Kamis, 21 April 2011

Ketika musim teror bom bersemi

"Gawat Bang, teror bom sudah me­­rambah ke kompleks perumahan kita,” bunyi pemberitahuan langsung (direct message/DM) di linimasa (timeline) akun Twitter Noyorono siang itu.

“Ah, yang bener.. Gila amat si pengirim bom itu.. siapa yg disasar sih. Sore ini kita kopdar ya, di tempat biasa kafe Dapur Ni’matnya...” balas Noyorono ke akun Subarry Manilauw, si pe­ngirim DM tersebut.

Tidak lupa, dia juga mengi-rimkan ajakan kopi darat alias ketemuan langsung ke akun David Sutorro, sobat tetap pada kelompok diskusi partikelir trio sekawan tersebut. Tak lupa, dia juga mengirimkan pesan itu melalui layanan pesan singkat (SMS), mengingat sobatnya yang satu itu rada gagap teknologi.

“Ayolah sudah lama kan kita tidak jumpa,” balas David tidak lama kemudian, melalui SMS, seperti sudah diduga Noyorono.

Seusai jam kantor, Noyorono pun meluncur ke lokasi rendezvous yang mereka rencanakan meskipun harus menempuh kemacetan Jakarta yang kian men­jadi-jadi di saat hujan mendera ibu kota dari negara berpenduduk sekitar 240 juta jiwa tersebut.

“Br****ek bener ya kemacetan lalu lintas kota kita ini.. Kapan kita dapat menikmati bepergian dalam kota Jakarta dengan nyaman, seperti halnya kota besar di negara lain,” rutuk Noyorono dalam hati.

Sambil mengendarai mobil yang berjalan tersendat-sendat itu, dia mengenang sejumlah diskusi pada kelompok pergerakan sosial ‘jamaah twittiyah’ yang menamai diri sebagai #savejkt.

Dalam beberapa pertemuan kelompok yang di­ikutinya tersebut, salah satu butir kesimpulan yang mengemuka adalah Ibu Kota yang menjadi tumpuan harapan bangsa ini memerlukan pemimpin yang tegas.

Selain itu, pemimpin Jakarta hen­­daknya berani mengambil ke­putusan untuk menyelesaikan ber­bagai persoalan klasik, khu­sus­nya kemacetan lalu lintas, ke­tersediaan transportasi massal, so­lusi sampah perkotaan, benca­na banjir, dan kekumuhan kota.

“Kapan kota yang katanya telah berusia 460 tahunan ini mampu menyamakan diri dengan kota-kota besar pada umumnya. Atau, dengan kota di negeri jiran lah, setidaknya..” ucap Noyorono dalam hati, sambil kakinya sesekali menekan pedal gas mobil yang dikendarainya itu untuk dapat beringsut barang satu-dua meter.

“Mas Noy.. apa kabar.. saya sudah nungguin sejam di sini. Bang David baru nyampe beberapa menit lalu. Macet banget ya di jalan.. gimana keadaan orang-orang di rumah.. anak-anak nggak sampai ketakutan toh..” tutur Subarry dengan cecaran pertanyaan khas warga Jakarta.

Lha keluarga di rumah malah nggak tahu tuh, karena mereka lebih banyak nyetel acara teve kabel.. Nggak nonton teve lokal karena terlalu banyak sinetron dan berita kekerasan massa,” sahut Noyorono.

“Itu siapa ya teroris bomnya.. ke­bangetan ah.. kalau nggak su­­ka dengan keadaan aman dan ten­teram gini, minggat aja ke ne­­gara mana gitu.. bener-bener ke­­terlaluan, nggak menghargai usa­ha pemerintah yang sudah men­ciptakan situasi keamanan yang kondusif saat ini,” ujar Da­­vid yang memang propemerintah itu.

Walah Bang, kalau dibilang kita ini aman tenteram ya enggak juga sih, nyatanya banyak orang tidak puas dengan kebijakan atau memang ingin menggoyang pemerintah.Jangankan mereka itu, yang pastinya merupakan barisan sakit mati atau malah sakit jiwa, politisi saja cenderung ingin menggoyang kekuasaan kok,” kata Subarry menimpali.

“Tunggu dulu, teror bom kali ini tampaknya ditujukan kepada sejumlah individu lho, bukan institusi. Artinya, ini sudah menjadi teror individu. Bisa jadi, mereka ini merasa selama ini ada kelompok tertentu yang melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok lain dibiarkan, maka mereka mencoba menyerang perse-orangan yang tidak disuka,” papar Noyorono.

Wah, kalau analisis sampe-yan benar, kita seperti negeri preman dong. Nggak suka ter-hadap seseorang, dikirimi bom saja. Siapa tahu kena sasaran. Tapi, masuk akal sih bahwa para teroris bom individual ini merasa yakin beraksi karena pemerintah cenderung melakukan pembiaran terhadap bebe-rapa konflik horisontal,” ucap Subarry.

“Rasanya sih, enggak lah kalau pemerintah melakukan pembiaran. Wong nyatanya pelaku tindak kekerasan tempo hari juga diproses hukum kok.” kata David.

“Bahwa pada saat terjadinya tindak kekerasan tempo hari tidak direspon secara keras oleh Presiden, kan beliau masih mempelajari persoalannya. Itu kan yang kalian maksudkan.”

Emm, iya sih. Kita kecewa karena pada berbagai aksi kekerasan itu, Pak SBY hanya menyatakan prihatin. Padahal, dia kan bisa secara tegas dan cepat memerintahkan aparat keamanan untuk menindak pengacau, agar tercipta efek jera,” tangkis Subarry.

“Betul, Bar. Kan perbedaan pendapat di negeri demokrasi sesuatu yang harus dihargai dan bahkan dibela oleh hukum. Kalau ada pihak yang bereaksi secara fisik atas keyakinan atau pendapat orang lain, jelas itu melanggar hukum dan harus ditindak dong,” ungkap Noyorono menggenapi Subarry.

“Tapi, ada yang aneh lho Bang. Saat paket bom buku mulai bergulir, termasuk yang salah penanganan sehingga meledak di Komunitas Utan Kayu, mengapa juru bicara kepresidenan menyangkal bahwa teror bom tersebut bukan pengalihan isu berkaitan dengan merebaknya pemberitaan negatif yang bersumber dari Wikileaks itu ya. Ini aneh,” tutur Subarry.

“Wah, itu saya kira respons normal dari pihak yang sedang diserang ya. Berita di koran-koran Australia yang bersumber dari Wikileaks itu kan jauh dari akurasi, karena tidak melakukan cek dan ricek. Saya nggak kaget dengan sikap media Australia yang memang sering melecehkan pemimpin kita, dari dulu tuh,” tukas David dengan nada geram.

“Tapi seakan-akan itu menjadi pengakuan bahwa pemerintah, dengan kekuasaan dan institusi yang dimilikinya, me-mang memiliki semacam satuan yang mengelola isu untuk meredam isu besar lain yang dinilai merugikan pemerintah. Ada yang bilang itu kerjaan intel.. bener nggak sih, kan Bang David deket dengan pejabat,” kata Noyorono mencoba memancing.

“Teori seperti itu cuma isapan jempol, nggak usah dipercaya. Mana mungkin pemerintah bisa menguasai isu. Intelijen kan bertugas melindungi bangsa dan negara, bukan melindungi pribadi-pribadi pemerintah,” bantah David.

Siape tau ada oknum intel yang main, Bang. Tapi, kalaupun benar teori itu, betul-betul jahat si pelaku teror bom tersebut. Siapapun die, gue doain masuk neraka,” tutur Subarry kesal.

Ah lu, Bar, kata ustadz, tanpa kau doain seperti itu, siapapun pelaku tindak kekerasan terhadap orang lain, apalagi bila sampai merenggut nyawa, dia tidak akan mencium aroma surga, alias pasti masuk neraka,” ujar David. (ahmad.djauhar@bisnis.co.id)

Oleh Ahmad Djauhar, Wartawan Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com