Istilah Daya’, Dyak, Daya, Dadjak,
Dayaker, atau Dayak semakin luas dikenal dan memicu perdebatan berbagai
pihak. Maka pada tahun 1992, Institute Dayakology memprakarsai sebuah
pertemuan di Pontianak yang dinamai Ekspo Budaya Dayak. Pertemuan ini
berhasil menyepakati istilah Daya’, Daya, Dyak, Dadjak, Dayaker dan
Dayak menjadi Dayak, yang sebelumnya masih simpang siur penggunaannya,
baik di kalangan masyarakat Dayak maupun di berbagai media massa,
terutama media massa Indonesia (Bamba, 2008;9,10).
Dayak Mualang
adalah salah satu subsuku Dayak yang ada di Kabupaten Sekadau. Kata
Mualang merupakan nama sungai yang mengalir dari daerah Ketungau Tengah
hingga ke daerah Belitang Kabupaten Sekadau. Sungai Mualang adalah anak
Sungai Ketungau dan Sungai Ketungau adalah anak Sungai Kapuas. Mata air
Sungai Mualang berada di Tanah Tabo’ dekat Bukit Keramat. Menurut cerita
Kuno, Tanah Tabo’ merupakan tempat persinggahan pertama masyarakat
Dayak Mualang setelah mereka meninggalkan Tampun Juah. Tampun Juah
merupakan daerah ideal yang menjadi tempat masyarakat Dayak Mualang
hidup dengan manusia Buah Kana (Manusia Setengah Dewa), karena daerah
tersebut diserang oleh penyakit sampar, mereka akhirnya memilih untuk
berpindah dari tempat itu (Ilwan, 2009;19).
Hidup keagamaan
masyarakat Dayak Mualang ini boleh dikatakan cukup beragam. Alasannya,
di satu sisi ada yang masih punya keyakinan terhadap dewa tertinggi dan
dewa-dewa lokal, namun di sisi lain, masyarakat Dayak Mualang sudah
beragama Katolik. Di samping itu, agama Protestan dan agama Islam juga
turut mempengaruhi hidup keagamaan masyarakat Dayak Mualang. Hal ini
membuat para pekerja pastoral harus bekerja ekstra dan siap menghadapi
berbagai tantangan dalam misi mewartakan Injil. Tantangan-tantangan yang
akan dihadapi oleh para pekerja pastoral dalam mewartakan Injil sebagai
berikut :
1. Kondisi Geografis dan pengaruh Adat Istiadat
Daerah Masyarakat Dayak Mualang begitu luas dan memiliki jumlah penduduk
yang sangat besar untuk kawasan Belitang. ”Bahkan diklaim sebagai
subsuku Dayak yang terbesar di wilayah Kabupaten Sekadau” (Bamba.ed.,
2008;235). Kondisi geografis yang jauh dan sulit dijangkau ini menjadi
tantangan bagi pewarta dalam mewartakan Injil. Hal ini dikarenakan
cakupan wilayah Paroki Sungai Ayak terdiri atas dua kecamatan, yaitu
Kecamatan Belitang Hilir dan Kecamatan Belitang Tengah. Sebenarnya satu
kecamatan lagi yang pernah masuk dalam wilayah Paroki Sungai Ayak, yaitu
kecamatan Belitang Hulu. Di kecamatan ini banyak hidup masyarakat Dayak
Mualang, namun luasnya daerah yang harus dilayani, kecamatan ini
akhirnya di serahkan kepada tanggung jawab imam-imam Projo dan menjadi
Paroki sendiri. Kampung yang paling jauh dari pusat paroki Sungai Ayak
sekarang ini yaitu kampung Nebok dan kampung Tapang Baroh (perbatasan
dengan Paroki Jangkang). Selain kondisi georafis, budaya/adat istiadat
yang sedemikian kokoh, karena sudah mengakar dari generasi ke generasi
juga akan menjadi tantangan dalam pewartaan Injil. ”Fridolin Ukur
mencatat bahwa adat mencakup segala-galanya, termasuk bentuk peraturan
tindak seremonial, kultus agamaniah, tata hukum yang mengatur seluruh
hubungan dengan individu, keluarga, suku, bahkan masyarakat seluruhnya”
(1927;63). ”Dengan demikian, cakupan adat tidak terbatas hanya pada
sekedar peraturan, norma, tata tertib atau hukum, tetapi melibatkan juga
seluruh gerak hidup manusia dalam relasinya dengan sesama, kosmos,
leluhur dan dunia adikodrati (Plorus.eds.1994;80).”
”Keseluruhan
gerak kehidupan masyarakat tradisional Dayak Mualang sungguh-sungguh
diwarnai oleh adat” (Ilwan, 2009;24).” Seperti suku Dayak pada umumnya,
masyarakat Dayak Mualang pun pada awal mula sangat memelihara tradisi
nenek moyang; termasuk budaya pertanian dan cocok tanam, adat istiadat,
kebudayaan, kesenian, kerajinan, upacara, ritus-ritus, serta
kepercayaan. Hidup komunal dan gotong-royong merupakan ciri khas dari
suku ini. Hubungan kekerabatan dan saling menjaga tradisi menjadi sangat
penting. Maka bisa dimengerti, betapa kuatnya penolakan dari beberapa
orang Dayak Mualang yang masih kuat memegang adat istiadat ini, terhadap
unsur-unsur asing yang dianggap bisa mengancam eksistensi mereka” (Van
Loon, 1999;ix). Salah satu contoh yaitu masalah pernikahan. Banyak
masyarakat Dayak Mualang yang lebih mengutamakan pernikahan adat
terlebih dahulu dari pada pernikahan gereja. Setelah dilangsungkan
pernikahan secara adat, barulah mereka memikirkan pernikahan secara
gerejawi.
https://www.facebook.com/hendrikusm.123website.co.id/posts/530560090365310
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com