kebesarannya dan kemudian keruntuhannya. Itulah sejarah yang patut dicatat  dengan metoda serta studi yang benar-benar ilmiah dan dapat di  percaya, lepas dari segala sikap fanatisma. Peristiwa demi peristiwa  itu  dianalisis dan dicari sebab-sebabnya yang dapat diterima akal serta  sesuai dengan kecenderungan rohani yang ingin mencapai  kesempurnaan. Namun begitu suatu hal yang sudah menjadi kodrat  manusia ialah kita masih terkungkung oleh nafsu kita pada  kehidupan  dunia. Dengan demikian kita makin jauh dari tujuan hendak mencapai kesempurnaan itu.
Rasanya tak perlu lagi saya menyebutkan bahwa kelumpuhan dan tidur nyenyak ini disebabkan oleh bangsa-bangsa yang lepas dari kedaulatan Islam itu sudah meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang sebenarnya sudah menjadi pegangan kedaulatan Islam, prinsip-prinsip Islam yang dasarnya masih murni. Seorang peneliti sejarah kedaulatan Islam yang adil dan obyektif akan dapat meraba dan melihatnya dengan jelas rentetan perkembangannya sejak mula timbulnya perselisihan di kalangan umat Islam penduduk jazirah itu, sampai terjadinya perpecahan antara yang Arab dengan yang bukan-Arab, yang kemudian menjelma menjadi jurang yang mcnganga lebar-lebar menjurus pada kehancuran.

Saya tertarik menulis sejarah Abu Bakr
Baik secara terinci atau dengan ringkas sudah tentu pengantar ini tidak akan memadai untuk menguraikan semua persoalan itu. Kiranya cukup dengan isyarat ini saja. Saya hanya akan membatasi pada  masa yang pendek ini tapi sungguh agung yakni masa Abu Bakr  as-Siddiq. Saya akan mencatat apa yang saya rasa sangat  menggairahkan selama saya menulis biografi ini. Besar sekali harapan  saya, apa yang akan saya tulis tentang orang ini sudah akan  memenuhi hasrat hati akan kebenaran, serta mencapai apa yang saya  inginkan dalam melukiskan bentuk yang hendak saya coba secermat mungkin: sebuah kehidupan yang mengantarkan masa lampau tampak jelas dalam wajah masa sekarang. Saya akan mcngatakan apa yang saya inginkan, sebab saya selalu merasa bahwa wajah ini masih  mengandung  kekurangan yang tidak sedikit, yang karena beberapa sebab, saya sendiri pun belum sampai ke sana.
Rasanya saya akan bertambah gembira jika buku ini dapat  menerjemahkan ke dalam hati pembaca wajah yang jelas mengcnai  masa (periode) Abu Bakr, teman kcsayangan  (al-khalil)  dan teman  dekat Rasulullah. Keinginan saya ini mungkin terasa agak bcrlebihan.  Masa Abu Bakr seperti saya sebutkan di atas merupakan  gambaran tersendiri dalam bentuknya yang lengkap. Orang dapat  melihatnya dari sela-sela buku sejarah tentang dirinya yang pernah  dilukiskan orang begitu gemilang, sempurna dan integral. Tetapi untuk sampai ke batas wajah yang integral itu diperlukan suatu upaya yang terus-menerus dari  generasi ke generasi. Juga perlu penelitian dari pelbagai seginya.  Belum ada lagi suatu upaya mengenai Abu Bakr dan masanya yang  agak integral. Suatu studi baru masih tetap diperlukan dengan pembahasan yang lebih mendalam, memperbandingkan zaman masa  Abu  Bakr itu dcngan masa kehidupan bangsa-bangsa yang punya pengaruh pada zaman itu.
Saya yakin usaha semacam ini dalam waktu dekat akan  dilanjutkan orang dan akan ada kerja sama dalam mengungkapkan  wajah masa itu dengan lebih terinci, jelas dan selengkap mungkin.
Untuk masa Abu Bakr upaya demikian sangat diperlukan  melebihi masa-masa yang lain. Sumber-sumber lama dalam bahasa  Arab yang bicara tentang Abu Bakr dan masanya masih sering kacau,  sehingga rangkaian peristiwa demi peristiwa yang diceritakan itu  sukar  diikuti. Di sisi lain, tidak sedikit pula catatan-catatan peristiwa  itu yang lebih dekat pada dongeng daripada sejarah. Dalam memperbandingkan sumbersumber itu diharapkan orang akan dapat  memperoleh bahan-bahan yang dapat membantunya dalam meneliti  peristiwa-peristiwa itu, tetapi sumbersumber yang datang  berturut-turut  untuk beberapa peristiwa itu sering membuat orang jadi  bingung. Mau tak mau ia harus menelitinya kembali dengan membuat  catatan bahwa pekerjaan itu masih patut diragukan.

Kacaunya sumber para ahli sejarah dapat dimaklumi
Saya berpendapat kckacauan sumber-sumber para ahli sejarah  dahulu itu yang akibatnya berlanjut sampai pada upaya mereka yang  datang kemudian, bahkan sampai masa kita sekarang ini, dapat dimaklumi.  Masa itu, ketika Abu Bakr memegang pimpinan umat Islam adalah masa yang benar-benar penuh perjuangan. Mereka yang beriman kepada  Allah dan kepada Rasulullah sedang memikul beban yang amat berat  untuk mendukung dakwah agama Allah serta ajaran-ajaran  Rasulullah.  Mereka semua serentak terjun ke medan perjuangan,  berjuang di jalan Allah. Mereka terjun langsung ke kancah  peperangan, membunuh atau dibunuh. Buat mereka kehidupan dunia  dengan segala kenikmatannya itu tak ada artinya. Tidak apa memilih  hidup menderita, tabah menghadapi segala cobaan. Mereka sudah  menyerahkan hidup mereka untuk Allah, dan untuk semua itu tanpa mengharapkan balasan selain pahala Yang Mahakuasa. Buat mereka  sudah tak ada lagi waktu senggang atau saat-saat santai. Tak ada di  antara mereka yang memikirkan apa yang terjadi kemarin karena  untuk  hari esok memerlukan pekerjaan yang lebih banyak dari kemarin.
Itulah sebabnya tak ada waktu buat mereka mencatat sccara  teratur scgala peristiwa besar yang terjadi masa itu.  Baru kemudian  beritaberita itu disampaikan orang secara berantai. Sesudah itu  mcreka tak dapat lagi menyampaikan dan meneruskan berita itu  seperti  keagungan yang terjadi pada masa Rasulullah. Ya, bagaimana  akan dapat mereka lakukan dalam kesibukan mcreka yang  terus-menerus dalam menyiarkan agama serta menyusun kedaulatan  Islam yang makin hari bertambah luas itu.
Oleh karena itu, bagi penulis sejarah masa itu mau tak mau  harus menguji dan memperbandingkan sumber-sumber itu sambil  mencari kebenaran yang terdapat di dalamnya. Pekerjaan dengan cara  seperti yang telah diusahakan mereka dahulu itu bukan main beratnya.  Dengan tidak mengurangi penghargaan serta penghormatan kita atas  usaha itu, namun mereka belum dapat mengungkapkan kekuatan yang  ada pada masa Abu Bakr dan pemcrintahannya dalam bentuk yang  begitu jelas, memesonakan sekaligus mengagumkan dan luar biasa.

Contoh kacaunya referensi
Kita lihat misalnya buku-buku acuan yang kita pergunakan dalam buku ini. Bab demi bab dapat kita baca untuk mengetahui sampai berapa jauh kecermatan seperti yang kita sebutkan itu. Bcberapa buku acuan  itu  hanya  sclintas  saja  menyinggung  masalah-masalah  yang begitu penting, yang oleh sumber-sumber lain diuraikan dengan  terinci. Sampai-sampai para ahli sejarah semacam Tabari, Ibn Kasir dan Balazuri misalnya, samasekali tidak menyinggung soal pengumpulan  Qur'an. Padahal peristiwa pengumpulan Qur'an itu pekerjaan besar  dan penting yang harus menghiasi masa Abu Bakr, meskipun bukan  yang terbesar. Mengenai peristiwa-peristiwa yang berhubungan  dengan Perang Riddah, pembebasan Irak dan Syam, para sejarawan  itu  masih saling berbeda pendapat. Bahkan berita-bcrita yang saling  bertentangan itu terdapat dalam satu kitab yang sama, sehingga orang  akan menjadi bingung mana berita yang boleh dipercaya dan mana yang  tidak.

Sulit mengikuti peristiwa dalam urutan waktu
Perbedaan waktu ketika peristiwa-peristiwa itu terjadi tidak pula kurang pentingnya dengan perbedaan penggambaran  peristiwa-peristiwa itu. Mengenai waktu terjadinya peristiwa itu sering  pula masih bersifat untung-untungan,  tidak didasarkan pada  suatu  patokan  yang  sccara cermat boleh dijadikan pegangan. Juga  perbandingan suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain masih sangat membingungkan. Tabari misalnya, ia menyebutkan bahwa Perang Riddah itu terjadi pada tahun sebelas Hijri dan masuk ke Irak pada tahun dua belas sedang kc Syam dilakukan dalam tahun tiga belas. Membaca rentetan waktu yang berturut-turut itu orang akan menduga bahwa perang Irak baru dimulai setelah Perang Riddah usai dan masuk ke Syam setelah keadaan di  Irak stabil. Tetapi bila peristiwa demi peristiwa serta kejadian-kejadian  itu diperiksa agak teliti orang akan jadi ragu mengenai terjadinya  rentetan demikian itu. Tetapi bila kita teliti lebih dalam lagi akan  tcrnyata bahwa peristiwa Irak itu terjadi sementara Perang Riddah  masih berlangsung, sedang terjadinya penaklukan Syam scusai Perang  Riddah. Sementara itu pasukan Khalid bin Walid masih giat mengatur  keamanan dan ketertiban di Irak dan sedang bcrsiap-siap  menghadapi  peperangan baru.

Juga dalam urutan geografi
Tidak hanya sampai di situ saja yang dapat menimbulkan kebingungan. Dalam arti urutan geografi ketika mengikuti peristiwa demi peristiwa orang sering terbentur. Bahkan masih ada bebcrapa sumber yang saling bertentangan schubungan dengan urutan itu, untuk tidak menyebut adanya nama-nama tempat yang berubah-ubah dan ada pula yang hampir sama, yang juga dapat menimbulkan kebingungan baru. Beberapa Orientalis pernah menerbitkan peta-peta Idrisi yang lama  seperti apa adanya, lalu dilampiri dengan peta-peta buatan mereka  sendiri seperti yang biasa kita kenal. Hal ini membuat kita lebih mudah mengenali tempat-tempat dan peristiwa-peristiwa itu masing-masing.  Kalaupun hal ini dapat memudahkan kita mengadakan penelitian, yang tadinya memang cukup sulit, namun keraguan tetap ada sehubungan  dengan beberapa sumber, yang sebenarnya memang sukar dapat dipercaya.
Oleh karena itu beberapa sejarawan masih maju mundur menghadapi masa Abu Bakr itu, karena apa yang mereka baca hampir tak dapat mereka percayai. Mereka yang menulis sejarah Islam itu seolah mau menghindari hal-hal semacam itu semua, atau cukup dengan  isyarat saja scdikit mengenai masa Abu Bakr itu, tak sampai  memberikan suatu gambaran yang lengkap, yang akan dapat mengungkapkan kejayaan masa itu dan dampak yang sangat  menentukan dalam sejarah Islam serta lahirnya sebuah kedaulatan Islam.

Hanya sedikit sumber yang menyinggung peranan Abu Bakr Sumber-sumber demikian terasa makin kacau karena tidak bicara tentang Abu Bakr masa pemerintahannya seperti ketika bicara tentang Khalid bin Walid serta panglima-panglima lain yang memasuki Syam dan tinggal di sana menunggu kedatangan Khalid dari Irak, kcmudian bersama-sama menaklukkan Damsyik dan dengan bakat perangnya ia menghancurkan semua kekuatan moral pihak Rumawi. Mcmbaca  kitabkitab acuan semacam ini orang akan membayangkan seolah  Abu  Bakr hanya tinggal di Medinah, tak bekerja apa-apa selain  beribadah. Inilah kesalahan yang sungguh fatal. Padahal semua yang  terjadi pada masa Abu Bakr, Abu Bakr-lah jiwa dan penggcraknya.
Di atas sudah kita singgung apa yang terjadi dengan Abu Bakr  di satu pihak, dan Umar serta sebagian kaum Muslimin di pihak lain  mengenai perbedaan pendapat dalam menghadapi golongan murtad  dan mereka yang menolak melaksanakan zakat. Betapa ia begitu gigih  hcndak menghadapi mcrcka walaupun seorang diri. Dalam buku ini  akan kita lihat, bahwa sebenarnya dialah yang telah mendorong  Khalid  bin Walid untuk pergi ke Irak memperkuat pasukan Musanna  bin Harisah asy-Syaibani dan dia juga yang berseru kepada semua  penduduk Arab di seluruh Semenanjung itu agar membebaskan Syam.
Setelah Abu Ubaidah serta pasukannya mengalami kelambatan untuk memasuki Syam, dia jugalah yang mengerahkan Khalid bin Walid  untuk membantu mereka. Dalam pada itu dia juga yang  mcngorganisasi  pembentukan baitulmal serta mengatur distribusi  harta  rampasan perang di kalangan umat Islam, melakukan  pengangkatan para gubernur serta mengawasi pckerjaan mereka.   Begitu  besar perhatiannya dicurahkan pada masalah-masalah negara dan  administrasinya, sehingga semua pikiran di luar itu, baik mengenai  pribadinya ataupun soal keluarga, dikesampingkan. Dalam  mcncurahkan perhatian untuk kepentingan negara, dari soal yang kecil  sampai ke soal yang besar, dialah yang berhasil menyelesaikan  dalam waktu relatif pendek, suatu pekerjaan yang tidak akan dapat  diselesaikan orang dalam waktu bertahun-tahun. Malah sedikit sekali  orang yang akan mampu menyelesaikan.
Barangkali masih ada sebab lain yang cukup berpengaruh di  samping yang kita kemukakan di atas mengenai sikap para  sejarawan  itu terhadap Abu Bakr dan zamannya. Mereka mengira,  bahwa persahabatannya dengan Rasulullah selama dua puluh tahun  itu,  dan yang menjadi pilihan Rasulullah Sallallahu  'alaihi wasallam  sehingga Rasul berkata: Kalau ada dari hamba Allah yang akan  kuambil sebagai khalil (teman kesayangan), maka Abu Bakr-lah  "khalil-ku" mereka mengira bahwa semua itu lebih penting daripada  prestasinya selama masa kekhalifahannya. Mcmang sudah tak perlu  disangsikan lagi bahwa kedudukan Abu Bakr di samping Rasulullah  dalam penilaian kita merupakan dampak yang amat tinggi dan  cemerlang; tetapi kekhalifahan Abu Bakr adalah sebuah lingkaran yang telah melengkapi dan menjadi mahkotanya  sejarah yang agung itu.

Tugas kekhalifahannya tidak kurang dari persahabatannya

Pekerjaan Abu Bakr dalam kekhalifahannya tak kurang besarnya dari persahabatannya dengan Rasulullah. Bahkan pada masa  kerasulannya dia adalah salah seorang dari dua orang itu (ketika  keduanya berada dalam gua). Pertama, Allah telah memilihnya  dalam kenabian dan mengutamakannya dalam menyampaikan risalah  serta mewahyukan Qur'an kepadanya sebagai penjelasan dan petunjuk  serta pemisah antara yang benar dengan yang batil.  Beban yang  dipikul oleh Abu Bakr pada waktu kerasulan itu adalah beban  seorang  pengikut yang penuh iman, yang kekuatan imannya kepada Allah dan kepada Rasulullah tak pernah goyah. Bahkan beban yang  dipikulnya setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah, adalah beban  yang dipikulnya sendiri sebagai manusia pertama di kalangan  Muslimin  dan sebagai pengganti (Khalifah) Rasulullah. Bukan lagi  ia  seorang pengikut yang ikut bicara dalam musyawarah,  melainkan   sebagai  seorang pemimpin yang  diikuti  sahabatsahabatnya dengan  memberikan pendapat kepadanya seperti halnya ia sendiri dulu  bersama-sama sahabat-sahabat yang lain memberikan pendapat  kepada  Rasulullah.
Beban itu dipikulnya dengan penuh iman, penuh amanah dan kejujuran. Allah telah memberikan balasan kepadanya dan kepada kaum Muslimin dengan sebaik-baikriya. Jika kejujuran Abu Bakr dalam bersahabat dengan Rasulullah merupakan suatu manifestasi kebesaran  insani yang didasarkan pada keimanan yang murni sebagai  sandarannya  yang kukuh, maka pengabdian Abu Bakr selama dalam  kekhalifahannya untuk membela agama, untuk melakukan dakwah serta  membangun kedaulatan Islam, tidak pula kurang agungnya dari  persahabatannya dengan Rasulullah, disertai keimanan yang  sungguh-sungguh kepadanya dan kepada segala yang diwahyukan  Allah kepadanya. Oleh karena itu sejarah kekhilafahan (pemerintahan)  Abu Bakr patut sekali dibahas secara lebih terinci.

Pengaruh kacaunya sumber pada para sejarawan
Kekacauan bahan acuan atau sumber-sumber, terpengaruhnya penggambaran masa Khalifah pertama oleh unsur-unsur yang kebanyakan tak dapat diterima oleh kritik sejarah yang sebenarnya, itulah pula yang kita lihat pengaruhnya dalam buku-buku para penulis dulu.  Kemudian pengaruh itu berpindah kepada mereka yang datang  kemudian, yang mengambil bahan dari sana dan berusaha hendak menyimpulkan  wajah yang sebenarnya itu bulat-bulat. dalam buku-buku mereka.
Begitu besar pengaruh itu pada beberapa penulis yang datang kemudian, sehingga membuat mereka hanya sepintas lalu saja melihat masa Abu Bakr, lalu cepat-cepat melangkah ke masa Umar. Di sini mereka lama berbicara berpanjang-panjang. Bahkan sampai ada di antara mereka yang membuat perbandingan antara masa Abu Bakr dengan masa Umar itu untuk melihat mana yang lebih besar jasanya.  Perbandingan demikian ini tidak pada tempatnya untuk kedua tokoh  tersebut, yang masing-masing menyandang kebesarannya sendiri,  kebesaran yang jarang sekali dicapai oleh seorang politikus atau  penguasa dalam sejarah dunia secara kescluruhan. Bahwa masa  Umar  adalah masa yang paling besar dalam sejarah Islam, sudah jelas.  Pada masa itu dasar kedaulatan negara sudah stabil, sistem  pemerintahan sudah teratur, panjipanji Islam sudah berkibar di Mesir  dan di luar Mesir yang dibanggakan oleh Rumawi dan Persia. Tetapi  masa Umar yang agung itu berutang budi kepada masa Abu Bakr dan sebagai penerusnya. Sama halnya dengan kekhalifahan Abu Bakr yang  berutang budi kepada masa Rasulullah dan sebagai penerusnya pula.

Usaha Orientalis dan sejarawan Islam
Studi-studi  yang  sudah pernah  diadakan  serta buku-buku  yang ditulis orang mengcnai Abu Bakr dan masanya pada saat-saat terakhir sudah lebih teliti dan jujur tampaknya. Sudah menjadi kewajiban saya juga jika saya memuji inisiatif kalangan Orientalis dengan ketelitian  dan kejujurannya itu, di samping adanya sebagian mereka yang masih  penuh prasangka, terdorong oleh rasa fanatisma agama.  Abbe de  Marigny dalam abad kedelapan belas misalnya, sudah menulis buku  mengenai pengganti-pengganti Muhammad ini, dan Caussin de  Perceval  pada awal abad kesembilan belas menulis  Essai sur  I'Histoire  des Arabes dan dalam tahun 1883 buku Sir William Muir  Annals of the Early Caliphate sudah pula terbit.
Sejak masa itu sampai waktu kita sekarang kalangan Orientalis  di Jerman, di Inggris, di Itali dan di Prancis serta di negara-negara  lain tetap mempelajari dengan saksama masa-masa tertentu dalam  sejarah Islam di pelbagai tempat di seluruh dunia. Kalau saya sudah menyebutkan usaha para Orientalis, maka  sudah menjadi kewajiban saya pula menyebutkan upaya para  sejarawan  Islam dan Arab, dengan sikap mereka yang jujur mengenai  masa Abu Bakr di samping kecermatan yang mereka lakukan.
Sejak beberapa tahun yang lalu Rafiq al-Azm telah menulis  sejarah masa itu dalam jilid satu bukunya  Asyhar  Masyahiril-Islam.   Dalam beberapa kejadian ia banyak terpengaruh oleh cara-cara para  penulis lama. Almarhum Syaikh Muhammad al-Khudari pada penutup  ceramahnya mengatakan: "Dalam hal ini kita ingin mengatakan  tegas-tegas: Kalau bukan Abu Bakr dengan kemauannya yang keras,  dengan inayat dan bantuan Allah juga, sejarah umat Islam tidak akan  berjalan seperti yang kita kenal sekarang ini. Ia menghadapi semua itu  saat pikiran dan perasaan semua kaum Muslimin yang kuat dan  yang paling tabah sekalipun sedang didera oleh rasa kebingungan yang  luar biasa."
Dalam jilid satu bukunya  Khulafa'  Muhammad ("Pengganti-pengganti Muhammad"), Umar Abun-Nasr mengkhususkan pembicaraan mengenai Abu Bakr dan masanya. Begitu juga almarhum Syaikh  Abdul Wahhab an-Najjar dan yang lain dari kalangan sejarawan  mengadakan pembahasan mengenai masa ini, yang sebenarnya patut  sekali kita hargai.

Harapan
Sekarang setelah Tuhan mcluluskan saya menulis buku ini,  masihkah akan ditakdirkan juga saya meneruskan dengan yang kedua,  mengenai masa Umar, ketiga dan keempat, sehingga dapat saya  selesaikan apa yang selama ini tersimpan dalam pikiran saya hendak  melakukan studi mengenai sejarah kedaulatan Islam itu? Hanya Allah  juga yang tahu. Tetapi sudah saya putuskan bahwa saya akan  meneruskan penulisan mengenai masa Umar. Hanya saja antara keputusan dengan pelaksanaan ada jarak, yang saya harapkan Allah  akan memberikan kemudahan kepada saya, dengan penuh kepercayaan pada firman-Nya ini:


"Dan janganlah sekali-kali  engkau  mengatakan  lentang sesuatu: "Aku  akan  melakukannya  besok. "  Kecuali  (dengan   menambahkan) "Insya Allah —jika Allah menghendaki. " Dan ingatlah  Tuhanmu bila engkau lupa,  dan berkatalah: Semoga Tuhanku  membimbingku lebih dekat daripada ini ke jalan yang benar. " (Qur'an, 18. 23-24).
Saya sudahi pengantar ini dengan permohonan kepada Allah semoga para ulama, para sarjana dan para peneliti dalam mengikuti kehidupan Abu Bakr serta masa kekhalifahannya itu diluluskan, sehingga dengan hasil penelitian mereka itu wajah yang hendak saya lukiskan dalam buku ini dapat terlaksana.  Saya bersyukur kepada Allah atas taufik  yang telah dikaruniakan-Nya kepada saya dalam usaha ini. Segala  petunjuk dan taufik hanya dari Allah dan segalanya akan kembali  kepada-Nya.

MUHAMMAD   HUSAIN  HAEKAL

BAGIAN KEDUA:
Masa kecil dan terbatasnya berita
Sumber-sumber yang sampai kepada kita mengenai masa kecil  Abu Bakr tidak banyak membantu untuk mengenai pribadinya dalam situasi kehidupan saat itu. Cerita sekitar masa anak-anak dan  remajanya tidak juga memuaskan. Apa yang diceritakan tentang kedua  orangtuanya tidak lebih daripada sekedar menyebut nama saja.  Setelah Abu Bakr menjadi tokoh sebagai Muslim yang penting, baru  nama ayahnya disebut-sebut. Ada pengaruh Abu Bakr dalam kehidupan  ayahnya, namun pengaruh ayahnya dalam kehidupan Abu Bakr tidak  ada. Tetapi yang menjadi perhatian kalangan sejarawan waktu itu justru  yang menyangkut kabilahnya serta kedudukannya di  tengah-tengah masyarakat Kuraisy. Tak bedanya mereka itu dalam hal  ini dengan sejarah Arab umumnya. Dengan melihat pertaliannya  kepada  salah satu kabilah,1 (1 Kabilah atau suku merupakan susunan masyarakat Arab yang berasal dari satu  moyang, lebih kecil dari sya'b dan lebih besar dari  'imarah, kemudian berturut-turut  batn, 'imarah dan fakhz.  — Pnj.)  sudah cukup untuk mengetahui watak dan  akhlak mereka. Adakalanya yang demikian ini baik, dan kadang  juga  mereka yang percaya pada prinsip keturunan itu berguna untuk  menentukan kecenderungan mereka, kendati yang lain menganggap  penilaian demikian sudah berlebihan, dan ini yang membuat mereka tidak cermat dalarn meneliti.

Kabilahnya dan kepemimpinannya
Abu Bakr dari kabilah Taim bin Murrah bin Ka'b. Nasabnya  bertemu dengan Nabi pada Adnan. Setiap kabilah yang tinggal di  Mekah punya keistimewaan tersendiri, yakni ada tidaknya  hubungannya  dengan sesuatu jabatan di Ka'bah. Untuk Banu Abd  Manaf tugasnya siqayah dan rifadah, untuk Banu Abdid-Dar, liwa', hijabah dan nadwah, yang sudah berjalan sejak sebelum Hasyim kakek Nabi lahir. Sedang pimpinan tentara di pegang oleh Banu Makhzum, nenek moyang Khalid bin Walid, dan Banu Taim bin Murrah menyusun masalah diat  (tebusan darah) dan segala macam ganti rugi. Pada zaman jahiliah  masalah penebusan darah ini di tangan Abu Bakr tatkala posisinya cukup kuat, dan dia juga yang memegang pimpinan kabilahnya. Oleh  karena itu bila ia harus menanggung sesuatu tebusan dan ia meminta  bantuan Kuraisy, mereka pun percaya dan mau memberikan tebusan  itu, yang tak akan dipenuhi sekiranya orang lain yang memintanya.
Banyak buku yang ditulis orang kemudian menceritakan adanya pujian ketika menyinggung Banu Taim ini  serta kedudukannya di  tengahtengah  kabilah-kabilah  Arab.  Diceritakan  bahwa ketika  Munzir bin Ma'as-Sama' menuntut Imru'ul-Qais bin Hujr al-Kindi, ia  mendapat perlindungan Mu'alla at-Taimi (dari Banu Taim), sehingga  dalam hal ini penyair Imru'ul-Qais berkata:

Imru'ul-Qais bin Hujr
Telah didudukkan oleh Banu  Taim, "Masabihuz-Zalami"

Karena bait tersebut, Banu Taim dijuluki "Masabihuz-Zalami"  (pelita-pelita di waktu gelap).
Tetapi sumber-sumber yang beraneka ragam yang melukiskan  sifatsifat Banu Taim itu tidak berbeda dengan yang biasa dilukiskan  untuk kabilah-kabilah lain. Juga tidak ada suatu ciri khas yang bisa dibedakan dan dapat digunakan oleh penulis sejarah atau menunjukkan  suatu sifat tertentu kepada kabilah mana ia dapat digolongkan.  Sumber-sumber itu melukiskan Banu Taim dengan sifat-sifat terpuji:  pemberani, pemurah, kesatria, suka menolong dan melindungi tetangga  dan sebagainya yang biasa dipunyai oleh kabilah-kabilah Arab yang  hidup dalam iklim jazirah Arab.

Nama dan julukannya
Para penulis biografi Abu Bakr itu tidak terbatas hanya pada kabilahnya saja seperti yang sudah saya sebutkan, tetapi mereka  memulai juga dengan menyebut namanya dan nama kedua  orangtuanya.  Lalu melangkah ke masa anak-anak, masa muda dan  masa  remaja, sampai pada apa yang dikerjakannya. Disebutkan bahwa  namanya Abdullah bin Abi Quhafah, dan Abu Quhafah ini pun nama  sebenarnya Usman bin Amir, dan ibunya, Ummul-Khair, sebenarnya  bernama Salma bint Sakhr bin Amir. Disebutkan juga, bahwa sebelum Islam ia bernama Abdul Ka'bah. Setelah masuk Islam oleh Rasulullah ia dipanggil Abdullah. Ada juga yang mengatakan bahwa tadinya ia bernama Atiq,   karena dari pihak ibunya tak pernah ada anak laki-laki yang hidup. Lalu  ibunya bernazar jika ia melahirkan anak laki-laki akan diberi nama  Abdul Ka'bah  dan akan disedekahkan kepada Ka'bah.  Sesudah Abu   Bakr hidup dan menjadi besar, ia diberi nama Atiq, seolah ia telah  dibebaskan dari maut.
Tetapi sumber-sumber itu lebih jauh menyebutkan bahwa Atiq itu bukan namanya, melainkan suatu julukan karena warna kulitnya yang putih. Sumber yang lain lagi malah menyebutkan, bahwa ketika  Aisyah putrinya ditanyai: mengapa Abu Bakr diberi nama Atiq ia  menjawab: Rasulullah memandang kepadanya lalu katanya: Ini yang  dibebaskan Allah dari neraka; atau karena suatu hari Abu Bakr  datang  bersama sahabat-sahabatnya lalu Rasulullah berkata: Barang  siapa ingin melihat orang yang dibebaskan dari neraka lihatlah ini. Mengenai gelar Abu Bakr yang dibawanya dalam hidup  sehari-hari sumber-sumber itu tidak menyebutkan alasannya, meskipun  penulis-penulis kemudian ada yang menyimpulkan bahwa dijuluki  begitu karena ia orang paling dini (Bakr berarti dini (A). — Pnj.)dalam Islam dibanding dengan yang  lain.

Masa mudanya
Semasa kecil Abu Bakr hidup seperti umumnya anak-anak di  Mekah. Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja  sebagai pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat sukses. Dalam usia muda itu ia kawin dengan Qutailah bint Abdul Uzza. Dari perkawinan  ini lahir Abdullah dan Asma'. Asma' inilah yang kemudian dijuluki  Zatun-Nitaqain. Sesudah dengan Qutailah ia kawin lagi dengan  Umm  Rauman bint Amir bin Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula  Abdur-Rahman dan Aisyah. Kemudian di Medinah ia kawin dengan  Habibah bint Kharijah, setelah itu dengan Asma' bint Umais yang  melahirkan Muhammad. Sementara itu usaha dagangnya berkembang  pesat dan dengan sendirinya ia memperoleh laba yang cukup besar.

Perawakan dan perangainya
Keberhasilannya dalam perdagangan itu mungkin saja disebabkan oleh pribadi dan wataknya. Berperawakan kurus, putih, dengan sepasang  bahu  yang  kecil dan  muka lancip dengan  mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas — begitulah dilukiskan oleh putrinya, Aisyah Ummulmukminin. Begitu damai perangainya, sangat lemah lembut dan sikapnya tenang sekali. Tak mudah ia terdorong oleh hawa nafsu. Dibawa oleh  sikapnya yang selalu tenang, pandangannya yang jernih serta pikiran  yang tajam, banyak kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan  masyarakat  yang tidak diikutinya. Aisyah menyebutkan bahwa ia tak pernah  minum minuman keras, di zaman jahiliah atau Islam, meskipun  penduduk Mekah umumnya sudah begitu hanyut ke dalam khamar dan mabuk-mabukan. Ia seorang ahli genealogi — ahli silsilah — bicaranya sedap dan pandai bergaul.
Seperti dilukiskan oleh Ibn Hisyam, penulis kitab Sirah:
"Abu Bakr adalah laki-laki yang akrab di kalangan  masyarakatnya, disukai karena ia serba mudah. Ia dari keluarga  Kuraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui seluk-beluk  kabilah itu, yang baik dan yang jahat. Ia seorang pedagang dengan  perangai yang sudah cukup terkenal. Karena suatu masalah,  pemuka-pemuka masyarakatnya sering datang menemuinya, mungkin  karena pengetahuannya, karena perdagangannya atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak."

Kecintaannya pada Mekah dan hubungannya dengan Muhammad
Ia tinggal di Mekah, di kampung yang sama dengan Khadijah  bint Khuwailid, tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa  perdagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas ke  Syam1 dan ke Yaman. Karena bertempat tinggal di kampung itu,  itulah  yang membuat hubungannya dengan Muhammad begitu akrab  setelah Muhammad kawin dengan Khadijah dan kemudian tinggal  serumah. Hanya dua tahun beberapa bulan saja Abu Bakr lebih muda  dari Muhammad. Besar sekali kemungkinannya, usia yang tidak  berjauhan itu, persamaan bidang usaha serta ketenangan jiwa dan  perangainya, di samping ketidaksenangannya pada  kebiasaan-kebiasaan   Kuraisy — dalam kepercayaan dan adat — mungkin sekali itulah semua yang berpengaruh dalam persahabatan  Muhammad dengan Abu Bakr. Beberapa sumber berbeda pendapat,  sampai berapa jauh eratnya persahabatan itu sebelum Muhammad  menjadi Rasul. Di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa  persahabatan itu sudah begitu akrab sejak sebelum kerasulan, dan  bahwa keakraban itu pula yang membuat Abu Bakr cepat-cepat menerima Islam.
Ada pula yang lain menyebutkan, bahwa akrabnya hubungan itu baru kemudian dan bahwa keakraban pertama itu tidak lebih hanya karena bertetangga dan adanya kecenderungan yang sama. Mereka yang mendukung pendapat ini barangkali karena kecenderungan Muhammad yang suka menyendiri dan selama bertahun-tahun sebelum kerasulannya menjauhi orang banyak. Setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul teringat ia pada Abu Bakr dan kecerdasan otaknya. Lalu diajaknya ia bicara dan diajaknya menganut ajaran tauhid. Tanpa ragu Abu Bakr pun menerima ajakan itu. Sejak itu terjadilah hubungan yang lebih akrab antara kedua orang itu. Kemudian keimanan Abu Bakr makin mendalam dan kepercayaannya kepada Muhammad dan risalahnya pun bertambah kuat. Seperti dikatakan oleh Aisyah: "Yang kuketahui  kedua orangtuaku sudah memeluk agama ini, dan setiap kali lewat di  depan rumah kami, Rasulullah selalu singgah ke tempat kami, pagi  atau  sore."

Menerima dakwah tanpa ragu dan sebabnya
Sejak hari pertama Abu Bakr sudah bersama-sama dengan  Muhammad melakukan dakwah demi agama Allah. Keakraban  masyarakatnya dengan dia, kesenangannya bergaul dan mendengarkan  pembicaraannya, besar pengaruhnya terhadap Muslimin yang  mula-mula  itu dalam masuk Islam itu. Yang mengikuti jejak Abu  Bakr menerima Islam ialah Usman bin Affan, Abdur-Rahman bin  Auf,  Talhah bin Ubaidillah, Sa'd bin Abi Waqqas dan Zubair bin  Awwam. Sesudah mereka yang kemudian  menyusul  masuk  Islam — atas  ajakan  Abu  Bakr — ialah  Abu Ubaidah bin larrah dan  banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah.
Adakalanya  orang  akan  merasa  heran  betapa  Abu  Bakr. tidak merasa ragu menerima Islam ketika pertama kali disampaikan  Muhammad kepadanya itu. Dan karena menerimanya tanpa ragu itu  kemudiaYi Rasulullah berkata:



"Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu  Bakr bin Abi Quhafah.  la tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu  ketika kusampaikan kepadanya."
Sebenarnya tak perlu heran tatkala Muhammad menerangkan kepadanya tentang tauhid dan dia diajaknya lalu menerimanya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi bila Muhammad menceritakan kepadanya mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya, ia  mempercayainya tanpa ragu. Malah keheranan kita bisa hilang, atau  berkurang, bila kita ketahui bahwa Abu Bakr adalah salah seorang  pemikir Mekah yang memandang penyembahan berhala itu suatu  kebodohan dan kepalsuan belaka. Ia sudah mengenai benar  Muhammad — kejujurannya, kelurusan hatinya serta kejernihan  pikirannya. Semua itu tidak memberi peluang dalam hatinya untuk  merasa ragu, apa yang telah diceritakan kepadanya, dilihatnya dan  didengarnya. Apalagi karena apa yang diceritakan Rasulullah  kepadanya itu dilihatnya memang sudah  sesuai dengan pikiran yang  sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi, ia sudah mempercayainya dan  menerima semua itu.

Keberaniannya menerima Islam dan menyiarkannya
Tetapi apa yang menghilangkan kekaguman kita tidak mengubah penghargaan kita atas keberaniannya tampil ke depan umum dalam  situasi ketika orang masih serba menunggu, ragu dan sangat  berhati-hati. Keberanian Abu Bakr ini patut sekali kita hargai,  mengingat dia pedagang, yang demi perdagangannya diperlukan  perhitungan guna menjaga hubungan baik dengan orang lain serta  menghindari konfrontasi dengan mereka, yang akibatnya berarti  menentang pandangan dan kepercayaan mereka. Ini dikhawatirkan  kelak  akan berpengaruh buruk terhadap hubungan dengan para relasi  itu.
Berapa banyak orang yang memang tidak percaya pada  pandangan itu dan dianggapnya suatu kepalsuan, suatu cakap kosong  yang tak mengandung arti apa-apa, lalu dengan sembunyi-sembunyi  atau berpura-pura berlaku sebaliknya hanya untuk mencari selamat,  mencari keuntungan di balik semua itu, menjaga hubungan dagangnya dengan mereka. Sikap munafik begini kita jumpai bukan di kalangan  awamnya, tapi di kalangan tertentu dan kalangan terpelajarnya juga.  Bahkan akan kita jumpai di kalangan mereka yang menamakan diri  pemimpin dan katanya hendak membela kebenaran. Kedudukan Abu  Bakr yang sejak semula sudah dikatakan oleh Rasulullah itu, patut  sekali ia mendapat penghargaan, patut dikagumi.
Usaha Abu Bakr melakukan dakwah Islam itulah yang patut dikagumi. Barangkali ada juga orang yang berpandangan semacam dia, merasa sudah cukup puas dengan mempercayainya secara diam-diam dan tak perlu berterang-terang di depan umum agar perdagangannya selamat, berjalan lancar. Dan barangkali Muhammad pun merasa  cukup puas dengan sikap demikian itu dan sudah boleh dipuji. Tetapi Abu Bakr dengan menyatakan terang-terangan keislamannya itu, lalu  mengajak orang kepada ajaran Allah dan Rasulullah dan meneruskan  dakwahnya untuk meyakinkan kaum Muslimin yang mula-mula untuk  mempercayai Muhammad dan mengikuti ajaran agamanya,  inilah yang belum pernah  dilakukan  orang;  kecuali  mereka  yang   sudah  begitu  tinggi jiwanya, yang sudah sampai pada tingkat  membela kebenaran demi kebenaran. Orang demikian ini sudah berada  di atas kepentingan hidup pribadinya sehari hari. Kita lihat, dalam  membela agama, dalam berdakwah untuk agama, segala kebesaran  dan kemewahan hidup duniawinya dianggapnya kecil belaka. Demikianlah keadaan Abu Bakr dalam persahabatannya dengan Muhammad, sejak ia memeluk Islam, hingga Rasulullah berpulang ke sisi Allah dan Abu Bakr pun kemudian kembali ke sisi-Nya.

Abu Bakr orang pertama yang memperkuat agama
Teringat saya tatkala Hamzah bin Abdul Muttalib dan Umar bin Khattab masuk Islam, betapa besar pengaruh mereka itu dalam memperkuat Islam, dan bagaimana pula Allah memperkuat Islam dengan kedua mereka itu. Keduanya terkenal garang dan berpendirian teguh, kuat, ditakuti oleh lawan. Juga saya ingat, betapa Abu Bakr ketika ia masuk Islam. Tidak ragu kalau saya mengatakan, bahwa dialah orang pertama yang ditempatkan Allah untuk memperkuat agama-Nya.  Orang yang begitu damai jiwanya, tenang, sangat lemah lembut dan  perkasa. Matanya mudah berlinang begitu melihat kesedihan menimpa  orang lain. Ternyata orang ini menyimpan iman yang begitu kuat  terhadap agama baru ini, terhadap Rasul utusan Allah. Ternyata ia tak dapat ditaklukkan.
Adakah suatu kekuatan di dunia ini yang dapat melebihi  kekuatan iman! Adakah suatu kemampuan seperti kemampuan iman  dalam hidup ini! Orang yang mengira, bahwa kekuatan despotisma  dan  kekuasaan punya pengaruh besar di dunia ini, ia sudah  terjerumus  ke dalam jurang kesalahan. Jiwa yang begitu damai, begitu  yakin dengan keimanannya akan kebenaran, yang mengajak orang  berdakwah dengan cara yang bijaksana dan nasihat yang baik, dengan  cara yang lemah lembut, yang bersumber dari akhlak yang mulia dan  perangai yang lembut, bergaul dengan orang-orang lemah,  orang-orang  papa dan kaum duafa, yang dalam penderitaannya sebagai  salah satu sarana dakwahnya — jiwa inilah yang sepantasnya  mencapai sasaran sebagaimana dikehendaki, karena ia mudah diacu dan  keluar sesuai dengan pola yang ada padanya.
Itulah jejak Abu Bakr r.a. pada tahun-tahun pertama dakwah  Islam, dan terus berjalan  sampai pada waktu  ia memangku jabatan  selaku Khalifah, dan berlangsung terus sampai akhir hayatnya.

Melindungi golongan lemah dengan hartanya
Dalam menjalankan dakwah itu tidak hanya berbicara saja  dengan kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam  menghibur kaum duafa dan orang-orang miskin yang disiksa dan  dianiaya oleh musuhmusuh dakwah, tidak hanya dengan kedamaian  jiwanya, dengan sifatnya yang lemah lembut, tetapi ia menyantuni  mereka dengan hartanya. Digunakannya hartanya itu untuk membela  golongan lemah dan orangorang tak punya, yang telah mendapat  petunjuk Allah ke jalan yang benar, tetapi lalu dianiaya oleh  musuh-musuh kebenaran itu. Sudah cukup diketahui, bahwa ketika ia masuk Islam, hartanya  tak kurang dari empat puluh ribu dirham yang disimpannya dari hasil  perdagangan. Dan selama dalam Islam ia terus berdagang dan  mendapat laba yang cukup besar. Tetapi setelah hijrah ke Medinah  sepuluh tahun kemudian, hartanya itu hanya tinggal lima ribu dirham.  Sedang semua harta yang ada padanya dan yang disimpannya,  kemudian habis untuk kepentingan dakwah, mengajak orang ke jalan  Allah dan demi agama dan Rasul-Nya. Kekayaannya itu digunakan  untuk menebus orang-orang lemah dan budak-budak yang masuk  Islam,  yang oleh majikannya disiksa dengan pelbagai cara, tak lain  hanya karena mereka masuk Islam.
Suatu hari Abu Bakr melihat Bilal yang negro itu oleh tuannya  dicampakkan ke ladang yang sedang membara oleh panas matahari, dengan menindihkan batu di dadanya lalu dibiarkannya agar ia mati  dengan begitu, karena ia masuk Islam. Dalam keadaan semacam itu  tidak lebih Bilal hanya mengulang-ulang kata-kata: Ahad, Ahad.  Ketika  itulah ia dibeli oleh Abu Bakr kemudian dibebaskan! Begitu juga Amir bin Fuhairah oleh Abu Bakr ditebus dan ditugaskan  menggembalakan kambingnya. Tidak sedikit budak-budak itu yang  disiksa, laki-laki dan perempuan, oleh Abu Bakr dibeli lalu  dibebaskan.

Peranan sebagai semenda Nabi
Tetapi Abu Bakr sendiri pun tidak bebas dari gangguan Kuraisy. Sama halnya dengan Muhammad sendiri yang juga tidak lepas dari  gangguan itu dengan kedudukannya yang sudah demikian rupa di  kalangan kaumnya serta perlindungan Banu Hasyim kepadanya.  Setiap Abu Bakr melihat Muhammad diganggu oleh Kuraisy ia  selalu  siap membelanya dan mempertaruhkan nyawanya untuk  melindunginya. Ibn Hisyam menceritakan, bahwa perlakuan yang paling jahat dilakukan Kuraisy terhadap Rasulullah ialah setelah agama dan dewa-dewa mereka dicela. Suatu hari mereka berkumpul di Hijr, dan satu sama lain mereka berkata: "Kalian mengatakan apa yang didengarnya dari kalian dan  apa yang kalian dengar tentang dia. Dia memperlihatkan kepadamu  apa yang tak kamu sukai lalu kamu tinggalkan dia."
Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba datang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam. Sekaligus ia diserbu  bersama-sama oleh mereka dan mengepungnya seraya berkata: Engkau  yang berkata begini dan begini? Maksudnya yang mencela  berhala-berhala dan kepercayaan mereka. Maka Rasulullah   Sallallahu   'alaihi wasallam pun menjawab: Ya, memang aku yang  mengatakan. Salah seorang di antara mereka langsung menarik  bajunya.  Abu Bakr sambil menangis menghalanginya seraya  katanya:   Kamu  mau membunuh orang yang mengatakan hanya  Allah Tuhanku! Mereka kemudian bubar. Itulah yang kita lihat  perbuatan Kuraisy yang luar biasa kepadanya.
Tetapi peristiwa ini belum seberapa dibandingkan dengan  peristiwaperistiwa lain yang benar-benar memperlihatkan keteguhan  iman Abu Bakr kepada Muhammad dan risalahnya itu. Sedikit pun  tak  pernah goyah.  Dan  iman  itu jugalah yang membuat tidak   sedikit  kalangan Orientalis tidak jadi melemparkan tuduhan kepada  Nabi, seperti yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka  berlebih-lebihan. Dengan ketenangan dan kedamaian hatinya yang  demikian rupa, keimanan Abu Bakr tidak akan sedemikian tinggi,  kalau ia tidak melihat segala perbuatan Rasulullah yang memang  jauh dari segala yang meragukan, terutama pada waktu Rasulullah   sedang menjadi sasaran penindasan masyarakatnya. Iman yang mengisi  jiwa Abu Bakr ini jugalah yang telah mempertahankan Islam,  sementara yang lain banyak yang meninggalkannya tatkala  Rasulullah  berbicara kepada mereka mengenai peristiwa Isra.

Sikapnya mengenai kisah Isra
Muhammad berbicara kepada penduduk Mekah bahwa Allah telah memperjalankannya malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaksa  dan bahwa ia bersembahyang di sana. Oleh orang-orang musyrik  kisah  itu diperolok, malah ada sebagian yang sudah Islam pun merasa  ragu. Tidak sedikit orang yang berkata ketika itu: Soalnya sudah  jelas.  Perjalanan kafilah Mekah-Syam yang terus-menerus pun  memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana mungkin  hanya satu malam saja Muhammad pergi pulang ke Mekah!
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam kemudian berbalik  murtad, dan tidak sedikit pula yang masih merasa sangsi. Mereka pergi  menemui Abu Bakr, karena mereka mengetahui keimanannya dan  persahabatannya dengan Muhammad. Mereka menceritakan apa yang  telah dikatakannya kepada mereka itu mengenai Isra. Terkejut  mendengar apa yang mereka katakan itu Abu Bakr berkata:
"Kalian berdusta."
"Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang berbicara dengan orang banyak."
"Dan kalaupun itu yang dikatakannya," kata Abu Bakr lagi,  "tentu ia mengatakan yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku,  bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam  atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan."
Abu Bakr lalu pergi ke mesjid dan mendengarkan Nabi yang  sedang melukiskan keadaan Baitulmukadas. Abu Bakr sudah pernah  mengunjungi kota itu.
Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata: "Rasulullah, saya percaya."
Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan "as-Siddlq". (Siddiq, orang yang selalu membenarkan, percaya, yang menerapkan kata dengan perbuatan, yang kemudian menjadi gelar Abu Bakr (al-Mu'jam al-Wasit); orang yang  mencintai kebenaran, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Idris (Qur'an, 19. 41, 56). — Pnj.)
Pernahkah suatu kali orang bertanya dalam hati: Sekiranya Abu Bakr juga sangsi seperti yang lain mengenai apa yang diceritakan Rasulullah tentang Isra itu, maka apa pula kiranya yang akan terjadi dengan agama yang baru tumbuh ini, akibat kesangsian itu?  Dapatkah orang memperkirakan berapa banyak jumlah orang yang akan jadi murtad, dan goyahnya keyakinan dalam hati kaum Muslimin yang  lain? Pernahkah kita ingat, betapa jawaban Abu Bakr ini  memperkuat  keyakinan orang banyak, dan betapa pula ketika itu ia telah  memperkuat kedudukan Islam?
Kalau dalam hati orang sudah bertanya-tanya, sudah memperkirakan dan sudah pula ingat, niscaya ia tak akan ragu lagi memberikan penilaian, bahwa iman yang sungguh-sungguh adalah kekuatan yang paling besar dalam hidup kita ini, lebih besar daripada kekuatan kekuasaan dan despotisma sekaligus. Kata-kata Abu Bakr itu  sebenarnya merupakan salah satu inayah Ilahi demi agama yang benar  ini. Katakata itulah sebenarnya yang merupakan pertolongan dan  dukungan yang besar, melebihi dukungan yang diberikan oleh  kekuatan  Hamzah dan Umar sebelumnya. Ini memang suatu kenyataan apabila di dalam  seja-
rah Islam Abu Bakr mempunyai tempat tersendiri sehingga  Rasulullah berkata: "Kalau ada di antara hamba Allah yang akan  kuambil sebagai khalil (teman kesayangan), maka Abu Bakr-lah   khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman,  sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita."
Kata-kata Abu Bakr mengenai Isra itu menunjukkan pemahamannya yang dalam tentang wahyu dan risalah, yang tidak dapat  ditangkap oleh kebanyakan orang. Di sinilah pula Allah telah  memperlihatkan kebijakan-Nya tatkala Rasulullah memilih seorang  teman dekatnya saat ia dipilih oleh Allah menjadi Rasul-Nya untuk  menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. Itulah pula bukti  yang kuat, bahwa kata yang baik seperti pohon yang baik, akarnya  tertanam kukuh dan cabangnya (menjulang) ke langit, dengan jejak yang abadi sepanjang zaman, dengan karunia Allah. Ia tak akan  dikalahkan oleh waktu, tak akan dilupakan.

Tugasnya sesudah Isra
Sesudah peristiwa Isra itu, sebagai orang yang cukup berpengalaman akan seluk-beluk perbatasan, Abu Bakr tetap menjalankan  usaha dagangnya. Sebagian besar waktunya ia gunakan menemani  Rasulullah dan untuk menjaga orang-orang lemah yang sudah masuk  Islam, melindungi mereka dari gangguan Kuraisy di samping  mengajak mereka yang mulai tergugah hatinya kepada Islam.
Sementara Kuraisy begitu keras mengganggu Nabi dan Abu Bakr serta kaum Muslimin yang lain, belum terlintas dalam pikiran Abu  Bakr akan hijrah ke Abisinia bersama-sama kaum Muslimin yang lain  yang mau tetap bertahan dengan agama mereka.(Ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa Abu Bakr bermaksud pergi bersama-sama mereka yang hijrah ke Abisinia; tetapi ia bertemu dengan Rabiah bin ad-Dugunnah yang berkata kepadanya: "Wah, jangan ikut hijrah. Engkau penghubung tali kekeluargaan, engkau yang membenarkan peristiwa Isra, membantu orang tak punya dan engkau  yang mengatur pasang surutnya keadaan." Ia lalu diberi perlindungan keamanan oleh Kuraisy. Abu Bakr tetap tinggal di Mekah dan di serambi rumahnya ia membangun  sebuah  mesjid. Di tempat itu ia sembahyang dan membaca Qur'an. Sekarang Kuraisy  merasa khawatir, perempuan-perempuan dan pemuda-pemuda mereka akan tergoda.  Mereka mengadu kepada Ibn ad-Dugunnah. Abu Bakr mengembalikan jaminan  perlindungan itu dan ia tetap tinggal di Mekah menghadapi segala gangguan.)   Malah ia tetap  tinggal di Mekah bersama Muhammad, berjuang mati-matian demi  dakwah di jalan Allah sambil belajar tentang segala yang  diwahyukan Allah kepada Nabi untuk disiarkan kepada umat manusia.  Dan dengan segala senang hati disertai sifatnya yang lemah lembut, semua harta pribadinya dikorbankannya demi kebaikan mereka yang sudah masuk Islam dan  demi mereka yang diharapkan mendapat petunjuk Allah bagi yang belum  masuk Islam.
Kaum Muslimin di Mekah ketika itu memang sangat  memerlukan perjuangan serupa itu, memerlukan sekali perhatian Abu  Bakr. Dalam pada itu Muhammad masih menerima wahyu dari Allah  dan ia sudah tidak lagi mengharapkan penduduk Mekah akan  menyambut ajakannya itu. Maka ia mengalihkan perhatian kepada kabilah-kabilah. Ia menawarkan diri dan mengajak mereka kepada  agama Allah. Ia telah pergi ke Ta'if, meminta pengertian penduduk  kota itu. Tetapi ia ditolak dengan cara yang tidak wajar. Dalam  hubungannya dengan Tuhan selalu ia memikirkan risalahnya itu dan  untuk berdakwah ke arah itu serta caracaranya untuk menyukseskan  dakwahnya itu.
Dalam pada itu Kuraisy juga tak pernah tinggal diam dan tak  pernah berhenti mengadakan perlawanan. Di samping semua itu, Abu  Bakr juga selalu memikirkan nasib kaum Muslimin yang tinggal di  Mekah, mengatur segala cara untuk ketenteraman dan keamanan hidup  mereka.

Usaha mencegah gangguan Kuraisy
Kalaupun buku-buku sejarah dan mereka yang menulis biografi Abu Bakr tidak menyebutkan usahanya, apa yang disebutkan itu  sudah memadai juga. Tetapi sungguhpun begitu dalam hati saya  terbayang jelas segala perhatiannya itu, serta hubungannya yang  terus-menerus dengan Hamzah, dengan Umar, dengan Usman serta  dengan pemukapemuka Muslimin yang lain untuk melindungi  golongan lemah yang sudah masuk Islam dari gangguan Kuraisy.  Bahkan saya membayangkan hubungannya dulu dengan kalangan luar  Islam, dengan mereka yang tetap berpegang pada kepercayaan mereka,  tetapi berpendapat bahwa Kuraisy tidak berhak memusuhi orang yang  tidak sejalan dengan kepercayaan mereka dalam menyembah  berhala-berhala itu.
Dalam sejarah hidup Rasulullah kita sudah melihat, di antara mereka banyak juga yang membela kaum Muslimin dari gangguan  Kuraisy itu. Juga kita melihat mereka yang telah bertindak  membatalkan piagam pemboikotan tatkala orang-orang Kuraisy sepakat  hendak memboikot Muhammad dan sahabat-sahabatnya serta  memblokade mereka selama tiga tahun terus-menerus di celah-celah  gunung di pinggiran kota Mekah, supaya tak dapat berhubungan dan  berbicara dengan orang di luar selain pada bulan-bulan suci. Saya  yakin, bahwa Abu Bakr, dalam menggerakkan  mereka yang bukan   pengikut-pengikut agama Muhammad, namun turut marah melihat tindakan-tindakan Kuraisy terhadapnya itu, punya pengaruh besar, karena sifatnya yang lemah lembut, tutur katanya yang ramah serta pergaulannya yang menarik. Tindakan Abu  Bakr dalam melindungi kaum Muslimin ketika agama ini baru  tumbuh,  itu pula yang menyebabkan Muhammad lebih dekat kepadanya.  Inilah yang telah mempertalikan kedua orang itu dengan  tali persaudaraan dalam iman, sehingga Muhammad memilihnya  sebagai  teman dekatnya (khalilnya).
Setelah dengan izin Allah agama ini mendapat kemenangan  dengan kekuatan penduduk Yasrib (Medinah) sesudah kedua ikrar  Aqabah, Muhammad pun mengizinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke  kota itu. Sama halnya dengan sebelum itu, ia mengizinkan  sahabat-sahabatnya hijrah ke Abisinia. Orang-orang Kuraisy tidak tahu,  Muhammad ikut hijrah atau tetap tinggal di Mekah seperti tatkala  kaum Muslimin dulu hijrah ke Abisinia.
Tahukah Abu Bakr maksud Muhammad, yang oleh Kuraisy tidak diketahui? Segala yang disebutkan mengenai ini hanyalah, bahwa  Abu Bakr meminta izin kepada Muhammad akan pergi hijrah, dan  dijawab: "Jangan tergesa-gesa, kalau-kalau Allah nanti memberikan  seorang teman kepadamu." Dan tidak lebih dari itu.

Bersiap-siap, kemudian hijrah
Di sini dimulai lagi sebuah lembaran baru, lembaran iman yang begitu kuat kepada Allah dan kepada Rasulullah. Abu Bakr sudah  mengetahui benar, bahwa sejak kaum Muslimin hijrah ke Yasrib,  pihak  Kuraisy memaksa mereka yang dapat dikembalikan ke Mekah  harus dikembalikan, dipaksa meninggalkan agama itu. Kemudian  mereka disiksa, dianiaya. Juga ia mengetahui, bahwa orang-orang  musyrik itu berkumpul di DarunNadwah, berkomplot hendak  membunuh Muhammad. Kalau ia menemani Muhammad dalam  hijrahnya itu lalu Kuraisy bertindak membunuh Muhammad, tidak  bisa tidak Abu Bakr juga pasti dibunuhnya. Sungguhpun begitu,  ketika ia oleh Muhammad diminta menunda, ia pun tidak ragu.  Bahkan ia merasa sangat gembira, dan yakin benar ia bahwa kalau ia  hijrah bersama Rasulullah, Allah akan memberikan pahala dan ini  suatu kebanggaan yang tiada taranya. Kalau sampai ia mati terbunuh  bersama dia, itu adalah mati syahid yang akan mendapat surga.
Sejak itu Abu Bakr sudah menyiapkan dua ekor unta sambil  menunggu perkembangan lebih lanjut bersama kawannya itu. Sementara sore itu ia di rumah tiba-tiba datang Muhammad  seperti biasa tiap sore. Ia memberitahukan bahwa Allah telah  mengizinkan ia hijrah ke Yasrib. Abu Bakr menyampaikan keinginannya kepada Rasulullah sekiranya dapat menemaninya dalam hijrahnya itu; dan permintaannya itu pun dikabulkan.
Khawatir Muhammad akan melarikan diri sesudah kembali ke rumahnya, pemuda-pemuda Kuraisy segera mengepungnya.  Muhammad membisikkan kepada Ali bin Abi Talib supaya ia  mengenakan mantel Hadramautnya yang hijau dan berbaring di tempat  tidurnya. Hal itu dilakukan oleh Ali. Lewat tengah malam, dengan  tidak setahu pemudapemuda Kuraisy ia keluar pergi ke rumah Abu  Bakr. Ternyata Abu Bakr memang sedang jaga menunggunya. Kedua  orang itu kemudian keluar dari celah pintu belakang dan bertolak ke  arah selatan menuju Gua Saur. Di dalam gua itulah mereka bersembunyi. Pemuda-pemuda Kuraisy itu segera bergegas ke setiap lembah  dan gunung mencari Muhammad untuk dibunuh. Sampai di Gua Saur salah seorang dari mereka naik ke atas gua  itu kalau-kalau dapat menemukan jejaknya. Saat itu Abu Bakr sudah  mandi keringat ketika terdengar suara mereka memanggil-manggil. Ia  menahan nafas, tidak bergerak dan hanya menyerahkan nasib kepada  Allah. Tetapi Muhammad masih tetap berzikir dan berdoa kepada  Allah. Abu Bakr makin merapatkan diri ke dekat kawannya itu, dan  Muhammad berbisik di telinganya:
"Jangan bersedih hati. Tuhan bersama kita."
Pemuda-pemuda Kuraisy itu melihat ke sekeliling gua dan yang  dilihatnya hanya laba-laba yang sedang menganyam sarangnya di mulut gua itu. la kembali ke tempat teman-temannya dan mereka bertanya kenapa ia tidak masuk. "Ada laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir." Dengan perasaan  dongkol pemuda-pemuda itu pergi meninggalkan tempat tersebut.  Setelah mereka menjauh Muhammad berseru: "Alhamdulillah, Allahu  Akbar!" Apa yang disaksikan Abu Bakr itu sungguh makin  menambah  kekuatan imannya.

Apa penyebab ketakutan Abu Bakr ketlka dalam gua?
Adakah rasa takut pada Abu Bakr itu sampai ia bermandi  keringat dan merapatkan diri kepada Rasulullah karena ia sangat  mendambakan kehidupan dunia, takut nasibnya ditimpa bencana? Atau  karena ia tidak memikirkan dirinya lagi tapi yang dipikirkannya hanya  Rasulullah dan jika mungkin ia akan mengorbankan diri demi  Rasulullah? Bersumber dari Hasan bin Abil-Hasan al-Basri, Ibn  Hisyam  menuturkan: "Ketika malam itu Rasulullah Sallallahu  'alaihi  wasallam dan Abu Bakr memasuki gua, Abu Bakr  radiallahu   'anhu  masuk lebih dulu  sebelum Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam sambil meraba-raba gua itu untuk mengetahui kalau-kalau di tempat itu ada binatang buas atau  ular.  Ia mau melindungi Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dengan  dirinya."
Begitu juga sikapnya ketika dalam keadaan begitu genting demikian terdengar suara pemuda-pemuda Kuraisy, ia berbisik di telinga Nabi: "Kalau saja mereka ada yang menjenguk ke bawah, pasti  mereka melihat kita." Pikirannya bukan apa yang akan menimpa  dirinya, tetapi yang dipikirkannya Rasulullah dan perkembangan  agama,  yang untuk itu ia berdakwah atas perintah Allah, kalau  sampai  pemuda-pemuda itu berhasil membunuhnya. Bahkan barangkali  pada saat itu tiada lain yang dipikirkannya, seperti seorang ibu yang  khawatir akan keselamatan anaknya. Ia gemetar ketakutan, ia gelisah.  Tak lagi ia dapat berpikir. Bila ada bahaya mengancam, ia akan terjun  melemparkan diri ke dalam bahaya itu, sebab ia ingin melindungi  atau  mati demi anaknya itu. Ataukah Abu Bakr memang lebih gelisah  dari ibu itu, lebih menganggap enteng segala bahaya yang datang,  karena imannya kepada Allah dan kepada Rasulullah memang sudah  lebih kuat dari cintanya kepada kehidupan dunia, dari naluri seorang  ibu dan dari segala yang dapat dirasakan oleh perasaan kita dan apa  yang terlintas dalam pikiran kita?! Coba kita bayangkan, betapa iman  itu menjelma di depannya, dalam diri Rasulullah, dan dengan itu  segala makna yang kudus menjelma pula dalam bentuk kekudusan dan  kerohaniannya yang agung dan cemerlang!
Saat ini saya membayangkan Abu Bakr sedang duduk dan  Rasulullah di sampingnya. Juga saya membayangkan bahaya yang  sedang mengancam kedua orang  itu.  Imajinasi  saya tak dapat  membantu  mengugkapkan segala yang terkandung dalam lukisan  hidup yang luar biasa ini, tak ada bandingannya dalam bentuk yang  bagaimanapun.

Apa artinya pengorbanan raja-raja dan para pemimpin  dibandingkan dengan pengorbanan Rasulullah
Sejarah menceritakan kepada kita kisah orang-orang yang telah  mengorbankan diri demi seorang pemimpin atau raja. Dan pada  zaman kita ini pun banyak pemimpin yang dikultuskan orang. Mereka  lebih dicintai daripada diri mereka sendiri. Tetapi keadaan Abu Bakr  dalam gua jauh berbeda. Para pakar psikologi perlu sekali membuat  analisis yang cermat tentang dia, dan yang benar-benar dapat  melukiskan keadaannya itu. Apa artinya keyakinan orang kepada  seorang pemimpin dan raja dibandingkan dengan keyakinan Abu Bakr  kepada Rasulullah yang telah menjadi pilihan Allah dan  mewahyukannya dengan agama yang benar!? Dan apa pula artinya  pengorbanan orang untuk pemimpin-pemimpin dan raja-raja itu dibandingkan dengan apa yang  berkecamuk dalam pikiran Abu Bakr saat itu, yang begitu khawatir  terjadi bahaya menimpa keselamatan Rasulullah. Lebih-lebih lagi jika  tak sampai dapat menolak bahaya itu. Inilah keagungan yang sungguh  cemerlang, yang rasanya sudah tak mungkin dapat dilukiskan lagi.  Itulah sebabnya penulis-penulis biografi tak ada yang menyinggung  soal ini.
Setelah putus asa mereka mencari dua orang itu, keduanya  keluar dari tempat persembunyian  dan  meneruskan perjalanan.  Dalam   perjalanan itu pun bahaya yang mereka hadapi tidak kurang pula  dari bahaya yang mengancam mereka selama di dalam gua.
Abu Bakr masih dapat membawa sisa laba perdagangannya sebanyak lima ribu dirham. Setiba di Medinah dan orang menyambut  Rasulullah begitu meriah, Abu Bakr memulai hidupnya di kota itu  seperti halnya dengan  kaum Muhajirin  yang  lain,  meskipun   kedudukannya tetap di samping Rasulullah, kedudukan sebagai  khalil,   sebagai  asSiddlq dan sebagai menteri penasehat.

Abu Bakr di Madinah
Abu Bakr tinggal di Sunh di pinggiran kota Medinah, pada keluarga Kharijah bin Zaid dari Banu al-Haris dari suku Khazraj.  Ketika Nabi mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Ansar Abu  Bakr dipersaudarakan dengan Kharijah. Abu Bakr kemudian disusul  oleh keluarganya dan anaknya yang tinggal di Mekah. la mengurus  keperluan hidup mereka. Keluarganya mengerjakan pertanian — seperti  juga keluarga Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Talib — di tanah  orang-orang Ansar bersama-sama dengan pemiliknya. Bolehjadi  Kharijah bin Zaid ini salah seorang pemiliknya. Hubungan orang ini  lambat laun makin dekat dengan Abu Bakr. Abu Bakr kawin dengan  putrinya — Habibah — dan dari perkawinan ini kemudian lahir Umm Kulsum, yang ditinggalkan wafat oleh Abu Bakr ketika ia sedang dalam  kandungan  Habibah. Keluarga Abu Bakr tidak tinggal bersamanya di rumah Kharijah bin Zaid di Sunh, tetapi Umm Ruman dan putrinya Aisyah serta keluarga Abu Bakr yang lain tinggal di Medinah, di sebuah rumah  berdekatan dengan rumah Abu Ayyub al-Ansari, tempat Nabi tinggal.  Ia mundarmandir ke tempat mereka, tetapi lebih banyak di tinggal  di  Sunh, tempat istrinya yang baru.

Terserang demam
Tak lama tinggal di Medinah ia mendapat serangan demam, yang juga banyak menyerang penduduk Mekah yang baru hijrah ke  Medinah, disebabkan oleh perbedaan iklim udara tempat kelahiran  mereka dengan udara tempat tinggal yang sekarang. Udara Mekah adalah udara  Sahara, kering, sedang udara Medinah lembab, karena cukup air dan  pepohonan. Menurut sumber dari Aisyah disebutkan bahwa demam  yang menimpa ayahnya cukup berat, sehingga ia mengigau. Setelah puas dengan tempat tinggal yang baru ini, dan setelah  bekerja keras sehingga keluarganya sudah tidak memerlukan lagi  bantuan Ansar, seluruh perhatiannya sekarang dicurahkan untuk  membantu Rasulullah dalam memperkuat Muslimin, tak peduli  betapa  beratnya pekerjaan itu dan besarnya pengorbanan.

Kemarahan Abu Bakr
Orang  yang begitu damai  dan tenang ini tak pernah  mengenal marah, kecuali ketika melihat musuh-musuh dakwah yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan kaum Munafik itu mulai berolok-olok dan  main tipu muslihat. Rasulullah dan kaum Muslimin dengan pihak  Yahudi sudah membuat perjanjian, masing-masing menjamin  kebebasan  menjalankan dakwah agamanya serta bebas melaksanakan  upacara-upacara keagamaannya masing-masing. Orang-orang Yahudi  itu pada mulanya mengira bahwa mereka mampu mengambil  keuntungan dari kaum Muslimin yang datang dari Mekah dalam  menghadapi Aus dan Khazraj. Tetapi setelah ternyata tak berhasil  mereka memecah belah kaum Muhajirin dengan kaum Ansar, mulailah  mereka menjalankan tipu muslihat dan memperolok agama. Beberapa  orang Yahudi berkumpul mengerumuni salah seorang dari mereka yang  bernama Finhas. Dia adalah pendeta dan pemuka agama mereka. Ketika Abu Bakr datang dan melihat mereka, ia berkata kepada Finhas ini:  "Finhas, takutlah engkau kepada Allah dan terimalah Islam. Engkau  tahu bukan bahwa Muhammad Rasulullah. Dia telah datang kepada kita dengan sebenarnya sebagai utusan Allah. Kalian akan melihat itu  dalam Taurat dan Injil."
Dengan berolok dan senyum mengejek di bibir Finhas berkata:
"Abu Bakr, bukan kita yang memerlukan Tuhan, tapi Dia yang  memerlukan kita. Bukan kita yang meminta-minta kepada-Nya,  tetapi  Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak  memerlukan-Nya,  tapi Dialah yang memerlukan kita. Kalau Dia  kaya,  tentu tidak akan minta dipinjami harta kita, seperti yang  didakwakan oleh pemimpinmu itu. Ia melarang kalian menjalankan  riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau Ia kaya, tentu Ia tidak akan  menjalankan ini."
Yang dimaksud oleh kata-kata Finhas itu firman Allah:

Siapakah  yang  hendak  meminjamkan  kepada  Allah  pinjaman yang baik, yang akan Ia lipatgandakan dengan sebanyak-banyaknya." (Qur'an, 2. 245).

Setelah Abu Bakr melihat orang ini memperolok firman Allah  serta wahyu-Nya kepada Nabi, ia tak dapat menahan diri, dipukulnya  muka Finhas itu keras-keras seraya katanya:
"Demi Allah,  kalau tidak karena adanya perjanjian  antara kami dengan kamu sekalian, kupukul kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan!"
Bukanlah aneh juga Abu Bakr menjadi begitu keras, orang yang begitu tenang, damai dan rendah hati itu. Ia menjadi sedemikian rupa padahal usianya sudah melampaui lima puluh tahun!
Kemarahannya kepada Finhas ini mengingatkan kita kepada  kemarahan yang sama lebih sepuluh tahun yang silam, yaitu ketika  Persia mengalahkan Rumawi, Persia Majusi dan Rumawi Ahli Kitab.  Kaum Muslimin ketika itu merasa sedih karena diejek kaum musyrik  yang menduga bahwa pihak Rumawi kalah karena juga Ahli Kitab  seperti mereka. Ada seorang musyrik menyinggung soal ini di depan  Abu Bakr dengan begitu bersemangat bicaranya, sehingga Abu Bakr  naik pitam. Diajaknya orang itu bertaruh dengan sepuluh ekor unta  bahwa kelak Rumawi yang akan mengalahkan pihak Majusi sebelum  habis tahun itu. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakr akan sangat  marah jika sudah mengenai akidah dan keimanannya yang begitu  tulus  kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sikapnya tatkala ia berusia  empat puluh, dan tetap itu juga setelah sekarang usianya lima puluh  tahun sampai kemudian ketika ia sudah menjadi Khalifah dan  memegang pimpinan kaum Muslimin.


Kekuasaan iman pada Abu Bakr
Keimanan yang tulus inilah yang menguasai Abu Bakr,  menguasai segala perasaannya, sepanjang hidupnya, sejak ia menjadi  pengikut Rasulullah. Orang akan dapat menganalisis segala peristiwa  kejiwaannya dan perbuatannya serta segala tingkah lakunya itu kalau  orang mau melihatnya dari segi moral. Sebaliknya, semua yang di luar  itu, tak ada pengaruhnya dan segala keinginan yang biasa  mempengaruhi hidup manusia, dan banyak juga kaum Muslimin ketika  itu yang terpengaruh, buat dia tak ada artinya. Yang berkuasa terhadap  dirinya — hati nuraninya, pikiran dan jiwanya — semua  hanyalah demi Allah dan Rasul-Nya. Semua itu adalah iman, iman  yang sudah mencapai tingkat tertinggi, tingkat siddiqin, yang sudah  begitu baik tempatnya.
Ketika Rasulullah di Badr
Kemudian kita lihat apa yang terjadi dalam perang Badr. Pihak Mekah sudah menyusun barisan, Nabi pun sudah pula mengatur  kaum Muslimin siap menghadapi perang. Seperti diusulkan oleh Sa'd  bin Mu'az, ketika itu pihak Muslimin membangun sebuah dangau di  barisan belakang, sehingga jika nanti kemenangan berada di pihak  mereka, Rasulullah dapat kembali ke Medinah. Abu Bakr dan Nabi tinggal dalam dangau itu sambil mengawasi jalannya pertempuran. Dan bila pertempuran dimulai dan Muhammad melihat jumlah pihak musuh yang begitu besar sedang anak buahnya hanya sedikit, ia berpaling ke arah kiblat, menghadapkan diri dengan seluruh hati sanubarinya kepada Allah. Ia mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah dijanjikan-Nya. Ia membisikkan permohonan  dalam hatinya agar Allah memberikan pertolongan, sambil katanya:
"Allahumma ya Allah! Inilah Kuraisy sekarang datang dengan  segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan Rasul-Mu. Ya  Allah, pertolongan-Mu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah,  jika  pasukan ini sekarang binasa tidak lagi ada ibadah kepada-Mu."
Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil merentangkan tangan menghadap kiblat itu,  mantelnya terjatuh.  Dalam keadaan serupa itu ia terangguk sejenak terbawa kantuk, dan ketika  itu juga tampak olehnya pertolongan Allah itu datang. Ia sadar  kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira. Ia keluar  menemui sahabat-sahabatnya sambil berkata kepada mereka:
"Demi Dia yang memegang hidup Muhammad. Setiap seorang  yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus  maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan  menempatkannya di dalam surga."

Abu Bakr di Badr
Demikianlah keadaan Rasulullah. Tidak yakin akan kemenangan anak buahnya yang hanya sedikit itu dalam menghadapi lawan yang iauh lebih banyak, dengan diam-diam jiwanya mengadakan hubungan dengan Allah memohon pertolongan. Kemudian terbuka di  hadapannya tabir hari yang amat menentukan itu dalam sejarah Islam.
Abu Bakr, ia tetap di samping Rasulullah. Dengan penuh iman  ia percaya bahwa Allah pasti akan menolong agama-Nya, dan dengan  hati penuh kepercayaan akan datangnya pertolongan itu, dengan penuh kekaguman akan Rasulullah dalam imbauannya kepada Allah, dengan perasaan terharu kepada Rasulullah karena kekhawatiran yang begitu besar  menghadapi  nasib  yang  akan  terjadi  hari  itu,  ketika  itulah Rasulullah berdoa, mengimbau, bermohon dan meminta kepada Allah akan memenuhi janji-Nya. Itulah yang diulangnya, diulang sekali  lagi, hingga mantelnya terjatuh, Itulah yang membuatnya mengimbau  sambil ia mengembalikan mantel itu ke bahu Nabi: "Rasulullah,  dengan  doamu Allah akan memenuhi apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu."

Kebenaran dan kasih sayang menyatu dalam dirinya
Banyak orang yang sudah biasa dengan suatu kepercayaan sudah tak ragu lagi, sampai-sampai ia jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada yang sudah tidak tahan lagi melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka menganggap bahwa iman yang sebenarnya harus fanatik, keras, dan tegar. Sebaliknya Abu Bakr, dengan keimanannya yang begitu agung dan begitu teguh, tak pernah  ia goyah dan ragu, jauh dari sikap kasar. Sikapnya lebih lunak, penuh  pemaaf, penuh kasih bila iman itu sudah mendapat kemenangan.  Dengan begitu, dalam hatinya terpadu dua prinsip kemanusiaan yang  paling mendasari: mencintai kebenaran, dan penuh kasih sayang.  Demi  kebenaran itu segalanya bukan apa-apa baginya, terutama  masalah  hidup duniawi.» Apabila kebenaran  itu  sudah dijunjung  tinggi,   maka lahir pula rasa kasih sayang, dan ia akan berpegang teguh  pada prinsip ini seperti pada yang pertama. Terasa lemah ia  menghadapi  semua itu sehingga matanya basah oleh air mata yang deras  mengalir.

Sikapnya terhadap tawanan Badr
Setelah mendapat kemenangan di Badr, kaum Muslimin kembali  ke Medinah dengan membawa tawanan perang Kuraisy. Mereka ini  masih ingin hidup, ingin kembali ke Mekah, meskipun dengan  tebusan  yang mahal. Tetapi mereka masih khawatir Muhammad akan  bersikap keras kepada mereka mengingat gangguan mereka terhadap  sahabat-sahabatnya selama beberapa tahun dahulu yang berada di  tengah-tengah mereka. Mereka berkata satu sama lain: "Sebaiknya kita  mengutus orang kepada Abu Bakr. Ia paling menyukai silaturahmi  dengan Kuraisy, paling punya rasa belas kasihan, dan kita tidak  melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia." Mereka lalu  mengirim delegasi kepada Abu Bakr.
"Abu Bakr," kata mereka kemudian, "di antara kita ada yang  masih pernah orangtua, saudara, paman atau mamak kita serta saudara  sepupu kita. Orang yang jauh dari kita pun masih kerabat kita.  Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya ia bermurah hati kepada  kami atau menerima tebusan kami."
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka masih khawatir Umar bin Khattab akan mempersulit urusan mereka ini. Lalu mereka juga bicara dengan Umar seperti pcmbicaraannya dengan Abu Bakr. Tetapi Umar menatap muka mereka dengan mata penuh curiga tanpa memberi jawaban. Kemudian Abu Bakr sendiri yang bertindak sebagai perantara kepada Rasulullah mewakili orang-orang Kuraisy musyrik itu. la mcngharapkan belas kasihannya dan sikap yang lebih lunak terhadap  mereka. la menolak alasan-alasan Umar yang mau main keras  terhadap  mereka. Diingatkannya pertalian kerabat antara mereka  dengan  Nabi. Apa yang dilakukannya itu sebenarnya karena memang  sudah bawaannya sebagai orang yang lembut hati, dan kasih sayang  baginya sama dengan keimanannya pada kebenaran dan keadilan.  Barangkali dengan mata hati nuraninya ia melihat peranan kasih  sayang itu juga yang akhirnya akan menang. Manusia akan menuruti  kodrat yang ada dalam dirinya dan dalam keyakinannya sclama ia  melihat sifat kasih sayang itu adalah peri kemanusiaan yang agung,  jauh daii segala sifat lcmah dan hawa nafsu. Yang menggerakkan  hatinya hanyalah kekuatan dan kemampuan. Atau, kekuasaan  manusia  terhadap dirinya ialah kckuasaan yang dapat meredam  bengisnya kekuatan, dapat melunakkan kejamnya kekuasaan.

Arah hidupnya sesudah Badr
Sebenarnya Perang Badr itu merupakan permulaan hidup baru  buat kaum Muslimin, juga merupakan permulaan arah baru dalam  hidup Abu Bakr. Kaum Muslimin mulai mengatur siasat dalam  menghadapi Kuraisy dan kabilah-kabilah sekitarnya yang melawan  mereka.  Abu Bakr mulai bekerja dengan Nabi dalam mengatur siasat  itu berlipat ganda ketika masih tinggal di Mckah dulu dalam  melindungi kaum Muslimin. Pihak Muslimin semua sudah tahu,  bahwa  Kuraisy tidak akan tinggal diam sebelum mereka dapat  membalas dendam kejadian di Badr itu. Juga mereka mengetahui  bahwa dakwah yang baru tumbuh ini perlu sekali mendapat perlindungan  dan perlu mempertahankan diri dari segala scrangan terhadap mereka itu. Jadi harus ada perhitungan,  hams ada pengaturan siasat. Dengan posisinya di samping Rasulullah seperti yang sudah kita lihat, Abu Bakr tak akan dapat bekerja tanpa adanya perhitungaji dan pengaturan serupa itu, supaya jangan timbul kekacauan di dalam kota Medinah atas hasutan pihak Yahudi dan golongan munafik, dan  supaya jangan ada serangan pihak luar ke Madinah.
Abu Bakr dan Umar; pembantu Rasulullah
Kemenangan Muslimin di Badr itu juga sebenarnya telah mengangkat martabat mereka. Inilah yang telah menimbulkan kedengkian  di pihak lawan. Pada pihak Yahudi timbul rasa sakit hati yang  tadinya biasa-biasa saja. Dalam hati kabilah-kabilah di sekitar  Medinah  yang tadinya merasa aman kini timbul rasa khawatir. Tidak  bisa lain, untuk mencegah apa yang mungkin timbul dari mereka itu,  diperlukan suatu siasat yang mantap, suatu perhitungan yang saksama.  Musyawarah yang terus-menerus antara Nabi dengan sahabat-sahabat  telah diadakan. Abu Bakr dan Umar oleh Nabi diambil sebagai  pembantu dekat (wazir) guna mengatur siasat baru, yang sekaligus  merupakan batu penguji mengingat adanya perbedaan watak pada  kedua orang itu, meskipun mereka sama-sama jujur dan ikhlas dalam  bermusyawarah. Di samping dengan mereka ia juga bermusyawarah  dengan kaum Muslimin yang lain. Musyawarah ini memberi pengaruh  besar dalam arti persatuan dan pembagian tanggung jawab demikian,  sehingga masing-masing mereka merasa turut memberikan saham.
Sebagai penangkal akibat dendam kesumat pihak Yahudi itu  kaum Muslimin sekarang mengepung Banu Qainuqa' dan  mengeluarkan  mereka dari  Medinah. Begitu juga akibat rasa  kekhawatiran kabilah-kabilah yang berada di sekeliling Medinah,  mereka berkumpul hendak mengadakan serangan ke dalam kota.  Tetapi begitu mendengar Muhammad keluar hendak menyongsong  mereka, mereka sudah lari ketakutan.

Dalam perang Uhud
Berita-berita demikian itu tentu sampai juga ke Mekah, dan ini  tidak menutup pikiran Kuraisy hendak membalas dendam atas  kekalahan mereka di Badr itu. Dalam upaya mereka hendak menuntut  balas itu mereka akan berhadapan dengan pihak Muslimin di Uhud.  Di  sinilah terjadi pertempuran hebat. Tetapi hari itu kaum Muslimin  mengalami bencana tatkala pasukan pemanah melanggar perintah Nabi.  Mereka meninggalkan posnya, pergi memperebutkan harta rampasan  perang. Saat itu Khalid bin Walid mengambil kesempatan, Kuraisy  segera mengadakan serangan dan kaum Muslimin mengalami  kekacauan. Waktu itulah Nabi terkena lemparan batu yang dilakukan  oleh kaum musyrik. Lemparan itu mengenai pipi dan wajahnya,  sehingga Kuraisy berteriakteriak mengatakan Nabi sudah meninggal.  Kalau tidak karena pahlawanpahlawan Islam ketika itu segera  mengelilinginya, dengan mengorbankan diri dan nyawa mereka, tentu  Allah waktu itu sudah akan menentukan nasib lain terhadap mereka.
Sejak itu Abu Bakr lebih sering lagi mendampingi Nabi, baik  dalam peperangan maupun ketika di dalam kota di Medinah.
Orang masih ingat sejarah Muslimin — sampai keadaan jadi  stabil sesudah  pembebasan  Mekah  dan  masuknya Banu  Saqif di   Ta'if ke dalam pangkuan Islam — penuh tantangan berupa  peristiwa-peristiwa perang, atau dalam usaha mencegah perang atau  untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Belum lagi  peristiwa-peristiwa kecil lainnya dalam bentuk ekspedisi-ekspedisi atau  patroli. Waktu itu orang-orang Yahudi — dipimpin oleh Huyai bin  Akhtab — tak henti-hentinya menghasut kaum Muslimin.  Begitu  juga  Kuraisy,  mereka berusaha matimatian mau melemahkan dan  menghancurkan kekuatan Islam. Terjadinya perang Banu Nadir,   Khandaq dan Banu Quraizah dan diselang seling dengan  bentrokan-bentrokan lain, semua itu akibat politik Yahudi dan  kedengkian Kuraisy.
Dalam semua peristiwa dan kegiatan itu Abu Bakr lebih banyak mendampingi Nabi. Dialah yang paling kuat kepercayaannya pada  ajaran Nabi. Setelah Rasulullah merasa aman melihat ketahanan Medinah, dan tiba waktunya untuk mengarahkan langkah ke arah yang baru — semoga Allah  membukakan jalannya untuk menyempurnakan   agama-Nya — maka peranan yang dipegang Abu Bakr itu telah  menambah keyakinan kaum Muslimin bahwa sesudah Rasulullah,  dialah  orang yang punya tempat dalam hati mereka, orang yang sangat mereka hargai.

Sikapnya di Hudaibiyah
Enam tahun setelah hijrah kaum Muslimin ke Medinah  Muhammad mengumumkan kepada orang banyak untuk mengerjakan  ibadah haji ke Mekah. Berita perjalanan jemaah ini sampai juga kepada  Kuraisy. Mereka bersumpah tidak akan membiarkan Muhammad  memasuki Mekah secara paksa. Maka Muhammad dan para sahabat  pun tinggal di Hudaibiyah, di pinggiran kota Mekah. Ia berpegang  teguh pada perdamaian dan ia menolak setiap usaha yang akan  menimbulkan bentrokan dengan Kuraisy. Diumumkannya bahwa  kedatangannya adalah akan menunaikan ibadah haji, bukan untuk  berperang. Kemudian dilakukan tukar-menukar delegasi dengan  pihak  Kuraisy, yang berakhir dengan persetujuan, bahwa tahun ini ia harus pulang dan boleh kembali lagi tahun depan.
Kaum Muslimin banyak yang marah, termasuk Umar bin  Khattab, karena harus mengalah dan harus pulang. Mereka  berpendapat,  isi perjanjian ini merendahkan martabat agama mereka.  Tetapi Abu Bakr langsung percaya dan yakin akan kebijaksanaan  Rasulullah. Setelah kemudian turun Surah Fath (48) bahwa persetujuan Hudaibiyah itu  adalah suatu kemenangan yang nyata, dan Abu Bakr dalam hal ini,  seperti juga dalam peristiwa-peristiwa lain, ialah  as-Siddiq,  yang  tulus  hati, yang segera percaya.

Kekuatan Muslimin dan mengalirnya para utusan
Integritas dakwah Islam makin hari makin kuat. Kedudukan  Muslimin  di Medinah juga makin  kuat.  Salah  satu  manifestasi   kekuatan mereka, mereka telah mampu mengepung pihak Yahudi di   Khaibar, Fadak dan Taima', dan mereka menyerah pada kekuasaan  Muslimin, sebagai pendahuluan untuk kemudian mereka dikeluarkan  dari tanah Arab. Di samping itu, manifestasi lain kuatnya Muslimin  waktu itu serta tanda kukuhnya dakwah Islam ialah dengan dikirimnya  surat-surat oleh Muhammad kepada raja-raja dan para amir  (penguasa)  di Persia, Bizantium, Mesir, Hira, Yaman dan  negeri-negeri  Arab di sekitarnya atau yang termasuk amirat-nya..
Adapun gejala yang paling menonjol tentang sempurna dan kuatnya dakwah itu ialah bebasnya Mekah dan pengepungan Ta'if.  Dengan itu cahaya agama yang baru ini sekarang sudah bersinar ke  seluruh Semenanjung, sampai ke perbatasan kedua imperium besar  yang memegang tampuk pimpinan dunia ketika itu: Rumawi dan  Persia. Dengan demikian Rasulullah dan kaum Muslimin sudah merasa  lega atas pertolongan Allah itu, meskipun tetap harus waspada  terhadap  kemungkinan adanya serangan dari pihak-pihak yang ingin  memadamkan cahaya agama yang baru ini.

Bersinarnya cahaya Islam
Setelah orang-orang Arab melihat adanya kekuatan  ini delegasi mereka datang berturut-turut dari segenap Semenanjung, menyatakan keimanannya pada agama baru ini. Bukankah pembawa dakwah ini pada mulanya hanya seorang diri?! Sekarang ia sudah dapat  mengalahkan Yahudi, Nasrani, Majusi dan kaum musyrik. Bukankah  hanya kebenaran yang akan mendapat kemenangan? Adakah tanda  yang lebih jelas bahwa memang dakwahnya itulah yang benar, yang mutlak mendapat kemenangan atas mereka semua itu? Ia tidak  bermaksud menguasai mereka. Yang dimintanya hanyalah beriman  kepada Allah, dan berbuat segala yang baik. Inilah logika yang amat  manusiawi, diakui oleh umat manusia pada setiap zaman dan mereka  beriman di mana pun mereka berada. Ini juga logika yang diakui oleh  akal pikiran manusia. Kekuatan argumentasinya yang tak dapat  dikalahkan itu sudah dibuktikan oleh sejarah.
Abu Bakr memimpin jamaah haji
Allah telah  mengizinkan kaum Muslimin melengkapi kewajiban agamanya,  dan  ibadah  haji  itulah  kelengkapannya.  Oleh  karena  itu dengan adanya delegasi yang berturut-turut itu tidak  memungkinkan Rasulullah meninggalkan Medinah pergi ke Baitullah.  Maka dimintanya Abu Bakr memimpin jamaah pergi menunaikan  ibadah  haji. la berangkat bersama tiga ratus orang. Mereka  melaksanakan ibadah itu, melaksanakan tawaf dan sai. Dalam musim  haji inilah Ali bin Abi Talib mengumumkan — sumber lain   menyebutkan  Abu  Bakr yang mengumumkan — bahwa sesudah  tahun  itu tak boleh lagi kaum musyrik ikut berhaji. Kemudian orang  menunda empat bulan lagi supaya setiap golongan dapat kembali ke tempat tinggal dan negeri masing-masing. Sejak hari itu, sampai sekarang, dan sampai waktu yang  dikehendaki Allah, tak akan ada lagi orang musyrik pergi berhaji  ke  Baitullah, dan tidak akan ada.

Haji Perpisahan dan keberangkatan Usamah
Tahun kesepuluh Hijri Rasulullah melaksanakan ibadah haji perpisahan. Abu Bakr juga ikut serta. Rasulullah  Sallallahu  'alaihi wasallam berangkat bersama semua istrinya, yang juga diikuti oleh  seratus ribu orang Arab atau lebih. Sepulang dari melaksanakan  ibadah  haji, Nabi tidak lama lagi tinggal di Medinah. Ketika itu  dikeluarkannya perintah supaya satu pasukan besar disiapkan  berangkat ke Syam, terdiri dari kaum Muhajirin yang mula-mula,  termasuk Abu Bakr dan Umar. Pasukan itu sudah bermarkas di Jurf  (tidak jauh dari Medinah) tatkala tersiar berita, bahwa Rasulullah jatuh  sakit. Perjalanan itu tidak diteruskan dan karena sakit Rasulullah  bertambah keras, orang makin cemas.

Abu Bakr memimpin salat
Karena sakit bertambah berat juga maka Nabi meminta Abu Bakr memimpin sembahyang. Disebutkan bahwa Aisyah pernah  mengatakan: "Setelah sakit Rasulullah  Sallallahu  'alaihi wasallam  semakin berat Bilal datang mengajak bersembayang: 'Suruh Abu Bakr  memimpin salat!' Kataku: Rasulullah, Abu Bakr cepat terharu dan  mudah menangis. Kalau dia menggantikanmu suaranya tak akan  terdengar. Bagaimana kalau perintahkan kepada Umar saja! Katanya:  'Suruh Abu Bakr memimpin sembahyang!' Lalu kataku kepada  Hafsah: Beritahukanlah kepadanya bahwa Abu  Bakr orang  yang   cepat terharu dan  kalau  dia menggantikanmu suaranya tak akan  terdengar. Bagaimana kalau perintahkan kepada Umar saja! Usul itu  disampaikan oleh Hafsah. Tetapi kata Nabi lagi: Kamu seperti perempuan-perempuan yang di  sekeliling Yusuf. Suruhlah Abu Bakr memimpin sembahyang. Kemudian  kata Hafsah kepada Aisyah: Usahaku tidak lebih baik dari yang  kaulakukan."
Sekarang Abu Bakr bertindak memimpin salat sesuai dengan perintah Nabi. Suatu hari, karena Abu Bakr tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umar yang  diminta mengimami salat. Suara Umar cukup lantang, sehingga ketika  mengucapkan takbir di mesjid terdengar oleh Muhammad dari rumah  Aisyah, maka katanya:
"Mana Abu Bakr? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian."
Dengan itu orang menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakr sebagai penggantinya kelak, karena memimpin orang-orang salat merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Sementara masih dalam sakitnya itu suatu hari Muhammad  keluar ke tengah-tengah kaum Muslimin di mesjid, dan antara lain ia  berkata:
"Seorang hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia memilih berada di sisi Allah." Kemudian diam. Abu Bakr segera mengerti, bahwa yang dimaksud oleh Nabi  dirinya. Ia tak dapat menahan air mata dan ia menangis, seraya katanya:
"Kami akan menebus Tuan dengan jiwa kami dan anak-anak kami." Setelah itu Muhammad minta semua pintu mesjid ditutup kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr. Kemudian katanya sambil menunjuk kepada Abu Bakr: "Aku belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman) maka Abu Bakr-lah khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ini dalam iman, sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita di sisi-Nya."
Pada hari ketika ajal Nabi tiba ia keluar waktu subuh ke mesjid sambil bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadl bin al-Abbas.  Abu Bakr waktu itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang.  Ketika kaum Muslimin melihat kehadiran Nabi, mereka bergembira  luar biasa. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka meneruskan  salat. Abu Bakr merasa bahwa mereka berlaku demikian karena ada  Rasulullah. Abu Bakr surut dari tempatnya. Tetapi Nabi memberi  isyarat agar diteruskan. Lalu Rasulullah duduk di sebelah Abu Bakr,  salat sambil duduk.
Lepas salat Nabi kembali ke rumah Aisyah. Tetapi tak lama kemudian demamnya kambuh lagi. Ia minta dibawakan sebuah  bejana berisi air dingin. Diletakkannya tangannya ke dalam bejana itu  dan dengan begini ia mengusap air ke wajahnya. Tak lama kemudian ia telah  kembali kepada Zat Maha Tinggi, kembali ke sisi Allah.
Rasulullah telah meninggalkan dunia kita setelah Allah menyempurnakan agama ini bagi umat manusia, dan melengkapi kenikmatan hidup bagi mereka. Apa pulakah yang dilakukan orang-orang Arab  itu kemudian? Ia tidak meninggalkan seorang pengganti, juga tidak  membuat suatu sistem hukum negara yang terinci. Hendaklah  mereka  berusaha (berijtihad) sendiri. Setiap orang yang berijtihad  akan mendapat bagian.

sumber: http://www.islam2u.net/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com