Senin, 01 April 2013

Dilema Hukuman Mati

Barangsiapa memiliki kekuasaan cenderung senang berpura-pura menjadi Tuhan. Tak terkecuali penguasa atheis sekalipun. Ngedumel ngawur adalah kebiasaan spontan agar bisa berdamai dengan perasaan tak berdaya  karena membaca berita tentang Adam Wilson (42), misalnya. Terpidana mati kasus narkotika asal Nigeria itu,  Kami malam, 14 Maret 2013 lalu dieksekusi Kejaksaan Agung di kawasan Pulau Seribu. Mantan anggota intelijen Nigeria itu ditangkap tahun 2003 karena menyelundupkan 100 gram heroin, dan divonis hukuman mati. Meski mendekam di penjara, Adam masih bisa mengendalikan bisnis narkoba komplotannya. Eksekusi Adam ditulis dalam berita satu kolom rubrik Kilas Politik & Hukum, di pojok kiri atas halaman dua harian Kompas, Sabtu, 16 Maret 2013.
Tepat di bawah kabar  Adam Wilson, di rubrik yang sama, terpapar berita Australia Beri Corby Jaminan Pembebasan. Schapelle Leigh Corby (36), ditangkap di Bandara Ngurah Rai pada bulan Oktober 2004, karena membawa ganja 4,5 kilogram. Mantan pelajar sekolah kecantikan asal Brisbane, Australia, itu divonis 20 tahun penjara. Tapi, Corby mendapat remisi dan lima tahun grasi dari Presiden SBY sehingga hukumannya tinggal 15 tahun dan akan bebas pada 27 September 2017. Karena sudah menjalani 2/3 masa hukuman, Corby berhak mengajukan pembebasan bersyarat. Untuk itu, Konsul Australia di Bali, Brett Farmer, pada 27 Februari lalu sudah mengajukan surat penjaminan dari Pemerintah Australia langsung kepada I Gusti Ngurah Wiranata, Kepala LP Kelas II Denpasar, Bali, tempat Corby dibui.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/da/Swinging-corpse-silhouette.jpgDua hari kemudian, Senin, 18 Maret 2013, di halaman tiga harian Kompas terpajang foto jumpa pers sejumlah aktivis LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, antara lain advokat Todung Mulya Lubis, Ricky Gunawan (LBH Masyarakat), Bathara Ibnu Reza (Imparsial) dan Haris Azhar (Kontras), yang berlangsung di kantor Kontras, Sabtu (16/3). Pada caption foto disebutkan Koalisi Masyarakat Sipil mengecam eksekusi mati  Adam Wilson yang dinilai sebagai langkah mundur bagi kebijakan hak asasi manusia di Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan  kasus korupsi simulator, KLB Demokrat, harga bawang merah putih yang menghina daya beli rakyat miskin, dan temuan beruntun potongan mayat korban pembunuhan yang dimutilasi, ketiga berita pendek di atas memang wajar jika terlewatkan. Toh, sayup-sayup berhembus kabar bahwa eksekusi terhadap Adam Wilson tak sepenuhnya untuk membuktikan komitmen pemerintah memberantas  narkoba atau demi penegakan hukum, tapi juga  sebagai alat politik terkait Pemilu 2014—termasuk untuk mereparasi citra Presiden SBY yang ternoda grasi Corby. Dengan demikian, ironi perih dalam rangkaian realita faktual di harian Kompas yang muram dan terlewat itu semakin terasa getir.
Administrasi Kusut dan Peradilan Sesat
Tahun 2008, delapan terpidana mati dieksekusi. Tiga di antaranya terpidana mati kasus bom Bali II (Amrozi, Muklas, Imam Samudra), dua  kasus narkoba, dan tiga lainnya  kasus pembunuhan. Setelah itu, pelaksanaan eksekusi lowong empat tahun (2009-2012). Dan Adam Wilson adalah terpidana mati pertama dari 10 terpidana mati yang sudah ditetapkan Kejagung bakal dieksekusi di tahun 2013 ini.
Kalau Anda tergoda bertanya berapakah jumlah terpidana mati di Indonesia, silakan pilih salah satu data berikut ini:
Kompas.com, Kamis, 15/3/2012: Berdasarkan data  Kemenkumdan HAM, jumlah terpidana mati di Indonesia  113 orang–58 orang di antaranya terkait kasus narkotika.
Sapulidinews.com, Jumat, 17/8/2012: Saya tidak terlalu ingat jumlah pastinya. Tapi kabar yang saya terima ada sekitar 111 terpidana mati, “ kata Wakil Jaksa Agung, Dharmono.
Antara.com, Rabu, 26/12/2012: Pada Laporan Akhir Tahun  Kejakgung 2012, Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan jumlah terpidana  mati tercatat 133 orang, 71 di antaranya terpidana mati kasus narkoba, dua kasus terorisme dan 60 kasus pembunuhan. Delapan dari 133 terpidana mati sudah berkekuatan hukum tetap dan bisa dieksekusi, sisanya masih mengupayakan banding, kasasi, PK dan grasi.
KomisiKepolisianIndonesia.com, Rabu, 26/12/2012: “Kejakgung menargetkan eksekusi terhadap 10 terpidana mati pada tahun 2013 mendatang. Jumlah tersebut dari total 113 terpidana mati hingga tahun 2012 ini,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum Mahfud Manan.
IndonesiaRayaNews.com, Jumat, 1/2/2013:. “Jadi, dari terpidana mati yang berjumlah 111 orang itu, ada 12 terpidana yang sudah bisa dieksekusi,” kata Jaksa Agung Basrief Arief di Jakarta, Jumat(1/2). Sedangkan terpidana mati lainnya, katanya, masih ada yang mengajukan upaya grasi ke Presiden RI.
Alhasil, seperti harga bawang yang fluktuatif, berapa persisnya jumlah terpidana mati di Indonesia sekarang ini angkanya juga tidak pasti—untuk tidak menyebut data tentang hal itu secara administratif kusut, suatu hal yang lazim terjadi di semua lini birokrasi republik ini. Contoh lain teknis administrasi kusut yang saat ini  ramai diberitakan adalah putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi mantan Kabareskrim Polri Komjen (Purn) Susno Duadji.  Isi putusan MA itu hanya berisi menolak kasasi dan membebankan biaya perkara Rp 2.500. Karena tidak mencantumkan  masalah penahanan sebagaimana tertuang di Pasal 197 KUHAP,  pencipta isilah “Cicak-Buaya” itu menolak dieksekusi penjara dan hanya bersedia membayar biaya perkara saja. Tapi,  Jaksa Agung Basrief Arief memastikan  tetap akan mengeksekusi  Susno. Basrief mengaku sudah berkoordinasi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua MA, serta para pakar hukum dan memutuskan bahwa Susno  harus dieksekusi (Kompas.com, Jumat, 15/3/2013). Lho?
Menyimak administrasi kusut yang menjerat institusi dan pemangku penegakan hukum republik ini, peradilan sesat adalah suatu hal yang niscaya terjadi. Kasus Sengkon-Karta (1974) adalah salah satu contoh legendaris korban peradilan sesat Indonesia. Beruntung Sengkon-Karta bukan terpidana mati sehingga ketika kebenaran terungkap mereka dapat direhabilitasi dalam keadaan hidup.
Tapi, sejarah mencatat sejumlah peradilan sesat di penghujung abad 19 telah mengakibatkan puluhan orang tak bersalah dieksekusi mati—seperti yang diceritakan Gerhart Hermann dalam buku Peradilan yang Sesat, terbitan Grafiti Press 1983. Bahkan peradilan sesat di Amerika Serikat yang perangkat dan penegakan hukumnya relatif tidak sekusut Indonesia, dalam kurun waktu 1990-2004 telah menyuntik mati 10 terpidana mati yang setelah dieksekusi ternyata terbukti tidak bersalah (angkatigabelas.com).
Hapuskan Hukuman Mati
Menimbang kemungkinan terjadinya peradilan sesat, atau digunakan sebagai alat politik dan sejumlah alasan lain, maka pidana mati pun dihapuskan di Vincounsin (1859), Columbia (1864), Costa Rica( 1880), Italia (1890), Norwegia (1902), Swedia (1921), Chili (1930), Denmark (1933), New Zealand (1941), Venezuela (1949), Portugal (1976), Nicaragua (1979), Perancis (1981), Spanyol ( 1995), Equador (1995), dan Belgia (1996)—(Roeslan SalehMasalah Pidana Mati. Jakarta, Aksara Baru, 1978).  Hingga Juni 2006, hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia. Sedangkan 129 negara atau lebih dari separuh jumlah Negara di dunia telah menghapus hukuman mati. (wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati).
Di Indonesia, tuntutan dihapuskannya hukuman mati mulai disuarakan pada tahun 1980, dipicu rencana rezim Orde Baru (Orba) mengeksekusi mati Kusni Kasdut—veteran pejuang yang setelah RI merdeka jadi “perampok budiman” bak Robinhood. Awalnya, disuarakan  tokoh-tokoh aktivis hak asasi manusia, kemudian menjadi gerakan masyarakat sipil bernama Aliansi Hapus Hukuman Mati (HATI). Adam Malik, Wakil Presiden RI saat itu, adalah salah satu tokoh Aliansi HATI yang mengambil risiko bertentangan dengan kebijakan resmi pemerintah. Toh, Kusni Kadut tetap dieksekusi dan sampai sekarang Indonesia masih mempraktikkan hukuman mati.
Di era reformasi, suara Aliansi HATI terbungkam seruan ormas antinarkoba, lembaga keagamaan, LSM antikorupsi, sejumlah tokoh masyarakat dan pakar hukum yang gencar menuntut agar koruptor dan penjahat narkoba dihukum mati. Bahkan Henry Yosodiningrat, advokat dan Ketua Umum GRANAT, pernah menyatroni Kejakgung guna menuntut semua terpidana mati kasus narkoba segera dieksekusi. Alasannya, antara lain, untuk menimbulkan efek jera supaya negeri ini terbebas dari jerat narkoba.
Salah satu tujuan dipraktikkannya hukuman mati, kita tahu, memang supaya orang takut melakukan perbuatan yang bisa membuatnya divonis mati. Oleh karena itu, di masa silam pelaksanaan eksekusi hukuman mati dilakukan di muka umum. Dengan menyaksikan sendiri bagaimana terpidana mati digantung atau dipenggal kepalanya, diharapkan tak ada lagi orang yang berani berbuat kejahatan serupa.
Dalam buku Krisis Kebebasan terbitan Yayasan Obor Indonesia 1988, Albert Camus menulis esai panjang yang muram dan sedih berjudul Merenungkan Gilotin (1957). Di Perancis, kata Camus, “Eksekusi di depan publik untuk terakhir kalinya dilakukan tahun 1939 terhadap Weidman, pelaku pembunuhan berganda yang memang dikenal keji. Sekelompok besar orang ramai berkumpul di Versailles, termasuk sejumlah juru foto. Antara saat Weidman dipertunjukkan ke hadapan orang banyak dan saat kepalanya dipenggal, orang diperbolehkan memotret. Beberapa jam kemudian Paris Soir menerbitkan satu halaman khusus tentang peristiwa yang sungguh menggugah selera itu.”
Anehnya, pemerintah menganggap publisitas yang menakjubkan itu justru menimbulkan akibat jelek dan menuduh pers mencoba memuaskan naluri sadistis para pembacanya. Akibatnya, diputuskanlah bahwa eksekusi tidak akan lagi dilakukan di hadapan orang banyak. Padahal, lanjut Camus, “Apabila hukuman memang ditujukan untuk memberi contoh, maka tidak hanya jumlah juru foto saja yang harus ditambah, tapi peralatan hukuman juga harus dipasang di Place de la Concorde pada pukul dua siang, seluruh penduduk Perancis diundang, dan upacaranya disiarkan langsung lewat televisi. Karena suatu hukuman haruslah menimbulkan rasa takut agar benar-benar menjadi contoh. Bagaimana bisa suatu pembunuhan yang dilakukan diam-diam pada suatu malam di halaman penjara dapat disebut memiliki nilai sebagai contoh?”
Tahun 1983, dengan dalih memberantas premanisme, rezim Orba membentuk pasukan rahasia Penembak Misterius (Petrus). Hasilnya, ratusan mayat preman bertato dengan luka tembak terbungkus karung digeletakkan di tempat-tempat umum di mana orang ramai lantas berkerumun dan tercekam rasa ngeri. Pada awalnya, pemerintah menyebut mayat-mayat bertato dalam karung itu sebagai korban perang antargeng preman. Tapi, belakangan Pak Harto sendiri mengakui bahwa Petrus merupakan kebijakan pemerintah untuk sekadar memberikan “shock therapy” agar preman yang masih hidup bertobat dan Indonesia terbebas dari premanisme. Rezim Orba, kita tahu, memang penganut faham, “Diperlukan pemandangan mengerikan agar rakyat bisa dikuasai,” yang dianjurkan Tuaut de le Bouverie, politisi Perancis abad 18 pendukung pelaksanaan eksekusi mati di depan umum.
Dalam jangka pendek, Petrus memang berhasil bikin ciut nyali para preman. Tapi, begitu rezim Orba runtuh, premanisme kembali bangkit, bahkan lebih banyak dan lebih ‘songong’ dari sebelumnya. Eksistensi dan pertarungan berdarah kelompok (alm) Basri Sangaji, John Kei, Hercules dan sejumlah preman berbaju ormas, cukup menjelaskan bahwa “shock therapy” ala Petrus terbukti bukan solusi jitu membasmi premanisme.
Hukum yang haus darah, kata Camus, melahirkan kebiasaan yang haus darah pula. Saya pikir Camus benar. Oleh karena itu, meskipun bukan anggota Aliansi HATI, saya mendukung dihapuskannya hukuman mati, antara lain dengan bikin lagu Menunggu Eksekusi yang musiknya diaransemen mendiang A. Riyanto (1981), menulis cerita bersambung Menunggu Eksekusi Mati di suratkabar Surabaya Post (1987), yang diterbitkan dalam bentuk novel oleh Alam Budaya (1988). Keduanya memang bukan karya penting yang patut dibanggakan. Tapi, setidaknya, lagu yang terinspirasi kisah tragis Kusni Kasdut itu sampai sekarang sesekali masih dinyanyikan pengamen Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), di metromini, biskota dan di kawasan warung makan kaki lima Blok M Jakarta Selatan.
Bagi saya, urusan mencabut nyawa manusia sederhana  saja: itu sepenuhnya merupakan wewenang Tuhan, dan untuk melaksanakannya Tuhan telah menugasi Malaikat Maut. Pasalnya, barangsiapa memiliki kekuasaan cenderung senang berpura-pura menjadi Tuhan, antara lain dengan menentukan kapan, di mana dan bagaimana  seseorang  mesti dicabut hak hidupnya.
Tapi, seandainya saya atheis sekalipun, saya tetap akan mendukung dihapuskannya hukuman mati. Sebab, seperti kata Francart yang  dikutip Camus dalam esai Merenungkan Gilotin yang muram dan sedih itu, “Pelajaran dari tiang gantungan yang kita terima adalah, hidup manusia tidak lagi dianggap mulia ketika membunuhnya menjadi lebih berguna.” ***
sumber: http://hukum.kompasiana.com/2013/03/22/eksekusi-hukuman-mati-yang-percuma-545142.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com