Mengapa struktur dan jaringan terorisme gagal diberantas oleh aparat keamanan? Setidaknya, pertanyaan tersebut muncul setelah lagi-lagi pelaku teror ditangkap oleh pihak kepolisian.
Aksi teror yang kerap terjadi di Indonesia kini memberi sebuah asumsi tersendiri pada masyarakat: mungkinkah terorisme di Indonesia sudah mengakar begitu kuat hingga strukturnya tak kunjung dapat dihancurkan oleh keamanan?
Jika benar, ada dua hipotesis yang penulis ajukan untuk menjawab pertanyaan tersebut Pertama, ada sebuah kekeliruan cara pandang dalam memahami terorisme. Kedua, karena kekeliruan cara pandang tersebut, upaya pemberantasan terorisme belum masuk ke “akar” masalahnya sehingga proses kaderisasi terus berjalan;
Variasi Cara Pandang
Cara pandang paling khas dalam menganalisis terorisme ditunjukkan oleh Samuel Huntington (1997) dengan tesis “clash of civilization”. Ia melihat terorisme sebagai implikasi dari benturan dua peradaban: Islam vis-a-vis Barat.
Logika Huntington sederhana. Ia bertitik tolak dari perspektif realisme yang memandang politik dunia sebagai “struggle for power”—perebutan kekuasaan (Huntington, 1997). Berbeda dari pemikir realis lain seperti Morgenthau atau Waltz yang berorientasi “negara” sebagai aktor, Huntington berangkat dari pembagian dunia atas variabel ia sebut sebagai “peradaban”.
Dalam bukunya, “The Clash of Civilization and The Remaking of World Order” (1997), Huntington menganggap dunia sebagai sebuah perpaduan antarperadaban yang bersifat multipolar. Atas dasar itu, peradaban tersebut menjadi kekuatan politik yang saling bersaing satu sama lain. Prinsip realisme yang memosisikan interest dalam konteks power memberi basis logika kedua: Persaingan antarperadaban menghasilkan konflik dan pertentangan.
Sehingga, jika logika tersebut digunakan sebagai pisau untuk menafsirkan terorisme di Indonesia, dengan beragam aktornya, akan muncul kesimpulan: terorisme adalah ekses dari tidak kompatibelnya peradaban Islam dan Barat.
Benarkah demikian? Persoalannya, dalam skala yang lebih global, terorisme –atau radikalisme— bukan didominasi oleh aktor bernama agama. Cara pandang ini gagal menjelaskan, mengapa aksi sepihak Amerika Serikat ke pelbagai negara seperti Puerto Rico, Panama, Irak, atau Somalia tidak dipandang sebagai aksi teror? Padahal, aksi “state terorrism” sebagaimana dipandang oleh Noam Chomsky memiliki risiko politik dan korban sipil yang lebih besar.
Oleh karena itu, cara pandang gaya Huntington ini tidak saja menghasilkan stereotype dan sikap mendukung kelompok yang berkuasa dalam politik internasional, tetapi juga berpeluang mengakibatkan sesat-pikir yang menarik garis demarkasi secara apriori secara Islam dan Barat tanpa proses dialog.
Ketika gaya pandang “benturan peradaban” a la Huntington cenderung problematis, ada satu tawaran cara pandang baru yang sebenarnya bisa digunakan, yaitu cara pandang ekonomi-politik. Dengan cara pandang ini, terorisme dipandang bukan dalam diskursus “peradaban yang berkonflik”, tetapi lebih pada ekses ketimpangan ekonomi politik dan represi terhadap kekuatan politik Islam.
Vedi R. Hadiz, guru besar studi Asia dari Murdoch University, Australia memperkenalkan istilah yang ia sebut sebagai “islamic populism”. Dalam sebuah working paper yang diterbitkan oleh CRISE, Oxford, ia berangkat dari logika benturan kelas dengan beberapa variabel utama: otoritarianisme, rejim yang menindas kelas marjinal, dan hegemoni dalam politik dunia.
Berbeda dengan Huntington yang mentitikberatkan pada pertentangan Islam vis-a-vis Barat, Hadiz lebih memilih untuk memfokuskan analisis pada disparitas ekonomi. Jika dasar analisis Huntington adalah peradaban, Hadiz menghadirkan kelas sebagai basis pemahaman.
Pendekatan ekonomi-politik dalam pandangan Hadiz ini menunjukkan, aksi terorisme adalah wujud perlawanan kelas yang termarjinalkan oleh oligarkhi kelas pemilik modal (borjuasi) dan negara.
Subordinasi atas kelompok kelas marjinal –dalam kasus Indonesia kelas marjinal tersebut adalah gerakan politik Islam—menimbulkan kesadaran kelas untuk merebut peran negara yang dianggap gagal dalam mewujudkan kesejahteraan.
Basisnya? Beberapa menggunakan syariat Islam sebagai alternatif tawaran untuk merebut peran negara tersebut. Sehingga, jika menggunakan kacamata ini, terorisme tidak kita anggap sebagai sebuah inkompatibilitas antara Islam dan Barat. Terorisme dimaknai sebagai sebuah ekses dari ketimpangan sosial akibat penghisapan kapital kelompok borjuasi.
Jika konsisten dengan pandangan ini, solusi pemecahan tidak cukup dengan merepresi tersangka teroris. Tindakan yang lebih preventif dilakukan dengan pembenahan struktur ekonomi-politik dan memutus rantai oligarki global yang menindas kelas marjinal.
Monodiskursus?
Banyak analisis, buku, bahkan disertasi yang terperangkap oleh monodiskursus: benturan peradaban.
Akibatnya, analisis mereka cenderung dikotomis dan memersepsikan Islam secara negatif, yang secara politis bisa ditafsirkan sebagai upaya rejim otoritarian —seperti dalam kasus Orde Baru— untuk memarjinalisasi kekuatan politik Islam (Hadiz, 2010).
Penulis hanya ingin menampilkan pesan: jangan memonopoli sudut pandang tertentu dalam memandang persoalan terorisme. Apalagi, dengan menjadikan sudut pandang tersebut sebagai sebuah dalil dalam melakukan sekuritisasi kebijakan.
Sehingga, muncul pertanyaan lain: apakah terorisme merupakan bentuk respons dari negara yang gagal menyejahterakan rakyatnya? Lagi-lagi, penulis hanya bisa menjawab, wallahu a’lam bi’l shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com