Jika aku harus meneruskan keteranganku tentang Cinta,
Walau seratus kebangkitan berlalu, belum juga purna
Oh Cinta yang memiliki seribu nama dan sebuah mangkuk
Anggur-anggur yang manis! Oh engkau diberkati seribu
Kemampuan
“Maulana Jalaluddin Rumi”
JEJAK-JEJAK CINTA Sang SUFI MUDA (Bag 1)
ilustrasi gambar oleh:www.eryevolutions.co.cc
Malam belum mencapai puncak. Seperti biasa, sebelum tidur kusempatkan diri untuk merenung sejenak di atas bentangan sajadah panjang. Bukan untuk meminta sesuatu yang berharga dalam hidup, tetapi sekedar ingin berbincang dengan-Nya, tentang banyak hal yang membuat manusia merasa tidak memiliki satu alasan pun untuk untuk tidak bersyukur. Terlebih lagi tentang gurauan-gurauan-Nya yang dasyat, yang seharusnya membuat orang semakin dekat dengan-Nya, dan bukan sebalik: menuduh-Nya dengan pikiran dan perasaan yang bukan-bukan. Tidak jauh beda dengan manusia, apa yang disebut sebagai Allah pun acap kali menjadi objek bagi kekecewaan dan kegagalan kita dalam memahami hidup, terutama sekali dalam memahami diri kita sendiri. Beberapa saat kemudian, dua kali ketukan pintu dan suar batuk terdengar. Pintu kubuka, dan si pengetuk pintu telah berdiri tepat di depanku. Seperti hari-hari kemaren, tidak ada yang penting bagi tamuku yang satu ini, selain membicarakan perihal perasaan cintanya. Cinta, yang katanya sangat mendalam, sayang yang katanya tidak terukur, dan kenyataan yang katanya melompat jauh dari harapan. Cinta yang tertolak! Dia tidak pernah tahu kapan derita cintanya akan berakhir, sementara disaat yang sama cintanya semakin dalam dan benar-benar tak tertahankan. “Aku mencintainya, dan hanya dialah yang bisa mengatasi semua ini,” katanya dengan suara tersekat di tenggorokan. Untuk kesekian kalinya, aku tidak punya pilihan yang lebih baik, selain mendengarkan penuturannya, sampai tidak ada lagi yang bisa dikatakan. “Siapapun yang merasakan apa yang aku rasakan, pasti akan mengalami hal yang salam sepertiku.” Beberapa hari kemudian ia jatuh sakit. Ketika kuceritakan perihal sakitnya itu kepada orang yang dicintainya, dengan harapan bersedia menjenguknya, ia malah berkata: “Aku tidak akan menjenguk orang sakit yang dibuatnya sendiri” Aku terdiam. Bagaimana bisa, pembunuhan diam-diam tengah berlangsung, dan justru “dilakukan” oleh orang yang diagungkannya melebihi dewi-dewi di kahyangan.
Han telah mampu menikmati tubuh kekasihnya melebihi apa yang diimajinasikannya. Pada awalnya, Han hanya ingin menempatkan kekasihnya itu sebagai pengisi waktu luang yang dapat di desain seerotis mungkin. Namun, belakangan, setiap kali ia menikmati tubuhnya, Han tiba-tiba merasa kasihan, berdosa, dan mengutuki diri sendiri sebagai laki-laki yang jahat. Han bilang, bahwa perempuan itu terlalu baik kalau hanya untuk diperlakukan semacam itu. “Kali ini akulah yang kalah,” katanya. Cinta telah mengalihkan pikiran dan perasaanku dari tujuan semula: yakni hanya sekedar menikmati tubuhnya.”
Rumah sakit jiwa. Seorang gadis berwajah manis dengan jilbab yang menjulur menutupi pundaknya, terlihat histeris dalam kerangkeng. Ia berteriak dan memanggil-manggil dengan suara penuh harap sekelompok perawat pria dan beberapa pengunjung rumah sakit akan menghampirinya. Di antara jendelan kaca yang pecah berserakan, nasi, bungkusan-bungkusan plastik, dan onggokan baju, ia tertawa, menangis, dan sesekali mengalir deras dari bibirnya ayat-ayat suci dan lagu-lagu religius. Menyedihkan! Gadis manis ini tidak lagi melihat cinta dan kesetiaan pada diri orang yang dia cintai. Ia telah ditinggalkan begitu saja. Cinta telah membuatnya menjadi gadis petualang paling liar yang lupa dengan dirinya sendiri: hidup dalam dunia asing yang tak terpahami, kecuali oleh kegilaannya. Cinta, adalah salah satu sebab yang memaksanya harus mendekam dalam kerangkeng kegilaan.
Mileva adalah penganut Gereja Ortodoks Yunani yang saleh. Konon, keberagamaan Einstein tidak hanya diperoleh dari pendidikannya di masa kecil, tetapi juga dari perkawinannya dengan Mileva, temannya dalam kelas fisika, Ketika mereka terpaksa bercerai, Einstein memanggil mantan istrinya dengan sapaan mesra, “Engkau akan menjadi suci bagiku, yang tidak seorang pun bisa masuk ke situ.” Ketika Einstein memenangkan hadiah Nobel (setelah enam kali diprotes oleh fisikawan yang rasis, berkat temuannya dalam efek fotoelektrik, bukan teori relativitas) ia mengirimkan hadiah uangnya kepada Mileva. 1)
Pada tahun 1201, ketika sedang melaksanakan Tawaf di Ka’bah, Ibn al-Arabi mengalami sebuah pengalaman yang meninggalkan pengaruh kuat dan lama terhadap dirinya, dia melihat perempuan muda bernama Nizam dikelilingi oleh cahaya dan ia menyadari bahwa perempuan yang bernama Nizam itu adalah Hikmat Ilahi. Epifani ini membuat al-Arabi sadar dan meyakini bahwa adalah mustahil baginya mencintai Tuhan jika hanya bersandar pada argumen-argumen rasional . Ia percaya bahwa imajinasi cerdik akan mampu menembus batas fisikal dan rasional sehingga seseorang bisa menangkap dan menyerap segala sesuatu sebagai bagian dari Keindahan Tuhan. Serupa dengan Ibn al-Arabi, sekitar delapan tahun kemudian, Dante Alighieri memperoleh pengalaman serupa di Florence ketika bertemu dengan Beatrice Portinari. Sontak, begitu dia menatap gadis Portinari itu, jiwanya bergetar kuat dan seakan-akan dia mendengar seruan dari dalam dirinya untuk mengagumi bentuk-bentuk kehadiran Tuhan: “Lihatlah Tuhan yang lebih kuat daripadaku yang datang untuk menaklukkan diriku.” Beatrice menjadi citra Ilahi bagi Dante. 2)
PANAMPAKAN
Dari sejumlah contoh di atas, tampak betapa energi yang kita sebut sebagai cinta hadir dalam berbagai bentuk. Cinta pada contoh pertama menyeret seseorang pada krisis eksistensial. Keterpusatan makna dari cinta yang lahir sendiri tanpa keterlibatan obyek cinta telah mengubah realitas objektif atau kenyataan menjadi hampir sepenuhnya subjektif. Ia sulit dan bahkan tidak bisa menerima kenyataan dari cintanya yang tertolak. Penolakan itu justru memperdalam perasaan cintanya. Ia membangun dan menciptakan orang yang dia cintai terus-menerus dan dalam keguncangan psikologis. Sehingga, pikiran, perasaan, dan dinamika di dalam cinta kemudian berkembang melampaui keberadaan dirinya. Di sini, apa yang dianggap oleh banyak orang sebagai kekeliruan, kebodohan, dan kelemahan, justru dirasakan sebagai suatu kebenaran yang nyata dan tak terbantahkan. Sepuluh, dua puluh, atau bahkan seratus orang bisa saja mengatakan bahwa dia disesatkan oleh pikiran dan perasaannya sendiri, namun ia akan tetap berada dalam kesulitan untuk menyelamatkan diri dari cinta yang setiap saat menggerogoti jiwanya. Bisa jadi, ini adalah penyerapan terdalam dari kedalaman perempuan, yang barangkali tak tersingkapkan, kecuali olehnya, atau keagungan dalam diri perempuan, yang bahkan tidak disadari oleh dirinya sendiri.
Pada contoh kedua kita melihat, dimana secara diam-diam dan tanpa sadar terjadi perubahan pikiran dan perasaan dalam diri seseorang. Dari dorongan yang semata-mata seksual menjadi interaksi yang melibatkan beragam dimensi psikologis. Ada hasrat seksual, kesadaran, terbangkitkannya moralitas, rasa kasihan, dan rasa tanggung jawab. Pada kasus ini, meskipun seseorang kesulitan menerima kenyataan psikologisnya, namun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa sebenarnya ia mulai mencintai seseorang yang sebelumnya tidak lebih dipandang sebagai partner seksual, dan hal itu membuatnya takut, khawatir, cemas, dan tidak lagi melihat hasrat seksual sebagai kebanggaan. Ia tidak percaya dengan cintanya sendiri, di saat dia mulai mencintai, karena memang sedari awal ia tidak hendak memupuk kepercayaan terhadap cinta, kecuali cinta itu memberikan kepuasan seksual baginya. Tapi kali ini, ia mendapati perasaan cinta yang hendak menyelamatkan nilai seseorang dan dirinya sendiri.
Pada kasus ketiga, si gadis sudah terlanjur menempatkan orang yang dia cintai sebagai satu-satunya makna yang tak tergantikan oleh apa pun. Suatu alasan tunggal, yang karenanya hidup layak untuk dilanjutkan. Ia telah menjadi orang lain, menjadi orang yang dia cintai, sementara orang yang dia cintai tidak bisa menjadi dirinya lagi, akibatnya ia terpisah dari dirinya sendiri. Kemudian pada kasus keempat mungkin kita akan bertanya, ada apa sebenarnya di kedalaman diri seorang Mileva sehingga ilmuan besar bernama Einstein perlu menyebutnya sebagai “tempat suci”, meski keduanya telah bercerai. Ada banyak kemungkinan, di antaranya, secara riil keduanya barangkali tidak lagi menemukan kecocokan, dan karenanya hubungan keduanya dalam kehidupan nyata akan banyak diwarnai benturan-benturan yang banyak menyesakkan. Namun, cinta melampaui dan lebih dalam dari pikiran, perasaan, sikap, perbuatan, konflik, dan sejumlah perbedaan, sehingga ruang cinta, ruang keagungan, dan ruang kesucian dalam diri Einstein akan tetap diisi oleh kehadiran dan keabadian sosok Mileva. Keduanya barang kali harus mencintai dan membangun cinta dengan cara dan jalan yang lain. Betapa pun, suatu perpisahan tidak selalu menjadi suatu tanda berakhirnya cinta, bahkan dalam kasus ini perpisahan menjadi bagian dari cinta dan mencintai itu sendiri.
Lebih mengejutkan lagi kehadiran cinta pada diri Ibn al-Arabi dan Dante Alighieri. Ini bukanlah cinta biasa. Wujud dari kehadiran perempuan tidak lagi menjadi keindahan atau keagungan yang menarik jiwa untuk menari dalam ekstase fisikal, tapi menjadi stimulus yang menghentakkan ruh, diri, hati, dan jiwa untuk menatap kehadiran Tuhan. Apa yang dikatakan Ibn al-Arabi mengenai peristiwa itu, jauh menembus lintas batas tempat, ruang, waktu, dan kesadaran. Di sini perlu saya garisbawahi agar tidak disalahpahami, bahwa sependapat atau tidak dengan konsep atau pengalaman yang dikemukakan Ibn al-Arabi dan Dante Alighieri tidaklah terlalu penting, karena demikianlah isi pengalaman batiniah yang menyusup di kedalaman diri seseorang. Suatu konsep pikiran dan perasaan yang agaknya tidak hanya sekadar muncul atas dasar pengalaman, akan tetapi juga tumbuh dari apa yan telah dikatakan Allah: “ Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi dan Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan semesta dan makhluk-makhluk agar Aku dikenal oleh mereka”. Dan di waktu yang lain Allah juga berfirman : “ Kemanapun engkau palingkan wajahmu kau akan menemukan wajah-Ku. ” Nizam adalah epifani dari wajah Allah yang indah indah bagi Ibn al-Arabi hingga dia merasa begitu perlu untuk mengatakan, bahwa kalau engkau mencintai suatu wujud karena keindahannya, engkau tidak lain mencintai Allah, karena Dia adalah satu-satunya Wujud yang Indah.” Dengan demikian, kata al-Arabi , semua aspek dari objek cinta hanyalah Tuhan. Kita, lanjut al-Arabi, tidak bisa melihat Tuhan itu sendiri, namun kita bisa melihatnya ketika Dia memilih mewahyukan Diri melalui makhluk-makhlukNya, seperti gadis Nizam, yang mengilhami rasa cinta di hati Ibn al-Arabi. “ Nizam, katanya, “telah menjadi objek pencarianku dan harapanku, perawan yang paling murni: banyak hal dari alam batin yang lebih mempesonaku daripada segala yang ada di dalam kehidupan aktual dan karena gadis belia ini aku mengetahui persis apa yang kumaksudkan.“ Imajinasi kreatif telah mengubah gadis Nizam menjadi avatar Tuhan.
Apakah keindahan akan selalu membawa pada kebesaran dan kehadiran Tuhan, adalah pertanyaan yang harus dikembalikan pada bagaimana kita melihat keindahan dan dengan apa kita melihatnya. Setiap kita memiliki penglihatan, pendengaran, dan hati, tetapi tidak setiap kita menyadari kualitasnya, dan bahwa penglihatan, pendengaran, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban. Dan demikianlah, penjelasan sementara dan sederhana dari sejumlah contoh di atas, yang sudah barang tentu tidaklah sesederhana itu. Yang ingin saya katakan dengan menyuguhkan sejumlah contoh di atas adalah bahwa atas nama, demi, dan oleh cinta, seseorang akan hadir dalam keberagaman pengalaman, dari perilaku unik yang masih dikendalikan kesadaran hingga kegilaan yang terus membangun dirinya sendiri. Dari pemujaan akan seks sampai penangkapan kesucian dan kesadaran. Dan dari kehadiran objektif, spiritual pribadi, yang berpusat pada manusia, sampai pada penghayatan konsepsi imajinatif sufistik tentang Tuhan yang personal. Kalau demikian, lantas apa sebenarnya yang di maksud dengan cinta?
JEJAK-JEJAK CINTA Sang SUFI MUDA (Bag 2)
PENGALAMAN DI SEBERANG PEMIKIRAN
Tidaklah mudah mendefinisikan kehadiran seorang dalam hidup kita lewat sepotong atau sederet kata-kata, sementara kehadirannya sendiri, entah bagaimana membawa begitu banyak perbendaharaan pengalaman. Ada hasrat untuk dekat dalam penyatuan kasih dan sayang yang teramat kuat, bahkan dalam keadaan yang sebenarnya tidak kita inginkan. Ada pemberian yang tak tertakar dan permintaan tak terbatas. Ada semangat, kesadaran, dan pencerahan yang membuat kita seakan kita terlahir kembali sebagai pribadi yang baru. Ada makna yang bisa diambil di belakang peristiwa. Ada pengaduan di serambi rumah Tuhan. Ada air mata, kebahagiaan, sakit, dan segalanya menjadi mungkin. Hanya gambaran, barangkali inilah yang kita temukan manakala kita bermaksud mendefinisikan cinta, dan yang namanya penggambaran, sudah barang tentu memiliki perbedaan. Karena gambaran ini terkait erat dengan masalah kesadaran, pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman masing-masing orang.
Tapi baiklah, mari kita lihat sekelumit gagasan Rumi mengenai gambaran tentang cinta. Meskipun gagasan Rumi tentang cinta terinspirasi bukan dari cinta terhadap makhluk, melainkan cinya kepada Yang Ilahi, namun apa yang dikemukakan Rumi memberikan suatu gambaran puncak dari keajaiban dan kemistisan cinta, baik kepada Yang Ilahi maupun antar makhluk. Cinta dalam pandangan Rumi, merujuk pada peniadaan diri. Cinta yang sesungguhnya adalah jika kita menempatkan Sang Cinta pada sebuah wilayah dimana kita meniadakan apapun selain Sang Kekasih, bahkan diri kita sendiri. Suatu jalan demi menuju dan meraih cinta, sesusah dan semenderita apapun, harus dijalani. Bahkan kemudian, jalan penderitaan itu dianggap sebagai jalan cinta oleh sang pencipta. Sungguh, begitu dalam subjektivitas dari penarikan akan makna ini, seolah-olah tak tertampung oleh hati, tak tumpah dalam bait-bait syair, dan tak kunjung usai meski seribu kebangkitan berlalu. Sehingga yang ada, hadir, dan hidup dalam diri sang pencipta adalah ekstase kemabukan cinta yang menggila, namun bukan berasal dari suatu kegilaan tanpa alasan yang bermakna. Mari kita dengar, apa yang dituturkan Rumi tentang cinta :
Tiada salahnya aku berbicara tentang Cinta dan menerangkannya, tapi malu melingkupiku manakala aku sampai pada cinta itu sendiri.
Cinta tak terjangkau oleh kata-kata dan pendengaran kita:
Cinta adalah lautan yang tak terukur dalamannya.
Coba kau hitung berapa banyak air di sungai?
Di hadapan lautan tujuh sungai tiada arti.
Cukup! Sampai kapan kau akan terpancang pada lidah dan kata-kata?
Cinta memiliki begitu banyak tamsilan yang berada di seberang kata-kata.
Diam! Diamlah! Karena apa yang dikatakan orang tentang Cinta tak dapat diterima:
Tersembunyilah makna-makna karena begitu banyak kata.
Seseorang bertanya, “Apakah Cinta?” jawabku, “Betanyalah tentang makna-maknanya.
Manakala kau menjadi sepertiku, kau akan tau.
Ketika Dia memanggilmu, kau akan membaca kisahnya.”
Oh,kau yang telah mendengar perbincangan tentang Cinta, tetaplah Cinta!? 3)
Meskipun cinta benar-benar tak terungkapkan oleh kata-kata, namun Rumi tetap memberikan gambaran-gambaran tentang cinta sebagai pengalaman rohani dan untuk disadari demi membangkitkan cinta manusia kepada Sang Khalik. Sehingga, diapun seolah meminta untuk juga berbicara tentang Cinta yang disebutnya sebagai “Air Kehidupan.” Namun, pada akhirnya, Rumi pun mengatakan bahwa kata-kata tidaklah sanggup mewadahi gelora dimabuk cinta pada Sang Kekasih. Cinta benar-benar tak terungkapkan. Dalam pandangan Rumi, mengutip penjelasan William C. Chittick, cinta tidak dapat diterangkan dengan kata-kata, tapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman. Sebagaimana halnya orang yang ingin mengungkapkan cinta kepada kekasihnya, kata-kata tak dapat mewakili apa yang ada di hati melalui selembar kertas. Meskipun demikian, dalam sebagian syair-syairnya, dia memberikan gambaran: Orang dapat membicarakannya kapan saja dan tiada habis-habisnya. Tapi, tetap pada satu kesimpulan: Cinta benar-benar tak terungkapkan lewat kata-kata. Ia adalah pengalaman yang berada di seberang pemikiran, bahkan sebuah pengalaman yang lebih nyata daripada dunia dan segala yang ada didalamnya.
Dari sudut penggambaran cinta dari Rumi ini, kita bisa saja menuliskan sebanyak mungkin pendapat orang tentang cinta, membanding pendapat-pendapat itu, atau memperdebatkannya, namun kita tidak akan beroleh apapun, kecuali gambaran dari pengalaman masing-masing orang. Karena cinta adalah tempat tersembunyi yang hanya akan menjadi kata-kata aneh bagi yang belum pernah melewatinya. Lihat, betapa pada suatu waktu seseorang menuturkan cerita-cerita tentang orang yang dicintainya tanpa habis-habisnya. Sungguh, dia tidak sedang bercerita dan berbicara dengan kita, tetapi bercerita dan berbicara dengan dirinya sendiri. Ia sangat ingin kita mendengarkan gelora hatinya yang mengucur deras dengan seksama. Imajinasinya, khayalannya, dan impiannya dipandang sebagai sesuatu yang nyata, meski sesungguhnya secaradiam-diam barangkali kita tengah menertawainya. Kadang-kadang dia mengajukan pertanyaan kepada kita bukan karena ia tidak tahu, melainkan hanya ingin mencari semacam pemuasan akan perasaan pada kekasih yang tak tertangguhkan. Dan pada waktu yang berbeda, dengan berbagai macam sebab dia dirundung kesusahan hati, sedih, menangis, kehilangan, putus asa, sakit, bahkan mengambil keputusan-keputusan yang gila.
Mendefinisikan cinta, seperti hendak mengurai tumpukan benang. Setiap kali kita menemukan benang yang bertalian, kita akan dihadapkan pada talian-talian baru. Setiap kali ingin merangkai kata yang baru, yang lama juga akhirnya yang jadi, dan begitu seterusnya. Jika didalam cinta ada perasaan bahagia, bermakna, sedih, khawatir, pedih, derita, kematian, benci, mabuk, binasa, gila dan kehadiran Tuhan, bagaimana kita akan merangkum semua itu dalam sederet kata-kata yang bisa kita sebut sebagai definisi cinta. Karenanyalah, apa yang kita sebut sebagai definisi cinta tidak lebih dari penggambaran dan ungkapan-ungkapan dari pengalaman subjektif: subjektivitas yang membuat seseorang bernaung dalam ketidaksadarannya sendiri, berjalan-jalan di atas kesadaran, dan melayang di luar pikirannya. Namun, dengan apalagi sang pecinta mengungkapkan cinta beserta akar, pohon, ranting, dan dedaunannya itu jika tidak dengan kata, isyarat, atau gerak. Karena alsan inilah, manusia tetap berusaha mencari suatu gambaran dalam bentuk kata, isyarat, dan gerak yang diharapkan bisa mewadahi atau setidaknya menjadi bagian dari maksud persinggahan psikologis. Mari kita simak sajak berikut ini:
Jika senja ini engkau mengetuk pintu bilikku dan menanyakan definisi cinta, maka akan kujawab:
“Definisi cinta adalah ketika engkau tak mampu lagi mendefinisikannya.
Ia seperti jalan yang berapa pun jauhnya bisa engkau tempuh, tapi kau takkan pernah bisa menemukan lagi dari titik mana engkau awali perjalanan demi manujunya.”
Jika malam ini engkau beranjak dari bilikku dan menanyakan arti dari kasih sayang, maka akan kujawab:
“Kasih sayang adalah ketika engkau berusaha tetap memberi meskipun sesungguhnya tak ada lagi yang bisa engkau berikan, dan untuk itu mungkin engkau akan menghela nafas panjang dari hati yang hening dan jiwamu yang perih.”
Dan bila sang fajar esok datang engkau bertanya padaku dengan kesungguh-sungguhan makna dari cinta dan kasih sayang, maka akan kujawab:
“Doakan aku agar bisa mencapai puncak dua kata yang engkau tanyakan itu, duhai perempuan yang menyelami lautan jilbab. 4)
ilustrasi gambar oleh:www.eryevolutions.co.cc
Ketika kita menanyakan perihal cinta kepada banyak orang maka sebanyak itupulalah ekspresi yang akan kita lihat dan jawaban yang akan kita dengar. Ada yang terdiam dalam kebingungan, ada yang berusaha mengenang kembali pengalamannya, ada yang balik bertanya kepada kita, dan ada pula yang mengutarakan penggalan-penggalan kata dan kalimat yang teramat susah untuk kita rumuskan menjadi suatu definisi, atau katakanlah semacam gambaran yang cukup mewakili, tidak hanya pengalamannya sendiri akan tetapi juga pengalaman banyak orang. Kehadiran cinta yang demikian kompleks, rasanya sudah lebih dari cukup menjadi semacam alasan bagi kebanyakan orang untuk terdiam atau bertutur tanpa akhir, manakala diminta mendefinisikan cinta. Bagaimana tidak, kita diminta memberikan definisi terhadap suatu dinamika dikedalaman diri kita sebagai hasil dari penyerapan realitas yang entah bagaimana kemudian menyusun konsep tentang dirinya sendiri. Ia berbicara, ia menghendaki sesuatu, dan kita mengetahuinya. Ia begitu mendesak kita untuk melakukan apa yang dia inginkan, bahkan sering kali ia tidak memiliki pemahaman sedikitpun hingga kita dibuat tidak paham dengan diri kita sendiri, sehingga kita berada dalam ruang tanpa definisi. Kita tercerabut dari akar kedirian kita. Kahlil Gibran menuturkannya:
Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu,
Demikianlah pula dia akan menyalibmu.
Demi pertumbuhanmu, begitu pula demi
pemangkasanmu. Sebagaimana dia
membumbung, mengecup puncak-puncak
ketinggianmu, membelai mesra ranting-
ranting terlembut yang bergetar dalam
cahaya matahari, demikian pula dia menghujam ke
dasar akarmu, mengguncang-guncangkannya dari
ikatanmu dengan tanah. 6)
Kisah pergulatan manusia dan cinta identik dengan pengalaman keaagamaan. Sebagian besar dari kita beragama. Kita sama-sama shalat, puasa, zikir, dan melakukan banyak hal yang kita anggap sebagai bentuk dari pencapaian rasa ke-Ilahi-an, namun kita semua hampir tidak pernah merasakan hal yang sama dalam pengalaman keagamaan itu. Sebagian tidak merasakan apa-apa atau biasa-biasa saja: tidak ada pengalaman unik dalam ritual keagamaan. Sebagian yang lain merasakan adanya perubahan-perubahan dalam diri mereka, dan selebihnya merasa tenteram, damai, dan bermakna bersama Allah dan agama: mereka mengalami transformasi ibadah, dari aktivitas keagamaan menjadi kecerdasan spiritual. Rasa cinta, seperti agama, ia bersifat universal, tapi kualitas dan ketinggian nilai dalam keuniversalannya itulah yang berbeda-beda, dan bahwa tidak setiap kita mampu mengungkapkan apa yang kita rasakan lewat kata-kata adalah wujud dari kekayaan pengalaman psikologis kita. Kekayaan yang tak terbeli oleh kata-kata.
Tidak ada bahasa yang tidak memiliki keterbatasan, semua mereduksi alam psikologis. Tubuh memenjarakannya, kata-kata mereduksinya, juga gerak dan sorot mata, mengandung multitafsir dari perasaan, pikiran, dan kehendak. Cukup beralasan ketika Erich Fromm mengatakan bahwa kata-kata tidaklah cukup untuk mendeskripsikan pengalaman manusiawi. Dalam kenyataannya, sering kata-kata mengungkapkan keadaan sebaliknya: kata-kata menggelapkan, memotong, dan membunuh pengalaman itu. Terlalu sering dalam proses pembicaraan tentang cinta, benci, atau harapan, seseorang kehilangan kontak dengan apa yang diandaikannya untuk menjadi pembicaraan. Puisi, musik, dan bentuk-bentuk seni yang lain, kata Fromm, lebih tepat sebagai alat untuk mengungkapkan pengalaman manusia.7) Barangkali puncak bahasa atau pernyataan psikologis terletak pada air mata. Sebab hanya air mata yang mengandung makna ganda. Ia membahasakan kesedihan yang paling mendalam, dan kebahagiaan yang paling puncak. Bahkan kemudian apa yang kita sebut sebagai tertawa atau bahagia seringkali merupakan wujud dari keguncangan jiwa yang tak terperikan. Dari sisi ini, kedudukan imajinasi psikologis, kita bisa menyusup kedalam kebahagiaan, kesedihan dan duka lara manusia lain, sehingga kita bisa merasakan kesedihan, duka lara, dan kebahagiaannya. Puncaknya, jika tubuhmu memuncratkan darah, maka aku ikut merasakan sakitnya.
Saya pikir dan saya rasa untuk bisa menangkap dan menyelami pengalaman-pengalaman lembut semacam cinta, kita membutuhkan kecerdasan yang lembut pula. Pengalaman personal adalah rahasia kosa kata batiniah, yang secara diam-diam maupun terang-terangan membutuhkan lebih banyak pembahasan oleh dunia luar, dan saya tidak merasa berkeberatan kalau pembaca menyebut uraian-uraian saya ini adalah sebentuk musik, puisi, cerita, atau sebuah dongengan tentang cinta. Sebagaimana di ungkapkan psikolog Swiss yang juga pendiri aliran psikoanalitis, Carl Gustav Jung: “ Dongeng akan lebih bersifat individual dan mengungkapakan kehidupan dengan lebih tepat dibanding ilmu pengetahuan ilmiah. Ilmu pengetahuan ilmiah bekerja melalui konsep-konsep kesamarataan yang terlalu umum untuk berlaku adil terhadap keberagaman subjektif kehidupan individual. “ Dengan perkataan lain, Jung ingin mengatakan bahwa realitas , rasionalitas , dan kebenaran pengalaman manusia menempati ruang yang teramat luas dan seringkali tidak terjangkau oleh kerangka yang di bangun, bahkan oleh ilmu psikologi sekalipun. Karena satu-satunya kebenaran dari apa yang kita sebut sebagai metode ilmiah yang jarang sekali diakui sebagai kebenaran adalah bahwa ia mereduksi manusia dan pengalamannya.
Akhirnya, cinta adalah cinta, bahasa niversal yang kita semua mengalaminya dengan kualitas ruh, hati, diri, dan jiwa kita sendiri-sendiri. Dari keuniversalannya itu, kita bisa menduga dengan dugaan yang mendekati kebenaran bahwa cinta kita kepada Allah barangkali tidaklah sedahsyat cinta Jalaluddin Rumi atau Rabiah al-adawiyah, namun kebanyakan dari kita memiliki hasrat untuk mendekatkan diri kepada pa yang kita sebut sebagai Tuhan, atau apapun yang kita anggap sebagai Sang Pencipta. Dan banyak orang kemudian mendapati diri mereka tidak memiliki kekuatan untuk menolak kehadiran-Nya. Sebagai orang tua, mungkin cinta kita kepada anak tidaklah seagung cinta keluarga Imran atau Lukman al-Hakim dalam kitab suci, meski demikian kita tetap ingin, memberikan segala sesuatu yang mungkin bisa kita berikan, atau sekurang-kurangnya kita berharap agar anak-anak kita berada dalam perahu kebenaran dan keselamatan. Sebagai sesama manusia, cinta kita mungkin tidak sejauh Mahatma Ghandi, Bunda Theresa, atau orang-orang yang mengabadikan hidup mereka untuk kemanusiaan, tapi belakangan kita mengetahui bahwa dengan mencintai sesama manusia kita tidak hanya menemukan kemanusiaan manusia lain, akan tetapi juga menemukan kemanusiaan dalam diri kita sendiri. Dan kisah cinta, pemahaman, rasa sayang serta penghormatan kita kepada seorang istri atau kekasih barangkali tidak sedramatis cinta Majnun pada Laila, namun kita merasakan cinta dan membaca sepotong kisah, yang kemudian membuat kita yakin bahwa disetiap jengkal kehidupan dipenuhi oleh cinta.
Sampai sejauh ini kita baru sebatas bergulat dengan kemiskinan kata-kata dan bahasa ditengah-tengah kekayaan pengalaman psikologis, dan kita telah melewatinya tanpa mengetengahkan satu definisipun, sementara kita tetap tergoda untuk tidak hanya sekedar mengetahui pengalaman-pengalaman manusia di dalam cinta, akan tetapi juga tergerak untuk mengetahui apa itu cinta. Pada hasrat yang terakhir itulah kita berusaha memahami cinta, bukan dalam hal definisi, melainkan keberadaan (eksistensi) manusia itu sendiri. Untuk menuju kearah itu pertama-tama kita akan memandang, kondisi manusia dalam dua pengertian yang masih sangat luas: yakni dari sisi psikologis atau eksistensi dan Teologis (fitrah). Selanjutnya, kedua bentuk pendekatan ini akan kita gabungkan menjadi konsep Eksistensialisme Religius sebagai prinsip dasar dalam praktek mencintai. Bagaimanapun juga kita harus terlebih dahulu membahas Eksistensi dan fitrah manusia sebelum masuk kedalam inti pembahasan kita. Saya menyadari bahwa kita membutuhkan penjelasan dan uraian yang lebih panjang menyangkut masalah eksistensi dan fitrah manusia ini, namun kalau penjelasan mengenai hal itu kita kira sudah mencukupi untuk melanjutkan bahasan, maka akan kita cukupkan.
CATATAN :
- Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, Bandung : Mizan, 2003.
- Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Bandung : Mizan, 2001.
- Dirangkum dari puisi-puisi Rumi: William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, Yogyakarta: Qalam 2001.
- Juwandi Ahmad, Sajakkan Aku Syahadat Cinta di bawah Matamu. Dalam Muhammad A. R: Indahnya Bahasa hati, Yaogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004
- Kahlil Gibran. Nabi: Kahlil Gibran: diterjemahkan dalam Bahasa Puitik oleh antonette Calista dan John MeCyll, Jakarta: INOVASI, 2002. Sang nabi adalah Karya Gibran yang paling monumental. Nilai-nilai dalam sang nabi merupakan persetubuhan antara kitab Injil Kristen dan Sufi Islam, dari persetubuhan suci ini lahirlah Romantisme Ketuhanan, Religius, dan Kehidupan.
- Erich Fromm. Revolusi Harapan. Diterjemahkan dari judul asli: The Revolution of Hope. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
- C. G. Jung. Memories, Dreams, Reflection. Terjemahan, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Sumber : THE YOUNG SUFI Karya JUWANDI AHMAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com