Sudah menjadi tabiat manusia, ia akan lebih konsumtif menghamburkan
uang, manakala mulai mengeyam kehidupan yang mapan dan kemudahan
ekonomi. Seolah-olah kekayaan kurang berarti banyak bila pemiliknya
tidak mempergunakannya untuk keperluan yang lebih besar dan kemewahan.
Misalnya dengan banyak memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang kurang penting
baginya. Begitulah keadaan seseorang, ia lebih mudah beradaptasi dengan
hidup enak ketimbang dengan hidup menderita.
Al Qur`ân telah menegaskan bahwa tipologi manusia, menghamburkan uang
dan berfoya-foya saat berada dalam kondisi berada, menghindari gaya
kesederhanaan dan keseimbangan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ
وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ
بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah
mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa
yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Mahamengetahui
(keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Mahamelihat.[asy-Syûra/42:27].
‘Ali bin Tsâbit rahimahullah berkata:
اْلعَقْــــــلُ آفَـتُهُ الْإِعْجَابُ وَالْغَضَــبُ وَالْمَالُ آفَـتُهُ التَّــبْذِيْرُ وَالنَّــهْبُ
التمهيد لابن عبد البر 7 / 250
Kelemahan akal itu bangga diri dan emosi
Dan penyakit harta itu pemborosan dan perampokan.
DUA PRINSIP PEMBELANJAAN DALAM ISLAM[1]
Secara global, Al-Qur`an telah menjelaskan cara pengelolaan ekonomi
dengan segala penjabarannya, yang intinya mencakup dua hal. Inilah yang
dimaksud dengan “ushûl iqtishâd”, yaitu husnun nazhari fiktisâbil mâl
(kecakapan mencari materi) dan husnun nazhar fi sharfihi fi mashârifihi
(kecakapan membelanjakan harta pada pos-pos pengeluaran yang tepat).
Lihatlah, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka jalan bagi
perolehan ma’îsyah melalui cara-cara yang tetap menjaga muru`ah dan
agama (pekerjaan yang halal).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا
مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung. [al-Jumu’ah/62:10].
Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan agar
manusia bersikap hemat dalam pembelanjaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela
dan menyesal. [al-Isrâ`/17:29]
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang membelanjakan harta
pada perkara-perkara yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ ۚ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً
ثُمَّ يُغْلَبُونَ ۗ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَىٰ جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka
untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan
harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan
dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang yang kafir itu
dikumpulkan.[al-Anfal/8:36].
MEMBENTUK MENTAL BERSAHAJA
Agar tercipta mentalitas yang baik berhubungan dengan gaya hidup itu,
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan manusia agar dalam pemenuhan
kebutuhannya dilakoni secara bersahaja, tengah-tengah, dan tidak boros
dalam pengeluaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. [al-A’râf/7:31].
وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. [al-An’am/6:141).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menegaskan dalam
sabdanya, yang artinya: “Makanlah, bersedekahlah, dan pakailah dalam
keadaan tanpa menghamburkan uang dan kesombongan”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan bahwa hidup
bermewah-mewah meskipun dengan barang-barang yang sifatnya mubah, dapat
berpotensi menyeret manusia kepada pemborosan. Ini juga dapat
menunjukkan manusia tersebut tidak memberikan apresiasi yang semestinya
terhadap harta yang merupakan nikmat Allah, sehingga ia masuk dalam
perilaku menyia-nyiakan harta.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Jauhilah gaya hidup bermewahan. Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu
bukan orang-orang yang bermewah-mewahan”. Lihat Shahîhah, 353.
Secara khusus, sifat ini juga menjadi kriteria menonjol pada diri
ibâdur-rahmân. Yakni para hamba Allah yang sebenarnya. Allah berfirman
tentang mereka:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu)
di tengah-tengah antara yang demikian. [al-Furqân/25:67].
Mereka tidak menghambur-hamburkan uang dengan belanja di luar
kebutuhannya. Juga bukan orang-orang yang bakhil kepada keluarganya,
sehingga kebutuhan bagi keluarganya pun terpenuhi dan tidak kekurangan.
Mereka membelanjakan hartanya secara adil. Dan sebaik-baik urusan adalah
yang tengah-tengah, tidak berlebihan ataupun tidak kikir.[2]
MENGAPA BERBUAT BOROS DILARANG?
Larangan kepada manusia agar tidak melakukan pemborosan dan penghamburan
atas uang dan harta yang dimilikinya, pasti mengandung manfaat. Dan
manusia pun sebenarnya sanggup mengetahui hikmah di balik larangan
tersebut.
Di antara hikmahnya, ialah untuk menjaga kekayaan itu sendiri. Bahwa
pada hari Kiamat kelak, sumber pendapat harta itu dipertanyakan, dan
demikain pula dengan pembelanjaannya. Pembelanjaan harta atau uang pada
perkara tidak dibutuhkan, sungguh sangat bertentangan dengan salah satu
tujuan syariat Islam, yaitu hifzhul-mâl (menjaga harta benda). Dalam hal
ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan, apalagi jika harta itu dimanfaatkan untuk perbuatan maksiat.
Sahabat mulia, yakni ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu telah
mendefinisikan makna mubadzdzirîn (orang-orang yang melakukan
pemborosan). Beliau Radhiyallahu anhu menjelaskan, mubadzdzirîn ialah
orang-orang yang membelanjakan (uang) pada perkara-perkara yang tidak
dibenarkan.[3] Maka, cukuplah untuk menjadi bahan perenungan, bahwa
Allah membenci saraf (pemborosan).[4]
Sisi lain, uang diperlukan setiap orang untuk memenuhi hajat
hidupnya. Dengan uang, seseorang dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan
hidupnya. Begitu pula dengan harta, selain sebagai penopang hidup, juga
berfungsi sebagai pemelihara murû`ah (kehormatan, kewibawaan) seseorang
di tengah komunitas sosialnya.
Ibnu Hibban rahimahullah mengatakan,
وَمِنْ أَحْسَنِ مَا يَسْتَعِسْنُ بِهِ الْمَرْأُ عَلَى إِقَامَةِ مُرُوْءَتِهِ الْمَالُ الصَّالحُ
(termasuk hal terpenting untuk membantu seseorang menegakkan kehormatan dirinya ialah harta yang baik).
Dengan modal uang di genggaman, seseorang sudah bisa menjaga agama,
kehormatan dan kemuliaan dirinya. Ia tidak perlu menghinakan wajahnya
dengan perbuatan yang dapat menghinakannya. Semisal mengemis,
meminta-minta, atau bahkan tidak menutup kemungkinan mencuri maupun
korupsi, dan perbuatan lain yang tidak dibenarkan syariat. Karena semua
perbuatan itu sangat jelas dilarang agama. Bahkan, dengan uang di
tangan, seseorang tidak perlu gali lubang dengan berhutang. Meskipun
berhutang termasuk muamalah yang jâiz (boleh), akan tetapi sedikit atau
banyak akan membekaskan tekanan tersendiri.
Hidup berjalan ibarat roda. Kadang berada di atas menangguk berbagai
kenikmatan. Namun siapa sangka, tiba-tiba berada di bawah, hidup penuh
dengan kesulitan. Sehingga tidak ada pihak lain yang bersalah kecuali
dirinya sendiri.
Kenyataan pahit lagi menghinakan ini bisa saja melanda perekonomian
rumah tangga seseorang yang mungkin sebelumnya berlimpah harta.
Kemudian, lantaran kesalahan dalam mengatur keuangan atau karena income
masih pas-pasan, sehingga mengakibatkan dirinya masuk dalam kubangan
krisis moneter yang tidak mengetahui waktu berakhirnya.
Oleh karena itu, syariat Islam memberi peringatan bahaya as-saraf
(pemborosan) maupun berlebihan dalam pembelanjaan. Dengan memperhatikan
bahaya ini, maka seseorang bisa tetap memiliki neraca yang tetap aman,
tidak besar pasak daripada tiang.
Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan alasan berkaitan dengan
larangan menghambur-hamburkan. Beliau rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya pemborosan harta akan menyebabkan orang meminta-minta apa
yang dimiliki orang lain. Sedangkan pada pemeliharaan harta terkandung
kemaslahatan bagi dunianya. Adapun kestabilan maslahat duniawinya akan
berpengaruh pada kemaslahatan agamanya. Sebab dengannya, seseorang dapat
fokus dalam urusan-urusan akhiratnya”[5].
“Pembengkakan dalam pembelanjaan akan menyebabkan goncangan pada
penghasilan diri seseorang yang biasa ia terima. Sehingga dapat
berpotensi menimbulkan kelumpuhan ekonomi, atau meminta-minta, bertindak
kriminal, melakukan penyimpangan, menelantarkan diri dan orang-orang
yang menjadi tanggungannya. Begitu pula jika sebuah negara menempuh
kebijakan ini, akan mengakibatkan anggarannya membengkak dan tidak
memiliki kekuatan untuk menangani urusan-urusan yang menjadi beban
pemerintahan negara tersebut”.[6] Demikian keberadaan negara-negara
yang menjalankan roda pemerintahan dengan kemewahan, pada akhirnya akan
menapaki jalan keruntuhannya, tidak mampu bertahan menghadapi kondisi
yang serba sulit. [7]
Adapun ditinjau dari aspek manfaat, perintah untuk tidak bergaya
hidup berfoya-foya, memiliki pengaruh positif yang kembali kepada diri
orang tersebut. Dia akan lebih mudah beradaptasi menghadapi setiap
perubahan dalam menghadapi kehidupan. Kadang menyenangkan dan kadang
harus hidup penuh keprihatinan. Dan seandainya keadaan ekonomi keluarga
ditakdirkan mengalami kesulitan, maka setidaknya seseorang itu tidak
terlampau kaget dengan perubahan yang terjadi secara tiba-tiba.
Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Orang yang terbiasa hidup
dalam kemewahan, akan merasakan sulit menghadapi berbagai keadaan.
Sebab, tidak menutup kemungkinan datang kepadanya persoalan-persoalan
yang tidak memungkinkan orang tersebut menyelesaikannya dalam
kenyamanan”.[8]
Kemudian beliau rahimahullah memaparkan sebuah contoh sederhana.
Yakni orang yang tidak pernah berjalan tanpa alas kaki sama sekali.
Orang ini selalu menggunakan sandal atau sepatu. Jika suatu saat, ia
berhadapan dengan sebuah kondisi yang mengharuskannya berjalan tanpa
alas kaki meski hanya 500 meter saja, tentunya ia akan mengalami
kesulitan yang berat. Bahkan mungkin saja kakinya menjadi terluka karena
harus bergesekan dengan tanah. Akan tetapi, bila ia telah membiasakan
diri dengan cara-cara hidup yang agak kurang nyaman, jauh dari
fasilitas, ia akan memperoleh kebaikan yang banyak. Selain itu, tubuh
yang tidak terbiasa dengan itu, tidak mempunyai ketahanan (imuniatas).
Akibatnya mudah sakit, padahal baru berjalan tidak seberapa jauh.[9]
Nilai positif lain dari cara hidup sederhana, dapat mendorong
seseorang menjadi pribadi yang pandai bersyukur dan toleran, menghargai
nikmat-nikmat Allah sekecil apapun. Karena masih banyak orang yang
berada di bawahnya secara ekonomi. Dengan itu, keimanannya akan
bertambah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْبَذَاَةَ مِنَ الْإيْمَانِ
Sesungguhnya hidup sederhana termasuk cabang dari iman.[10]
Penutup
Al-i’tidâl atau wasath (memilih sikap tengah-tengah) merupakan spirit
umum dalam Islam. Dalam konteks gaya hidup, berhemat memiliki
keselarasan dengannya. Perilaku tersebut sangat bermanfaat, baik bagi
individu maupun pemerintahan. Meksi demikian, bukan berarti seorang
muslim harus menghapus menu daging –umpamanya- yang sebenarnya
terjangkau olehnya. Atau kemudian hanya membeli dan mengenakan baju-baju
tambalan dan berpenampilan kumuh atau kotor. Akan tetapi, seperti
diungkap oleh Imam Ibnu Katsiir, janganlah engkau bakhil lagi kikir,
sehingga tidak memberi kepada siapapun. Dan jangan berlebihan dalam
menggunakan uang, sehingga mengakibatkan pembelanjaannya di luar
kemampuannya dan melebihi pendapatan yang diperolehnya.[11] Karena dua
hal ini menjadi sumber celaan.
Syaikh as Sa’di berkata, inilah keseimbangan dalam pengaturan uang,
berada di antara sudut sifat bakhil dan pemborosan. Dengan begitu,
urusan menjadi stabil dan sempurna. Sedangkan di luar ini, hanya
berakibat dosa dan malapetaka, menunjukkan kekurangan akal dan
kondisinya.[12] Oleh sebab itu, menilik manfaat yang begitu besar,
anak-anak pun pantas untuk dilatih menjalani hidup dengan hemat dan
bersahaya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428/2007M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Kamâlu Dînil-Islâm wa-Syumûliyyatuhu, Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi, al-Ashâlah, Dzul Hijjah 1427, Edisi 54 Th XI.
[2]. Lihat Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm ( ).
[3]. Syarhu Shahîhil-Adabil-Mufrad (2/51). (345/444)
[4]. Ushûl al-Manhajil-Islâmi, hlm. 530.
[5]. Syarhun-Nawâwi, 6/11.
[6]. Ushûl al-Manhajil-Islâmi, 530.
[7]. Ushûl al-Manhajil-Islâmi, 530.
[8]. Syarhu Hilyati Thâlibil-‘Ilmi, hlm. 34.
[9]. Syarhu Hilyati Thâlibil-‘Ilmi, hlm. 34.
[10]. Ash-Shahîhah, 341.
[11]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, 5/70.
[12]. Bahjatul-Akhyâr, 202.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com