11 Tahun Lalu: Menjadi Saksi Tragedi Sampit 18 Februari 2001
Saat itu aku baru berumur 8 tahun 2 bulan, tepatnya masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Tahun 2001 baru saja melewati bulan pertamanya Januari dan semua masih sedia kala. Namun, semua berubah ketika Minggu, 18 Februari 2001 menjadi awal saat dimana kotaku memilki sejarah yang kelam. Bukan maksudku untuk memicu kembali tragedi tersebut, hanya ingin berbagai pengalaman. Berharap pengalaman ini nantinya menjadi pelajaran berharga anak cucu agar tidak akan pernah lagi terjadi tragedi semacam ini, baik di Sampit maupun di wilayah lainnya. Aamiin
***
Minggu, 18 Februari 2001 aku bersama ayahku saat itu sedang melakukan kerja bakti memberihkan pekarangan rumah. Kebetulan rumput dihalaman depan rumah sudah mulai tinggi. Kemudian kerja bakti terhenti ketika ayahku melihat kepulan asap hitam dari arah selatan yang tak terlalu jauh dari rumahku. Ku perkirakan jaraknya antara 1-2 km dan kalau menggunakan motor dalam waktu 5 menit dengan kecepatan 40 km/jam pun pasti sudah sampai.
“bremm.. bremm.. “
Ayahku berusaha menghidupkan motor tuanya. Kemudian aku bantu dorong barulah motor itu benar-benar hidup. Ayahku kala itu mengajakku untuk melihat lokasi kebakaran tersebut. Ya, akhirnya kami berdua pergi dengan segera bahkan karena buru-buru ayahku tidak sempat lagi memakai alas kaki. Belum sampai di lokasi kebakaran, kami sudah di minta berbelok oleh orang-orang bersenjata tajam.
“BELOK PAK, BELOK PAK, ADA KERUSUHAN” teriak orang itu kearah kami.
Dengan sigap, ayahku langsung berbelok dan kembali tancap gas. Untungnya kami di minta berbelok, coba kalau sudah sampai tempat kebakaran, bisa dibayangkan mungkin tulisan ini tak akan pernah rekan-rekan baca.
Ternyata yang terbakar itu adalah rumah dari orang tua tetanggaku dari suku dayak. Aku sering berlatih bermain badminton di jalan depan rumah beliau. Ya, beliaulah yang mengajariku bermain badminton setiap sore hari jika tidak ada kegiatan lain. Menurut kabar yang saya peroleh, dirumah orang tua pelatihku ada sedikit konflik antara suku dayak dan Madura yang menyebabkan rumahnya menjadi korban amukan yang berujung pada aksi pembakaran. Untuk kronolgisnya bisa kalian baca di berbagai artikel yang pada umumnya kontennta sama dan entah awalmula artikel darimana? Dan saya memberikan link ini.
***
Senin, 19 Februari 2001 kejadian memang belum memanas namun hari itu aku tidak pergi ke sekolah, hanya Ayahku yang pergi ke kantor. Kebetulan Ayahku setiap pagi memang harus ke kantor karena ayahku yang pegang kunci kantor. Baru jam 09.00 WIB ayahku sudah kembali ke rumah, dan bilang kalau di kota sepi. Ada juga cerita dari Bapak Yunius Linga, guru bahasa Indonesiaku saat di SMA yang bercerita pengalaman beliau saat pergi mengajar saat hari Senin.
Ketika itu beliau berangkat dengan menggunakan sepeda motor Alfa. Motor keluaran lama yang tarikannya sangat lemah. Senin, 19 Februari 2001 ternyata dari jl. Jend Sudirman km 5 beliau berangkat ke sekolah hendak mengajar. Setiba di km 1 tiba-tiba saja beliau di stop oleh orang.
“Pak mau kemana?” kata orang itu
“Mau ngajar” kata guruku dengan logat maduranya padahal bukan orang Madura.
Seketika bicara seperti itu, langsung ada banyak orang keluar dari semak-semak dan orang yang ditemui guruku langsung menyuruh untuk putar baliL. Menurut guruku perasaan saat itu sudah campur aduk karena dengan mata kepala sendiri menyaksikan tombak melesat kesamping tubuhnya, dan senjata-senjata lainnya yang berusaha mengenai tubuh beliau. Wah, pengalaman yang tak pernah terlupakan bersama alfa tutur beliau. Bisa dibayangkan saja ketika tombak yang dilemparkan mengenai tubuh beliau, maka cerita ini pun tak akan pernah tersampaikan. Alhamdulillah
***
Selasa, 20 Februari 2001 suasana di Sampit semakin mencekam. Toko-toko tutup, tak ada lagi bibi/paman sayur berjualan keliling seperti biasanya. Menurut pejualan sayur didekat rumahku pasar sepi dan tidak ada orang jualan. Tapi kalau tidak salah, ayahku membawa banyak bahan makanan saat itu untuk persediaan nantinya kalau sewaktu-waktu konflik ini akan lama. Kebetulan Ayahku ada kenalan dengan sebuah toko langganan, walau tutup bisalah ketok-ketok kedalam rumah untuk belanja. Oh iya, warga Madura yang berada di sekitar rumahku mulai mengungsi ke kantor PEMDA, rumah jabatan Bupati dan sekitar POLRES Kotim. Kami yang menjadi tetangga hanya bisa bersalaman dengan mereka dan sedikit memberikan bantuan dana kepada mereka dalam bentuk uang. Tak banyak, tapi berharap dapat membantu nantinya.
Mulai saat itu, Sampit benar-benar seperti menjadi kota mati, listrik mulai sering padam. Selain itu, orang-orang dewasa mulai melakukan jaga malam lagi. Mungkin diluar komplek perumahan ku seperti kota mati, namun di dalam komplek perumahanku aku merasakan keramaian. Ya, beberapa mala mini aku makan jagung bakar, singking bakar dan tidur pun larut malam, serta yang paling disukai tidak ada belajar malam. hehehehe
***
Rabu, 21 Februari 2001 aku bersama keluarga besarku akhirnya juga pergi mengungi. Walau kami bukan dari suku yang secara langsung bertikai (dayak dan Madura) karena orang tuaku asli orang Malang, Jawa Timur. Kami pergi ke rumah kerabat ayahku yang berada di sekitar kantor PEMDA juga rumahnya. Selama dalam perjalanan menuju tempat mengungsi aku selalu membaca surat Al Fatihah dan yang pasti selalu memegang leher.*takut karena cerita orang-orang tentang pemenggalan kepala
***
Kamis, 22 Februari 2011 akhirnya kami kembali ke rumah lagi. Dan saat itu sudah mulai terjadi kebakaran berbagai fasilitas baik milik orang Dayak atau Madura. Kebakaran rumah orang dayak pada umumnya terjadi pada hari awal dan setelah tanggal 20 Februari 2001 kebakaran mulai banyak pada rumah orang-orang Madura. Mulai saat itu juga aku mendengar bahwa orang dayak pedalaman kelua dan datang ke Sampit. Sedikit bocoran, yang ku tahu orang-orang tersebut kebal dengan senjata tajam. Bahkan sering disebut-sebut Panglima Burung sebagai pemimpin pasukan mereka bisa terbang dan sebagainya. Mulai saat itu, nama Panglima Burung mulai dikenal oleh masyarakat Sampit sebagai seorang yang sakti. Ada juga panglima kumbang dan panglima-panglima lainnya.
Kebakaran , pengrusakan rumah, dan pembunuhan terjadi dimana-mana. Tak heran, hampir setiap hari aku melihat bara api dan kepulan asap yang melambung ke udara. Hari-hari yang ku dengar adalah adanya bunyi sirene ambulans dan police serta suara khas panggilan suku dayak. “Wo…wo…wo…wo…” membunyikan mulut dengan suara Wo kemudian menepuk-nepuk bibir dengan telapak tangan. Mulai saat itu, masyarakat Sampit pun tak heran dengan kebakaran bahkan kebakaran menjadi tontonan layaknya menonton kembang api saat pergantian tahun. Usiaku yang masih kecil membuatku hanya bisa mendengar dari cerita orang dewasa dan melihat tapi tak dapat mendekat dengan para pejuang suku dayak. Kurang lebih dua hari sejak tanggal 18 Februari suku Madura menguasai Sampit dan selanjutnya Sampit dikuasai kembali oleh suku Dayak.
Kantor PEMDA yang menjadi tempat pengungsian sudah tak berbentuk lagi rasanya, dihalaman, didalam kantor dan selagi ada ruang kosong sudah di jejali oleh pengungsi. Listrik pun akhirnya benar-benar padam, Air Pam warnanya mulai kemerahan yang menurut kabar ada sebagai mayat di lemparkan kedalam tangki. Akhirnya masyarakat kembali ke air sumur lagi untuk memenuhi kebutuhannya. Kasihannya lagi pengungsi mengalami kehausan dan kelaparan. Barang-barang yang miliki pun dengan berat hati dijual dan tentunya berapapun harganya mereka bersedia melepasnya. Ayahku pun mendapatkan dua sepeda , satu untukku dan yang satu lagi untuk kakakku. Sebaliknya, pengungsi tercekik karena ada sebagian penjual makanan dan minuman menjatuhkan harga yang cukup tinggi kepada pengungsi. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah mungkin kata yang tepat untuk pengungsi. Bayangkan saja, air minum yang dibungkus dengan plastik dengan volume mungkin tak sampai 1 liter dihargai Rp5000 dan makanan bungkus yang lauknya tempe dan tahu diharga Rp10.000.
***
Selama tragedi itu, ada beberapa keunikan yang masih saya ingat.
1. Menurut cerita, suku dayak dapat mencium bau badan suku Madura, sehingga tidak salah sasaran dalam penyerangan.
2. Warga non Madura yang tidak mengungsi diminta untuk memasangkan tali/kain berwarna merah dan kuning di tiang-tiang rumahnya yang ditambah juga dengan daun sawang, dengan tanda bahwa itu rumah bukan dari suku Madura.
3. Wah, dirumah-rumah lain pun mulai banyak tulisan “ULUH ITAH DAYAK” atau artinya saya orang dayak dan ada juga “ULUH ITAH JAWA” serta tulisan-tulisan sejenisnya di dinding-dinding rumah mereka karena khawatir jadi sasaran pembakaran rumah.
4. Orang tua diminta untuk mengoleskan kapur sirih ke dahi anak-anaknya tujuannya saya kurang tahu.
5. Ketika malam, orang tua juga diminta untuk memberikan gula merah kepada anak-anaknya agar di emut si anak tujuannya saya juga kurang tahu.
6. Anehnya, api yang membakar rumah orang Madura oleh suku dayak tidak mengenail rumah dari suku lain walau jaraknya berdekatan.
7. Menurut cerita, Mandau (senjata suku dayak) bisa terbang dan memangsa orang Madura yang melakukan perlawanan
8. Menurut cerita, jika orang dayak sudah meniupkan sumpitnya, PINTU pun akan tembus
9. Suku dayak banyak yang kebal dengan senjata tajam atau api
Selama tragedi itu sungguh aku tidak pernah menonton tv, dan tidur rata-rata hanya 3 saja, padahal aku masih duduk di kelas 3 SD. Itu karena kau berbaur dengan bapak-bapak yang ikut berjaga malam sambil menikmati jagung dan singkong bakar hasil mencabut dari lading suku Madura.*gak baik Tapi ya, ditempat orang Madura yang sudah dekat dengan kami-kami warga tadi. Seluruh ladangnya sudah ditinggalkan, dan menyisakan hasil tanaman-tanaman yang bisa dijadikan untuk bahan makanan berjaga malam.
Tragedi itu pun berakhir, orang-orang Madura kembali ke Pulau Madura dan suku dayak yang sering disebut orang pedalaman kembali ke daerahnya masing-masing. Tiba saatnya masuk sekolah. Semigga masih di antar orang tua dan untuk selanjtunya saya pun ke sekolah dengan bersepada, kebetulan ada beli sepeda dengan orang Madura kala itu. Hehehe… Ketika masuk sekolah, sepiiiiiiiiiii, teman-teman tersisa 14 siswa saja rasanya. Bahkan SD tetangga hanya tersisa 7 siswa. Wow, hingga akhirnya sekolah kami digabung menjadi satu. Cukup signifikan, peringkat kelas saya langsung melejit ke tiga besar. Hehehe
Untuk mengenang peristiwa tersebut sebagai bentuk perdamaian, Menurut guru sejarah saya di SMAN 1 Sampit dibuatlah Tugu Perdamaian sebagai tanda perdamaian antara kedua suku. Ya, tugu tersebut ditempatkan di bundaran Jl. Jend Sudirman Sampit-Pangkalan bun km 3. Ada pula Makam Korban Tragedi Sampit yang mungkin sudah tak ada lagi keluarga-keluarganya. Sampit menjadi kota mati untuk beberapa saat. Saya bersama orang-orang yang berada di Sampit saat itu hanya bisa menjadi saksi tragedi berdarah tersebut dan berharap tak akan pernah ada lagi tragedi semacam itu. Sekarang tragedi itu tepat 11 tahun dan senang rasanya bisa melihat SAMPIT aman kembali.
Di zaman pembangunan bangsa-bangsa ini telah muncul kemungkinannya, keharusan akan suatu “Dunia” yang bebas dari ketakutan, bebas dari kekurangan, bebas dari penindasan-penindasan Nasional. [Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960] - BUNG KARNO
Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu?
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual adat yang di Kalimantan Barat dinamakan Mangkuk Merah akan dilakukan untuk mengumpulkan para prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, Mengayau (memenggal kepala) dan membawa kepala yang di anggap musuhnya tersebut kemana-mana dan baru bisa berhenti apabila kepala adat yang dianggap perwakilan Panglima Burung menyadarkan mereka.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah agama manapun dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya.
Panglima Kumbang dianggap sebagai perintis untuk bantuan awal dalam sebuah konflik. Jika kehadiran Panglima Kumbang belum menyelesaikan konflik, apakah itu untuk sebuah kemenangan atau untuk kesepakatan damai, maka barulah Panglima Burung didatangkan.
Seperti Panglima Kumbang, Panglima Burung juga berasal dari suku Dayak, Kalimantan Tengah. Panglima Burung akan datang setelah melakukan semedi di tempat tertentu. Kesaktiannya, mampu memasukkan roh kepada semua anggota pasukan di lapangan sehingga mereka mengamuk dalam kondisi di bawah alam sadar.
Di luar kesadaran itu, pedang-pedang di tangan menebas leher orang-orang yang telah ditentukan melalui ritual Panglima Burung. Ada yang bahkan mengatakan bahwa pedang itu melayang sendiri mencari lawan-lawan yang telah ditentukan sebelumnya.
Antara percaya dan tidak, kesaktian Panglima Burung inilah yang ditakuti para warga. Jangan-jangan itu bukan sekadar mitos. Jangan-jangan itu akan terjadi di Tarakan. Jangan-jangan pula akan meluas ke wilayah lainnya, seperti Samarinda dan Nunukan. Soalnya, kedua daerah ini segera menghelat pemilukada yang tentu saja rawan konflik.
Warga pun mendengar cerita bahwa kesaktian Panglima Burung itu pula yang digunakan di Sampit sehingga banyak jatuh korban dengan sadis. Ciri-cirinya adalah, leher korban dicincang karena kepala harus dijadikan tumbal atas ritual yang telah dilakukan.
"Boleh jadi itu hanya mitos. Namun, di sisi lain, disebutkan juga bahwa Panglima Burung sebetulnya sangat bijak. Dia orang baik. Ia dituakan. Kalau masih ada jalan damai, Panglima Burung memilih yang terbaik untuk kebaikan semua.
Dia itu simbol dari orang-orang sabar dan sederhana. Kalau sudah menyangkut harga diri dan penghinaan dan tidak ada jalan lain, barulah turun. Makanya, Panglima Burung tidak sembarang turun. Ia sangat selektif," kata Jaya, 78, tetua adat Tidung yang kesehariannya mencari rumput laut.
Lantas bagaimana menangkal kesaktian Panglima Burung? Seorang tetua adat asal Sulsel di Nunukan mengisahkan dengan bahasa konon. Katanya, kesaktian Panglima Kumbang dan Panglima Burung terjadi pada ratusan tahun silam. Yang ada sekarang tinggal generasinya.
Ia juga mengisahkan bahwa antara suku Tidung dan suku Bugis masih punya hubungan darah. Buktinya, banyak orang Bugis yang kawin dengan suku Tidung. Demikian pula sebaliknya.
Salah seorang anggota Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan, Jamil, ayahnya suku Bugis Makassar dan ibunya orang Tidung. Ayahnya termasuk salah seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani di Nunukan. Sekkab Nunukan, Zainuddin HZ juga beristrikan orang Bugis.
Mungkin itu sebabnya sehingga antara suku Bugis dan Tidung selalu menghindari konflik berdarah. Ketika terjadi konflik di Nunukan pada 2008, ada kabar bahwa sekelompok orang dari Kajang turun dari kapal. Beberapa saat kemudian, kelompok yang terlibat konflik menghindar. Beberapa kawasan di Nunukan pun sepi. Konflik berdarah pun terhindar.
Beberapa warga di Nunukan mengaku sering mendengar bahwa kesaktian Panglima Burung pernah mendapat tantangan dari orang Bugis yang datang dari Kajang. Kisah ini lagi-lagi bernuansa mitos. Betapa tidak, ketika Panglima Burung mendemonstrasikan kesaktiannya, datang pula orang sakti dari Bugis Kajang.
Bugis Kajang menebar beras ke bumi. Hanya dengan mengayunkan telunjuknya dengan gerakan melingkar, ribuan biji beras itu pun bergerak sendiri hingga bersatu dalam sebuah onggokan.
Panglima Burung yang menyaksikan adegan itu, awalnya biasa-biasa saja. Namun, ketika dijelaskan, bahwa ini hanya contoh bagaimana orang Bugis Kajang mampu mengumpulkan lawan-lawannya yang tersebar di medan konflik seperti dengan mudahnya mengumpulkan biji-biji beras itu. Setelah lawan-lawannya terkumpul, barulah dengan mudah diperdayai. Mereka tidak bisa melawan.
"Namun demikian, orang Bugis tidak akan memperdayai orang-orang yang sudah tidak berdaya lagi," kata Ketua Perguruan Seni Bela Diri Tapak Suci Putra Muhammadiyah, Pimda 212 Kabupaten Nunukan, Andi Kaharuddin Andi Tokkong, Rabu 6 Oktober.
Perguruan ini berupaya mengakomodasi "orang-orang yang awalnya merasa jago" untuk dibina akhlaknya. Dikatakan, awalnya merasa jago, karena banyak anggotanya yang sebelum masuk perguruan ini, merasa jago berkelahi. Namun, ketika masuk perguruan dan menyalurkan kejagoannya, sedikit-demi sedikit diberi pembinaan akhlak sehingga pada akhirnya akan sadar sendiri dan tidak akan berkelahi.
Perguruan ini merangkul multietnis di Nunukan. Baik Bugis, Dayak, Tidung, maupun suku lainnya, seperti Jawa dan lain-lain. Strategi ini digunakan untuk menghindari konflik etnis di Nunukan.
Pembinanya berasal dari Parepare, yaitu Pendekar Utama Sukri Saleh. Pendekar Madya-nya dari tokoh masyarakat suku Tidung, yaitu Zainuddin HZ yang juga Sekkab Nunukan. Pelatihnya dari pemuda Dayak dan Tidung.
Jumlah kader sabuk biru 23 orang yang terdiri atas multietnis di Nunukan. Persebarannya di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, Sebatik, dan Sebatik Barat. Termasuk yang dalam proses di Kecamatan Sembakung dan Lumbis.
Lantas apakah ini nantinya tidak akan menjadi laskar-laskar dan jagoan-jagoan yang bisa memicu konflik? "O, tidak. Tidak sama sekali. Kita ini daerah perbatasan. Kita butuh cadangan bela negara. Para pemuda harus ada bekal bela diri. Bukan hanya bela diri, melainkan juga akhlakul kharimah.
Ini bahkan wahana pemersatu untuk menghindarkan tumbuhnya primordialisme kesukuan yang berlebihan. Dengan demikian, akan menghindarkan dari hal-hal yang memicu konflik horizontal," kata Kaharuddin yang ditemui usai salat asar berjemaah dengan anggotanya di sekitar pusat latihan, kemarin.
Kaharuddin yang juga sejarawan itu menuturkan, bahwa sebagaimana orang Bugis, suku Tidung juga memiliki sejarah tersendiri. Mereka juga hidup berpindah-pindah. Mereka sesungguhnya tidak menyukai kekerasan.
Hal ini dapat dilihat dari kesenian mereka, yaitu tari Zapin (Jeppeng) yang kemelayu-melayuan. Ada kemiripan dengan kesenian Bugis. Ada bahkan komunitas Bugis yang melakoni tarian ini dalam kebudayaan mereka.
Kalau ditelusuri sejarah, kerajaan Tidung berdiri pada 1551-1916, didahului oleh Kerajaan Tidung Kuno dan digantikan oleh Tarakan. Raja terakhirnya adalah Monarki Amiril Rasyid bergelar Datoe Radja Laoet Datoe Adil.
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka), yaitu kerajaan yang memerintah suku Tidung di Utara Kalimantan Timur, berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu.
Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini. Selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas. Berdasarkan silsilah yang ada, diterangkan bahwa di pesisir Timur pulau Tarakan, yakni kawasan Binalatung sudah ada Kerajaan Tidung Kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156.
Mereka kemudian berpindah ke pesisir Barat pulau Tarakan, yakni di kawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap di pesisir Barat, yakni ke kawasan sungai Bidang, kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah lagi yang relatif jauh dari pulau Tarakan, yakni ke kawasan Pimping bagian Barat dan kawasan Tanah Kuning, berkisar tahun 1394-1557.
Sebuah sumber menerangkan bahwa riwayat tentang kerajaan maupun pemimpin (raja) yang pernah memerintah di kalangan suku Tidung terbagi atas beberapa tempat yang sekarang sudah terpisah menjadi beberapa daerah kabupaten.
Daerah-daerah itu antara lain Kabupaten Bulungan (Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah), (Malinau Kota, Kabupaten Malinau), Sesayap, Kabupaten Tana Tidung, (Sembakung, Kabupaten Nunukan (Kota Tarakan), dan lain-lain hingga ke daerah Sabah (Malaysia) bagian Selatan.
Referensi ini menunjukkan bahwa suku Tidung memang memiliki tradisi berpindah, mirip dengan orang Bugis. Oleh karena itu, untuk menyebut orang Bugis sebagai pendatang dan orang-orang Tidung sebagai penduduk asli, masih memerlukan kajian mendalam. Itu pula sebabnya, ada anekdot bahwa sesama pendatang tidak boleh berkonflik.
Tak heran ketika mitos Panglima Burung dengan orang-orang sakti dari Kajang tadi memilih menghindari konflik berdarah. Buktinya, konflik berdarah di Tarakan begitu cepat redam ketika ada pula kabar bahwa kelompok suku Bugis juga akan bergerak ke Tarakan. (*)
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.
Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.
Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya, tetap saja tidak dapat dibenarkan. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.
Panglima Burung adalah gelar panglima sakti Dayak
BalasHapus