Senin, 14 November 2016

Ketika Seseorang Mencapai Usia Empat Puluh Tahun (Semoga tulisan itu menginspirasi Anda dan menambah makna hidup Anda)

“hidup dimulai usia 40 tahun” (Rudy Harahap, Republika 15 Agustus 2003)


Demi masa Sesungguhnya manusia itu benar benar berada dalam kerugian Kecuali 
orang orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati 

Supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran 

(surat Al ‘Ashr)


Seseorang merayakan ulang tahun di hari ini. Dengan mata berbinar, ia meniup nyala lilin yang menunjukkan angka 40. Tepuk tangan mengiringi padamnya nyala lilin. Lalu, para sejawat menyalaminya, sembari mengucapkan, ”life begins at 40.” Seseorang yang merayakan ulang tahun tersenyum puas. Ya, kehidupan dimulai pada usia 40!


Kita yang merasa diri modern, agaknya, setuju dengan ungkapan tersebut. Lahir dari rahim kultur Barat, ungkapan itu merefleksikan fase kehidupan anak-manusia. Melewati pengasuhan, seorang anak memulai penempaan dirinya, di bangku pendidikan dasar hingga ke perguruan tinggi. Masa pendidikan ini merupakan persiapan memasuki masa bekerja.

Masa bekerja ini, katakanlah, di saat usia 25. Usia seperti itu sungguh enerjik, penuh vitalitas untuk membangun karier. Budaya Barat yang mengedepankan perencanaan hidup yang matang, menyebabkan seseorang memiliki dinamika yang tinggi didukung kesehatan fisik yang prima untuk mewujudkan rencana hidup (baca: karier). Lima belas tahun ke depan, selaiknya ia telah berada pada karier yang mapan. Tak mengherankan, pada usia 40, kehidupan seseorang ditentukan: sukses atau gagal. Seseorang yang berhasil mewujudkan impian, meraih karier tertinggi, niscaya tersenyum puas sembari mendesis, ”hidup (kesenangan) dimulai di usia 40.”

Seseorang berulangtahun ke-40 hari ini. Tapi, ketika pesta ria usai, apa makna usia 40? Islam sesuai surat Al ‘Ashr justru tentu tak memberikan batasan waktu.
Surat tersebut, berdasarkan pemahaman saya yang awam, menawarkan kesadaran betapa tiap detik waktu kita di bumi beharga. Betapa mereka yang lalai menghiasi waktu dengan kebajikan menjadi sosok yang merugi. Al’Ashr mengingatkan kita betapa sedikit waktu yang dimiliki.

Tak mengherankan, Rasulullah SAW mengingatkan, ”Ambillah kesempatan lima sebelum lima: mudamu sebelum tua, sehatmu sebelum sakit, kayamu sebelum melarat, hidupmu sebelum mati, dan senggangmu sebelum sibuk” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi). 

Tetapi, akankah kehidupan baru di mulai di usia 40? Kendati Islam mengajarkan setiap detik yang dimiliki berharga untuk menghiasi kehidupan ini dengan amal kebajikan, agaknya, pejalan ruhani pun memaknai (usia) 40. Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba’I Bahrul Ulum di bukunya As-Sair Wa As-Suluk (Penerbit Lentera) mengungkapkan, Muhammad diangkat sebagai rasul pada usia 40.

Berdalih akal manusia sempurna pada usia 40 sesuai kemampuannya, ia mengandaikan, perjalanan manusia di alam materi (di antaranya pertumbuhan fisik yang dimulai 0 tahun) berakhir di usia 40. Seiring berakhirnya perjalanan di alam materi, manusia memasuki perjalanan menuju akhirat. Dalam bahasa berbeda, seiring dengan merapuhnya fisik, selaiknya manusia kian mengisi waktunya dengan memperbanyak ibadah (ia mengandaikan dengan ”dimulainya perjalanan roh.”).

Berkaitan dengan usia 40 ini, ia mengutip sebuah riwayat, ”barangsiapa yang telah mencapai usia 40 tahun dan belum mengambil tongkat, maka ia telah bermaksiat.”Takwil tongkat ialah bersiap-siap untuk melakukan perjalanan menuju akhirat.
Angka 40, bagi Muhammad Mahdi, pun berkait dengan 40 “maqam” pada suluk yang dimulai dengan “maqam” ikhlas. Ini sesuai dengan Hadis Nabi yang dikutipnya 
”Barangsiapa mengikhlaskan (amalnya) semata-mata untuk Allah selama 40 hari, 

maka akan muncul sumber-sumber hikmah dari hati melalui lisannya.”
Mungkin kita belum patut menjadi salik yang mencelupkan diri pada suluk. Namun, dari pelajaran suluk itu, kita dapat memetik tangkai kearifan saat melanjutkan kehidupan di usia 40. Adakah di saat tubuh mulai merapuh sesuai sunnatullah siklus pertumbuhan biologis justru memasuki masa penyurutan di usia 40 kita mulai mengembangkan kekayaan ruhani, kematangan emosi, dengan melipatgandakan peribadatan.
Jangan-jangan terpengaruh budaya Barat, kita enggan menggenggam tongkat, dan mengikuti ungkapan ”hidup bersenang-senang dimulai pada usia 40” sehingga tercebur ke genangan maksiat. Seseorang yang berulangtahun ke-40, sudahkah engkau ambil tongkat, untuk memulai perjalanan roh?

Kehidupan Baru Dimulai Umur 40 Tahun (Andrew How, Pembelajar 16 Agustus 2006)

“A man is not old until regrets take the place of dreams. Manusia tidak 
menjadi tua sampai penyesalan menggantikan impiannya.” Mark Twain, dalam 
suratnya kepada Edward L. Dimmitt, tertanggal 19 Juli tahun 1901.

Usia bukanlah faktor penentu kesuksesan atau kebahagiaan seseorang. Pertambahan usia tidak mengurangi semangat ataupun membuat hati saya risau. Sampai suatu ketika saya disapa om (paman) oleh seorang anak kecil. Saya membatin, “Rupanya pertambahan usia sudah terlihat dalam penampilan saya.”

Apalagi sejak memasuki usia 40 tahun, saya merasa energi dan stamina mulai menurun. Padahal sebelumnya saya masih merasa segar meskipun udah memandu sebuah seminar yang diselenggarakan selama selama 2 hari 1 malam. Penurunan fungsi organ tubuh juga saya rasakan ketika membaca buku tiba-tiba hurufnya kabur. Setelah saya angkat agak jauh barulah kelihatan.

Saya terpaksa berobat ke dokter spesialis mata. Tetapi dokter menyatakan saya harus mengenakan kacamata plus ukuran 1,5. Ketika saya bertanya apakah ada alternatif lain untuk memperbaiki kondisi mata saya, misalnya operasi atau terapi? Dengan santai tetapi tegas dokter itu menjawab tidak bisa. Jawaban itu seketika membuat saya seakan-akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Kemudian salah seorang teman saya mengomentari, “Nasi sudah jadi bubur, mata basi sudah jadi kabur. Kehidupan dimulai di usia 40 berarti mulai budek (kesulitan mendengar), mulai pikun, mulai terserang tekanan darah tinggi, mulai cepat lelah, mulai cepat bingung, mulai begini begitu!” Di samping berkurangnya fungsi organ tubuh, tanggung jawab di usia 40 tahun juga semakin besar entah sebagai orang tua, anak, dan pasangan. Apakah ungkapan yang menyatakan bahwa kehidupan dimulai di usia 40 hanyalah slogan belaka
untuk menutupi rasa frustasi karena kebutuhan semakin besar sedangkan pendapatan menurun, atau hanya untuk menghibur diri karena diliputi kekhawatiran akibat pertambahan usia dan penurunan fungsi organ tubuh serta penampilan?

Suka atau tidak suka itulah kenyataan yang harus saya terima. Tetapi saya tidak pasrah begitu saja, karena pasti ada hikmah dibalik semua itu. Pepatah mengatakan, “Every adversity, every failure, every heartache carries with it the seed on an equal or greater benefit. Setiap tantangan, kegagalan, dan kesedihan menciptakan awal keberuntungan yang luar biasa.”

Saya tak ingin berlama-lama menyesali segala yang hilang seiring bertambahnya usia. Lebih mendisiplinkan diri melakukan pola kehidupan sehat sesegera mungkin adalah ide yang melintas begitu saja di dalam benak saya kala itu. Bertambahnya usia membuat saya berusaha lebih disiplin meluangkan setiap pagi berolah raga, yaitu berjalan diatas treadmill sekurang-kurangnya 45 ? 60 menit sambil menonton televisi khususnya berita terhangat di dunia.

Sementara untuk kebugaran tubuh dari dalam, sebagai seorang vegetarian saya selalu minum 5 jenis sari buah & sayur setiap bangun pagi. Saya juga mengkonsumsi makanan kesehatan alami. Hal itu saya lakukan supaya tubuh mendapatkan asupan gizi yang cukup dan seimbang, meskipun saya membatasi konsumsi makanan untuk menjaga berat badan tidak lebih atau kurang dari 68 kilogram. Kebiasaan berolah raga, minum sari buah dan sayuran, serta melengkapinya dengan makan makanan kesehatan cukup membantu upaya saya menjaga energi dan stamina tubuh tetap bugar meski usia merangkak naik.

Di sela kesibukan, saya upayakan belajar dari buku, internet, atau fenomena kehidupan sehari-hari. Saya lakukan hal itu secara berkesinambungan. Ilmu pengetahuan yang telah saya peroleh dari aktifitas belajar merupakan sumber semangat dan inspirasi untuk menulis buku. Jadi meskipun usia bertambah, ilmu pengetahuan memungkinkan saya lebih produktif dalam bekerja dan menulis buku.

Semakin bertambah usia mendorong saya untuk memperbanyak waktu mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Aktifitas spiritual saat sembahyang dan berdo’a menjadi sumber keseimbangan dan kedamaian hati. “Science without religion is lame, religion without science is blind. Ilmu pengetahuan tanpa agama akan timpang, sedangkan agama tanpa ilmu juga akan buta,” kata Einstein. Di usia yang merambat naik diatas 40, aktifitas menjalankan ibadah memperbesar kekuatan di dalam diri saya untuk melaksanakan tanggung jawab dalam pekerjaan dengan benar dan lebih baik, begitupun tanggung jawab sebagai ayah, anak atau sebagai pasangan.

Pertambahan usia membuat saya ingin lebih lama bersama keluarga, sebab selama ini saya lebih banyak menggunakan waktu untuk bekerja. Saya menyisakan lebih banyak waktu ersama anak-anak dan istri. Bermain dan tertawa bersama mereka membuat saya merasa lebih muda 10 tahun.

Meski usia sudah 44 tahun, saya masih dapat menciptakan kemajuan lebih besar, menikmati kebahagiaan dan hidup lebih baik. Semua itu tidak selalu terkait dengan uang, melainkan pola hidup dan makan yang sehat, serta memperbanyak waktu untuk keluarga dan belajar serta mempertebal keimanan. Cara itu telah membuat saya benar-benar menikmati fase hidup diatas usia 40 tahun. Serasa kehidupan yang baru saya mulai.
Pandangan Tentang “Life begins at 40″ oleh Jamil Azzaini

Pepatah mengatakan: life begins at 40. Memasuki usia 40 tahun, sering dimaknai agak berbeda dengan usia lainnya. Mengapa? Mungkin banyak orang beranggapan bahwa di usia 40 orang tidak perlu merasa tua, tetap bisa merasa dan terlihat muda, cantik atau ganteng, bijak, dan bergairah dalam usia yang lebih matang. Intinya menghibur diri: tenanglah, kamu masih muda kok, masih cantik kok.
Bahkan beberapa orang mengaitkan usia 40 tahun ini dengan usia puber kedua, saatnya ada gejolak dan pencarian jati diri lagi yang banyak ditandai dengan jatuh cinta lagi (meski sudah menikah) atau mulai bergenit-genit lagi layaknya remaja, karena tidak ingin kelihatan bahwa sebenarnya sudah ’cukup’ tua.
Namun ternyata jika kita tilik sejarah, usia 40 tahun bukan soal penampilan fisik semata. Psikolog Amerika, Walter B. Pitkin(1932) pernah menulis buku berjudul “Life Begins at Forty”. Pitkin memang bukan penggagas pertama kata-kata tersebut karena jauh sebelum tahun 1932 kata-kata itu telah ada. Namun tidak dipungkiri bahwa tulisannya membuat pemahaman terhadap “kehidupan dimulai pada usia 40 tahun”menjadi sangat populer hingga kini.
Secara psikologis, Gunarsa (1988) menyebutkan usia 40 tahun ini sebagai usia paruh baya. Ada tiga reaksi psikologis yang mungkin akan mengiringi usia ini, dan reaksi yang diambil sangat tergantung pada pemaknaan seseorang terhadap kehidupannya.
Pertama, sikap tak berdaya, putus asa, kecewa pada diri sendiri, dan memandang kehidupan sebagai suatu proses yang sulit dimengerti dan dilakukan. Ini sikap yang terburuk.
Kedua, merasa terjebak dalam rutinitas hidup meski tidak tenggelam dalam keputusasaan akan tetapi yakin tidak akan bisa mengalahkan rutinitas itu. Cirinya antara lain timbulnya sikap menolak terhadap proses menua, misalnya bersolek secara berlebihan untuk menutupi ketuaannya.
Ketiga, dan ini yang terbaik, adalah memilih untuk berkembang. Memandang bahwa setiap bagian kehidupan ini sebagai suatu masa yang kritis untuk tumbuh dan menjadi dewasa. Maka dia selalu optimis memanfaatkan apa yang dimiliki, merasa bahwa hidup baru dimulai pada usia 40 tahun.
Sedang secara historis, ternyata pada hampir semua agama, usia 40 tahun ini dianggap sebagai salah satu angka spiritual dan suci yang memberi makna perubahan secara positif. Ibn Ghifarie dalam tulisannya memaparkan bahwa
“Menurut ilmu numenorologi, angka 40 melambangkan kematian diri seseorang dan kelahiran kembali secara spiritual. Menurut tulisan kabbalistik dalam kitab Zohar, untuk sampai pada akhir sebuah lingkaran transformasi dibutuhkan 40 hari mulai dari penentuan tujuan, persiapan hingga pengujian tujuan.”
Tulisan ini tidak akan membahas makna usia 40 ini dari sisi agama lain. Bukan apa-apa, hanya takut salah menafsirkan agama lain. Saya hanya akan membahas dari sisi Islam, agama saya sendiri.
Dalam sejarah Islam, bilangan 40 juga mencirikan beberapa hal/peristiwa. Nabi Muhammad saw menerima wahyu pertama kali (bi’tsah) juga pada usia 40 tahun. Demikian pula, jika kita berkunjung ke masjid Nabawi, ada sunnah sholat Arbain, yaitu sholat 40 waktu atau delapan hari penuh (5 waktu dikalikan 8 hari).
Jauh sebelum dikenal pepatah life begins at 40 tersebut, usia 4o tahun juga secara khusus disebutkan di Al-Qur’an. Tepatnya pada surat Al-Ahqaf ayat 15, yang artinya:
“..hingga apabila dia telah dewasa dan mencapai usia 40 tahun, dia berdoa: Ya Rabb, berikan petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmatMu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai, dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku..”
Menurut tafsir fi Ddzilalil Quran (Sayyid Qutb), ketika membahas potongan kalimat ’hatta idza balagho asyuddahu wa balagho arba’iina sanah’ (hingga apabila dia telah dewasa dan mencapai usia 4o tahun), usia kedewasaan itu berkisar antara 30 hingga 40 tahun, dan usia 4o tahun adalah puncak kematangan dan kearifan. Pada fase ini, semua potensi dan kemauan telah sempurna, dan manusia siap merenung untuk berpikir dengan tenang. Pada usia ini, fitrah yang lurus dan bersih berorientasi kepada hal-hal di balik kehidupan dan sesudah kehidupan, banyak merenung tentang kematian.
Jadi menurut saya, Islam memandang usia 40 tahun justru usia yang sangat cukup untuk mencapai kecerdasan eksistensial. Usia yang tidak lagi memikirkan ’masa depan’ keduniaan, mengejar karir dan kekayaan finansial. Tetapi sudah jauh berpikir tentang nasibnya kelak di akhirat. Bahkan tak hanya memikirkan dirinya semata, tapi juga nasib anak istrinya, seperti ujung doa indah di ayat tersebut ’dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku’.
Satu hal yang menarik, secara kontekstual awal ayat Al-Ahqaf 15 ini hampir sama dengan surat Luqman ayat 14 tentang kesusahan seorang ibu dalam mengandung, melahirkan lalu menyusui anaknya. Dimana dalam awal Luqman 14 ini diawali dengan, ’dan berbuat baiklah kepada dua orang tuamu’.  Sementara itu, surat Luqman ayat 14 didahului dengan ayat-ayat tentang pengajaran adab pada anak, yang mengambil hikmah dari cara Luqman mengajarkan adab pada anaknya.  Apa hubungan ayat ini jika dikatkan dengan Al-Ahqaf tadi?
Begini kira-kira hubungannya. Mendidik anak dan membentuknya menjadi ’waladun sholihuhn yad’ulah’  (anak sholeh yang selau mendoakan kedua orang tuanya) memang harus dimulai sejak dini, sejak mereka kecil bahkan sejak di kandungan. Termasuk membiasakan untuk melafalkan doa pada kepada orang tua, ’Robbirhamhuma kamaa rabbyaaani soghiro’ (Ya Rabb, sayangilah mereka sebagaimana mereka telah mendidikku di waktu kecil-Al-Isra 24).
Maka, jika kita tengok, anak-anak kecil kita sangat hafal doa ini, sangat rajin mengucapkannya seusai mereka sholat wajib. Tentu orang tua yang melihatnya akan lega dan berbahagia, dan berharap kebiasaan tersebut terbawa sampai dewasa, bahkan sampai si anak tersebut membentuk keluarga sendiri. Semua orang tua tentu berharap demikian, ‘anak  sholeh yang mendoakan kedua orang tua’, sebagai salah satu aset berharga jika mereka meninggal, sebagaimana bunyi hadits yang sering kita dengar:
’Akan terputus amal anak Adam, kecuali tiga, yaitu sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang selalu mendoakan kedya orang tua’.
Kata ’anak’ (walad) di situ bukan dilihat dari unsur biologis, tapi dilihat dari sisi kepemilikan. Bahwa meski ujudnya sudah orang dewasa, tetap saja dia adalah anak dari orangtuanya.
Pertanyaannya adalah, apakah berbagai doa dan bentuk ketaaan tersebut akan terus dibawa sampai si anak dewasa dan beranjak tua, yang pada waktu itu mungkin kedua orang tuanya telah meninggal?
Ternyata perjalanan hidup seseorang, juga pengaruh lingkungan, mampu membuat seseorang berubah sedemikian rupa. Meskipun waktu anak-anak tergolong anak yang taat dan sholeh, bisa jadi pada masa remaja, dewasa atau tuanya justru bandel, sulit mendapat masukan, semau gue, karena merasa sudah ’berjuang keras untuk hidupnya sendiri’. Kenyataan ini tak sedikit kita temukan di lapangan, terutama untuk anak remaja. Berapa banyak remaja yang dulu masih kanak-kanak adalah anak-anak yang manis dan penurut, ketika remaja berubah menjadi bandel dan susah dikendalikan?
Saya melihat, jika antara surat Luqman ayat 13 dikaitkan dengan surat Al-Ahqaf ayat 15, ini semacam pretest dan posttes. Sewaktu diadakan pretest rata-rata hasilnya memang baik. Begitulah yang kita lihat. Anak yang memang masih cenderung pada fitrahnya, biasanya mudah kita bentuk. Tapi, bagaimana dengan posttest nya?
Nah posttest itu ada di usia 40 tahun, seperti yang tertulis di surat Al-Ahqaf ayat 15. Artinya, ada rentang 30 tahun (jika usia 10 tahun dipatok sebagai rerata usia taklif, usia pembebanan kewajiban) untuk menjadikan berbagai adab Islam sebagai habit dan bagian yang internal pada diri seseorang. Jika kebiasaan ini konsisten bertahan sampai usia 40 tahun, insya Allah ke depannya juga akan terpelihara. Tapi, jika pada usia 40 tahun justru posttest nya jeblok, ini yang perlu diwaspadai. Seperti ucapan imam Ghazali:
“..usia 40 tahun adalah sebuah pertanda, sebuah isyarat. Seperti sebuah ikhtisar masa depan. Jika di usia itu kebaikan lebih mendominasi, maka itu sebuah pertanda baik untuk kehidupannya nanti..”
Tentang tafsiran dari perkataan Imam Ghazali ini, saya pernah mendengarkan taushiyah, bahwa apa yang sudah menjadi kebiasaan pada usia 40 ini, akan sulit dirubah pada usia-usia sesudahnya. Misalnya, kebiasaan sholat lima waktu. Jika sampai usai 40 tahun untuk sholat wajib saja masih bolong-bolong atau bahkan tidak pernah, sangat besar hal itu akan menjadi  kebiasan yang menetap hingga akhir hayatnya. Atau sebaliknya. Jika pada usia 40 tahun masih gemar melakukan kemaksiatan, mungkin berjudi, mencuri, berzina, maka akan sulit baginya untuk berhenti dari kebiasaan tersebut. Na’udzbillah.
Belum jika dikaitkan dengan proporsionalitas ’angka timbangan’. Di mana di hari akhir kelak juga dikenal dengan ’yaumul mizan’, hari ditimbangnya amal perbuatan. Jika kita berhitung, sampai pada usia 40 tahun, berapa proporsi antara kebaikan dan keburukan yang telah kita lakukan? Bisa jadi, dari 40 tahun usia kita, separuhnya atau lebih justru berisi dosa-dosa dan kemaksiatan. Akankah kita termasuk tipe orang ’bangkrut’ yang disinyalir dalam sebuah hadits nabi? Na’udzbillah.
Tapi, Allah Maha Rahman dan Rahim. Jika memang pada usia 40 tahun ini masih banyak yang harus dibenahi, masih belum terlambat senyampang nyawa belum sampai tenggorokan. Anggaplah pada usia 40 ini kita mengalami sakit keras yang mengancam kehidupan, dan kita perlu melakukan segala cara untuk menyelamatkan nyawa. Mungkin sangat menyiksa, memaksakan diri menjalani ‘pengobatan’ berbagai rupa, tetapi akan berpengaruh besar terhadap nyawa kita (baca: nasib kita di akhirat). Dalam hal ini, kita perlu belajar dari seekor hewan dalam mentransformasi dirinya untuk bertahan hidup. Semoga kenyataan tentang fase kehidupan dari salah satu jenis hewan berikut ini mampu memberikan pencerahan pada kita semua.
Boleh jadi kita dapat mengambil hikmah dari kisah kehidupan  seekor burung elang. Ada yang berpendapat kisah ini tak ilmiah adanya. Tapi bukan itu esensinya, Yang terpenting, ialah kesediaan kita berubah jadi lebih baik, seperti cerita elang berikut ini.
Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang di dunia, dapat mencapai 70 tahun. Tapi untuk mencapai umur itu seekor elang harus membuat keputusan besar pada saat umurnya yang ke 40 tahun.
Saat berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruh menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dada. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal, sehingga menyulitkan saat terbang. Saat itu, ia hanya mempunyai 2 pilihan: menunggu kematian atau menjalani proses transformasi yang menyakitkan selama 150 hari.
Saat melakukan transformasi itu, ia harus berusaha keras terbang ke atas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang di tepi jurang, berhenti dan tinggal di sana selama proses berlangsung.
Pertama, ia harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, dan kemudian menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yg baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan menyakitkan.
Lima bulan kemudian, bulu-bulu yang baru baru tumbuh sempurna. Ia mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, ia mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi.
Wallahu a’lam
Usia 40 Tahun Dalam Perspektif Islam

Pada tahun 1932, seorang Psikolog Amerika, Walter B. Pitkin pernah menulis buku yang sangat populer waktu itu berjudul “Life Begins at Forty”. Pitkin memang bukan penggagas pertama kata-kata tersebut, karena jauh sebelum tahun 1932 kata-kata itu telah ada. Namun tidak dipungkiri bahwa tulisannya membuat pemahaman terhadap “kehidupan dimulai pada usia 40 tahun” menjadi sangat populer hingga kini.
Barat memberikan perhatian kepada umur 40 tahun dengan akar dan orientasi kultur masyarakat Barat, yaitu materialisme, sehingga mereka menilai dan membuat indikator hidup dari sisi materialistis. Pada umur 40 tahun, karier telah cukup mapan, pendapatan, serta kekayaan telah mencukupi. Atas dasar ini tidak mengherankan jika mereka mempunyai ungkapan bahwa ‘hidup’ dimulai pada umur 40 tahun. Life begin at 40.
Dalam perspektif Islam, ternyata Islam juga memberi perhatian kepada umur 40 tahun, yang tentu saja berbeda dengan budaya Barat. Umur 40 tahun mendapat perhatian khusus dari Alquran. Dalam Surat Al Ahqaf [46] ayat 15 Allah berfirman:
”Kami perintahkan manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: Ya tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah kau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat beramal shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Menurut mufasir (ahli tafir), Sayyid Qutb dalam Tafsir fi Ddzilalil Quran, ketika membahas potongan kalimat ’hatta idza balagho asyuddahu wa balagho arba’iina sanah’ (hingga apabila dia telah dewasa dan mencapai usia 4o tahun), usia kedewasaan itu berkisar antara 30 hingga 40 tahun, dan usia 4o tahun adalah puncak kematangan dan kearifan. Pada fase ini, semua potensi dan kemauan telah sempurna, dan manusia siap merenung untuk berpikir dengan tenang. Pada usia ini, fitrah yang lurus dan bersih berorientasi kepada hal-hal di balik kehidupan dan sesudah kehidupan, banyak merenung tentang kematian.
Dalam sejarah Islam, bilangan 40 juga mencirikan beberapa hal/peristiwa. Nabi Muhammad saw menerima wahyu pertama kali (bi’tsah) juga pada usia 40 tahun. Demikian pula, jika kita berkunjung ke masjid Nabawi, ada sunnah sholat Arbain, yaitu sholat 40 waktu atau delapan hari penuh (5 waktu dikalikan 8 hari).
So, bagi kita ummat Muslim, umur 40 adalah waktunya untuk memperbanyak amal kebaikan, karena waktu pertemuan kita dengan Allah (kematian) semakin dekat. Artinya seandainya yang tertulis di Lauh Mahfudz jatah usia kita 50 tahun maka, hidup kita tinggal 10 tahun, atau jika jatah usia kita 60 tahun maka, kita tinggal menghitung sendiri, berapa lama kita hidup lagi. Dan seterusnya..
Tentang usia 40 rahun, Ibnu Atthaillah seorang Sufi dan Ulama Besar pada memberi nasihat bijak :
“Jika usiamu telah menginjak 40 tahun, maka segeralah untuk memperbanyak amal saleh siang dan malam. Sebab, waktu pertemuanmu dengan Allah semakin dekat. Ibadah yg kamu kerjakan saat ini tidak akan mampu menyamai ibadah seorang pemuda yg tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Andai saat ini kamu ingin beramal sekuat-kuatnya, tenagamu sudah tidak mendukung lagi. Oleh karena itu beramallah sesuai kekuatanmu . Perbaikilah masa lalumu dgn banyak berdzikir, sebab tidak ada amal yg lebih mudah dari dzikir. Dzikir dapat kamu lakukan ketika berdiri, duduk, berbaring maupun sakit. Dzikir adalah ibadah yg paling mudah. Bukankah Rasulullah saw bersabda : “Dan hendaklah lisanmu basah dengan berdzikir kepada Allah swt.”
“Bacalah secara berkesinambungan doa’ dan dzikir apapa pun yang mudah bagimu.. Pada hakikatnya engkau dapat berdzikir kepada Allah swt adalah karena kebaikannya. Ia akan mengaruniamu…..”(Nasehat Ibnu Atthaillah)..
Sedangkan menurut Imam Al- Ghazali:
“..usia 40 tahun adalah sebuah pertanda, sebuah isyarat. Seperti sebuah ikhtisar masa depan. Jika di usia itu kebaikan lebih mendominasi, maka itu sebuah pertanda baik untuk kehidupannya nanti..”
Tentang tafsiran dari perkataan Imam Ghazali ini, dimaknai, bahwa apa yang sudah menjadi kebiasaan pada usia 40 ini, akan sulit dirubah pada usia-usia sesudahnya. Misalnya, kebiasaan sholat lima waktu. Jika sampai usai 40 tahun untuk sholat wajib saja masih bolong-bolong atau bahkan tidak pernah, sangat besar hal itu akan menjadi kebiasan yang menetap hingga akhir hayatnya. Atau sebaliknya. Jika pada usia 40 tahun masih gemar melakukan kemaksiatan, mungkin berjudi, mencuri, berzina, maka akan sulit baginya untuk berhenti dari kebiasaan tersebut. Na’udzbillah.
Sebagai penutup, marilah kita senantiasa bersyukur, beramal shalih, bertaubat, dan berserah diri kepada Allah SWT..tentunya bukan hanya di ”sekitar” usia 40. Islam, sesuai surat Al ‘Ashr justru tentu tak memberikan batasan waktu. Surat tersebut, menawarkan kesadaran betapa tiap detik waktu kita di bumi beharga. Betapa mereka yang lalai menghiasi waktu dengan kebajikan menjadi sosok yang merugi. Al’Ashr mengingatkan kita betapa sedikit waktu yang dimiliki. Disini, Islam mengajarkan setiap detik yang dimiliki beharga untuk menghiasi kehidupan ini dengan amal kebajikan…
Semoga kita dan anak2 keturunan kita termasuk ke dalam golongan orang2 yg senantiasa suka mengerjakan amal kebaikan dan semoga kita senantiasa menjadi hambaNya yang senantiasa bersyukur serta hambaNya yang banyak berzikir. Aamin YRA
Semangat pagi Sahabatku, Alhamdulillah sudah Jum’at (TGIF), jangan lupa hari Jum’at kita disunnahkan banyak2 baca Shalawat Nabi & baca Surat Al Kahfi.
Allahummashallii ala sayyidina Muhammad wa ala’ali sayyidina Muhammad.
Bâraka Allâh fîkum. Amiin
oleh: Imam Puji Hartono

Sumber: http://filsafat.kompasiana.com/2012/06/22/renungan-jum%E2%80%99at-usia-40-tahun-dalam-perspektif-islam-472495.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com