Sebuah mobil Ferrari terbaru berwarna merah menyala dengan atap terbuka, melintas cepat di salah satu jalan protokol Jakarta. Meninggalkan beberapa orang di belakangnya yang terkagum-kagum dengan mulut menganga. Setelah menyalip beberapa kendaraan dengan kecepatan luar biasa, mobil Ferrarri itu berhenti di depan sebuah gedung ternama. Sesosok lelaki paruh baya keluar dengan sepenuh jumawa, mengenakan kacamata hitam dan mendongakkan kepala. Bangga betul ia sepertinya. Mengerling sepenuh bangga dengan orang-orang di sekitarnya. Mengelus-elus kap depan mobilnya yang berkilau dengan sepenuh cinta. Beberapa orang yang terlihat tertarik hanya berani mengamati dengan lirikan mata. Sementara beberapa orang yang merasa risih hanya melengos dan memalingkan muka. Adegan masih belum paripurna. Seorang perempuan cantik dengan rambut panjang ikal tergerai melenggang anggun dengan gaun merah muda. Mendekati mobil Ferrarri merah menyala dan pria paruh baya yang tengah berjumawa. Aih, tak adil betul dunia sepertinya. Begitu orang-orang di sekitarnya menggumam dalam durja. Sudah kaya raya, punya permaisuri cantik pula. Apalagi yang kurang dari kehidupannya? Dalam diam orang-orang mulai membersit perasaan iri dalam jiwa, mulai melempar tanya kepada Yang Kuasa: O, Tuhan. Betapa tak adilnya kau ciptakan dunia? Orang-orang masih saja mengamati dengan iri hati melalui sudut mata, hingga akhirnya…
“Mang Jupri, ngapain di sana? Ayo, buruan, saya harus segera ke bandara.”
“oh, baik, baik nyonya. Maaf, maaf. Segera memenuhi panggilan nyonya.”
Maka tak lebih dari satu menit mobil Ferrarri merah menyala yang mencuri perhatian itu lenyap dari pandangan mata. Meninggalkan orang-orang di sekitarnya yang mengulum senyuman sarkas sembari menahan tawa.
Ilustrasi kisah di atas bisa menimbulkan reaksi yang berbagai rupa pada orang-orang yang berbeda. Namun bagi saya pribadi, saya sering menggunakan kisah dan imajinasi seperti di atas setiap kali rasa bangga dan sombong mulai menghinggapi hati. Jika kita melihat dari kacamata orang-orang sekitar memandang Jupri, bukankah apa yang ia lakukan sesungguhnya adalah hal yang sangat konyol, tidak pantas, dan justru membuat geli? Ia jumawa dan berbangga hati atas mobil Ferrari yang ia kendarai, namun sesungguhnya mobil tersebut bahkan bukan miliknya pribadi. Ia yang sebenarnya hanya berstatus sebagai seorang ‘supir’ sebuah mobil Ferrarri, dan bukannya pemilik asli.
Bukankah kita akan merasa bahwa perbuatan tersebut menjadi teramat lucu? Efek yang ditimbulkan di akhir bukanlah perasaan iri maupun dengki, namun merasa kasihan dan justru malah merendahkan. Belagu. Jika kita menyebutnya dengan istilah anak muda zama sekarang. Memang, jika dilihat dari segi kepatutan, tidak pantas bila seseorang berbangga dan bersombong ria atas sesuatu yang sesungguhnya bukan milik kita.
Sejujurnya, saya menuliskan ini dengan tujuan sebagai pengingat bagi diri sendiri, bahwasanya sesungguhnya posisi saya di dalam panggung sandiwara dunia ini tak lebih atau bahkan justru lebih rendah daripada Jupri, Si Sopir Ferrarri. Saya merasa, bahwa segala apa yang saya raih, saya dapatkan, dan saya gunakan hingga saat ini adalah berkat kebaikan dan kasih sayang Allah, Tuhan Pemilik Seluruh Alam. Bahwa sesungguhnya semua yang ada di sekitar saya: tubuh saya, wajah saya, orang tua saya, keluarga saya, sahabat-sahabat saya, pencapaian-pencapaian saya, ilmu-ilmu saya, harta saya, dan lain sebagainya, pada hakikatnya hanyalah sebuah “pinjaman” yang diberikan Allah dengan sepenuh kasih sayang dan kebaikan. Layaknya ketika kita memberikan pinjaman kepada orang lain, maka ada beberapa hukum yang berlaku di dalamnya:
- Barang pinjaman berarti amanah. Menjaganya dengan baik adalah sebuah kewajiban. Jika kita meminjamkan barang kepada seseorang dan barang tersebut kembali dalam keadaan rusak, kita akan kesal bukan? Maka begitu pulalah kewajiban kita sebagai manusia untuk menjaga segala nikmat yang telah dipinjamkan kepada kita..
- Barang pinjaman sebaiknya dipergunakan dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Masih menggunakan analogi yang sama, misalkan jika kita meminjamkan sebuah buku kepada seorang teman. Kita akan jauh lebih senang jika buku tersebut dibaca dan bermanfaat bagi peminjam, daripada tergeletak berdebu di sudut ruangan. Terlebih lagi jika manfaat yang didapatkan si peminjam kemudian disebarkan ke orang-orang lainnya. Maka akan semakin berbahagialah diri kita.
- Barang pinjaman dapat diminta kembali sewaktu-waktu, sesuai dengan keinginan pemiliknya. Sebagai pihak yang dipinjami, kita tidak boleh protes, ketika Sang Pemilik membutuhkannya atau memintanya kembali. Begitu pula dengan berbagai hal yang kita pakai saat ini, ataupun orang-orang terdekat yang kita kasihi.
Pada intinya, pinjaman berarti sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada Sang Pemilik. Maka, sesungguhnya setiap hal yang berada di sekitar kita, baik itu berupa harta, jabatan, kesempatan, ilmu, prestasi, tubuh, panca indra, kata-kata, kesempatan, waktu, keluarga, sahabat, sanak saudara, dan segala hal-hal terkecil yang meliputi diri kita, adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya.
“Tiap-tiap diri bertanggungjwab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Al Mudatsir :38)
Jika melihat dari sudut pandang bahwa hidup sesungguhnya adalah sebuah pinjaman, maka tidak sepatutnya kita merasa sombong dengan apa yang kita miliki, iri dengan apa yang orang lain miliki, atau terlebih lagi, merendahkan orang lain atas apa yang tidak mereka miliki. Analoginya begini. Jika kite semua sama-sama seorang pembantu rumah tangga, saya diberi tempat bekerja sebuah rumah mewah yang bagus dan teman saya diberi tempat bekerja sebuah rumah joglo sederhana di pinggiran desa, apakah kemudian kedudukan saya akan menjadi lebih tinggi dari teman saya? Tentu saja tidak. Karena kami berdua sama-sama seorang pembantu rumah tangga. Justru mungkin saja, teman saya yang hidup di rumah joglo sederhana di pinggiran desa gajinya malah lebih besar dan kehidupannya lebih bahagia daripada saya, karena majikan saya sangat galak dan suka membentak misalnya. Tak ada yang menjamin, bahwa ketika “pinjaman” yang diberikan kepada orang lain lebih baik dari kita, maka dirinya menjadi lebih mulia di mata Sang Peminjam.
Saya seringkali merenungkan hal ini ketika sedang berada di perjalanan ataupun angkutan umum. Saya seringkali berandai-andai, bagaimana jika saya tidak terlahir di keluarga saya yang sekarang? Bagaimana jika saya misalnya, terlahir dari Rahim seorang pengemis di tepi jalan, atau misalnya saya terlahir dari keluarga seorang supir metromini? Apakah saya akan menjadi seperti saya yang sekarang? Dengan segala macam kenikmatan dan anugerah yang diberikan? Akankah saya begitu mencintai Tuhan? Ataukah saya justru akan berpaling dan berbalik ke belakang menuju kekafiran dan kemunafikan? Jujur saja, saya tidak tahu. Karena kehidupan yang saya jalani sejauh ini adalah kehidupan saya, bukan kehidupan orang-orang yang saya amati di sekitar saya. Saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi mereka, ataupun bagaimana saya akan memandang kehidupan dari sudut pandang mereka.
Mengingat hal ini, maka saya pun memilih untuk semakin banyak bersyukur dan banyak merenungi firman Allah yang paling saya sukai,
“Maka Nikmat Tuhanmu Yang Manakah Yang Kamu Dustakan?” (Ar-Rahman 55:55).
Bentuk rasa syukur ini pun bermacam-macam, mulai dari tidak mengeluhkan setiap hal yang terjadi tidak sesuai keinginan, menerima dengan sepenuh keikhlasan atas apa yang diberikan, memberi dan berbagi kebahagiaan, menjaga apa yang sudah dimiliki, hingga memberikan kebermanfaatan terbaik dari setiap potensi yang dianugerahkan kepada diri.
Terakhir, sebagai penutup dari tulisan ini, saya menuliskan ini bukan berarti bahwa saya sudah baik dan sudah mengamalkan sepenuhnya hal-hal yang saya ceritakan di atas. Saya hanya ingin berbagi hasil pemikiran dan kontemplasi saya pribadi, yang semoga bisa bermanfaat bagi siapapun yang meluangkan waktu untuk membaca catatan kecil ini. Saya pribadi pun sejujurnya masih jauh panggang dari api dalam melaksanakan hal-hal yang saya sampaikan. Namun, saya berharap bahwa tulisan ini bisa menjadi pengingat bagi diri saya sendiri, sekaligus memotivasi diri untuk terus menjadi lebih baik lagi.
https://www.selasar.com/kreatif/hakikat-kehidupan-sekumpulan-pinjaman-yang-harus-dikembalikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com