Minggu lalu, saya mendapat keponakan baru. Ini ‘sesuatu banget’ buat kami sekeluarga, karena sang ponakan sempat divonis dokter sebagai janin yang tidak berkembang alias blighted ovum. Untungnya adik saya dan isterinya memutuskan mencari second opinion dari
dokter lain, yang kemudian menyatakan masih ada kemungkinan meneruskan
kehamilan. Demikian hingga pada tanggal 11 April lalu lahirlah bayi
perempuan lucu yang Alhamdulillah, sampai detik ini normal dan sehat.
Saya jadi teringat kisah emak waktu mengandung saya. Beberapa dokter
sudah menyatakan, “Ini janin lemah, kalau diteruskan tidak akan bagus”.
Menurut pengakuan emak, beliau beberapa kali disuntik untuk mengeluarkan
saya, sang janin. Untungnya beliau kemudian sampai pada dokter lain
yang mengatakan “Dicoba aja bu, Bismillah”. Emak saya pun meneruskan
kehamilan. Dan, jreeeng…. lahirlah saya, yang sekarang sudah segede
ini, dan ternyata nggak jelek-jelek amat! Lumayan bisa masuk ITB , walau
hanya mahasiswi mediocre dan penggembira. Efek upaya untuk
‘menggugurkan’ saya ternyata hanya bikin rusak saraf
pendengaran. Syukurlah cuma kuping kiri yang tuli total. Walhasil
sekarang kalau saya keasikan korek kuping kanan (korek kuping kan
nikmat!) sampai merem-melek, suami saya langsung protes “Be careful
don’t hurt yourself, I don’t want to learn sign language” :D
Kalau ingat bahwa saya dulunya juga ‘hampir tidak ada’, kadang bikin saya rada-rada insap untuk
lebih menghargai hidup, karena sudah untung diberi kesempatan untuk
hidup . Bicara soal kesempatan kedua, beberapa waktu lalu di kantor/lab
saya kedatangan tamu yang sungguh memberi saya pencerahan soal ini.
Namanya Jessica Stevens, ia adalah mantan penderita suatu penyakit langka bernama Reflex Sympathetic Dystrophy,
sebut saja RSD (Bukan Rida Sita Dewi yaa ). RSD merupakan kelainan
saraf yang bila sangat parah seperti yang dialami Jessica, rasa sakitnya
tergolong tinggi sampai tidak bisa ngapa-ngapain. Pain scale/ skala rasa sakit yang
dirasakan pasien RSD bisa mencapai angka tertinggi dibandingkan dengan
sakit karena melahirkan normal, amputasi, patah tulang atau kanker. Ini
terjadi karena ujung-ujung saraf penderita tak henti-hentinya mengirim
sinyal ke otak, hingga otak merespon dengan mengeluarkan zat kimia yang
membuat rasa sakit terbakar, tertusuk di sekujur tubuh. Akibatnya
Jessica tak bisa hidup normal karena terus menerus kesakitan. Ngilu
mendengarnya. Ia hidup, tetapi tidak bisa menjalani hidup. Jessica
bercerita, setelah segala upaya dilakukan, dokter di seantero Amerika
Serikat sudah ‘menyerah’ untuk menangani kondisi ini. Ia malah
disarankan ke Meksiko untuk menjalani pengobatan yang tidak bisa
dilakukan di AS. Pengobatan ‘alternatif’ ini bukannya tak berisiko
mengancam nyawanya. Ia memutuskan menempuh risiko itu, dan kini Jessica
terlihat begitu sehat, semangat, walaupun harus duduk di kursi roda.
Kenapa di Amerika Serikat, yang katanya lebih maju dalam dunia
kedokteran bisa tidak mampu menangani penyakit ini, malah si Jessica
sembuh setelah berobat ke Meksiko? Ini mirip-mirip dengan film Dallas Buyers Club. Buat yang belum nonton, itu loh,
film yang bikin Matthew McConaughey meraih Oscar pemeran pria terbaik
tahun ini. Film kisah nyata penderita AIDS berjuang mencari pengobatan
alternatif sampai harus ke luar Amerika Serikat. Alasannya kira-kira
sama dengan Jessica: Obat/tindakan yang memungkinkan untuk menyembuhkan
pasien, belum dianggap legal oleh hukum di AS. Menjalani pengobatan ini
tidak bisa di AS karena akan melanggar hukum.
Balik ke kisah Jessica, satu-satunya prosedur yang memungkinkan dilakukan saat itu adalah ketamine coma dosis tinggi, yaitu mengkomakan pasien memakai obat ketamine dengan harapan sistem saraf yang rusak bisa kembali normal setelah distirahatkan. Ibarat me-restart komputer yang nge-hang, tapi tentu saja dengan risiko besar. Jessica sempat bangun sehabis di-restart
alias dibuat koma, dan bukannya bertambah baik, malah kehilangan
penglihatan! Dokter harus membuat dia kembali koma, proses panjang 2
tahun sampai akhirnya ia diizinkan ‘hidup lagi’. Tak heran kini ia
begitu semangat dan optimis. Melihatnya sekarang dan membandingkan
dengan keadaannya dulu rasanya tidak percaya. Sekilas ceritanya bisa
dilihat di video cuplikan berita di bawah ini:
Sebenarnya bisa dimaklumi kalau tindakan medis ini dilarang di
Amerika Serikat karena berisiko. Tetapi ada yang menarik soal hukum di
AS bila dibandingkan dengan di Indonesia. Di satu sisi kita kadang
memuja negara maju seperti AS yang begitu melindungi pasien dari
malpraktik, dan spontan membandingkan dengan di Indonesia yang justru
banyak pasien tak berdaya menghadapi kasus malpraktik karena lemahnya
hukum. Di Indonesia pengobatan alternatif juga bebas merajalela dan
kurang ada kontrolnya.
Kedua sisi ekstrim menurut saya tidak bagus juga.
Sisi gelap dari hukum di AS; terkadang alih-alih melindungi pasien
dari malpraktik, justru malah membatasi pasien untuk mencari alternatif
kesembuhan yang memungkinkan. Seolah ilmu kedokteran yang notabene
adalah ilmuNya yang Maha Luas, dibatasi hanya pada metode yang
dilegalkan oleh pemerintah AS saja. Belum lagi ada kepentingan
industri asuransi kesehatan, produsen obat dan pengacara. Produsen obat
cari makan lewat jual obat, bisa melobi pemerintah lewat FDA buat
melarang obat alternatif kompetitor. Pengacara cari makan lewat tuntutan
malpraktik terhadap dokter. Dokter takut terhadap pengacara sehingga
bisa ragu mengambil tindakan. Pasien tetap membayar biaya medis mahal
walaupun sudah punya asuransi kesehatan. Pusing, lieur? Sama!
Intinya, penyelenggara negara jadi bisa ditarik-tarik membuat kebijakan
berdasarkan kepentingan periuk berlian mereka, bukan kepentingan dan
kemudahan pasien.
Anyway, berkaca pada kelahiran keponakan yang mirip dengan
kelahiran saya yang hampir tidak jadi, serta pertemuan saya dengan
Jessica, saya kembali diingatkan untuk bersyukur atas nikmat hidup dan
nikmat sehat. Tidak usah berlebihan komplain dan iri pada orang lain,
karena di saat kita kepingin seperti orang lain, banyak orang berjuang
untuk kepingin sekali sekedar memiliki apa yang kita punya: nikmat
sehat.
Di luar dokter salah diagnosa dan memvonis tidak ada jalan
kesembuhan, masih ada dokter yang lebih pintar dan mengupayakan jalan
lain . Di luar dokter yang paling pintarpun masih ada yang Dia Yang
Maha Pintar, yang kuasa memberikan kesembuhan. Apa yang menurut
pengetahuan manusia saat ini mungkin tidak ada obatnya, bisa jadi
karena ilmu kita masih terlalu cetek untuk mengungkapkan ilmuNya, Dia
yang ilmu dan kekuasaanNya lebih luas dari segala dokter dan ilmuwan
manapun.
https://marthianyblog.wordpress.com/2014/04/18/vonis-dokter-dan-kesempatan-kedua/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com